• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. KESIMPULAN DAN SARAN

2. Metode Penelitian

3.2.2.1 Identifikasi Koi herpesvirus dari Organ Insang Ikan Koi dengan Metode Nested PCR

Sampel ikan Koi yang diduga sakit akibat serangan KHV diambil dari kolam ikan Koi milik petani. Ikan Koi tersebut dinekropsi dan diambil organ insangnya, kemudian disimpan dalam freezer -80 OC. Untuk membuktikan adanya virus KHV pada sel maka dilakukan pengujian dengan menggunakan metoda PCR

(Gilad et al. 2002; Anonim 2006) dan agar didapatkan produk PCR yang lebih

sensitif dan spesifik maka digunakan metode nested PCR sebagaimana

diungkapkan oleh Srisuvan et al. (2010).

Pada penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan yaitu ekstraksi DNA sampel, amplifikasi DNA, dan analisa hasil PCR. Hasil ekstraksi DNA diamplifikasi menggunakan PCR-KIT IQ2000TM KHV dan dilakukan dengan 2 tahap running pada alat thermocycler.

Running tahap pertama adalah denaturation 94 OC (20 detik), annealing

62 OC (20 detik), extention 72 OC (20 detik), elongasi 72 OC (30 detik) dan 20 OC (30 detik). Running tahap kedua adalah denaturasi 94 OC (20 detik), annealing 60 OC (20 detik), extention 72 OC (20 detik), elongasi pada 72 OC (30 detik) dan 20 OC (30 detik). Running tahap pertama dilakukan sebanyak 15 siklus sedang

running tahap kedua sebanyak 30 siklus (Farming IntelliGene Tech Corp 2010).

Hasil amplifikasi DNA dielektroforesis dengan menggunakan gel agarose 2% dan Ethidium bromida (EtBr) pada100 Voltage selama 40 menit. Menurut Stephenson (2003), molekul DNA dan EtBr akan reaksi dan terpendar dibawah lampu ultraviolet (UV trans-iluminator). Hasil elektroforesis ini dapat divisualisasikan dan dibaca dengan alat geldoc XR.

Gambar 4 Pola standar dan sampel positif dengan PCR-KIT IQ2000 TM KHV: lane (1) standar 1 adalah 2000 copies/reaksi (kontrol positif), (2) standar 2 adalah 200 copies/reaksi (kontrol positif), (3) standar 3 adalah 20 copies/reaksi (kontrol positif), (4) ddH2O, (5) sampel dengan infeksi KHV berat, (6) sampel dengan infeksi KHV ringan, (7) sampel negatif KHV, dan (M) masker 848bp, 630bp, 333bp (www.iq2000kit.com).

Virus KHV dapat diidentifikasi secara kuantitatif dengan menggunakan spektrofotometer nanodrof (Muladno 2010) dan semikualitatif dengan metode

nested PCR. Pada penelitian ini uji nested PCR menggunakan PCR-KIT

kuantitatif yaitu terjadi 20 copies DNA, 200 copies DNA dan 2000 copies DNA (www.iq2000kit.com). Pada identifiksasi secara semikualitatif, tervisualisasi pada 229 bp, 440bp dan 630bp yang mana secara berurutan ini telah tersirat pada band 1, 2 dan 3 (Gambar 4). Identitas marker adalah 333 bp, 630 bp dan 848 bp (Farming IntelliGene Tech Corp, 2010).

3.2.2.2 Ekstraksi Organ dan Pembuatan Suspensi Koi herpesvirus 10%

Insang dari ikan positif Koi herpesvirus diekstraksi dan dibuat suspensi dengan konsentrasi 10%. Yaitu dalam suasana dingin (-4 C), insang diekstraksi dan dilarutkan dalam PBS pH 7,1 dengan perbandingan 1 gram insang dan 9 ml PBS. Larutan tersebut disentrifuse pada 5000 rpm selama 5 menit kemudian suspensinya difilter pada 0,45µm.

