• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pressure Effect of Temperature on Koi Herpes Virus Diseases (KHVD) at Koi Fish (Cyprinus carpio koi).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pressure Effect of Temperature on Koi Herpes Virus Diseases (KHVD) at Koi Fish (Cyprinus carpio koi)."

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

DEWI MURNI A.

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pengaruh Cekaman Suhu terhadap Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) pada Ikan Koi (Cyprinus carpio koi)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

(KHVD) at Koi Fish (Cyprinus carpio koi). Under direction of FACHRIYAN HASMI PASARIBU and ABDUL GANI AMRI SIREGAR.

Koi fish are susceptible to Koi Herpes Virus Disease (KHVD). The disease is caused by the Koi herpesvirus, and mortality rate up to 80-95% within 2 weeks after infection. Koi herpesvirus is included in the virus that is hexagonal with a diameter of 100 nm. This study aims to determine the effect of temperature stress on the ability of Koi herpesvirus infects KHV free Koi fish and know the nature of transmission. Isolation and identification of Koi herpesvirus originate from the gills of Koi fish organs by the method of polymerase chain reaction (PCR) using PCR-KIT IQ2000TM. In this research, there were 8 fish groups of research, including the 6 fish group of test fish and two control test. The fish were injected with a virus suspension 10% as much as Koi herpesvirus 0.1 ml in intra peritoneal. For 14 days, seven of the first group as a fish's treatment of extreme temperatures at night 18-19 0C and 30-31 0C during the day. The 8th group of fish without control treatment temperature extremes. In a sequence group, the number of fish that were positive of KHVD were 5/5, 7/10, 5/5, 8/10, 0/5, 0/10, 4/5 and 0/5. KHV isolates with codes D143, D144 and M628 extremely virulent KHV isolates and not in the code D139. Stressed fish more susceptible to KHV- infection and KHV-infected fish easily transmit the koi herpesvirus in healthy fish or cohabitation by contamination of water in the aquarium and / or direct contact.

(4)

(KHV) pada Ikan Koi (Cyprinus carpio koi). Dibimbing oleh FACHRIYAN HASMI PASARIBU dan ABDUL GANI AMRI SIREGAR.

Ikan Koi mudah terserang penyakit Koi Herpes Virus (KHV). Penyakit ini disebabkan oleh Koi herpesvirus dengan angka mortalitas hingga 80-95% selama 2 minggu pasca infeksi. Bentuk morfologi dari Koi herpesvirus adalah ikosahedral dengan diameter 100 nm (Fenner et al. 1993). Koi herpesvirus dapat memperbanyak diri pada temperatur 18-30°C dan biasanya muncul pada pergantian musim yaitu musim kemarau ke musim hujan (Sunarto 2005). Penyakit KHV ini masuk ke Indonesia sejak 2002 (Rukyani et al. (2005) melalui perdagangan ikan lintas antar negara (Pasaribu, 2003). Penyakit KHV menyebabkan penurunan produksi ikan Koi secara drastis (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cekaman suhu terhadap kemampuan Koi herpesvirus menginfeksi ikan Koi bebas KHV dan mengetahui sifat penularannya. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi dalam penanganan dan pengendalian yang tepat bagi para petani ikan dan bagi pihak yang berkepentingan dalam memberantas penyakit KHV.

Penelitian ini dilakukan beberapa laboratorium, yaitu 1) Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta, 2) Laboratorium Kesehatan Satwa Akuatik FKH-IPB, 3) Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai Besar Karantina Ikan Makassar, dan 4) Laboratorium Kualitas Air FKIP Universitas Hasanuddin Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan sejak bulan November 2010 sampai dengan Oktober 2011.

(5)

mempunyai perbedaan gen KHV satu sama lain baik kuantitas dan semikualitas. Secara berurutan sampel D139, D143, D144 dan M628 mempunyai kuantitas 20, 200, 2000 dan 2000 copies DNA dan semikualitas 229bp (+), 240bp (++), 630 bp (+++) dan 630 bp (+++). Stock virus dengan kode D144 digunakan untuk uji coba pada kelompok 1A dan 1B, stock virus kode D143 untuk kelompok 2A dan 2B, stock virus D139 untuk kelompok 3A dan 3B, stock virus M628 (milik BBKI Makassar) untuk kelompok 4A dan 4B. Setelah diberi perlakuan suhu ekstrim, ikan menunjukkan hasil positif KHV pada hari ke-7 sampai ke-11 pasca injeksi. Hasil positif KHV ini diketahui setelah dilakukan pemeriksaan berdasarkan gejala sakit, perubahan makroskopis dan pemeriksaan biologi molekuler metode nested PCR. Hasil positif KHV tersebut secara berurutan kelompok adalah 5/5, 7/10, 5/5, 8/10, 0/5, 0/10, 4/5 dan 0/5.

Walau ikan termasuk dalam hewan poikilotermal, ikan Koi mudah mengalami stres ketika terjadi perubahan suhu air hingga 5ºC dalam tempo singkat. Biasanya ikan Koi dapat bertahan hidup pada suhu 8-30ºC. ketika ikan Koi mengalami stres, tekanan darah dari tubuh ikan Koi akan turun sehingga syaraf simpatis dan medula adrenal menstimulasi jaringan hipotalamus untuk mensekresikan katekolamin, adenocorticosteroid (ACTH). Hal ini menyebabkan hipertropi kelenjar adrenal, atropi kelenjar limfe dan menekan produksi leukosit sehingga daya tahan tubuh turun. Selain itu, produksi interferon, antibodi dan Cell mediated immunity (CMI) turun akibat level corticosteroid dalam darah tinggi. Hal ini menyebabkan tubuh menjadi lebih peka terhadap infeksi virus KHV.

(6)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

DEWI MURNI A.

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi Medik

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Pengaruh Cekaman Suhu terhadap Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) pada Ikan Koi (Cyprinus carpio koi)

Nama : Dewi Murni A. NRP : B253090041

Program Studi : Mikrobiologi Medik

Disetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu Ketua

drh. Abdul Gani Amri Siregar, MS. Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Mikrobiologi Medik

Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(10)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema dari penelitian ini adalah “Pengaruh Cekaman Suhu terhadap Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) pada ikan Koi (Cyprinus carpio koi)”.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan drh. Abdul Gani Amri Siregar, MS selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama penelitian dan penulisan tesis. Penulis ucapkan terima kasih pula kepada Laboratorium Kesehatan Satwa Akuatik FKH-IPB, Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta, Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai Besar Karantina Ikan Makassar dan Laboratorium Kualitas Air FKIP UNHAS Makassar atas bantuan dan kerjasamanya. Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada PEMDA Kabupaten POLMAN Provinsi SULBAR sebagai sponsor penelitian ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ayahanda Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu yang telah memberikan support moral dan dana studi penulis pada Program Magister “Mikrobiologi Medik” Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih pula kepada keluarga besar Roesdi dan To Nadi yang telah sabar memberikan doa malamnya demi kelancaran studi dan penelitian penulis. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerjasamanya.

Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(11)

Penulis dilahirkan di Bumiayu, Jawa Tengah pada tanggal 26 April 1977 dari pasangan Bapak Khamitt To Nadi dan Ibu Roesse Roesdi. Pendidikan Program Sarjana dan Profesi Kedokteran Hewan ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan UGM dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2009, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi pada Program Magister “Mikrobiologi Medik” Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana studi dari Ayahanda Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan dana penelitian dari PEMDA Kabupaten POLMAN Provinsi SULBAR.

(12)

DAFTAR TABEL ………...

1.1 Latar Belakang………... 1.2 Tujuan Penelitian………... 1.3 Manfaat penelitian………. II. TINJAUAN PUSTAKA………...

2.1 Ikan Koi (Cyprinus carpio koi) ……… 2.5 Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) ……….. 2.5.1 Cara Penularan…..………... 2.5.2 Gejala Klinis………... 2.5.3 Perubahan Makroskopis………... 2.5.4 Diagnosa………... 2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR) ………..

2.6.1 Single PCR………... 2.6.2 Nested PCR………... III. BAHAN DAN METODE………..

3.1 Tempat dan Waktu………. 3.2 Materi dan Metode Penelitian………..……….. 3.2.1 Materi Penelitian……….……... 3.2.2 Metode Penelitian………..………... 3.2.2.1 Identifikasi Koi herpesvirus dari Organ Insang Ikan

Koi dengan Metode Nested PCR…….

3.2.2.2 Ekstraksi Organ dan Pembuatan Suspensi Koi herpesvirus 10%………... 3.2.2.3 Infeksi Suspensi Koi herpesvirus 10% pada Ikan

(13)

Diagnosa Penyakit dan Kualitas Air……… 3.3 Analisa Data………... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 4.1 Isolasi dan Identifikasi Koi herpesvirus …………..………. 4.2 Ekstraksi Organ dan Pembuatan Suspensi virus KHV 10%... 4.3 Injeksi Suspensi Virus KHV 10% pada Ikan Coba……….... 4.4 Diagnosa……….………... 4.4.1 Gejala Klinis………... 4.4.2 Perubahan Makroskopis………... 4.4.3 Pemeriksaan Sampel Insang dengan Metode Nested PCR…. 4.5 Patogenesa Penyakit KHV………...  4.6 Cara Penularan KHV………... 4.7 Kualitas Air dan Cekaman Suhu……..……….

