• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Chemical Oxygen Demand (COD)

Banyak zat organik yang tidak mengalami penurunan biologi secara cepat berdasarkan pengujian BOD5 tetapi senyawa-senyawa organik itu tetap menurunkan kualitas air, karena itu perlu diketahui konsentrasi organik dalam limbah dan setelah dan setelah masuk dalam perariran sungai atau danau, untuk itulah dikembangkan uji COD. Pada pengamatan nilai Chemical Oxygen Demand

(COD) di stasiun I berkisar antara 5,12-6,32 mg/l dan di stasiun II berkisar antara 0,77-4,54 mg/l. Sedangkan nilai rata-rata tiap stasiun yang terdapat KJA yaitu 5,68 mg/l dan tidak terdapat KJA yaitu 4,85 mg/l. Nilai COD pada masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 12.

Nilai COD tertinggi terdapat di stasiun I titik sampel 2 yaitu 6,32 mg/l. Nilai COD yang tinggi diduga disebabkan adanya penumpukan bahan organik yang berasal dari kegiatan KJA yang padat di daerah tersebut. Sesuai dengan pernyataan Octaviana (2007), nilai COD yang tinggi menunjukkan kandungan organik yang tinggi. Nilai COD yang diperoleh pada saat penelitian lebih besar dari nilai BOD5. Menurut Marganof (2007), hal ini disebabkan karena bahan organik yang dapat diuraikan secara kimia lebih besar dibandingkan penguraian secara biologi.

Nilai COD pada kedua stasiun masih di bawah baku mutu menurut UNESCO (1992) diacu oleh Effendi (2003), yaitu nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industi mencapai 60.000 mg/l.

Nilai COD yang terukur setiap stasiun penelitian dapat disimpulkan masih memenuhi standar baku mutu perairan kelas III yang tercantum pada PP No. 82 Tahun 2001 Tentang pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk kegiatan perikanan yaitu masih berada pada kisaran 400 mg/l.

5. Ammonia (NH3-N)

Ammonia merupakan senyawa nitrogen anorganik dan biasanya terdapat dalam bentuk terlarut. Ammonia dalam air permukaan dapat berasal dari alam atau air buangan industri dan penduduk. Pada pengamatan nilai ammonia di

stasiun I berkisar antara 0,28-0,16 mg/l dan di stasiun II berkisar antara 0,12-0,16 mg/l rata-rata tiap stasiun yang terdapat KJA yaitu 0,22 dan tidak

terdapat KJA yaitu 0,14 mg/l. Nilai ammonia pada masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 12.

Nilai ammonia tertinggi didapat pada stasiun 1 titik sampel 2 di daerah padat KJA selama dua kali pengamatan yaitu 0,28 mg/l. Nilai ammonia yang tinggi diduga disebabkan adanya pencemaran bahan organik dari sisa pakan yang terbuang dan sisa metabolisme organisme akuatik di dalam perairan. Menurut Goldman dan Horne (1983) salah satu sumber ammonia di perairan berasal dari ekskresi hewan seperti ikan. Penelitian Djosetiyanto dkk., (2006), menyatakan lebih dari 50% buangan nitrogen ikan berupa ammonia. air.

Nilai ammonia yang tinggi dapat bersifat toksik bagi perairan. Menurut Taufik dkk. (2005), produk utama dari perombakan bahan organik adalah ammonia (NH3) yang pada konsentrasi tertentu akan bersifat toksik terhadap ikan dan terakumulasinya materi organik ini dapat menimbulkan kondisi lingkungan

perairan yang cocok untuk berkembang biaknya berbagai mikroorganisme yang dapat menjadi sumber penyakit .

Nilai ammonia yang terukur setiap stasiun penelitian dapat disimpulkan sudah melewati baku mutu perairan kelas III yang tercantum pada PP No. 82 Tahun 2001 Tentang pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk kegiatan perikanan yaitu 0,02 mg/l. Tingginya kadar ammonia di dalam perairan akan berbahaya bagi perairan seperti yang dinyatakan dalam Effendi (2003), bahwa jika kadar ammonia bebas lebih dari 0,2 mg/l, perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan.

6. Nitrat (NO3-N)

Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil (Bahri, 2006). Pada pengamatan nilai nitrat di stasiun I berkisar antara 0,35-0,77 mg/l dan di stasiun II berkisar antara 0,32-0,45 mg/l rata-rata tiap stasiun yang terdapat KJA yaitu 0,58 mg/l dan tidak terdapat KJA yaitu 0,40 mg/l. Nilai nitrat pada masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 12.