3.2.2.3 Infeksi Suspensi Koi herpesvirus 10% pada Ikan Koi Bebas KHV

Ikan yang akan digunakan adalah ikan-ikan bebas KHV. Ikan-ikan yang baru datang diaklimatisasi terlebih dahulu minimal selama 1 minggu, selajutnya dikelompokan menjadi 8 kelompok yaitu 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 3B, 4A dan 4B. Enam kelompok pertama merupakan kelompok ikan perlakuan dan 2 kelompok lainnya adalah kelompok kontrol. Masing-masing 5 ekor ikan pada setiap kelompok diinokulasi dengan suspensi virus KHV 10% sebanyak 0,1 ml secara intra peritoneal namun kelompok 1B, 2B dan 3B diberi 5 ekor ikan kohabitasi tanpa diberi suspensi virus KHV 10%.

3.2.2.4 Perlakuan Suhu Ekstrim

Perlakuan suhu ekstrim ini dilakukan pada 7 kelompok pertama, dan tidak pada kelompok ke-8. Yaitu setelah ikan diinfeksi, ikan-ikan tersebut diberi perlakuan suhu ekstrim yaitu suhu air disuasanakan menjadi 18-19 OC selama 14 jam pada malam hari dan 30-31 OC selama 10 jam pada siang hari. Suhu 18-19 OC dapat dicapai dan dipertahankan dengan cara memasukkan es balok yang dibungkus dalam plastik dan mengganti es balok secara periodik atau 2.5 sampai 3 jam sekali. Agar suhu 30-31 OC dapat dicapai dan dipertahankan, maka dilakukan dengan mengatur jendela ruang Laboratorium Uji Coba BBKI Makassar, sehingga mendapatkan sinar matahari secara tidak langsung.

Tabel 4 Disain cekaman suhu terhadap infeksi virus KHV

Keterangan Kelompok ikan (Ekor)

1 2 3 4 1A 1B 2A 2B 3A 3B 4A 4B

Suspensi virus KHV 10% (630bp) (440bp) (229bp) (630bp)

∑ikan disuntik 0,1 ml IP 5 5 5 5 5 5 5 5

∑ikan kohabitasi 0 5 0 5 0 5 0 0

Cekaman suhu ekstrim

(18-19 C ke/dari 30-31 C) √ √ √ √ √ √ √ -

3.2.2.5 Pengamatan Ikan Coba Berdasarkan Waktu, Diagnosa Penyakit dan Kualitas Air

Ikan yang telah diinjeksi diamati setiap hari selama masa infeksi yaitu 14 hari. Parameter pengamatan ikan yang terinfeksi berdasarkan waktu, diagnosa penyakit dan kualitas air. Diagnosa penyakit berdasar gejala klinis, perubahan makroskopis, dan pemeriksaan biologi molekuler metode nested PCR. Pengukuran kualitas air dilakukan dengan menggunakan alat cecker water quality setiap 2.5 sampai 3 jam sekali. Selain itu kualitas air diukur dengan menggunakan alat spektrofotometer. Cecker waterquality digunakan untuk mengidentifikasi kualitas air berupa pH, suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), sedang spektrofotometer untuk mengetahui kadar nitrit (NO2), nitrat (NO3) dan amonia (NH3).

3.3 Analisa Data

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Identifikasi Koi herpesvirus

Ada 12 sampel ikan Koi yang di duga sakit dan diberi kode sampel yaitu D138, D139, D140, D141, D142, D143, D144, D145, D146, D147, D148 dan D149. Setelah dilakukan pemeriksaan dengan metode PCR ternyata ada 5 dari 12 sampel yang positif terhadap KHV yaitu sampel ikan koi yang diberi kode D139 (lane 2) tertera pada 229bp, D143 (lane 6) tertera 440 bp,D144 (lane 7) tertera pada 630 bp, D147 (lane 10) tertera pada 440 bp dan D149 (lane 12) tertera pada 630 bp (Gambar 5).