(14)

1. Master mix I dari nested PCR……… 2. Master mix I dari nested PCR……… 3. Siklus amplifikasi-nested PCR……….. 4. Disain cakaman suhu terhadap infeksi virus KHV ...…….………… 5. Gejala klinis ikan sakit pasca infeksi virus KHV 10% ... 6. Perubahan makroskopis ikan sakit pasca infeksi virus KHV 10% ... 7. Pemeriksaan sampel insang dengan metode nested PCR………. 8. Diagnosa Penyakit KHV ………...

16 16 16 20 23 24 28 28

(15)

1. Jenis-jenis ikan Koi……...……….……….. 2. Proses amplifikasi ekstrak DNA dalam thermocycler……… 3. Diagram amplifikasi pada nested PCR……….……….…. 4. Pola standar dan sampel positif dengan PCR-KIT IQ2000 TM ……. 5. Isolasi dan identifikasi Koi herpesvirus dengan metode nested PCR 6. Gejala klinis ikan Koi suspect KHV …………...……… 7. Perubahan makroskopis ikan Koi suspect KHV ……….………….. 8. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 1A……….……….… 9. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 1B……….……….… 10. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 2A…….……….…… 11. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 2B……….……….… 12. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 3A……….……….… 13. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 3B……….……….… 14. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 4A……….……….… 15. Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 4B……….……….… 16. Uji kualitas air deplesi oksigen (DO) ..……….. 17. Uji kualitas air amonia (NH3)……….. 18. Uji kualitas air nitrit (NO2) ……….…… 19. Uji kualitas air nitrat (NO3)………

(16)

Halaman

1. PCR KIT IQ2000TM KHV………...

2. Metode Penelitian………..

3. Gejala klinis pasca injeksi suspensi virus KHV 10%... 4. Perubahan makroskopis pasca injeksi suspensi virus KHV 10%... 5. Pemeriksaan biologi molekuler metode Nested PCR……… 6. Diagnosa Penyakit KHV………...

7. Uji Nitrogen-Amonia………

8. Uji Nitrogen –Nitrat……….. 9. Uji nitrogen Nitrit……….. 10.Data Pengamatan suhu………..

43 45 48 52 55 56 57 58 59 60

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Belakangan ini komoditas ikan koi (Cyprinus carpio koi) berkembang

dengan pesat di pasaran nasional. Ikan koi merupakan ikan hias yang berhabitat

pada air tawar dan diminati oleh para hobies. Ikan Koi mempunyai hubungan

kekerabatan sangat erat dengan ikan Mas (Cyprinus carpio carpio) karena memiliki

famili, genus, dan spesies yang sama (Susanto 2000). Ikan-ikan tersebut mudah

terserang penyakit Koi Herpes Virus (KHV) yang disebabkan oleh Koi herpesvirus

(Hendrick et al. 1997). Koi herpesvirus berbentuk ikosahedral dengan diameter 100

nm (Fenner et al. 1993). Virus KHV dapat memperbanyak diri pada temperatur

antara 18-30°C (Sunarto 2005) dan tidak bersifat menular kepada manusia (Rukyani

dan Sunarto 2003).

Di Indonesia, penyakit KHV pada tahun 2002 tercatat telah menyebabkan

kematian hingga 80-95% selama masa inkubasi (Anonim 2005). Namun

belakangan ini angka kematian akibat infeksi virus KHV tersebut telah turun. Hal

ini diduga akibat virus KHV telah lama terpapar pada kawasan budidaya ikan Koi

maupun ikan Mas.

KHV pertama kali diidentifikasi di Israel dan Amerika Serikat pada tahun

1998 dan diduga sebagai penyebab kematian massal ikan Koi baik stadia juvenil

maupun dewasa (Hedrick et al. 1998). Kejadian wabah penyakit KHV pertama

kali di Indonesia dilaporkan oleh Rukyani et al. (2005) ke Badan Kesehatan

Hewan Dunia (Office International des Epizooties, OIE) yang ditandai dengan

adanya kasus kematian massal pada ikan Koi dan ikan Mas pada bulan Juni 2002.

Awalnya penyakit KHV menyerang ikan Koi di Blitar (Jawa Timur), kemudian

menyerang ikan Mas di Jawa Barat. Setelah kejadian tersebut, KHV menyerang

daerah lainnya yaitu Lubuklinggau (Sumsel), Danau Maninjau (Sumbar) dan

Danau Toba (Sumut) (Departemen Kelautan dan Perikanan 2002). Penyakit ini

masuk ke Indonesia melalui perdagangan ikan lintas antar negara (Pasaribu 2003).

Penyakit ini menyebar sampai ke Eropa, Jepang, Rusia, Israel, Korea, Amerika

(18)

Sejak ada wabah penyakit KHV di Indonesia, produksi ikan Koi dan ikan

Mas mengalami penurunan yang drastis (Departemen Kelautan dan Perikanan

2010). Wabah penyakit KHV ini biasanya muncul pada pergantian musim yaitu

musim kemarau ke musim hujan. Penyakit ini telah menyebar di berbagai wilayah

di Indonesia. Penyakit KHV berstatus endemik di beberapa provinsi di Indonesia

yaitu Jawa, Bali, Sumatera, Lombok, Bima, Kalimantan, Sulawesi Utara,

Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sorong dan Timika.

Sedang Sulawesi Barat, Gorontalo dan Maluku adalah daerah bebas KHV

(Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010). Hingga hari ini belum ada obat

untuk penyakit tersebut (Pasaribu 2011). Namun telah dikembangkan penelitian

vaksin (Nuryati 2010) dan imunostimulan terhadap penyakit KHV (Pasaribu

2011).

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh cekaman suhu

terhadap kemampuan virus KHV menginfeksi ikan Koi yang bebas KHV serta

menguji sifat penularannya.

1.3 Manfaat

Harapan dari penelitian ini adalah dapat memberikan solusi yang tepat

dalam pengendalian, penanganan dan pemberantasan penyakit KHV pada

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Koi (Cyprinus carpio koi)

2.1.1 Sistematika dan Ciri Morfologi Ikan Koi

Ikan Koi berasal dari keturunan ikan karper hitam atau ikan Mas yang

melalui proses perkawinan silang dan menghasilkan keturunan yang berwarna-

warni. Ikan Koi memiliki klasifikasi yang sama dengan ikan Mas, seperti berikut:

Filum : Chordata

Ikan Koi dan ikan Mas mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat

erat karena memiliki famili, genus, dan spesies yang sama. Menurut Susanto

(2000), badan ikan Koi berbentuk seperti torpedo dengan alat gerak berupa sirip.

Ikan Koi jantan mempunyai bentuk tubuh langsing, sedangkan ikan Koi betina

bentuk tubuhnya agak membulat. Ikan koi memiliki 5 sirip yaitu sirip dada, sirip

perut, sirip anal, sirip ekor dan sirip punggung. Sirip dada dan sirip ekor ikan Koi

tersusun atas jari-jari lunak. Sirip punggung tersusun atas 3 jari-jari keras dan 20

jari-jari lunak sedang sirip perut tersusun atas 9 jari-jari lunak. Sirip anus tersusun

atas 3 jari-jari keras dan jari-jari lunak. Pada sisi badan dari pertengahan batang

sampai batang ekor terdapat gurat sisi yang berguna untuk merasakan getaran

suara. Garis ini terbentuk dari urat-urat yang ada di dalam sisik.

2.1.2 Pakan dan Pola Makan

Ikan Koi tergolong dalam hewan omnivora. Biasanya pakan ikan Koi

berupa ikan kecil, kerang-kerangan atau jenis tumbuh-tumbuhan. Pakan utama

anak Koi adalah udang-udang renik (Daphnia). Sejalan dengan pertumbuhan

badannya, ikan Koi dapat memakan serangga air, jentik-jentik nyamuk atau

(20)

Menurut Susanto (2000), ikan Koi di dalam air mampu mengenali

pakannya dan bahkan mencarinya diantara lumpur di dasar kolam, karena ikan

Koi mempunyai organ penciuman yang sangat tajam. Organ penciuman ini berupa

dua pasang kumis yang terletak pada bagian kiri dan kanan mulutnya. Ikan Koi

akan memburu sepotong pakan atau mengaduk-aduk lumpur untuk mendapatkan

pakan yang dibutuhkan. Mulut ikan Koi berukuran cukup besar dan dapat

disembulkan. Pakan berukuran kecil bersama-sama air memasuki rongga mulut

langsung ditelan masuk ke dalam kerongkongan dan dicerna di usus. Sedang air

melewati lamella insang setelah oksigen dalam air diserap.

2.1.3 Jenis Koi

Berbagai jenis ikan Koi, diantaranya adalah ikan Koi Kohaku, Koi Taisho

Sanke, Koi Showa Sanshoku, Koi Utsurimono, Koi Asagi, Koi Ogon yang, Koi

Kin Ginrin, Koi Bekko, Shiro Bekko Ki Bekko Aka Bekko, Koi Tancho dan Koi

Koromo atau Goromo (Tiara dan Muhananto 2011).

Gambar 1 Jenis ikan Koi

Pertumbuhan ikan Koi tergantung pada suhu air, pakan dan jenis kelamin.

Enam bulan pertama, ikan Koi tumbuh sangat cepat. Sampai umur 2 tahun, ikan

(21)

tahun ikan Koi betina tumbuh pesat dibandingkan ikan Koi jantan (Tiara dan

Muhananto 2011).

