• Tidak ada hasil yang ditemukan

CERI TA ANAK DAN HI LANGNYA KARAKTER BANGSA

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 166-171)

Oleh: Sudaryanto

PBSI FKI P Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Abstrak

Dari hari ke hari, bangsa ini terus mengalami kemerosotan kualitas hidup. Salah satu indikatornya ialah dengan merosotnya karakter atau akhlak generasi muda. Mereka dinilai telah melupakan atau mengabaikan sejumlah nilai-nilai luhur, seperti hormat kepada orangtua/ guru, santun, disiplin, bersikap jujur, empati terhadap penderitaan orang lain, dan bertanggung jawab. Pendek kata, generasi muda bangsa ini dianggap tidak memiliki karakter positif.

Seperti bunyi pepatah “Bagai kacang lupa kulitnya”, begitulah kondisi bangsa kita yang karut- marut ini. Melihat realitas itu, kiranya sastra dapat terpanggil untuk ikut membenahinya, salah satunya ialah melalui cerita anak. Mengutip Soekanto SA, penulis cerita anak dan mantan redaktur majalah anak Si Kuncung, cerita anak bisa menanamkan nilai dan moral yang baik seawal mungkin, dan itu bisa menjadi bekal bagi manusia ketika dewasa kelak.

Dengan demikian, cerita anak menjadi sarana penanaman nilai pertama kali dalam satu fase terpenting pertumbuhan manusia (fase anak-anak). Umumnya, pada fase pertumbuhannya, anak- anak lebih menyenangi hal-hal atau cerita yang bersifat imajinatif, alurnya sederhana, dan diambil dari kejadian sehari-hari. Untuk itu, cerita anak yang baik, menurut penulis, ialah memenuhi unsur- unsur tersebut, serta yang tak kalah penting, memberikan nilai-nilai edukatif.

Dalam tulisan singkat ini, penulis mengambil dan menganalisis beberapa cerita anak dari surat kabar, buku, dan majalah anak-anak. Cerita-cerita tersebut dikupas dari segi imajinasi, alur cerita, serta nilai-nilai edukatif atau karakter yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu, harapannya, para pembaca cerita tersebut, khususnya anak-anak, dapat termotivasi untuk berbuat baik, hormat kepada orangtua, disiplin, dan berempati terhadap orang lain.

Berikutnya, para orangtua di rumah dan guru di sekolah dapat mempergunakan cerita-cerita anak ini sebagai bahan memperkaya pelajaran moral atau karakter bagi anak-anak. Harapannya, cerita-cerita anak itu dapat menjadi sarana efektif dalam membentuk karakter anak bangsa saat ini sehingga kualitas hidup bangsa dapat lebih baik dan bermanfaat. Sebagai orangtua dan guru, kita perlu memikirkan hal tersebut.

Kata Kunci: cerita anak, karakter bangsa

A. Pengantar

Tulisan ini saya akan awali dari kegelisahan Soekanto SA (Soedjati Ananda), seorang penulis cerita anak dan mantan redaktur majalah Si Kuncung. “Masya Allah, anak-anak sekarang itu lebih suka main game, nonton TV daripada membaca atau mendengarkan cerita. Anak-anak jadi gelisah,” kata Soekanto16. Saya kira, tak hanya Soekanto yang memiliki kegelisahan semacam itu. Sebagian besar orangtua dan guru saat

16

Dimuat di majalah Tarbawi Edisi Spesial “Belajar dari Para Mahaguru”; wawancara khusus dengan

Soekanto SA (76), penulis cerita anak dan mantan redaktur majalah Si KuncungMembabad Alas Cakrawala

ini juga mengalami kegelisahan seperti Soekanto. Pasalnya, globalisasi yang melanda dunia sekarang ternyata cenderung berdampak negatif bagi perkembangan anak-anak, tak terkecuali para remaja/ pelajar.