Gambar 5 Isolasi dan identifikasi Koi herpesvirus dengan metode PCR (A): lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,3,4,5,8,9 dan

11 adalah sampel insang ikan coba negatif KHV, lane 2, 6, 7, 10 dan 12 adalah sampel positif KHV

4.2 Ekstraksi Organ dan Pembuatan Suspensi Koi herpesvirus 10%

Pada penelitian ini, organ insang diekstraksi dan dibuat suspensi dengan konsentrasi 10% yaitu dengan perbandingan 1 gram organ insang dan 9 ml PBS pH 7.1. Sampel organ yang digunakan berasal dari kode D139, D143 danD144 (sampel asal lapang) dan M628 (isolat KHV asal Balai Besar Karantina Ikan Makassar). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan sampel mempunyai perbedaan kuantitas copies DNA dan semikualitas. Secara berurutan, semikualitas dari D139, D143, D144 dan M628 pada uji nested PCR adalah 229 bp, 240 bp, 630 bp dan 630 bp. Nilai semikualitatif tersebut setara dengan kuantitas/jumlah copies DNA yang mana 229 bp setara 20 copies DNA, 240 bp setara 200 copies DNA dan 630 bp setara 2000 copies DNA.

4.3 Injeksi Suspensi virus KHV 10% pada Ikan Coba

Suspensi virus KHV 10%diinjeksikan pada 5 ekor ikan coba dari masing- masing kelompok. Injeksi tersebut dilakukan secara intra peritoneal sebanyak 0.1 ml/ekor. Suspensi virus KHV dengan kode D144 diinjeksikan untuk kelompok ikan

848 bp 630 bp 333 bp 630bp 440bp 229bp M K+ K- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1A dan 1B, D143 untuk kelompok 2A dan 2B serta D139 untuk kelompok ikan 3A dan 3B. Ikan-ikan pada kelompok 4A dan 4B diinjeksi suspensi KHV 10% berkode M628.

4.4 Diagnosa

Ikan-ikan coba dinyatakan sakit setelah dilakukan 3 macam pemeriksaan yaitu berdasarkan gejala klinis dan perubahan makroskopis (level 1) serta pemeriksaan biologi molekuler dengan metode PCR (level 3) (Anonim, 2007).

4.4.1 Gejala Klinis

Secara umum ikan menunjukkan gejala klinis yang hampir sama, tergantung tingkat keparahannya. Ikan sakit akan mendekati pusat aerasi, mata cekung, sirip punggung dan ekor ptechiae dan geripis, ikan berada di tepi dan gerakan menjadi tidak seimbang, lesi pada ekor, lesi pada sisik bahkan mati tanpa gejala klinis (Gambar 6 dan Tabel 5).

Gambar 6 Ikan menunjukkan gejala klinis suspect KHV: (a) mendekati aerasi, (b) mata cekung, (c) ikan berada di tepi, (d dan e) ikan kohab tertular penyakit dan

(f) gerakan tidak seimbang

c

b

f

Tabel 5 Gejala klinis pasca infeksi suspensi virus KHV 10%

Gejala Klinis Kelompok Ikan Coba (Ekor)

1 2 3 4 A B A B A B A B

Mata cekung 2 3 1 4 0 0 2 0

Gerakan lambat 4 4 3 7 0 0 3 0

Gerakan tidak seimbang 2 4 3 5 0 0 2 0

Ikan selalu di tepi akuarum 4 8 3 6 0 0 3 0

Ikan tidak mau makan 4 6 3 7 0 0 1 0

Ikan mati mendadak

tanpa gejala sakit 0 1 0 0 0 0 0 0

4.4.2 Perubahan Makroskopis

Setelah dilakukan nekropsi dan pemeriksaan makroskopis ternyata ikan- ikan tersebut menunjukkan perubahan makroskopis. Secara umum, perubahan makroskopis tersebut berupa ptechiae pada ekor, sirip punggung dan sirip dada,

ptechiae dan nekrosis pada ekor, hemmorhagi pada bagian caudal, nekrosis pada

kulit bagian caudal dan ekor, bercak putih ringan pada insang, nekrosis pada insang dan ptechiae pada ginjal (Gambar 7 dan Tabel 6).