2.2 Kualitas Air

Air merupakan media hidup yang sangat mendukung dalam pertumbuhan

dan kelangsungan hidup organisme akuatik. Setiap jenis ikan memiliki batas

toleran yang berbeda-beda dan dinyatakan dengan kisaran nilai tertentu. Ada

beberapa parameter kelayakan perairan perikanan disebut kualitas air. Parameter

kualitas air ini digolongkan menjadi 2 yaitu secara fisika dan kimia. Kualitas air

tersebut diantaranya adalah suhu, salinitas, kekeruhan, oksigen terlarut, pH,

amonia, nitrat dan nitrit (Effendy 2003).

Suhu merupakan salah satu parameter air yang berperan penting sebagai

controlling factor. Metabolisme optimal akan terjadi pada suhu yang optimal.

Setiap jenis ikan mempunyai batas toleran yang berbeda-beda. Effendy (2003) 

mengatakan bahwa ikan Koi dapat hidup pada kisaran suhu 8-30ºC, oleh sebab itu

ikan Koi dapat di pelihara di seluruh Indonesia, mulai dari pantai hingga daerah

pegunungan. Suhu ideal untuk pertumbuhan ikan Koi adalah 15-25ºC.

2.2.1 Power of hydrogen (pH)

Kesuburan air juga ditentukan oleh pH dimana logaritma negatif dari

konsentrasi ion hidrogen (pH) = -log [H]. Air murni pada suhu 25 C memiliki

konsentrasi pH 7. Perairan dengan pH netral sampai alkalis dapat digunakan untuk

budidaya ikan daripada perairan dengan pH asam. Ikan Koi bertahan hidup pada

pH 6,5-8. Perubahan pH biasanya menimbulkan stres pada ikan. Kemampuan air

menahan perubahan pH lebih penting daripada nilai pH itu sendiri. Namun Boyd

(1982) mengatakan bahwa ikan akan mati pada pH < 4; ikan tidak dapat

bereproduksi pada pH 4-5; laju pertumbuhan ikan menjadi lambat pada pH 5-6;

layak untuk budidaya pada pH 6,5-9; pertumbuhan ikan menjadi lambat pada pH

9-11; dan bila pH >11 maka ikan akan mati.

2.2.2 Deplesi Oksigen (DO)

Kebutuhan ikan terhadap oksigen tergantung pada jenis, ukuran, aktivitas,

suhu dan kualitas pakan. Ikan kecil masih bertahan hidup untuk beberapa saat

pada DO 0,0-0,3 mg/liter, namun akan mati pada DO 0,3-1,0 mg/liter. Bila DO air

(22)

lambat tetapi pada DO > 5 mg/liter maka ikan akan tumbuh secara optimal

(Effendy 2003).

2.2.3 Amonia

Amonia dihasilkan akibat dari proses pemupukan, ekskresi ikan,

dekomposisi mikroba dari komponen nitrogen. Ketika amonia memasuki perairan,

ion hidrogen langsung bereaksi dan mengubah amonia ke dalam suatu kondisi

keseimbangan antara ion amonium yang tidak beracun (NH4+) dan amonia tak

terionisasi (NH3) yang beracun (Boyd 1982).

NH3 + H+ + OH- NH4+ + OH-

Penguraian amonia di dalam air bergantung pada pH dan suhu. Selain itu

juga dipengaruhi faktor lain seperti kekuatan ion dalam larutan dan salinitas.

Toksisitas amonia dapat meningkat pada kondisi DO yang rendah. Amonia tak

terionisasi (NH3) akan menurun secara relatif menjadi amonia yang terionisasi

(NH4+) pada air sadah dan bersalinitas.

Total amonia dalam bentuk NH4+ dan NH3 tergantung pada peningkatan

pH dan temperatur. Pengaruh pH terhadap amonia lebih dominan dibandingkan

temperatur. Air dengan pH yang rendah memiliki ion hidrogen lebih banyak

sehingga bentuk NH4+ lebih dominan, yang mana NH4+ tidak beracun bila jauh

lebih banyak dibandingkan NH3. Peningkatan suhu air juga dapat meningkatkan

NH3 jauh lebih banyak dibandingkan NH4+,sehingga dapat membahayakan ikan

yang berada dalam sistem tersebut.

Keberadaan amonia mempengaruhi pertumbuhan karena mereduksi

masukan oksigen yang disebabkan oleh rusaknya insang, menambah energi untuk

keperluan detoksifikasi, mengganggu osmoregulasi dan mengakibatkan kerusakan

fisik pada jaringan.

Kadar amonia yang tinggi juga mempengaruhi permeabelitas tubuh ikan

terhadap air dan mengurangi konsentrasi ion dalam tubuh, meningkatkan

konsumsi oksigen pada jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan

darah dalam melakukan transport oksigen. Ketika konsentrasi amonia

dilingkungan meningkat, eksresi amonia pada ikan akan turun sehingga kadar

(23)

konsentrasi amonia lingkungan yang tinggi secara terus-menerus akan

menurunkan pertumbuhan dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit.

Kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada air tawar sebaiknya

tidak lebih 0,2 mg/liter, karena pada beberapa spesies ikan zat tersebut dapat

bersifat toksik. Pada kadar amonia 0,52 mg/liter, pertumbuhan tubuh ikan akan

turun hingga 50% dan tidak akan terjadi pertumbuhan pada konsentrasi 0,97

mg/liter. Kadar amonia yang tinggi merupakan salah satu parameter adanya

pencemaran bahan organik. Kadar amonia yang tinggi dapat terjadi pula pada

dasar danau yang mengalami deplesi oksigen (Effendy 2003).

UNESCO/WHO/UNEP (1992) menyampaikan bahwa kadar maksimum kualitas

air yang diperkenankan untuk kehidupan organisme akuatik adalah 1.37-2.2

mg/liter.

2.2.4 Nitrit Nitrogen (NO2-N)

Ion nitrit dibentuk dari nitrat (NO3-) atau ion amonium (NH4+) oleh

mikroorganisme tertentu yang dapat ditemukan di tanah dan air. Nitrit dihasilkan

dari dekomposisi feses dan sisa pakan oleh bakteri Nitrosomonas. Nitrit juga

merupakan produk intermediet antara amonium dan nitrat. Toksisitas nitrit

mungkin berhubungan dengan konsentrasi asam nitrit, yang tergantung pada suhu,

pH dan salinitas. Rendahnya pH akan meningkatkan pembentukan asam nitrit.

Selain itu toksisitas nitrit (atau asam nitrit) akan meningkat pada konsentrasi DO

rendah dan suhu yang tinggi.

Kalium dan klorida dapat meningkatkan toleransi ikan terhadap nitrit

karena ion-ion tersebut dapat bersaing dengan nitrit dalam transportasi melalui

epitel insang, sehingga dapat menurunkan jumlah pengambilan nitrit di air.

Penurunan pH akan meningkatkan toksisitas nitrit karena nitrit akan dikonversi

menjadi asam nitrit. Selain itu, toksisitas nitrit juga dipengaruhi oleh ukuran ikan,

oksigen terlarut, kandungan nitrit, status makanan dan infeksi (Effendy 2003).

Konsentrasi toksik nitrit berbeda-beda tergantung spesies, untuk salmoid

sekitar 0.3 mg/l NO2-N, dan catfish 13 mg/l NO2-N. Namun secara umum

konsentrasi nitrit yang aman bagi ikan adalah 0.6 mg/l NO2-N

(UNESCO/WHO/UNEP 1992). Saat nitrit diabsorbsi oleh ikan, nitrit akan

(24)

Hb+ NO2- Met-Hb

Nitrit akan mengoksidasi ferro (Fe2+) menjadi ferri (Fe3+). Hal ini meyebabkan

darah tidak dapat mengikat oksigen, sehingga toksisitas nitrit akan menyebabkan

aktivitas hemogloblin menurun. Toksisitas nitrit disebut methemoglobinaemia

(Murray 2000).

2.2.5 Nitrat Nitrogen (NO3-N)

Ion nitrat dibentuk oleh oksidasi lengkap dari ion amonium oleh

mikroorganisme yang berada dalam tanah, air dan atau akibat proses nitrifikasi

dari amonia. Bakteri yang berperan dalam nitrifikasi untuk mengubah nitrit

menjadi nitrat menjadi nitrogen bebas (N2) yang dapat terlepas dari sistem gas.

Reaksi ini dapat ditemukan pada biofilter dan lingkungan alamiah serta

bertanggung jawab untuk mempertahankan konsentrasi amonia dalam kisaran

yang layak. Nitrat (NO3-) umumnya tidak beracun bagi ikan, namun bila kadar

nitrat lebih dari 0,2 mg/liter dapat menyebabkan peningkatan jumlah nutrient di

dalam ekosistem air (eutrofikasi) dan selanjutnya menstimulasi pertumbuhan alga

dan tumbuhan air (blooming) (Effendy 2003). Blooming dapat menyebabkan

produksi destritus berlebihan sehingga menghabiskan suplai oksigen di perairan

dan menyebabkan kematian bagi ekosistem perairan (Prasetyo 2011).

Ledakan populasi fitoplankton yang diikuti dengan keberadaan jenis

fitoplankton beracun akan menimbulkan Ledakan Populasi Alga Berbahaya

(Harmful Algae Blooms – HABs). Faktor yang dapat memicu ledakan populasi

fitoplankton berbahaya antara lain karena adanya eutrofikasi upwelling yang

mengangkat massa air kaya unsur-unsur hara (Aunurohim et al. 2009).

