• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.4. Pembahasan

4.4.1 Cerita dan Plot

Menurut Eriyanto (2013:16) ada dua perbedaan mendasar antara cerita dan plot. Cerita adalah peristiwa yang utuh dari awal hingga akhir. Sementara plot adalah peristiwa yang secara eksplisit ditampilkan dalam teks. Narasi dalam buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965 juga mengalami perbedaan antara apa yang ada di dalam cerita dengan plot yang dipaparkan oleh buku itu.

Pada plot berita Manuver Komandan Baret Merah, narasi langsung diawali dengan lead ―menguasai pasukan khusus, Sarwo Edhie bergerak cepat mengendalikan Jakarta. Dimanfaatkan Soeharto melibas Gerakan 30 September‖. Hal ini menggambarkan bahwa Sarwo adalah orang yang menjadi tokoh sentral dalam narasi berita. Peristiwa kemalangan yang dialami oleh Jenderal Ahmad Yani memicu reaksi Sarwo Edhie untuk mencari pelakunya dan menumpasnya.

Dari hal tersebut muncul penggambaran bahwa Sarwo akan mengemban tugas membereskan perkara ini.

Apalagi dengan ditambahnya plot Gerakan 30 September dan pembentukan Dewan Revolusi yang dideklarasikan oleh Letkol Untung semakin menguatkan bahwa Sarwo adalah orang satu-satunya yang bisa menyelesaikan masalah ini. Ia yang merupakan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) memiliki kekuatan untuk melawan gerakan Untung tersebut.

Dukungan untuk secepatnya menumpas Gerakan 30 September ini disambut oleh Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto. Gabungan kedua pemimpin ini berhasil menumpas massa PKI di RRI dan Kantor Telekomunikasi. Soeharto pun sempat mengirim Sarwo meredam konflik antara tentara di Halim Perdanakusuma. Sarwo Edhie dengan mudah menguasai tanpa perlawanan berarti.

Narasi berlanjut saat Sarwo Edhie diberitahu terjadi penculikan dan penembakan yang dialami oleh Ahmad Yani. Setelah mengetahui hal tersebut dari ajudannya Subardi, ia pun berusaha membantu mencari Jenderal Ahmad Yani lewat pasukan Resimen Para Komando Angkatan (RPKAD). Tahap gangguan terjadi lagi saat Letnan Kolonel Untung menyiarkan Gerakan 30 September di Radio Republik Indonesia (RRI) dan pembentukan Revolusi. Disimpulkan bahwa terjadi kudeta di tubuh angkatan darat yang diduga berkolaborasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Plot berlanjut saat Sarwo menghadap Soeharto untuk mencari bantuan. Soeharto akhirnya memerintahkan tentaranya untuk bergerak menyerbu RRI dan

Kantor Telekomunikasi yang saat itu dikuasai oleh Pemuda Rakyat—organisasi kepemudaan Partai Komunis Indonesia. Kemenangan mudah berhasil diraih. Dua kantor komunikasi tersebut dapat diraih kembali di tangan Angkatan Darat Indonesia yang dipimpin oleh Soeharto.

Narasi berlanjut saat Sukarno dilarikan dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma ke Istana Bogor beserta sejumlah pejabat negara. Sarwo Edhie berusaha mengamankan kontak senjata antara aparat tentara yang terjadi di Halim. Ia pun bertemu Sukarno dan saat itu pula Sukarno menitipkan surat untuk pemberhentian kontak senjata antara tentara supaya pertempuran pun reda. Kepahlawanan Sarwo menyelesaikan konflik yang terjadi semakin terbuktikan.

Narasi berita ini ditutup pada saat 3 Oktober pagi anggota polisi bernama Sukitman ditemukan oleh RPKAD dan Resimen Tjakrabirawa di Lubang Buaya. Sukitman sebelumnya diculik oleh tentara namun berhasil melarikan diri. Saat ditemukan awalnya ia tak mau memberitahu lokasi para jenderal yang hilang. Namun setelah Sarwo Edhie memintanya pentingnya untuk segera memberitahu lokasi para jenderal yang hilang, ia pun memberitahunya ada di Lubang Buaya. Saat ditemukan jenazah yang berada di dalam sumur terjadi penundaan penggalian lubang mayat oleh Sarwo Edhie. Selain butuh tabung agar tak terkena gas beracun, Sarwo menyuruh pengangkatan ditunda karena Soeharto akan menyaksikan keesokan harinya.