a b c

Gambar 7 Perubahan makroskopis suspect KHV: (a)ptechiae pada ekor, (b) ptechiae pada sirip punggung, (c) ptechiae dan nekrosis pada ekor, (d)

ptechiae pada sirip dada, (e) hemmorhagi pada bagian caudal, (f)nekrosis pada

kulit bagian caudal dan ekor, (g) bercak putih ringan pada insang, (h) nekrosis pada insang, dan (i) ptechiae pada ginjal Tabel 6 Perubahan makroskopis pasca infeksi virus KHV 10%

Keterangan

Kelompok Ikan Uji Coba (Ekor)

1 2 3 4

A B A B A B A B

Lesi putih pada insang 0 1 2 0 0 0 3 0

Nekrosis pada insang 4 7 4 8 0 0 3 0

Nekrosis pada sirip

punggung 1 0 0 2 0 0 1 0

Nekrosis pada sirip ekor 4 5 2 5 0 0 1 0

Lesi pada kulit 0 1 0 0 0 0 0 0

Ptechiae pada ginjal 0 1 1 0 0 0 0 0

4.4.3 Pemeriksaan Biologi Molekuler dengan Metode Nested PCR

Nested PCR adalah salah satu teknik untuk mendiagnosa suatu penyakit

dengan tingkat sensifitas dan spesifitas yang tinggi. Nested PCR dilakukan 2 kali/ siklus amplifikasi dengan menggunakan 2 pasang primer sehingga dapat mendeteksi material dalam jumlah sedikit.

Mekanisme kerja dari Nested PCR  adalah memperbanyak potongan DNA dengan bantuan enzim DNA polymerase dan dua pasang primer. Pasangan primer pertama akan mengamplifikasi fragmen dengan cara kerja mirip single

PCR atau PCR biasa. Pasangan primer kedua biasanya disebut nested primers

yang berikatan di dalam fragmen DNA (produk PCR) pertama untuk

memungkinkan terjadinya amplifikasi produk PCR yang kedua, yang mana hasilnya lebih pendek dari primer pertama. Dengan menggunakan nested PCR, jika ada fragmen yang salah diamplifikasi maka kemungkinan bagian tersebut diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh primer yang kedua sangat rendah. Dengan

demikian, nested PCR adalah salah satu teknik PCR yang sangat spesifik dalam melakukan amplifikasi (http://www.pcrstation.com/nested pcr/).

Pada penelitian ini digunakan metode uji biologi molekuler nested PCR dengan menggunakn Kit IQ2000TM spesifik terhadap KHV. Pada uji nested PCR ini dilengkapi dengan 2 pasang primer yang lebih sensitif dan spesifik dalam mendiagnosa KHV. Namun nested PCR pada prosedur IQ2000TM ini hanya dapat mendeteksi virus KHV pada batas jumlah copies DNA tertentu. Deteksi virus KHV dari sampel organ insang sebanyak 20-1000 copies DNA, sampel larva < 1cm sebanyak 20-10.000 copies DNA dan hasil swab sebanyak 20-200 copies

DNA, sedangkan deteksi virus KHV dari sampel DNA plasmid KHV sebanyak 2

copies DNA KHV. Jumlah copies DNA tersebut menentukan sensitifitas dan

spesifisitas dalam deteksi virus KHV (Farming IntelliGene Tech Corp 2010). Gen target dari primer KIT IQ2000TM KHV adalah 2 pita DNA utama yaitu pita DNA dengan panjang 229 bp dan atau 440 bp. Namun dapat pula terbentuk pada panjang 630bp (Farming IntelleGene Tech Corp 2010). Pita DNA yang tervisualisasi pada 229bp setara dengan 20 copies DNA. Pita DNA yang

tervisualisasi pada 440bp setara dengan 200 copies DNA. Pita DNA yang

tervisualisasi pada 630bp setara dengan 2000 copies DNA (www.iq2000kit.com). Sunarto (2007) mengungkapkan bahwa pita DNA yang terbentuk pada panjang 630 bp merupakan bentuk visualisasi dari kasus KHV dengan tingkat virulensi yang sangat tinggi.