Pencemaran antropogenik tergambarkan bila nitrat lebih dari 5 mg/liter. Hal ini dapat terjadi akibat kehadiran feses manusia atau hewan.

2.3 Stres

Stres adalah sejumlah respon fisiologis yang terjadi pada saat individu

mempertahankan homeostasis. Berbagai faktor yang mempengaruhi stres,

diantaranya adalah perubahan kebiasaan pola hidup secara draktis misal terhadap

makan dan minum, transportasi jarak yang jauh, perpindahan kolam lama ke

kolam baru, kehadiran predator, penanganan dan perlakuan yang kasar serta

(25)

Faktor lain yang menyebabkan stres adalah spesies ikan, kualitas dan

kuantitas ikan, bentuk kontainer, kuantitas sisa pakan dalam akuarium/kolam, dan

kecepatan laju kendaraan. Kondisi lingkungan turut menentukan tingkat stres, ini

meliputi temperatur, kelembaban, suara gaduh, ventilasi dan cahaya serta

perlakuan selama perjalanan.

Ikan mudah megalami stres. Hal ini biasanya akibat transportasi dari satu

lokasi ke lokasi lainnya misal dari kolam satu ke kolam lain, dari kolam satu ke

kolam pemasaran, atau dari kolam ke plastik pengemasan baik melalui

transportasi darat, udara maupun laut sering (Ross and Ross 1999). Selain itu,

faktor penyebab stres lainya adalah perubahan jenis pakan, perlakuan dari

karyawan atau petugas yang kasar, kepadatan ikan dalam kolam/akuarium/

kemasan plastik serta suara gaduh lingkungan.

Pada saat ikan mengalami stres, ikan akan mengeluarkan banyak tenaga

secara ekstra untuk menghadapi perubahan lingkungan yang mendadak. Ketika

terjadi perubahan suhu dalam air maka suhu tubuh ikan turut berubah-ubah. Ikan

menggunakan energi berlebihan untuk mempertahankan diri dalam waktu tertentu

sehingga energi untuk pertumbuhannya berkurang. Stres dapat mengakibatkan

daya tahan tubuh ikan menurun bahkan menyebabkan kematian.

2.4 Koi herpesvirus (KHV)

Virus herpes banyak terdapat di lingkungan, tipe virus ini mampu menyerang

manusia dan hewan. Lebih dari 100 spesies virus herpes saat ini, delapan

diantaranya menyerang manusia dan bersifat zoonosis. Virus herpes termasuk

dalam tipe virus yang memiliki ukuran besar dibandingkan dengan virus yang

lainnya. Secara morfologi, anggota virus herpes memiliki struktur yang serupa satu

dengan yang lainnya.

Morfologi struktur dari virus herpes dari arah dalam keluar terdiri dari

genom DNA utas ganda linier (double helix linear), berbentuk toroid, kapsid,

lapisan tegumen, dan selubung. Kapsid terdiri atas protein yang tersusun dalam simetri

ikosahedral. Tegumen yang terdapat diantara kapsid dan selubung merupakan massa

fibrous dengan ketebalan yang bervariasi.

Amplop virus bersifat sedikit pleomorphic (mampu berubah bentuk),

(26)

diproyeksikan dengan banyaknya duri (spike) yang menyebar merata di seluruh

permukaan virus herpes. Nukleokapsid virus herpes dikelilingi oleh kulit yang terdiri

dari bahan globular yang sering asimetris. Virus herpes memiliki total panjang

genom 120.000-220.000 nm dengan rasio guanine dan cytosine 35-75 % (Fenner et al.

1993 ).

2.4. 1 Klasifikasi Herpesviridae

Herpesviridae diklasifikasikan menjadi 3 sub famili yaitu Alphaherpesvirus,

Betaherpesvirus dan Gammaherpesvirus. Sub-famili Alphaherpesvirus memiliki 2 genus

yaitu Simplexvirus dan Varicellovirus. Betaherpesvirus memiliki 3 genus yaitu

sitomegalovirus, muromegalovirus dan roseolovirus, sedang Gammaherpesvirus

memiliki 2 genus yaitu lymphocryptovirus dan rhadinovirus.

2.4.2Replikasi Virus Herpes

Virus herpes bereplikasi dalam metabolisme sel inang dengan menggunakan

asam nukleat. Virus yang menempel pada induk semang akan masuk dalam

metabolisme induk semang dan keluar dari sel induk semang dengan merusak

membran plasma (Sugiri 1992).

Awalnya peplomer glikoprotein amplop berfusi dengan reseptor sel inang.

Kemudian proteoglikan heparin sulfat (nukleokapsid) memasuki sitoplasma dengan

cara virion amplop berfusi dengan membran sel atau melalui vakuola fagositis.

Kompleks DNA-protein kemudian terbebaskan dari nukleokapsid dan memasuki

nukleus, menghentikan sintesis makromolekul sel inang. mRNA, protein dan ß

ditranskripsi oleh polymerase RNA II sel. RNA diubah menjadi mRNA dan ditranslasi

menjadi protein, yang menstimulasi terjadinya translasi mRNA ß menjadi protein ß.

Runutan replikasi, transkripsi dan translasi terjadi lagi. Replikasi DNA virus dengan

menggunakan beberapa protein, ß dan protein sel inang. Transkripsi terjadi dengan

terbentuknya mRNA dengan urutan terletak sepanjang genom, selanjutnya terjadi

translasi menjadi protein. Selama siklus dihasilkan lebih dari 70 protein tersandi-virus.

Replikasi DNA virus terjadi di nukleus (Fenner et al. 1993). Protein alfa dan beta

merupakan enzim dari protein lain yang akan berikatan dengan DNA genom virus

(Sugiri 1992).

Transkripsi DNA virus terjadi sepanjang siklus replikasi di dalam sel dengan

(27)

DNA virus selanjutnya dirakit menjadi virion pada membran inti sel. Pelepasan virion

dari sitoplasma keluar inti sel terjadi melalui struktur tubuler atau melalui proses

eksositosis vakuola yang berisi virion (Sugiri 1992).

2.5 Penyakit Koi Herpes Virus(KHV)

Penyakit KHV merupakan salah satu penyakit infeksius yang menyerang

spesies ikan Koi dan ikan Mas yang disebabkan oleh golongan virus DNA. Di

Indonesia, kasus penyakit KHV diawali di Blitar pada tahun 2002 yang mana telah

terjadi kematian massal (80%-95%). Kira-kira akhir April 2002, kasus kematian ikan

Mas terjadi di Subang serta kasus serupa pada bulan Mei 2002 terjadi di sentra

budidaya ikan Mas di daerah Cirata, Jawa Barat. Wabah penyakit KHV kembali

terjadi di daerah Lubuk Linggau, Sumatra Selatan pada bulan Februari 2003 dengan

gejala yang ditimbulkan sama seperti yang ditemukan pada ikan Mas di pulau Jawa.

Kemudian wabah terus menyebar di propinsi sekitarnya termasuk Bengkulu, dan

Jambi. Wabah KHV di Indonesia telah menyebar sampai ke Denpasar (Bali),

Banyuwangi, Tulungagung, Blitar, Malang, Kediri, dan Surabaya (Jawa Timur),

Semarang dan Brebes (Jawa Tengah), Subang, Bogor, Bandung, Purwakarta, Cianjur,

dan Bekasi (Jawa Barat), Banten, dan Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Selatan

(Sumatra) (Pasaribu 2003).

Penyakit ini masuk ke Indonesia melalui perdagangan ikan lintas antar

negara (Pasaribu 2003). Penyakit ini menyebar sampai ke Eropa, Jepang, Rusia,

Israel, Korea, Amerika Serikat, Malaysia dan Indonesia (Kementerian Kelautan

dan Perikanan 2010). Sejak ada wabah penyakit KHV di Indonesia, produksi ikan

Koi dan ikan Mas mengalami penurunan yang drastis (Departemen Kelautan dan

Perikanan 2010).

2.5.1 Cara Penularan

Penyakit KHV ini menyebar melalui kontak langsung antara ikan sehat dan

ikan yang sakit, kontaminasi air, transportasi dan penanganan yang tidak higienis

seperti pergantian lingkungan. Secara morfologi KHV termasuk dalam golongan

herpesvirusyaitu virus yang memiliki bentuk ikosahedral dengan diameter 100 nm. Koi

herpesvirus pada umumnya dapat hidup dan memperbanyak diri pada temperatur

(28)

2.5.2 Gejala Klinis

Ikan yang terinfeksi penyakit KHV akan memperlihatkan gejala penurunan

nafsu makan, lemah, penurunan permeabelitas mukosa kulit dan insang. Penurunan

permeabelitas mukosa kulit ini menyebabkan kulit tampak kering, hemorrhagi pada

sirip dan kulit, nekrosa sel insang atau menjadi nekrosis pada ujung lamela (OATA

2001; Departemen Kelautan dan Perikanan 2010). Ikan yang terserang penyakit ini

akan sedikit banyak mengalami perubahan tingkah laku antara lain ikan berenang di

permukaan air, berkumpul mendekati sumber aerasi, gerakan yang kurang terkontrol,

dan terlihat dispnoe pada permukaan air.