Dalam narasi berita Menumpas Sampai ke Akarnya plot dimulai saat Dewan Revolusi oleh Letnan Kolonel Untung di Radio Republik Indonesia yang membuat beberapa daerah bergolak. Salah satunya di Jawa Tengah, militer

pendukung Gerakan 30 September membuat bergerak. Asisten Intelijen Komando Daerah Militer VII/Diponegoro Kolonel Suherman bersama Kolonel Marjono (kepala personel) dan Letkol Usman Sastrodibroto (Kepala Biro Hubungan Sipil-Militer) menguasai Kodam VII/Diponegoro. Panglima Kodam Mayor Jenderal Surjosumpeno sempat ditangkap, tapi berhasil kabur menuju ke Magelang, Jawa Tengah. Suherman kemudian mengumumkan pengambilalihan komando di Kodam dan pembentukan Dewan Revolusi Jawa Tengah lewat RRI Semarang. 5 Oktober 1965, semua unit berhasil di bawah kendali Surjosumpeno.

Permasalahan di Jawa Tengah didengar kabarnya di Jakarta. Soeharto kemudian mengumumkan pembatalan pengumuman Untung (Dewan Revolusi). Demi menekan menjalarnya pemberontakan ia mengerahkan pasukan RPKAD di bawah Sarwo Edhie untuk membantu Surjosumpeno di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah, Surjosumpeno bergerak. Ia berhasil merebut lima dari tujuh batalion infanteri. Sebelumnya, batalion tersebut terafiliasi mendukung Gerakan 30 September 1965. Mulai dari Semarang dilanjutkan ke kota-kota di Jawa Tengah Sarwo dan RPKAD meredam gerakan massa pendukung komunis militer. Menghadapi gerakan para pendukung komunis non-militer, selain dengan selebaran informasi, Sarwo Edhie juga banyak bernegosiasi dengan masyarakat untuk bersama menumpas PKI. Sarwo memutuskan mendorong warga sipil anti-komunis membantu. Bantuan tersebut lewat pelatihan singkat dari RPKAD dan kemudian melepas masyarakat untuk menumpas komunis. 7 Desember Sarwo dan RPKAD tiba di Denpasar, Bali. Dengan kedatangan RPKAD, masyarakat Bali seolah-olah mendapat izin membasmi PKI.

Narasi ini ditutup saat akhir Desember, Jawa Tengah dianggap sudah bersih dari PKI. 31 Desember pasukan RPKAD yang bertugas di Jawa Tengah mulai ditarik pulang ke Jakarta. Mereka menutup tugas dengan semacam ―parade kemenangan‖ di seluruh daerah operasinya di Jawa Tengah.

Pada plot berita Tak Ada Tentara, Pemuda Pun Jadi digambarkan bahwa Sarwo adalah pahlawan yang berhasil menemukan cara untuk menumpas masyarakat sipil pendukung PKI di beberapa kota di Jawa Tengah. Plot dimulai saat 20 Oktober 1965, Panglima Kodam Diponegoro Brigen Surjosumpeno memutuskan untuk membekukan semua kegiatan PKI dan organisasi massanya. Hal ini memicu situasi keamanan memburuk, keputusannya membuat daerah basis pendukung PKI bergolak. Kerusuhan pecah di beberapa kota. Hari itu santer beredar kabar bahwa ribuan orang komunis mulai berkumpul, menutup jalan Solo-Yogyakarta deengan menebang pohon dan memutus saluran telepon. Kerusuhan pecah di beberapa kota. Serikat buruh melakukan mogok massal. Pabrik dan jalur transportasi lumpuh.

Plot kemudian berlanjut saat Sarwo Edhie dan pasukannya bergerak cepat dari kota ke kota, memadamkan api yang terus menjalar. Sepekan di Jawa Tengah, Sarwo menghubungi markas besarnya di Jakarta, meminta menambah pasukan. Tidak dapat tambahan pasukan. Karena sebagian besar tentara belum ditarik pulang dari Kalimantan dan Sumatera, setelah diminta bersiap menyerbu Malaysia. Saat itulah Sarwo meminta ijin melatih rakyat sipil untuk mengimbangi massa terorganisasi PKI.

Dokumen terkait