Nilai konsentrasi nitrat rata-rata tertinggi terdapat pada stasiun I titik sampel 2 yaitu 0,77 mg/l dan terendah pada stasiun II titik sampel 2 yaitu 0,32 mg/l. Nilai nitrat yang tinggi berasal dari limbah antropogenik yang masuk ke dalam perairan. Pemberian pakan yang tidak efisien pada budidaya ikan sistem KJA diduga merupakan penyebab meningkatnya konsentrasi bahan organik di perairan. Hal ini sesuai dengan konsentrasi BOD5 tertinggi yang didapat pada lokasi yang sama yaitu 1,6 mg/l. Nilai konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan diduga bahwa

jumlah pakan yang diberikan pada budidaya ikan sistem KJA telah memberikan pengaruh terhadap terjadinya peningkatan konsentrasi nitrat di badan air. Penelitian Ginting (2011), input pakan pada kegiatan budidaya ikan KJA mempunyai kontribusi terhadap pengkayaan nitrat (NO3) dalam badan air dengan koefisien determinasi sebesar 86%. Status tingkat kesuburan perairan Haranggaol Danau Toba berdasarkan kandungan nitrat mengacu kepada Volenweider (1969) diacu oleh Wetzel (1975) pada Tabel 5 pada saat dilakukan penelitian tergolong dalam tingkat kesuburan perairan mesotrofik.

Nilai nitrat yang terukur setiap stasiun penelitian dapat disimpulkan sudah melewati baku mutu perairan kelas III yang tercantum pada PP No. 82 Tahun 2001 Tentang pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk kegiatan perikanan yaitu 0,2 mg/l.

7. Nitrit (NO2-N)

Di perairan alami, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/l dan sebaiknya tidak melebihi 0.06 mg/l (Effendi, 2003). Pada pengamatan nilai nitrit

di stasiun I berkisar antara 0,0015-0,01 mg/l dan di stasiun II berkisar antara 0,0012-0,0043 mg/l rata-rata tiap stasiun yang terdapat KJA yaitu 0,005 mg/l dan

tidak terdapat KJA yaitu 0,003 mg/l. Nilai nitrit pada masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 12.

Nilai konsentrasi nitrit rata-rata tertinggi yaitu 0,013 mg/l terdapat pada stasiun 1 titik sampel 2 yang berada pada daerah pada KJA. Hal ini diperkirakan

banyaknya jumlah pakan yang tidak termakan dan sisa metabolisme. Menurut Hendrawati dkk., (2008), meningkatnya kadar nitrit berkaitan erat dengan bahan organik yang ada pada zona tertentu (baik yang mengandung unsur nitrogen maupun tidak). Selain nitrit kandungan ammonia juga tinggi pada stasiun 1titik sampel 2 yaitu 0,28 mg/l, di permukaan air, nitrit dihasilkan dari proses nitrifikasi senyawa nitrogen karena ketersediaan oksigen yang mencukupi. Menurut Erlania dkk. (2010), nitrit merupakan senyawa yang bersifat toksik terhadap organisme akuatik namun keberadaannya di perairan tidak stabil, karena nitrit merupakan produk peralihan yang dihasilkan dalam proses nitrifikasi amonia menjadi nitrat.

Nilai nitrit yang terukur setiap stasiun penelitian dapat disimpulkan telah melewati baku mutu perairan kelas III yang tercantum pada PP No. 82 Tahun 2001 Tentang pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk kegiatan perikanan yaitu 0,06 mg/l.

8. Fosfat (PO4-P)

Di perairan unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemn, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu, sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor (Effendi, 2003).

Pada pengamatan nilai rata-rata fosfat pada di stasiun I berkisar antara 0,09-0,18 mg/l dan di stasiun II berkisar antara 0,05-0,06 mg/l rata-rata tiap stasiun yang terdapat KJA yaitu 0,134 mg/l dan tidak terdapat KJA yaitu 0,056 mg/l. Nilai fosfat pada masing- masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 12.