2.5.3 Perubahan Makroskopis

Pada pemeriksaan perubahan makroskopis ditemukan adanya nekrosa pada

insang, sisik, sirip, ekor, ginjal, limpa, dan hati (Sunarto 2005). Belakangan ini

perubahan makroskopis akibat infeksi virus KHV jarang muncul, namun ikan yang

terinfeksi KHV biasanya mati mendadak.

2.5.4 Diagnosa

Diagnosa penyakit KHV sampai saat ini dengan 3 cara yaitu berdasar gejala

klinis dan perubahan makroskopis, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan biologi

molekuler dengan metode PCR. Diagnosa berdasar perubahan kondisi fisik atau sakit

dengan gejala klinis dan perubahan makroskopis digolongkan ke dalam level 1, dan

pemeriksaan histopatologi digolongkan dalam cara diagnosa penyakit ikan pada level 2.

Diagnosa penyakit ikan dalam level tertinggi adalah pemeriksaan biologi molekuler

dengan metode PCR yaitu termasuk dalam level 3 (Departemen Kelautan dan

Perikanan 2007). Penggolongan level diagnosa penyakit ini disesuaikan dengan fasilitas

peralatan yang ada. Diagnosa penyakit pada level 1 biasanya dilakukan oleh para

petugas lapang dan stasion kelas 2. Diagnosa penyakit pada level 2 dilakukan oleh para

petugas di laboratorium dan stasion kelas 1 karantina ikan, sedangkan diagnosa

penyakit pada level 3 dilakukan oleh petugas laboratorium virologi pada Balai Besar

dan Balai Riset dalam Departemen Kelautan dan Perikanan.

Selain itu diagnosa KHV dapat dilakukan dengan cara isolasi virus pada

kultur jaringan. Sel yang digunakan adalah sel fibroblast dari Koi Tail (KT). Supernatan

homogenat dari bagian ikan yang dianggap sakit di inokulasikan dalam KT, kemudian

(29)

Setelah diinokulasikan, virus dapat terdeteksi dengan terlihatnya efek sitopatik yang

cepat dalam kultur sel (Sunarto 2005).

2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR)

2.6.1 Single PCR

PCR merupakan suatu teknik perbanyakan (amplifikasi) potongan DNA

secara in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer

oligonukleotida. Primer yang digunakan sebagai pembatas daerah yang

diperbanyak adalah DNA untai tunggal yang urutannya komplemen dengan DNA

templatenya. Proses tersebut mirip dengan proses replikasi DNA secara in vivo

yang bersifat semi konservatif. Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan

105-106 kali lipat dari jumlah nanogram DNA template (Stephenson 2003). PCR

dilakukan dengan bantuan alat yang disebut thermocycler (Muladno 2010).

Dalam proses PCR membutuhkan 4 komponen utama, yaitu (1) DNA

template, (2) oligopolisakarida primer, (3) deoxyribonucleotida triphosphate dan

(4) enzim polymerase. DNA template adalah frakmen DNA yang akan

dilipatgandakan. Oligopolisakarida primer adalah suatu sekuen pendek dari

oligonukleotida yaitu antara 15-25 basa nukleotida yang akan digunakan untuk

mengawali sintesis rantai DNA. Deoxiribonucleotida triphosphate sering disebut

dNTP, ini terdiri dari dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. Enzim polymerase adalah

enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang

juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono 2006).

Reaksi pelipatgandaan suatu frakmen DNA dimulai dengan melakukan

denaturasi DNA template sehingga rantai DNA yang berantai ganda akan

dipisahkan menjadi rantai tunggal. Denaturasi menggunakan panas (90 C) selama

1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 C selama 1-2 menit, sehingga

primer menempel (annealing) pada cetakan terpisah menjadi rantai tunggal.

Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan template pada daerah sekuen

yang komplementer dengan sekuen primer (Glick dan Pasternak 1998).

Pada single PCR membutuhkan sepasang primer untuk proses annealing.

Primer pertama adalah oligonukleotida dalam primer ini mempunyai sekuen yang

identik dengan salah satu rantai DNA template pada ujung 5’-fosfat, primer kedua

(30)

DNA template yang lain. Setelah proses annealing, suhu inkubasi ditingkatkan

menjadi 72 C selama 1,5 menit. Pada suhu ini, DNA polymerase akan melakukan

proses polimerase rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada

DNA template. Setelah polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk

jembatan hidrogen dengan DNA template . DNA rantai ganda akan terbentuk

dengan adanya ikatan hidrogen antara DNA template dengan rantai DNA baru

hasil polimerasi, selanjutnya akan didenaturasi lagi. Rantai DNA yang baru

tersebut akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya

(Yuwono 2006).

Proses amplifikasi tersebut diulang lagi sampai 25-30 kali/siklus sehingga

pada akhir siklus akan mendapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang

baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan

jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung

pada DNA target di dalam campuran reaksi (Glick dan Pasternak 1998).

Hasil amplifikasi ini dapat divisualisasikan dengan mata telanjang setelah

melewati proses elektroforesis dengan menggunakan gel poliakrilamida atau gel

agarose. Prinsip elektroforesis adalah molekul DNA bermuatan negatif pada pH

netral akan bermigrasi ke arah yang bermuatan positif. Migrasi molekul DNA

pada gel elektroforesis dipengaruhi oleh komposisi dan kelarutan ion buffer

elektroforesis. Beberapa buffer yang digunakan diantaranya Tris Asetate EDTA

(TAE), Tris pHospate EDTA (TBE) dan Tris Borate EDTA (TPE), serta buffer

alkalin elektroforesis (Sambrook et al. 1989). Pada saat elektroforesis, molekul

DNA akan berikatan dengan ethidium bromida (EtBr) sehingga molekul DNA

(31)

Gambar 2 Proses amplifikasi ekstrak DNA dalam thermocycler

2.6.2 Nested PCR

Ada berbagai metode PCR, diantaranya adalah Nested PCR. Metode

Nested PCR ini biasanya digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit dengan

tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi.

 

(32)

Pada prinsipnya, nested PCR menggunakan 2 pasang primer dengan 2

kali/siklus amplifikasi, hal ini berbeda dengan PCR biasa atau single PCR yang

mana hanya menggunakan 1 pasang primer dengan 1 kali siklus amplifikasi. Oleh

karenanya nested PCR lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan single

PCR, sehingga mampu untuk mendeteksi virus/bakteri dalam jumlah sedikit.

Tabel 1 Master mix I dari nested PCR

Total Mastermix Volume: 40 µl

DNA Template 10 µl

Primer mix. Forward and Reverse

primers (5 pmoles/µl each)

4 µl

Total Mastermix Volume: 49 µl

DNA Template (Sample from external round PCR product)

1 µl

Tabel 3 Siklus amplifikasi-nested PCR

PCR Machine Cycling Parameters For Both External and Internal PCR Rounds

94ºC/30 sec 1 cycle

(33)

III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai

Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta, Laboratorium Kesehatan Satwa Akuatik

FKH-IPB, Laboratorium Virologi dan Uji Coba Balai Besar Karantina Ikan

Makassar, dan Laboratorium Kualitas Air Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan

Universitas Hasanuddin Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan

November 2010 sampai Oktober 2011.

3.2 Materi dan Metode Penelitian

3.2.1 Materi Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium,

termometer, cecker water quality, aerator dan ikan Koi dari daerah bebas KHV

Takkalar, Sulawesi Selatan, untuk uji coba infeksi dan kohabitasi. Alat lain yang

digunakan adalah scalpel, pinset, timbangan, cawan petri, mortar-pastel,

sentrifuse, filter 0.45µl, tabung mikro, tissue steril dan bahan yang digunakan

adalah insang suspect KHV dan phosphate buffer saline (PBS) pH 7.1 untuk

membuat suspensi KHV 10%. Selain itu, bahan yang digunakan adalah

mikropipet, tabung mikro, blok pemanas, sentrifuse, incubator, pestel, vortex,

tissue steril dan bahan berupa ethanol 95%, lysis buffer dan ddH2Ountuk ekstraksi

DNA. Alat thermal cycler dengan blok sampel 0.2 ml, peralatan elektroforesis,

UV illuminator, vortex mixer, mikropipet dan camera digital foto system

merupakan rangkaian peralatan untuk uji PCR. Dalam uji PCR ini menggunakan

ekstrak DNA, bahan ethidium bromide (EtBr), ethanol 95%, TAE atau TBE

elektroforesis buffer, agarose dan Kit IQ 2000TM KHV.

3.2.2 Metode Penelitian

3.2.2.1 Identifikasi Koi herpesvirus dari Organ Insang Ikan Koi dengan

Metode Nested PCR

Sampel ikan Koi yang diduga sakit akibat serangan KHV diambil dari

kolam ikan Koi milik petani. Ikan Koi tersebut dinekropsi dan diambil organ

insangnya, kemudian disimpan dalam freezer -80 OC. Untuk membuktikan adanya

(34)

(Gilad et al. 2002; Anonim 2006) dan agar didapatkan produk PCR yang lebih

sensitif dan spesifik maka digunakan metode nested PCR sebagaimana

diungkapkan oleh Srisuvan et al. (2010).

Pada penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan yaitu ekstraksi DNA

sampel, amplifikasi DNA, dan analisa hasil PCR. Hasil ekstraksi DNA

diamplifikasi menggunakan PCR-KIT IQ2000TM KHV dan dilakukan dengan 2

tahap running pada alat thermocycler.