Pada penelitian ini, visualisasi dari produk PCR terlihat pada pita DNA kedua yang tersekuensing sebanyak 440 basepare (bp). Yang mana produk PCR ini merupakan hasil dari amplifikasi primer pertama yaitu forword-1 dan reverse- 1. Setelah amplifikasi dengan primer pertama selesai, amplifikasidilanjutkan oleh primer kedua yaitu forword-2 dan reverse-2 dan menghasilkan produk PCR kedua yang tertera pada pita DNA pertama 229 bp. Selanjutnya akhir dari running pada amplifikasi kedua, primer pertama dan primer kedua tercampur sehingga muncul pita DNA ketiga yang tersekuensing pada 630bp.

Lima dari 12 sampel organ insang ikan Koi positif KHV, 3 diantaranya digunakan sebagai stock virus karena mempunyai perbedaan kuantitas dan semikualitas gen taget KIT PCR IQ2000TM KHV. Stock virus KHV tersebut

berkode D139, D143, D144 dan M628. Yang mana isolat virus KHV dengan kode D139 berstatus positif KHV dengan panjang 229bp dan setara dengan 20

copies DNA, D143 berstatus positif KHV dengan panjang 440bp dan setara

dengan 200 copies DNA, dan D144 berstatus positif KHV dengan panjang 630bp dan setara dengan 2000 copies DNA. Pada virus M628 mempunyai kuantitas dan semikuantitas sama dengan isolat virus KHV berkode D144. Oleh karenanya isolat D139 dikategorikan positif (+), isolat D143 dikategorikan positif (++), isolat D144 dan M628 dikategorikan positif (+++).

Berdasarkan hasil pemeriksaan biologi molekuler dengan metode Nested

PCR, masing-masing kelompok ikan coba menunjukkan hasil elektroforesis uji

nested PCR dengan semikualitas yang berbeda (Gambar 8-15). Diagnosa ikan

terserang penyakit KHV terlihat pada kelompok 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 4A dan 4B yaitu 5/5, 7/10, 5/5, 8/10, 0/5, 0/10, 4/5 dan 0/5 (Tabel 6).

Gambar 8 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 1A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, line K- kontrol negatif, line 1,2,3,4 dan 5 adalah sampel

insang ikan coba positif KHV

Gambar 9 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 1B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,4,6,7,8 dan 10 adalah sampel

insang ikan coba positif KHV, lane 3, 5 dan 9 adalah adalah sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 10 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 2A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,3,4 dan 5 adalah adalah

M K+ K- 3 1 2 4 5 M K+ K- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 3 4 5 2 1 M K+ K- 848bp  630bp  333bp  229bp  630bp  440bp  333bp  630bp  848bp  333bp  630bp  848bp  229bp  440bp  630bp  229bp  440bp  630bp 

sampel insang ikan coba positif KHV

Gambar 11 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 2B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, , lane 1,2,3,5,7,8,9, dan

10 adalah sampel insang ikan coba adalah positif KHV, lane 4 dan 6 adalah adalah sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 12 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 3A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane1,2,3,4 dan 5 adalah adalah

sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 13 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 3B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan 10

adalah adalah sampel insang ikan coba negatif KHV

Gambar 14 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 4A: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,3,4 dan 5 adalah adalah sampel insang ikan coba positif KHV, lane 2 adalah adalah sampel insang ikan

coba negatif KHV M K+ 1 K- 3 2 5 4 6 7 8 9 10 M K+ K- 1 2 3 4 5 M K+ K- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 M K+ K- 1 2 3 4 5 630bp  440bp 229bp 630bp  333bp  848bp  848bp  630bp  333bp  333bp  848bp  630bp  333bp  848bp  630bp  229bp  630bp 440bp 