Nilai konsentrasi fosfat rata-rata tertinggi berada pada stasiun I titik sampel 2 yaitu 0,18 mg/l dan konsentrasi fosfat rata-rata terendah berada pada stasiun II titik sampel 2. Nilai konsentrasi fosfat yang tinggi di perairan bersumber dari hasil dekomposisi sisa pakan maupun sisa metabolisme ikan pada KJA yang terbuang ke danau. Apabila jumlah pakan yang diberikan pada KJA semakin tinggi maka semakin tinggi juga limbah yang akan terbuang ke badan air baik sebagai limbah pakan maupun limbah sisa metabolisme ikan. Menurut Erlania dkk. (2010), masukan limbah budidaya yang cukup besar ke perairan, baik yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan akibat cara pemberian pakan yang tidak tepat serta buangan metabolisme ikan yang dikeluarkan dalam bentuk ammonia, urin dan bahan buangan lainnya, akan mengakibatkan meningkatnya konsentrasi nitrogen dan fosfor (dalam bentuk fosfat) di perairan.

Nilai fosfat yang terukur pada stasiun yang terdapat KJA dapat disimpulkan sudah melewati baku mutu perairan kelas III yang tercantum pada PP No. 82 Tahun 2001 Tentang pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk kegiatan perikanan yaitu < 0,1 mg/l.

Parameter Mikrobiologi Fecal Coliform (Coli Fecal)

Lingkungan perairan mudah tercemar oleh mikroorganisme patogen (berbahaya) yang masuk dari berbagai sumber seperti pemukiman, pertanian dan peternakan. Bakteri yang umum digunakan sebagai indikator tercemarnya badan air adalah bakteri yang tergolong Escherichia coli, yang merupakan salah satu bakteri yang tergolong coliform dan hidup normal di dalam kotoran manusia dan hewan (Effendi, 2003).

Pada pengamatan nilai rata-rata bakteri coli fecal di stasiun I berkisar antara 8,78–21,5 MPN/100 ml. dan di stasiun II berkisar antara 13,8–22,7 MPN/100 ml. Sedangkan rata-rata tiap stasiun yang terdapat KJA yaitu 16

MPN/100 ml dan tidak terdapat KJA yaitu 17,2 MPN/100 ml . Nilai bakteri

coli fecal t pada masing- masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan data dapat disimpulkan jumlah coli fecal pada dua kali pengamatan titik sampling 1 setiap stasiun baik stasiun yang terdapat Keramba Jaring Apung (KJA) maupun yang tidak terdapat KJA paling tinggi. Hal ini disebabkan karena titik sampling 1 terletak di daerah pinggir danau dimana adanya pemukiman penduduk yang menghasilkan limbah domestik pemukiman penduduk di sekitar pinggir danau sehingga mengandung bahan organik yang cukup tinggi sebagai sumber kehidupan mikroorganisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suriawiria (1993), kehadiran mikroba patogen di dalam air akan meningkat jika jumlah kandungan bahan organik di dalam air cukup tinggi, yang berfungsi sebagai tempat dan sumber kehidupan mikroorganisme. Nilai rata-rata bakteri coli fecal yang diadapat antara stasiun I dan stasiun II tidak menunjukkan perbedaan yang begitu besar, dapat disimpulkan bahwa perairan di Kecamatan Haranggaol Horison baik di stasiun I dan stasiun II mengindikasikan pencemaran limbah domestik di daerah ini masih rendah. Menurut Murtiati (1987) diacu oleh Atmojo (2011), keberadaan bakteri fecal coliform (coli fecal) di lapangan tergantung kesesuaian lingkungan untuk tumbuh dan berkembangbiak. Fluktuasi nilai coli fecal dapat berubah sewaktu-waktu tergantung waktu pada saat pengambilan sampel.

Nilai kandungan bakteri coli fecal yang didapatkan pada penelitian ini, secara umum menggambarkan bahwa kandungan bakteri koliform masih di bawah ambang batas yang diizinkan. Dapat disimpulkan bahwa perairan, Danau Toba Haranggaol masih memenuhi baku mutu perairan kelas III yang tercantum pada PP No. 82 Tahun 2001 Tentang pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk kegiatan perikanan yaitu 2000 MPN/100 ml.