Misalnya, baru-baru ini kita mendengar berita tawuran pelajar di Jakarta yang merenggut nyawa dua orang remaja, Alawy Yusianto Putro (siswa SMAN 6 Jakarta) dan Denny Januar (siswa SMA Yayasan Karya 66 Jakarta). Tawuran pelajar merupakan fenomena gunung es dari merosotnya karakter atau akhlak generasi muda. Mereka dinilai telah melupakan, mengabaikan, dan bahkan menghilangkan sejumlah nilai-nilai luhur, seperti hormat kepada orangtua/ guru, santun, disiplin, bersikap jujur, empati terhadap penderitaan orang lain, dan bertanggung jawab.

Padahal, bangsa ini di masa-masa silam lebih dikenal sebagai bangsa yang religius, disiplin, dan beretos kerja keras. Namun, seperti bunyi pepatah bijak, “Bagai kacang lupa kulitnya”, bangsa ini cenderung melupakan nilai-nilai luhur atau karakter yang pernah dimiliki oleh nenek moyang dulu. Walhasil, dari hari ke hari bangsa ini terus mengalami kemerosotan kualitas hidup. Salah satu indikatornya ialah kian merosotnya karakter sebagian masyarakat kita, termasuk generasi muda. Muncul pertanyaan, bagaimana respons dunia sastra, khususnya sastra anak dalam menyikapi realitas tersebut?

Pada hemat saya, sastra anak atau lebih tepatnya cerita anak merupakan salah satu sarana pendidikan bagi anak yang dapat memotivasi perilaku cerdas, berbudi pekerti, santun, serta saling tolong-menolong. Sekaligus menjauhi anak dari sifat tamak, dengki, picik, atau mudah diperdaya. Mengutip Soekanto SA, cerita anak bisa menanamkan nilai dan moral yang baik seawall mungkin, dan itu bisa menjadi bekal bagi manusia ketika dewasa kelak17. Dengan diberikan cerita anak, kelak anak memperoleh pembelajaran untuk membedakan antara yang baik dan jahat; antara yang tulus dan tidak tulus; antara yang rendah hati dan tinggi hati.

Dengan demikian, harapannya cerita anak dapat menjadi sarana penanaman nilai pertama kali dalam satu fase terpenting pertumbuhan manusia (fase anak-anak). Umumnya, pada fase pertumbuhannya, anak-anak lebih menyenangi hal-hal atau cerita yang bersifat imajinatif, alurnya sederhana, dan diambil dari kejadian sehari-hari yang menyentuh hati. Selain itu, yang tak kalah penting dalam cerita anak tersebut memiliki nilai edukatif yang tinggi. Seperti halnya rasa hormat kepada orangtua, persahabatan, empati terhadap sesama, dan saling tolong-menolong.

B. Mengungkai Cerita- cerita Anak Kita

Dalam tulisan sederhana ini, saya akan mengungkai beberapa cerita anak yang dimuat di surat kabar, buku, dan majalah anak. Cerita-cerita anak tersebut dikupas dari segi imajinasi, alur cerita, dan nilai-nilai edukatif atau karakter yang terkandung di dalamnya. Harapannya, para pembaca cerita tersebut, khususnya anak-anak dapat termotivasi untuk berbuat baik, hormat kepada orangtua/ guru, disiplin, dan berempati terhadap orang lain. Adapun judul-judul cerita anak, pengarang, dan sarana publikasinya terjabarkan dalam tabel berikut.

17

Tabel 1

Daftar Judul Cerita Anak, Pengarang, dan Sarana Publikasi

No. Judul Cerita Anak Pengarang Sarana Publikasi

1. Semut Saja Bisa Akur Rita Nuryanti Kedaulatan Rakyat (6-3-2011) 2. Sudah Saya… Rita Nuryanti Kedaulatan Rakyat (20-5-2012) 3. Pak Kebun, Gorengkan Sukun Soekanto SA Orang-orang Tercinta (2005) 4. I bu Jambi Soekanto SA Orang-orang Tercinta (2005) 5. Tangga Menuju Kebahagiaan Rae Sita Patappa Majalah Bobo (25-1-2007) 6. Ronin Pemain Violin Saokat Majalah Bobo (25-1-2007) 7. Telur Emas Eko Cahyono