Running tahap pertama adalah denaturation 94 OC (20 detik), annealing

62 OC (20 detik), extention 72 OC (20 detik), elongasi 72 OC (30 detik) dan 20 OC

(30 detik). Running tahap kedua adalah denaturasi 94 OC (20 detik), annealing

60 OC (20 detik), extention 72 OC (20 detik), elongasi pada 72 OC (30 detik) dan

20 OC (30 detik). Running tahap pertama dilakukan sebanyak 15 siklus sedang

running tahap kedua sebanyak 30 siklus (Farming IntelliGene Tech Corp 2010).

Hasil amplifikasi DNA dielektroforesis dengan menggunakan gel agarose

2% dan Ethidium bromida (EtBr) pada100 Voltage selama 40 menit. Menurut

Stephenson (2003), molekul DNA dan EtBr akan reaksi dan terpendar dibawah

lampu ultraviolet (UV trans-iluminator). Hasil elektroforesis ini dapat

divisualisasikan dan dibaca dengan alat geldoc XR.

Gambar 4 Pola standar dan sampel positif dengan PCR-KIT IQ2000 TM KHV: lane (1) standar 1 adalah 2000 copies/reaksi (kontrol positif), (2) standar 2 adalah 200 copies/reaksi (kontrol positif), (3) standar 3 adalah 20 copies/reaksi (kontrol positif), (4) ddH2O, (5) sampel dengan infeksi KHV berat, (6) sampel dengan infeksi KHV ringan, (7) sampel negatif KHV, dan (M) masker 848bp, 630bp, 333bp (www.iq2000kit.com).

Virus KHV dapat diidentifikasi secara kuantitatif dengan menggunakan

spektrofotometer nanodrof (Muladno 2010) dan semikualitatif dengan metode

nested PCR. Pada penelitian ini uji nested PCR menggunakan PCR-KIT

(35)

kuantitatif yaitu terjadi 20 copies DNA, 200 copies DNA dan 2000 copies DNA

(www.iq2000kit.com). Pada identifiksasi secara semikualitatif, tervisualisasi pada

229 bp, 440bp dan 630bp yang mana secara berurutan ini telah tersirat pada

band 1, 2 dan 3 (Gambar 4). Identitas marker adalah 333 bp, 630 bp dan 848 bp

(Farming IntelliGene Tech Corp, 2010).

3.2.2.2 Ekstraksi Organ dan Pembuatan Suspensi Koi herpesvirus 10%

Insang dari ikan positif Koi herpesvirus diekstraksi dan dibuat suspensi

dengan konsentrasi 10%. Yaitu dalam suasana dingin (-4 C), insang diekstraksi

dan dilarutkan dalam PBS pH 7,1 dengan perbandingan 1 gram insang dan 9 ml

PBS. Larutan tersebut disentrifuse pada 5000 rpm selama 5 menit kemudian

suspensinya difilter pada 0,45µm.

3.2.2.3 Infeksi Suspensi Koi herpesvirus 10% pada Ikan Koi Bebas KHV

Ikan yang akan digunakan adalah ikan-ikan bebas KHV. Ikan-ikan yang

baru datang diaklimatisasi terlebih dahulu minimal selama 1 minggu, selajutnya

dikelompokan menjadi 8 kelompok yaitu 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 3B, 4A dan

4B. Enam kelompok pertama merupakan kelompok ikan perlakuan dan 2

kelompok lainnya adalah kelompok kontrol. Masing-masing 5 ekor ikan pada

setiap kelompok diinokulasi dengan suspensi virus KHV 10% sebanyak 0,1 ml

secara intra peritoneal namun kelompok 1B, 2B dan 3B diberi 5 ekor ikan

kohabitasi tanpa diberi suspensi virus KHV 10%.

3.2.2.4 Perlakuan Suhu Ekstrim

Perlakuan suhu ekstrim ini dilakukan pada 7 kelompok pertama, dan tidak

pada kelompok ke-8. Yaitu setelah ikan diinfeksi, ikan-ikan tersebut diberi

perlakuan suhu ekstrim yaitu suhu air disuasanakan menjadi 18-19 OC selama 14

jam pada malam hari dan 30-31 OC selama 10 jam pada siang hari. Suhu 18-19 OC

dapat dicapai dan dipertahankan dengan cara memasukkan es balok yang

dibungkus dalam plastik dan mengganti es balok secara periodik atau 2.5 sampai 3

jam sekali. Agar suhu 30-31 OC dapat dicapai dan dipertahankan, maka dilakukan

dengan mengatur jendela ruang Laboratorium Uji Coba BBKI Makassar,

(36)

Tabel 4 Disain cekaman suhu terhadap infeksi virus KHV

Keterangan Kelompok ikan (Ekor)

1 2 3 4 1A 1B 2A 2B 3A 3B 4A 4B

Suspensi virus KHV 10% (630bp) (440bp) (229bp) (630bp)

∑ikan disuntik 0,1 ml IP 5 5 5 5 5 5 5 5

∑ikan kohabitasi 0 5 0 5 0 5 0 0

Cekaman suhu ekstrim

(18-19 C ke/dari 30-31 C) √ √ √ √ √ √ √ -

3.2.2.5 Pengamatan Ikan Coba Berdasarkan Waktu, Diagnosa Penyakit dan

Kualitas Air

Ikan yang telah diinjeksi diamati setiap hari selama masa infeksi yaitu 14

hari. Parameter pengamatan ikan yang terinfeksi berdasarkan waktu, diagnosa

penyakit dan kualitas air. Diagnosa penyakit berdasar gejala klinis, perubahan

makroskopis, dan pemeriksaan biologi molekuler metode nested PCR. Pengukuran

kualitas air dilakukan dengan menggunakan alat cecker water quality setiap 2.5

sampai 3 jam sekali. Selain itu kualitas air diukur dengan menggunakan alat

spektrofotometer. Cecker waterquality digunakan untuk mengidentifikasi kualitas

air berupa pH, suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), sedang spektrofotometer untuk

mengetahui kadar nitrit (NO2), nitrat (NO3) dan amonia (NH3).

3.3 Analisa Data

(37)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi dan Identifikasi Koi herpesvirus

Ada 12 sampel ikan Koi yang di duga sakit dan diberi kode sampel yaitu

D138, D139, D140, D141, D142, D143, D144, D145, D146, D147, D148 dan D149.

Setelah dilakukan pemeriksaan dengan metode PCR ternyata ada 5 dari 12 sampel

yang positif terhadap KHV yaitu sampel ikan koi yang diberi kode D139 (lane 2)

tertera pada 229bp, D143 (lane 6) tertera 440 bp,D144 (lane 7) tertera pada 630

bp, D147 (lane 10) tertera pada 440 bp dan D149 (lane 12) tertera pada 630 bp

(Gambar 5).

Gambar 5 Isolasi dan identifikasi Koi herpesvirus dengan metode PCR (A): lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,3,4,5,8,9 dan

11 adalah sampel insang ikan coba negatif KHV, lane 2, 6, 7, 10 dan 12 adalah sampel positif KHV

4.2 Ekstraksi Organ dan Pembuatan Suspensi Koi herpesvirus 10%

Pada penelitian ini, organ insang diekstraksi dan dibuat suspensi dengan

konsentrasi 10% yaitu dengan perbandingan 1 gram organ insang dan 9 ml PBS

pH 7.1. Sampel organ yang digunakan berasal dari kode D139, D143 danD144

(sampel asal lapang) dan M628 (isolat KHV asal Balai Besar Karantina Ikan

Makassar). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan sampel mempunyai perbedaan

kuantitas copies DNA dan semikualitas. Secara berurutan, semikualitas dari D139,

D143, D144 dan M628 pada uji nested PCR adalah 229 bp, 240 bp, 630 bp dan 630

bp. Nilai semikualitatif tersebut setara dengan kuantitas/jumlah copies DNA yang

mana 229 bp setara 20 copies DNA, 240 bp setara 200 copies DNA dan 630 bp setara

2000 copies DNA.

4.3 Injeksi Suspensi virus KHV 10% pada Ikan Coba

Suspensi virus KHV 10%diinjeksikan pada 5 ekor ikan coba dari

masing-masing kelompok. Injeksi tersebut dilakukan secara intra peritoneal sebanyak 0.1

ml/ekor. Suspensi virus KHV dengan kode D144 diinjeksikan untuk kelompok ikan

(38)

1A dan 1B, D143 untuk kelompok 2A dan 2B serta D139 untuk kelompok ikan 3A

dan 3B. Ikan-ikan pada kelompok 4A dan 4B diinjeksi suspensi KHV 10% berkode

M628.

4.4 Diagnosa

Ikan-ikan coba dinyatakan sakit setelah dilakukan 3 macam pemeriksaan

yaitu berdasarkan gejala klinis dan perubahan makroskopis (level 1) serta

pemeriksaan biologi molekuler dengan metode PCR (level 3) (Anonim, 2007).

4.4.1 Gejala Klinis

Secara umum ikan menunjukkan gejala klinis yang hampir sama,

tergantung tingkat keparahannya. Ikan sakit akan mendekati pusat aerasi, mata

cekung, sirip punggung dan ekor ptechiae dan geripis, ikan berada di tepi dan

gerakan menjadi tidak seimbang, lesi pada ekor, lesi pada sisik bahkan mati tanpa

gejala klinis (Gambar 6 dan Tabel 5).