Gambar 15 Hasil elektroforesis uji nested PCR kelompok 4B: lane M marker, lane K+ kontrol positif, lane K- kontrol negatif, lane 1,2,3,4 dan 5 adalah adalah

sampel insang ikan coba negatif KHV

Tabel 7 Hasil pemeriksaan sampel insang dengan metode nested PCR

Kelompok

Ikan Coba Hasil pemeriksaan dengan metode PCR

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1A + ++ ++ + + 1B + ++ - ++ - +++ + + - + 2A + +++ + ++ ++ 2B ++ +++ + - + - + + + ++ 3A - - - - - 3B - - - - - - - - - - 4A + - + ++ ++ 4B - - - - -

Ikan coba yang telah diinjeksi virus KHV10% telah menunjukkan aktivitas virus KHV dalam tubuh. Bahkan ikan coba yang sakit telah menularkan virus KHV pada ikan-ikan kohabitasi yang berada dalam satu akuarium. Hal ini terlihat dengan adanya gejala klinis, perubahan makroskopis dan konfirmasi dari uji

nested PCR. Diagnosa penyakit KHV pada kelompok 1A terdapat 5/5 ekor,

kelompok 1B terdapat 7/5 ekor, 2A terdapat 5/5 ekor, 2B terdapat 8/5 ekor dan 4ª terdapat 4/5 ekor namun tidak terjadi pada kelompok 3A, 3B dan 4B (Tabel 8). Tabel 8 Diagnosa Penyakit KHV

Keterangan

Kelompok Ikan (Ekor) 1A 1B 2A 2B 3A 3B 4

A 4B

Stock Virus KHV D144 D143 D139 M628

∑ ikan diinjeksi suspensi KHV 10% 5 5 5 5 5 5 5 5

∑ikan kohabitasi 0 5 0 5 0 5 0 0

∑ikan dalam akuarium 5 10 5 10 5 10 5 5

∑ikan di diagnosa sakit akibat

penyakit KHV 5/5 7/10 5/5 8/10 0/5 0/10 4/5 0/5

M K+ K- 1 2 3 4 5

333bp  333bp  333bp 

4.5 Patogenesa Penyakit KHV

Transmisi virus KHV melalui kontak langsung dengan ikan terinfeksi, dengan ekskreta ikan yang terinfeksi dan/ atau dengan air atau lumpur dari ikan yang terinfeksi. Gejala klinis akan muncul setelah melewati masa inkubasi selama 4-5 hari sejak proses penginfeksian, namun masa inkubasi akan bertambah panjang tergantung suhu dan faktor lainnya. Setelah virus KHV masuk dalam sel, virus akan bereplikasi dalam inti sel menyebabkan inti sel membengkak dan membentuk benda inklusi intra nuclear dan ini dapat digunakan sebagai bahan diagnose penyakit KHV.

4.6 Cara Penularan KHV

Penyakit KHV ini menyebar melalui kontak langsung antara ikan terjangkit sakit dan ikan sehat, kontaminasi air, transportasi, dan penanganan seperti pergantian lingkungan serta fluktuasi temperatur (Sunarto 2005). Pada penelitian ini, kelompok 1B, 2B dan 3B terdiri dari 5 ekor ikan injeksi dan 5 ekor ikan kohabitasi. Setelah diberi perlakuan suhu ekstrim, ikan-ikan kohabitasi terlihat sakit bahkan kematian pada hari ke-9 dan ke-11. Hal ini akibat air dalam akuarium terkontaminasi oleh virus KHV dari ikan yang diinjeksi virus KHV dan/atau kontak langsung . Secara berurutan kelompok, ada 2/5, 3/5 dan 0/5 ekor ikan kohabitasi terlihat sakit.