(Terjemahan)

Majalah Bobo (25-1-2007)

1. I majinasi Cerita Anak

Dari segi imajinasi, cerita-cerita anak yang dipilih dalam tulisan ini sebagian besar diambil dari kejadian sehari-hari, seperti cerita “Semut Saja Bisa Akur”, “Sudah Saya…”, “Pak Kebun, Gorengkan Sukun”, dan “Mamang Sayur”. Apabila imajinasi cerita anak yang dimaksudkan itu berupa daya khayalan atau fantasi yang tinggi, cerita “Tangga Menuju Kebahagiaan”, “Ronin Pemain Violin”, dan “Telur Emas” dapat dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Terlepas dari hal itu, ide semua cerita di atas dapat dikatakan sederhana, tetapi sarat dengan pesan yang tidak menggurui anak-anak.

Dalam cerita “Semut Saja Bisa Akur” karya Rita Nuryanti, misalnya, pertengkaran dua orang sahabat, Puput dan Novi merupakan cerita yang biasa dari kejadian sehari- hari. Namun, narator (pengarang) mengilhamkan salah seorang tokohnya, Puput, dengan melihat semut-semut yang beriringan dari arah berlawanan, saling berdekatan seakan bersalaman. Kemudian, dari relung hatinya, Puput tiba-tiba mendengarkan bisikan, “Semut saja bisa akur!” Dengan teknik semacam itu, menurut hemat saya, pengarang seolah-olah tidak menggurui para pembacanya, khususnya anak-anak.

2. Alur Cerita Anak

Dari segi alur cerita, cerita-cerita anak yang dipilih dalam tulisan ini sebagian besar menggunakan alur maju, meskipun ada satu cerita yang menggunakan alur sorot balik (flashback), seperti cerita “Semut Saja Bisa Akur”. Penggunaan alur maju pada sebagian besar cerita anak ini, menunjukkan bahwa cerita anak yang ditulis lebih menitikberatkan pada pesan moral yang tersirat ketimbang bentuk cerita itu sendiri. Selain itu, cerita anak ditulis dengan disesuaikan tingkat berpikir anak-anak yang masih sederhana dan belum sekompleks remaja atau dewasa. Selain alurnya sederhana, konflik dalam cerita anak biasanya cukup satu kali terjadi dan kemudian memasuki tahap penyelesaian konflik dan penutup.

Sekadar contoh, cerita “Pak Kebun, Gorengkan Sukun” karya Soekanto SA layak dikupas di sini. Cerita itu bermula dari kunjungan anak-anak ke rumah temannya, Nini. Saat itu, Nini tengah bercermin diri di dekat jendela kamarnya, kemudian ia dikagetkan oleh suara teman-temannya itu. Cerita pun mengalir, Nini dan sebelas kawannya bersepeda menuju ke sekolah mereka. Di sana, mereka melihat Pak Kebun yang sedang berada di atas pohon sukun. Pak Kebun akhirnya turun dan menemui Nini dan kawan- kawannya itu. Ternyata Nini dan kawan-kawannya itu membawakan bingkisan untuk Pak

Kebun. Kata Nini, “…Tanda sayang kami semua kepada Bapak yang selalu rajin membersihkan sekolah, membersihkan kelas, menjaga supaya tidak ada pencuri masuk, menjaga supaya kalau kami datang sukun gorengnya sudah masak…”.

Sebagai pembaca, saya menilai bahwa cerita ini menggunakan alur maju, selain kata-katanya mudah dicerna oleh anak-anak, serta yang tak kalah penting, memiliki pesan moral yang cukup baik guna ditanamkan pada diri anak-anak saat ini.