Gambar 6 Ikan menunjukkan gejala klinis suspect KHV: (a) mendekati aerasi, (b) mata cekung, (c) ikan berada di tepi, (d dan e) ikan kohab tertular penyakit dan

(f) gerakan tidak seimbang

c

b

(39)

Tabel 5 Gejala klinis pasca infeksi suspensi virus KHV 10%

Gejala Klinis Kelompok Ikan Coba (Ekor)

1 2 3 4 A B A B A B A B

Mata cekung 2 3 1 4 0 0 2 0

Gerakan lambat 4 4 3 7 0 0 3 0

Gerakan tidak seimbang 2 4 3 5 0 0 2 0

Ikan selalu di tepi akuarum 4 8 3 6 0 0 3 0

Ikan tidak mau makan 4 6 3 7 0 0 1 0

Ikan mati mendadak

tanpa gejala sakit 0 1 0 0 0 0 0 0

4.4.2 Perubahan Makroskopis

Setelah dilakukan nekropsi dan pemeriksaan makroskopis ternyata

ikan-ikan tersebut menunjukkan perubahan makroskopis. Secara umum, perubahan

makroskopis tersebut berupa ptechiae pada ekor, sirip punggung dan sirip dada,

ptechiae dan nekrosis pada ekor, hemmorhagi pada bagian caudal, nekrosis pada

kulit bagian caudal dan ekor, bercak putih ringan pada insang, nekrosis pada

insang dan ptechiae pada ginjal (Gambar 7 dan Tabel 6).

a b c

(40)

Gambar 7 Perubahan makroskopis suspect KHV: (a)ptechiae pada ekor, (b) ptechiae pada sirip punggung, (c) ptechiae dan nekrosis pada ekor, (d)

ptechiae pada sirip dada, (e) hemmorhagi pada bagian caudal, (f)nekrosis pada

kulit bagian caudal dan ekor, (g) bercak putih ringan pada insang, (h) nekrosis pada insang, dan (i) ptechiae pada ginjal

Tabel 6 Perubahan makroskopis pasca infeksi virus KHV 10%

Keterangan

Kelompok Ikan Uji Coba (Ekor)

1 2 3 4

4.4.3 Pemeriksaan Biologi Molekuler dengan Metode Nested PCR

Nested PCR adalah salah satu teknik untuk mendiagnosa suatu penyakit

dengan tingkat sensifitas dan spesifitas yang tinggi. Nested PCR dilakukan 2 kali/

siklus amplifikasi dengan menggunakan 2 pasang primer sehingga dapat

mendeteksi material dalam jumlah sedikit.

Mekanisme kerja dari Nested PCR  adalah memperbanyak potongan DNA

dengan bantuan enzim DNA polymerase dan dua pasang primer. Pasangan

primer pertama akan mengamplifikasi fragmen dengan cara kerja mirip single

PCR atau PCR biasa. Pasangan primer kedua biasanya disebut nested primers

yang berikatan di dalam fragmen DNA (produk PCR) pertama untuk

memungkinkan terjadinya amplifikasi produk PCR yang kedua, yang mana

hasilnya lebih pendek dari primer pertama. Dengan menggunakan nested PCR,

jika ada fragmen yang salah diamplifikasi maka kemungkinan bagian tersebut

diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh primer yang kedua sangat rendah. Dengan

(41)

demikian, nested PCR adalah salah satu teknik PCR yang sangat spesifik dalam

melakukan amplifikasi (http://www.pcrstation.com/nested pcr/).

Pada penelitian ini digunakan metode uji biologi molekuler nested PCR

dengan menggunakn Kit IQ2000TM spesifik terhadap KHV. Pada uji nested PCR

ini dilengkapi dengan 2 pasang primer yang lebih sensitif dan spesifik dalam

mendiagnosa KHV. Namun nested PCR pada prosedur IQ2000TM ini hanya dapat

mendeteksi virus KHV pada batas jumlah copies DNA tertentu. Deteksi virus

KHV dari sampel organ insang sebanyak 20-1000 copies DNA, sampel larva <

1cm sebanyak 20-10.000 copies DNA dan hasil swab sebanyak 20-200 copies

DNA, sedangkan deteksi virus KHV dari sampel DNA plasmid KHV sebanyak 2

copies DNA KHV. Jumlah copies DNA tersebut menentukan sensitifitas dan

spesifisitas dalam deteksi virus KHV (Farming IntelliGene Tech Corp 2010).

Gen target dari primer KIT IQ2000TM KHV adalah 2 pita DNA utama

yaitu pita DNA dengan panjang 229 bp dan atau 440 bp. Namun dapat pula

terbentuk pada panjang 630bp (Farming IntelleGene Tech Corp 2010). Pita DNA

yang tervisualisasi pada 229bp setara dengan 20 copies DNA. Pita DNA yang

tervisualisasi pada 440bp setara dengan 200 copies DNA. Pita DNA yang

tervisualisasi pada 630bp setara dengan 2000 copies DNA (www.iq2000kit.com).

Sunarto (2007) mengungkapkan bahwa pita DNA yang terbentuk pada panjang

630 bp merupakan bentuk visualisasi dari kasus KHV dengan tingkat virulensi

yang sangat tinggi.

Pada penelitian ini, visualisasi dari produk PCR terlihat pada pita DNA

kedua yang tersekuensing sebanyak 440 basepare (bp). Yang mana produk PCR

ini merupakan hasil dari amplifikasi primer pertama yaitu forword-1 dan reverse

-1. Setelah amplifikasi dengan primer pertama selesai, amplifikasidilanjutkan oleh

primer kedua yaitu forword-2 dan reverse-2 dan menghasilkan produk PCR kedua

yang tertera pada pita DNA pertama 229 bp. Selanjutnya akhir dari running pada

amplifikasi kedua, primer pertama dan primer kedua tercampur sehingga muncul

pita DNA ketiga yang tersekuensing pada 630bp.

Lima dari 12 sampel organ insang ikan Koi positif KHV, 3 diantaranya

digunakan sebagai stock virus karena mempunyai perbedaan kuantitas dan

(42)

berkode D139, D143, D144 dan M628. Yang mana isolat virus KHV dengan

kode D139 berstatus positif KHV dengan panjang 229bp dan setara dengan 20

copies DNA, D143 berstatus positif KHV dengan panjang 440bp dan setara

dengan 200 copies DNA, dan D144 berstatus positif KHV dengan panjang 630bp

dan setara dengan 2000 copies DNA. Pada virus M628 mempunyai kuantitas dan

semikuantitas sama dengan isolat virus KHV berkode D144. Oleh karenanya

isolat D139 dikategorikan positif (+), isolat D143 dikategorikan positif (++),

isolat D144 dan M628 dikategorikan positif (+++).

Berdasarkan hasil pemeriksaan biologi molekuler dengan metode Nested

PCR, masing-masing kelompok ikan coba menunjukkan hasil elektroforesis uji

nested PCR dengan semikualitas yang berbeda (Gambar 8-15). Diagnosa ikan

terserang penyakit KHV terlihat pada kelompok 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 4A dan

4B yaitu 5/5, 7/10, 5/5, 8/10, 0/5, 0/10, 4/5 dan 0/5 (Tabel 6).

Gambar 8 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 1A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, line K- kontrol negatif, line 1,2,3,4 dan 5 adalah sampel

insang ikan coba positif KHV

Gambar 9 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 1B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,4,6,7,8 dan 10 adalah sampel

insang ikan coba positif KHV, lane 3, 5 dan 9 adalah adalah sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 10 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 2A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,3,4 dan 5 adalah adalah

(43)

sampel insang ikan coba positif KHV

Gambar 11 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 2B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, , lane 1,2,3,5,7,8,9, dan

10 adalah sampel insang ikan coba adalah positif KHV, lane 4 dan 6 adalah adalah sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 12 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 3A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane1,2,3,4 dan 5 adalah adalah

sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 13 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 3B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan 10

adalah adalah sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 14 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 4A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,3,4 dan 5 adalah adalah sampel insang ikan coba positif KHV, lane 2 adalah adalah sampel insang ikan

(44)

Gambar 15 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 4B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,3,4 dan 5 adalah adalah

sampel insang ikan coba negatif KHV

Tabel 7 Hasil pemeriksaan sampel insang dengan metode nested PCR

Kelompok

Ikan Coba Hasil pemeriksaan dengan metode PCR

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Ikan coba yang telah diinjeksi virus KHV10% telah menunjukkan aktivitas

virus KHV dalam tubuh. Bahkan ikan coba yang sakit telah menularkan virus

KHV pada ikan-ikan kohabitasi yang berada dalam satu akuarium. Hal ini terlihat

dengan adanya gejala klinis, perubahan makroskopis dan konfirmasi dari uji

nested PCR. Diagnosa penyakit KHV pada kelompok 1A terdapat 5/5 ekor,

kelompok 1B terdapat 7/5 ekor, 2A terdapat 5/5 ekor, 2B terdapat 8/5 ekor dan 4ª

terdapat 4/5 ekor namun tidak terjadi pada kelompok 3A, 3B dan 4B (Tabel 8).