Analisis Kualitas Perairan Danau Toba Kecamatan Haranggaol Horison dengan Menggunakan Metode Storet

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 12. Nilai parameter kualitas air yang terdapat pada Stasiun 1 dan Stasiun 2 menurut Metode Storet secara berturut-turut adalah -29 dan -21. Skor tertinggi terdapat pada Stasiun 1 yaitu pada daerah yang terdapat Keramba Jaring Apung (KJA) dan nilai terendah terdapat pada stasiun 2 sebagai daerah tanpa KJA. Tingginya nilai Storet pada Stasiun 1 dapat disebabkan karena adanya aktivitas budidaya KJA yang memberikan limbah berupa bahan-bahan organik ke dalam perairan. Stasiun 1 memiliki nilai ammonia, nitrat dan fosfat yang lebih tinggi dibandingkan pada daerah daerah tanpa KJA.

Evaluasi kondisi kualitas air di perairan Danau Toba Kecamatan Haranggaol Horison menggunkan metode Storet, dapat disimpulkan status mutu air perairan Danau Toba Kecamatan Haranggaol Horison termasuk ke dalam kelas

C yaitu tercemar sedang dengan skor pada dua stasiun berturut-turut yaitu -29 dan -20. Hal ini diduga adanya beban masukkan berupa limbah dari kegiatan

budidaya dan limbah rumah tangga di sekitar perairan Danau Toba Kecamatan Haranggaol Horison menyebabkan nilai ammonia, nitrat dan fosfat tinggi. Stasiun

2 yang merupakan kontrol juga termasuk ke dalam kelas C. Dari hasil evaluasi dengan menggunakan metode Storet Stasiun 2 nilai ammonia dan nitrat telah melewati baku mutu kualitas air. Hal ini disebabkan terdapat pengaruh dari kegiatan budidaya KJA pada daerah Stasiun 2 walaupun daerah tersebut tidak terdapat kegiatan budidaya KJA.

Kondisi Budidaya Budidaya Sistem Keramba Jaring Apung (KJA) di Kecamatan Haranggaol Horison Danau Toba.

Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan pelaku budidaya ikan KJA di lokasi penelitian, diketahui bahwa KJA yang digunakan adalah KJA yang berbentuk bujur sangkar, dengan ukuran panjang x lebar bervariasi mulai dari 4 m x 4 m dan 5 m x 5 m, kedalaman KJA berkisar 4-5 meter. Pada stasiun 1 yang padat aktivitas KJA terdapat sebanyak 3130 unit KJA dengan luas total lebih kurang 78.250 m2.

Dari pengamatan di lokasi penelitian diketahui pakan yang digunakan dalam sehari pada awal pemeliharaan saat ukuran benih 5-7 cm dengan kepadatan benih sekitar 5000-7000 ekor/ m2 benih yaitu kurang lebih 30 kg/unit/hari. Jumlah pakan akan bertambah pada masa pemeliharaan ikan lebih dari 3 bulan yaitu kurang lebih sekitar 60 kg/unit/hari. Metode pemberian pakan yang diterapkan di daerah KJA Haranggaol yaitu “sistem pompa” yaitu ikan diberi makan

sekenyang-kenyangnya.

Pada umumnya ikan akan dipanen setelah mencapai biomassa rata-rata 600- 800 gram/ekor, dimana untuk mencapai ukuran panen tersebut, biasanya memerlukan waktu pemeliharaan sekitar 6 bulan, tergantung ukuran benih yang ditebar, pemeliharaan, permintaan konsumen, kecukupan modal dan harga pasar.

Manajemen Pengelolaan Perikanan Budidaya Sistem Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba Kecamatan Haranggaol Horison.

Budidaya perikanan dengan sistem Keramba jaring Apung (KJA) berkembang dengan pesat di Danau Toba khususnya Haranggaol. Menurut LPPM USU (2008), menyatakan bahwa potensi budidaya air tawar di Haranggaol, Danau Toba pada tahun 2008 memilki luas daerah yang paling luas daripada daereah lain yaitu 100 Ha. Secara rinci yang merupakan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam penyusunan strategi pengelolaan budidaya ikan sistem KJA di Danau Toba Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun Sumatera Utara saat ini sebagai pendekatan analisis SWOT ditampilkan pada Tabel 13.

Tabel 13. Matriks Hubungan Faktor Internal dan Eksternal yang Merupakan Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman dalam Menyusun Strategi Pengelolaan KJA di Danau Toba Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun Sumatera Utara sebagai Pendekatan untuk Analisis SWOT.