4.7 Kualitas Air, Cekaman Suhu dan Stres

Air merupakan media hidup bagi organisme perairan yang sangat mendukung dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup akuatik. Setiap jenis ikan memiliki batas toleran yang berbeda-beda dan dinyatakan dengan kisaran nilai tertentu. Ada beberapa parameter kelayakan perairan yang disebut dengan kualitas air. Parameter kualitas air ini digolongkan menjadi 2 yaitu secara fisika dan kimia. Kualitas air tersebut diantaranya adalah pH, suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), nitrit (NO2), nitrat (NO3) dan amonia (NH3) (Effendi 2003).

4.7.1 Power of hydrogen (pH)

Kualitas air sangat penting dalam budidaya ikan. Air yang kurang baik akan menyebabkan ikan Koi mudah terserang penyakit. Power of hydrogen (pH) turut menentukan kesuburan air. Perairan yang alkalis atau netral lebih produktif daripada yang asam. Perubahan pH biasanya menimbulkan stres pada ikan. Pada penelitian ini, pH air antara 7-8 dan ini masih berada pada kisaran yang normal.

Menurut Tiara dan Muhananto (2011) bahwa ikan Koi dapat bertahan hidup pada pH 6,5-8.

4.7.2 Salinitas

Ikan Koi dapat bertahan hidup pada salinitas 2-10 ppt (Effendy 2003). Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd 1988). Salinitas mirip dengan klorida adalah klorida, bromida dan iodida. Pada penelitian ini rata-rata nilai salinitas airnya adalah 0.1 ppt. Hal ini jauh dibawah standar normal bagi kelayakan hidup ikan Koi.

4.7.3Deplesi oksigen (DO)

Konsentrasi DO atau oksigen terlarut dalam air sangat penting. Deplesi oksigen dapat menyebabkan ikan mudah terserang penyakit bahkan mati secara mendadak. Hal ini biasanya diawali dengan anoreksia, hipoksia jaringan, gangguan pernapasan, dan pingsan (Effendy 2003). Oleh karenanya dalam pemeliharaan ikan Koi perlu mempertahankan kondisi DO dalam kisaran normal. Kisaran normal oksigen terlarut untuk ikan Koi adalah 3-5 mg/liter (Tiara dan Muhananto 2011). Pada penelitian ini menunjukkan rata-rata nilai DO turun secara moderat yaitu dari 8.36 turun hingga 1.10 mg/liter (Gambar 16).

Gambar 16 Uji kualitas air terhadap deplesi oksigen (DO)

4.7.4 Amonia

Amonia dihasilkan akibat dari proses pemupukan, ekskresi ikan, dekomposisi mikroba dari komponen nitrogen. Total amonia dalam bentuk NH4+

dan NH3 tergantung pada peningkatan pH. NH4+ tersebut bersifat tidak beracun Hari ke-

(Effendy 2003).. Ikan mampu bertahan hidup pada kualitas amonia 1.37-2.2

mg/liter (UNESCO/WHO/UNEP 1992). Pada penelitian ini, rata-rata kadar amonia dari setiap akuarium meningkat yaitu antara 0.000 hingga 0.290 mg/liter sejak ikan menunjukkan gejala klinis dan kematian pada hari ke-7 dan ke-8 (Gambar 17).

Gambar 17 Uji kualitas air terhadap amonia (NH3)

4.7.5 Nitrit (NO2)

Demikian halnya suhu yang tinggi dapat pula meningkatkan asam nitrit yang bersifat toksik bagi ikan. Saat nitrit diabsorbsi oleh ikan, nitrit akan bereaksi dengan hemoglobin membentuk methemoglobin. Nitrit akan mengoksidasi ferro (Fe2+) menjadi ferri (Fe3+). Hal ini meyebabkan darah tidak dapat mengikat oksigen, sehingga toksisitas nitrit akan menyebabkan penurunan aktivitas hemogloblin. Toksisitas nitrit disebut methemoglobinaemia (Murray et al. 2000).