3. Nilai- nilai Edukatif dalam Cerita Anak

Seperti disinggung di awal, cerita anak yang baik selain diambil dari kejadian sehari- hari dan alur ceritanya sederhana, juga mengandung nilai edukatif yang tinggi. Dalam cerita-cerita yang dipilih dalam tulisan ini, hampir sebagian besar memiliki nilai edukatif. Sekadar contoh, kita kupas dua cerita anak di antaranya, “Mamang Sayur” karya Soekanto SA, dan “Tangga Menuju Kebahagiaan” karya Rae Sita Patappa.

Cerita “Mamang Sayur” mengisahkan seorang tukang sayur yang biasa disapa Mang Sayur. Disapa demikian, karena tokoh tersebut orang Sunda dan setiap kali bertutur dengan para pelanggannya menggunakan kata-kata bahasa Sunda, seperti “Poho deui

nya?” (“Lupa lagi, ya?”), “Awis pisan” (“Mahal sekali”), dan “Buntut naon ieu teh, mang?” (“Buntut apa ini, mang?”). Selaku narator, Soekanto SA menggambarkan sosok Mang Sayur yang mudah tersenyum kepada siapa pun. Meski terlihat agak bodoh, tetapi ia ternyata teliti dalam menghitung harga sayur-sayuran yang dijualnya. Selain itu, sayuran yang dijual oleh Mang Sayur selalu pilihan, yang baik-baik. Nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam cerita ini ialah agar kita selalu ramah kepada siapa pun, teliti dalam bekerja, jujur, serta berbuat yang terbaik demi orang lain.

Selanjutnya, cerita “Tangga Menuju Kebahagiaan” mengisahkan seorang saudagar kaya raya yang bernama Divo. Meski kaya raya, saudagar Divo tidak bahagia. I a memiliki ambisi ingin lebih kaya lagi dan takut tidak memiliki umur panjang dalam menikmati hartanya yang berlimpah. Ketidakbahagiaannya itu ia ceritakan kepada pembantunya Logi. Logi pun lantas menyarankan agar tuannya mencari tangga kebahagiaan. Singkat cerita, Divo pun tersadarkan oleh perkataan Logi bahwa dengan berbuat baik, maka kita bisa abadi di hati semua orang. Pula dengan bersyukur, kita akan bahagia bagai memiliki harta berlipatganda, juga akal kita lebih penting daripada kesaktian dan harta. Kata-kata tokoh Logi itulah nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam cerita ini.

C. Penutup

Menyimak uraian di atas, kiranya tidaklah berlebihan agar para orangtua di rumah dan guru di sekolah dapat mendayagunakan cerita-cerita anak ini sebagai bahan memperkaya pelajaran moral atau karakter bagi anak-anak. Harapannya, melalui pendayagunaan cerita-cerita anak ini anak-anak akan memperoleh pembelajaran budi pekerrti, selain juga menjadi sarana efektif dalam pembentukan karakter anak bangsa saat ini sehingga kualitas hidup bangsa dapat lebih baik di masa-masa mendatang.

Saya percaya apabila sejak dini anak-anak dikenalkan dengan cerita anak yang menyentuh hati dan memiliki nilai edukatif tinggi, kelak hidupnya dapat memiliki integritas yang kuat, serta karakter-karakter positif yang berguna bagi dirinya dan terutama orang lain (baca: masyarakat). Sebagai orangtua dan guru, rasa-rasanya kita perlu memikirkan hal tersebut, serta yang tak kalah penting memberikan keteladanan dan memberi

motivasi anak-anak kita agar berperilaku cerdas, berbudi pekerti, bersahaja, saling tolong- menolong dengan tulus, serta menjauhi sifat-sifat yang negatif. Waallahu a’lam.[ ]

Daftar Pustaka

Ananda, Soekanto Soedjati. 2005. Orang-orang Tercinta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Tarbawi. tt. “Soekanto SA (76), Penulis Cerita Anak dan Mantan Redaktur Si Kuncung;

Membabad Alas Cakrawala Pengetahuan.” Edisi Spesial “Belajar dari Para Mahaguru”. Jakarta: Tim Redaksi Tarbawi.

Perempuan Menjadi Korban Zamannya: Sebuah

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 166-171)