Analisis Faktor Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)

Bentuk perairan sesuai atau mendukung untuk dilakukan kegiatan KJA Kegiatan budidaya

menjadi sumber pendapatan bagi

masayrakat setempat dan PAD Kabupaten

Simalungun.

Potensi areal perairan yang paling luas sebesar 100 Ha untuk kegiatan budidaya perikanan di Danau Toba.

Kuantitas dan kualitas benih.

Belum dilakukan manajemen pemberian pakan yang baik. Jumlah unit KJA yang

sudah terlalu padat.

Strate gi (SO) Strate gi (WO)

Peluang (Opportunity)

Keuntungan usaha menjanjikan.

Tingginya permintaan pasar.

Menjadi salah satu sentra produsen perikanan air tawar khusunya ikan nila dan ikan mas di Sumatera Utara.

Meningkatkan jumlah produksi ikan. Mengembangkan

teknologi KJA yang ramah lingkungan. Menerapkan Cara

Pembudidayaan Ikan yang Baik (CPIB).

Meningkatkan kuantitas dan kualitas benih. Memberikan pakan

sesuai kebutuhan biomassa total. ikan Melakukan pengaturan

kembali tata letak KJA dengan melibatkan pemda dan dinas. - memproduksi ikan yang bebas kontaminan dai bahan pencemar dan penyakit

Strate gi (ST) Strate gi (WT)

Ancaman (Threatment)

Harga pakan semakin mahal

Kualitas air menurun karena limbah KJA Hama dan Penyakit Ikan

Mengantisipasi harga pakan yang semakin mahal

Pengelolaan kualitas air di KJA

Penanggulangan terhadap hama dan penyakit ikan

Pakan murah,

berkualitas dan ramah lingkungan

Penyuluhan/ pembinaan kepada pemilik KJA.

Dari hasil analisa SWOT menghasilkan empat (4) kemungkinan strategi alternatif, yaitu :

1. Strategi SO (Strength and Opportunities), yaitu strategi yang mengoptimalkan kekuatan (strength) untuk memanfaatkan peluang (opportunities)

Kekuatan yang ada dalam pengelolaan kegiatan budidaya ikan sistem KJA ada pada potensi luas areal perairan yang dapat dikembangkan dan pada masyarakat yang mempunyai keinginan untuk mengembangkan usaha budidaya ikan Nila dan ikan Mas, maka strategi yang dapat dilakukan dalam mengelola adalah meningkatkan produksi dan produktivitas dengan memperhatikan tata ruang, menjaga kualitas lingkungan perairan dan mengembangkan teknologi yang berkelanjutan dalam budidaya perikanan sistem KJA.

Peningkatan jumlah produksi ikan dapat dilakukan dengan melakukan sistem budidaya intensif yang berpedoman pada Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) dan ramah lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan penerapan paket teknologi KJA sistem ganda (bertingkat). Dalam Siagian (2010), menyatakan bahwa teknik pemeliharaan dalam KJA dua tingkat yang dinamakan lapis dalam dan lapis luar. Jaring lapis dalam ukurannya lebih kecil untuk memelihara ikan utama seperti ikan Mas sedangkan jaring lapis luar ukurannya lebih besar yang memelihara ikan yang memanfaatkan atau mendapat sisa pakan dari jaring lapis dalam ataupun yang dapat memakan lumut atau organisme yang menempel di jaring seperti ikan Nila. Pakan yang terbuang ke lingkungan diharapkan dapat dimanfaatkan ikan Nila.

KJA sistem ganda dapat menjadi pertimbangan dalam pengembangan KJA yang berkelanjutan di Haranggaol karena dengan strategi ini produksi ikan dalam KJA di lingkungan danau meningkat dan kualitas air diharapkan meningkat

karena sisa pakan yang terbuang ke lingkungan semakin menurun.

2. Strategi WO (Weaknesses and Opportunities), yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan (weaknesses) untuk memanfaatkan peluang (opportunities)

Pemanfaatan peluang yang ada yaitu meminimalkan kelemahan yang dimilki petani yaitu meningkatkan kualitas dan kuantitas benih. Benih yang berkualitas adalah benih yang tahan terhadap penyakit dan cepat pertumbuhannya. Metode pemberian pakan yang diterapkan oleh pembudidaya adalah dengan

“sistem pompa" yaitu ikan diberi pakan terus-menerus sampai ikan berhenti makan. Metode seperti ini belum mengikuti kaidah pemberian pakan berdasarkan