Tabel 8 Diagnosa Penyakit KHV

Keterangan

Kelompok Ikan (Ekor) 1A 1B 2A 2B 3A 3B 4

∑ikan di diagnosa sakit akibat

penyakit KHV 5/5 7/10 5/5 8/10 0/5 0/10 4/5 0/5

M K+ K- 1 2 3 4 5

333bp  333bp 

(45)

4.5 Patogenesa Penyakit KHV

Transmisi virus KHV melalui kontak langsung dengan ikan terinfeksi,

dengan ekskreta ikan yang terinfeksi dan/ atau dengan air atau lumpur dari ikan

yang terinfeksi. Gejala klinis akan muncul setelah melewati masa inkubasi selama

4-5 hari sejak proses penginfeksian, namun masa inkubasi akan bertambah

panjang tergantung suhu dan faktor lainnya. Setelah virus KHV masuk dalam sel,

virus akan bereplikasi dalam inti sel menyebabkan inti sel membengkak dan

membentuk benda inklusi intra nuclear dan ini dapat digunakan sebagai bahan

diagnose penyakit KHV.

4.6 Cara Penularan KHV

Penyakit KHV ini menyebar melalui kontak langsung antara ikan terjangkit

sakit dan ikan sehat, kontaminasi air, transportasi, dan penanganan seperti pergantian

lingkungan serta fluktuasi temperatur (Sunarto 2005). Pada penelitian ini, kelompok

1B, 2B dan 3B terdiri dari 5 ekor ikan injeksi dan 5 ekor ikan kohabitasi. Setelah

diberi perlakuan suhu ekstrim, ikan-ikan kohabitasi terlihat sakit bahkan kematian

pada hari ke-9 dan ke-11. Hal ini akibat air dalam akuarium terkontaminasi oleh

virus KHV dari ikan yang diinjeksi virus KHV dan/atau kontak langsung . Secara

berurutan kelompok, ada 2/5, 3/5 dan 0/5 ekor ikan kohabitasi terlihat sakit.

4.7 Kualitas Air, Cekaman Suhu dan Stres

Air merupakan media hidup bagi organisme perairan yang sangat

mendukung dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup akuatik. Setiap jenis

ikan memiliki batas toleran yang berbeda-beda dan dinyatakan dengan kisaran

nilai tertentu. Ada beberapa parameter kelayakan perairan yang disebut dengan

kualitas air. Parameter kualitas air ini digolongkan menjadi 2 yaitu secara fisika

dan kimia. Kualitas air tersebut diantaranya adalah pH, suhu, salinitas, oksigen

terlarut (DO), nitrit (NO2), nitrat (NO3) dan amonia (NH3) (Effendi 2003).

4.7.1 Power of hydrogen (pH)

Kualitas air sangat penting dalam budidaya ikan. Air yang kurang baik

akan menyebabkan ikan Koi mudah terserang penyakit. Power of hydrogen (pH)

turut menentukan kesuburan air. Perairan yang alkalis atau netral lebih produktif

daripada yang asam. Perubahan pH biasanya menimbulkan stres pada ikan. Pada

(46)

Menurut Tiara dan Muhananto (2011) bahwa ikan Koi dapat bertahan hidup pada

pH 6,5-8.

4.7.2 Salinitas

Ikan Koi dapat bertahan hidup pada salinitas 2-10 ppt (Effendy 2003).

Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd 1988).

Salinitas mirip dengan klorida adalah klorida, bromida dan iodida. Pada penelitian

ini rata-rata nilai salinitas airnya adalah 0.1 ppt. Hal ini jauh dibawah standar

normal bagi kelayakan hidup ikan Koi.

4.7.3Deplesi oksigen (DO)

Konsentrasi DO atau oksigen terlarut dalam air sangat penting. Deplesi

oksigen dapat menyebabkan ikan mudah terserang penyakit bahkan mati secara

mendadak. Hal ini biasanya diawali dengan anoreksia, hipoksia jaringan,

gangguan pernapasan, dan pingsan (Effendy 2003). Oleh karenanya dalam

pemeliharaan ikan Koi perlu mempertahankan kondisi DO dalam kisaran normal.

Kisaran normal oksigen terlarut untuk ikan Koi adalah 3-5 mg/liter (Tiara dan

Muhananto 2011). Pada penelitian ini menunjukkan rata-rata nilai DO turun

secara moderat yaitu dari 8.36 turun hingga 1.10 mg/liter (Gambar 16).

Gambar 16 Uji kualitas air terhadap deplesi oksigen (DO)

4.7.4 Amonia

Amonia dihasilkan akibat dari proses pemupukan, ekskresi ikan,

dekomposisi mikroba dari komponen nitrogen. Total amonia dalam bentuk NH4+

(47)

(Effendy 2003).. Ikan mampu bertahan hidup pada kualitas amonia 1.37-2.2

mg/liter (UNESCO/WHO/UNEP 1992). Pada penelitian ini, rata-rata kadar

amonia dari setiap akuarium meningkat yaitu antara 0.000 hingga 0.290 mg/liter

sejak ikan menunjukkan gejala klinis dan kematian pada hari ke-7 dan ke-8

(Gambar 17).

Gambar 17 Uji kualitas air terhadap amonia (NH3)

4.7.5 Nitrit (NO2)

Demikian halnya suhu yang tinggi dapat pula meningkatkan asam nitrit

yang bersifat toksik bagi ikan. Saat nitrit diabsorbsi oleh ikan, nitrit akan bereaksi

dengan hemoglobin membentuk methemoglobin. Nitrit akan mengoksidasi ferro

(Fe2+) menjadi ferri (Fe3+). Hal ini meyebabkan darah tidak dapat mengikat

oksigen, sehingga toksisitas nitrit akan menyebabkan penurunan aktivitas

hemogloblin. Toksisitas nitrit disebut methemoglobinaemia (Murray et al. 2000).

Gambar 18 Uji kualitas air terhadap nitrit (NO2) Hari ke-

(48)

Hal ini sebagai akibat dari meningkatnya metabolisme tubuh pada saat

tubuh menghadapi suhu lingkungan yang tinggi. Dekomposisi feses dan sisa

pakan dapat meningkatkan konsentrasi ion nitrit yang akan diurai oleh bakteri

Nitrosomonas. Peningkatan konsentrasi nitrit dipengaruhi juga oleh pH dan

salinitas. Pada konsentrasi DO yang rendah, kadar nitrit akan meningkat (Effendy

2003). Ikan mampu bertahan hidup pada kualitas nitrit 0.06 mg/liter

(UNESCO/WHO/UNEP 1992), Pada penelitian ini, rata-rata kadar nitrit

meningkat dari setiap akuarium dari 0.046 menjadi 1.91 mg/liter (normal 0.06

mg/liter). Kadar nitrit pada hari ikan coba mulai menunjukkan gejala klinis dan

kematian (hari ke-7) adalah 1.662 mg/liter.

4.7.6 Nitrat (NO3)

Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan

merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat merupakan

hasil oksidasi amonia menjadi nitrit yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas,

dan nitrit menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter.

Gambar 19 Uji kualitas air terhadap nitrat (NO3)

Pada penelitian ini, rata-rata kadar nitrat meningkat secara moderat yaitu

dari 0.085 menjadi 1.67 mg/liter (normal 0.2 mg/liter). Tingginya kadar nitrat

melebihi dari standar normal 0,2 mg/liter (eutrofikasi) dalam rentan waktu yang

relatif lama dapat menyebabkan blooming. Di dalam tubuh ikan, nitrat bersifat

tidak toksik, namun konsumsi kadar nitrat yang tinggi dapat menyebabkan

methemoglobinemia.

Gambar

Gambar 2 Proses amplifikasi ekstrak DNA dalam thermocycler
Gambar 6 Ikan menunjukkan gejala klinis suspect(b) mata cekung, (c) ikan berada di tepi, (d dan e) ikan kohab tertular penyakit dan  KHV: (a) mendekati aerasi,  (f) gerakan tidak seimbang
Gambar 7 Perubahan makroskopis suspect KHV: (a)ptechiae pada ekor,
Gambar 8 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 1A: lane M marker, lane
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika suatu graph diberi label pada setiap simpul dan sisi dengan bilangan sebanyak simpul dan sisi, maka graph tersebut mempunyai sifat total sisi ajaib jika label pada setiap sisi

Animasi komputer atau animasi CGI(Computer generated Imagery) ini sendiri merupakan sebuah proses yang digunakan untuk menghasilkan sebuah gambar atau animasi

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, karena hanya dengan kasih karunia rahmad-Nya skripsi yang berjudul: Upaya Peningkatan Pemahaman Denah Dan Peta

pelayanan pendeta terkontrol, pendeta akan termotivasi untuk melayani dengan lebih baik, dapat meminimalisir barbagai persoalan yang berhubungan dengan kinerja pendeta,

Tiga tema utama dari persepsi peran orangtua terkait perawatan anak di PICU yaitu hadir dan berpartisipasi dalam perawatan anak, membentuk kemitraan dengan tim

Bentuk grafik pola distribusi fluks neutron dalam penelitian ini sesuai dengan pola distribusi Poisson yang sesuai dengan statistik Maxwell Boltzmann. Keterbatasan memori komputer dan

Analisa data kandungan logam berat timbal (Pb) diuji secara statistik menggunakan SPSS uji T, masing-masing terhadap : 1) Kandungan logam berat timbal (Pb) air

Demikian Rancangan Awal Rencana Strategis (Renstra) Perubahan Kecamatan Pahandut Kota Palangka Raya Tahun 2018 semoga dapat dijadikan pedoman untuk lebih memacu dalam