Gambar 18 Uji kualitas air terhadap nitrit (NO2) Hari ke-

Hal ini sebagai akibat dari meningkatnya metabolisme tubuh pada saat tubuh menghadapi suhu lingkungan yang tinggi. Dekomposisi feses dan sisa pakan dapat meningkatkan konsentrasi ion nitrit yang akan diurai oleh bakteri

Nitrosomonas. Peningkatan konsentrasi nitrit dipengaruhi juga oleh pH dan

salinitas. Pada konsentrasi DO yang rendah, kadar nitrit akan meningkat (Effendy 2003). Ikan mampu bertahan hidup pada kualitas nitrit 0.06 mg/liter (UNESCO/WHO/UNEP 1992), Pada penelitian ini, rata-rata kadar nitrit meningkat dari setiap akuarium dari 0.046 menjadi 1.91 mg/liter (normal 0.06 mg/liter). Kadar nitrit pada hari ikan coba mulai menunjukkan gejala klinis dan kematian (hari ke-7) adalah 1.662 mg/liter.

4.7.6 Nitrat (NO3)

Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan

merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat merupakan hasil oksidasi amonia menjadi nitrit yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, dan nitrit menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter.

Gambar 19 Uji kualitas air terhadap nitrat (NO3)

Pada penelitian ini, rata-rata kadar nitrat meningkat secara moderat yaitu dari 0.085 menjadi 1.67 mg/liter (normal 0.2 mg/liter). Tingginya kadar nitrat melebihi dari standar normal 0,2 mg/liter (eutrofikasi) dalam rentan waktu yang relatif lama dapat menyebabkan blooming. Di dalam tubuh ikan, nitrat bersifat tidak toksik, namun konsumsi kadar nitrat yang tinggi dapat menyebabkan

methemoglobinemia.

4.7.7Cekaman Suhu dan Stres

Selain itu, suhu berperan penting sebagai controlling factor. Metabolisme optimal akan terjadi pada suhu yang optimal. Setiap jenis ikan mempunyai batas toleran yang berbeda-beda. Menurut Tiara dan Muhananto (2011) ikan Koi dapat bertahan hidup pada suhu 26-28 C. Namun Effendy (2003) mengatakan bahwa ikan Koi dapat bertahan hidup pada kisaran suhu 8-30ºC, oleh karena ikan Koi dapat dipelihara di seluruh Indonesia, mulai dari pantai hingga daerah pegunungan. Suhu ideal untuk pertumbuhan ikan Koi adalah 15-25ºC. Menurut Tiara dan Murhananto (2011), ikan Koi mudah mengalami stres bila ada perubahan suhu hingga 5ºC dalam tempo singkat walaupun ikan termasuk dalam hewan poikilotermal.

Tinggi rendahnya suhu air sangat mempengaruhi kondisi kualitas air terutama pada kadar amonia dan nitrit. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan kuantitas kadar amonia (NH3). NH3 bersifat toksik sehingga dapat membahayakan

bagi ikan yang berada dalam sistem tersebut. Kadar amonia yang tinggi dapat mempengaruhi permeabelitas ikan terhadap air dan mengurangi konsentrasi ion dalam tubuh, meningkatkan konsumsi oksigen pada jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan darah dalam melakukan transport oksigen. Konsentrasi amonia yang tinggi pada lingkungan menyebabkan eksresi amonia dalam tubuh ikan menurun sehingga kadar amonia dalam darah dan jaringan meningkat. Pertumbuhan ikan akan terhambat bahkan tubuh menjadi peka terhadap penyakit bila ikan berada pada lingkungan dengan konsentrasi amonia yang tinggi secara terus-menerus(Effendy 2003).

Perubahan suhu air secara drastis dapat mempengaruhi homeostatis ikan Koi karena dapat menyebabkan suhu tubuh ikan seringkali berubah-ubah. Pada

Dokumen terkait