Best Management Practices (Hollingsworth, 2006) yaitu pemberian pakan berdasarkan presentase berat tubuh ikan, dimana presentase kebutuhan pakan menurun dengan semakin bertambahnya bobot ikan. Dalam penelitian Insan dkk., (2005), menyatakan bahwa penggunaan kepadatan tinggi (300 ekor/m3) dan ransum harian 3% dari bobot biomassa ikan sesuai anjuran adalah efisien dengan menghasilkan pakan yang terbuang paling rendah 15,08% dengan konversi pakan 1,74. Pengaturan kembali tata letak KJA berpengaruh pada sirkulasi air. Menurut Mc Ginty dan Rakocy (2005), menyatakan bahwa jarak antar KJA minimal 4,5 meter untuk mengoptimalkan kualitas air.

3. Strategi ST (Strength and Threats), yaitu strategi yang menggunakan kekuatan (strength) untuk mengatasi ancaman (threats)

Strategi pengelolaan jumlah KJA yang meningkat setiap tahun di Haranggaol menghasilkan N dan P yan masuk dan larut ke perairan sehingga dapat menyebabkan eutrofikasi dan penurunan kualitas air untuk peruntukkan kegiatan budidaya. Hal ini memberikan dampak negatif terhadap ikan yang dibudidayakan dalam KJA. Dalam Siagian ( 2010), menyatakan agar budidaya ikan dalam KJA

dapat berkelanjutan maka dilakukan penyebaran ikan pemakan fitoplankton secara rutin pada areal KJA tersebut sehingga dapat memanfaatkan fitoplankton dan

mengkonversikannya menjadi protein ikan, misalnya ikan Nilem (Osteochilus haselti). Cara ini dapat menjadi strategi pengelolaan KJA yang

berkelanjutan di Danau Toba Haranggaol. Strategi pengaturan sirkulasi air dapat mempengaruhi kualitas air di sekitar KJA. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi siklus air antara lain ukuran mata jaring yang digunakan, jarak antar unit KJA, jarak KJA dari pinggir danau, dan kedalaman air pada lokasi KJA. Strategi pengelolaan kualitas pakan yang baik dalam pengelolaan KJA dalam Suhenda dkk. (2003), disebutkan bahwa pakan yang baik untuk pembesaran ikan dalam KJA adalah berbentuk pellet yang tidak mudah hancur, tidak cepat tenggelam serta mempunyai aroma yang merangsang nafsu makan ikan.

4. Strategi WT (Weaknesses and Threats), yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan menghindari ancaman (threats)

Pakan berkualitas, pakan murah, dan pakan ramah lingkungan bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif dari kegiatan budidaya sistem KJA sehingga dapat berkelanjutan. Menurut Siagian (2010), menyatakan bahwa pakan yang berkualitas dapat meningkatkan pertumbuhan ikan, produksi meningkat dan kadar gas buangan ammonia yag masuk ke lingkungan perairan yang dapat menunjang keberlanjutan budiaya ikan dalam KJA. Salah satu cara untuk menekan biaya pakan dalam Utomo dkk., (2005), adalah dengan penggunaan pakan secara efisien baik dalam pemilihan jenis, jumlah, jadwal dan cara pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan ikan. Strategi pengembangan KJA dengan pakan murah yaitu dengan penggantian minyak dan

tepung ikan dengan limbah protein, protein asal tumbuhan dan memanfaatkan minyak nabati dalam pembuatan pakan ikan. Penggantian bahan pembuatan pakan diharapkan dapat mengatasi masalah mahalnya harga pakan. Strategi pengembangan KJA yang ramah lingkungan yaitu dengan penggunaan bahan pakan yang memilki kandungan fosfor rendah sehingga kaar fosfor yang masuk ke perairan dari limbah budidaya berkurang. Strategi lain adalah mengefisiensikan penggunaan protein oleh ikan sehingga kandungan nitrogen yang terbuang dalam feses dan urin menjadi rendah. Dalam Alimuddin (2007) yang diacu oleh Siagian (2009), menyatakan bahwa dengan mencampurkan kalsium monofosfat ke dalam pakan dapat mengefisiensikan pemakaian protein oleh ikan dalam proses metabolisme sehingga buangan protein ke dalam perairan menajdi rendah. Pakan yang ramah lingkungan dapat membuat limbah yang masuk ke dalam perairan

Dokumen terkait