• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

4. Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical Oxygen Demand merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/l. Pengukuran nilai COD akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organic baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004).

5. Nitrogen

Menurut Effendi (2003) menyatakan bahwa nitrogen yang berada di perairan berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ammonia (NH3), ammonium (NH4+), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan molekul nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Ammonia yang terukur di perairan berupa ammonia total (NH3 dan NH4+). Nitrogen berupa protein, asam amino dan urea. Sumber utama nitrogen antropogenik di perairan berasal dari wilayah pertanian yang menggunakan pupuk secara intensif maupun dari kegiatan domestik

Senyawa nitrogen ditemukan pada tumbuhan dan hewan sebagai penyusun protein dan klorofil. Bakteri Azotobacter dan Clostridium serta beberapa jenis alga hijau biru (Blue green algae/Cyanophyta) seperti Anabaena dapat memanfaatkan gas N2 secara langsung dari udara sebagai sumber nitrogen. Meskipun beberapa organisme akuatik dapat memanfaatkan nitrogen dalam bentuk gas, akan tetapi sumber utama nitrogen di perairan bukanlah dalam bentuk gas. Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi ammonia (NH3),

ammonium (NH4+), nitrit (NO2) dan molekul nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea.

Ammonia (NH3)

Ammonia yang terukur di perairan berupa ammonia total (NH3 dan NH4+). Ammonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Ion ammonium adalah bentuk transisinya. Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur, yang dikenal dengan amonifikasi. Proses amonifikasi ditunjukkan dalam persamaan reaksi

N organik + O2  NH3-N + O2  NO2-N+ O2  NO3-N amonifikasi nitrifikasi

Feses dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan ammonia. Sumber lain ammonia di perairan adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri dan domestik (Effendi, 2003).

Nitrit (NO2-N)

Goldman dan Horne (1983), menyatakan bahwa nitrit adalah bentuk antara dari nitrat ke ammonia dan sebaliknya, baik dalam proses oksidasi ammonia menjadi nitrat maupun dalam proses reduksi dari nitrat menjadi gas nitrogen . Pada umumnya nitrit di alam terdapat dalam jumlah yang sangat kecil. Pada kondisi oksigen yang cukup (oxic) nitrit akan berubah menjadi nitrat, sedangkan pada kondisi kurang oksigen (anoxic) nitrit akan berubah menjadi ammonia. Hal ini disebabkan nitrit merupakan nitrogen yang tidak stabil. Status kualitas air berdasarkan kandungan nitrit menurut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Status Kualitas Air Berdasarkan Kandungan Nitrit

No Kadar Nitrit (mg/L) Status Kualitas Air

1 1 > 0,003 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan 2 0,003 – 0,014 Tercemar sedang 3 0,014 > Tercemar berat

Sumber: Schmit (1978) diacu oleh Wardoyo (1989)

Nitrat (NO3-N)

Menurut Davis dan Cornwell (1991) diacu oleh Effendi (2003), menyatakan bahwa nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar ammonium. Kadar nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan teradinya eutrofikasi perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Kadar nitrat dalam air tanah dapat mencapai 100 mg/l. Air hujan memilki kadar nitrat sekitar 0,2 mg/l. Pada perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, kadar nitrat dapat mencapai 1000mg/l. Kadar nitrat untuk keperluan air minum sebaiknya tidak melebihi 10 mg/l. Tingkat kesuburan perarian berdasarkan kandungan nitrat dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Tingkat Kesuburan Perairan Berdasarkan Kandungan Nitrat

No Kadar Nitrat (mg/l) Tingkat Kesuburan

1 ≤ 0,226 Perairan Oligotrofik

2 0,227-1,129 Perairan Mesotrofik 3 1,130-11,250 Perairan Eutrofik Sumber: Volenweider (1969) diacu oleh Wetzel (1975)

6. Fosfat (PO4)

Fosfor merupakan satu diantara beberapa bahan kimia yang keberadaanya sangat penting bagi semua mahluk hidup, terutama dalam pembentukan protein dan transfer energi didalam sel seperti ATP dan ADP. Pada ekosistem perairan, fosfor terdapat dalam bentuk senyawa fosfor, yaitu : 1) fosfor anorganik; 2) fosfor organik dalam protoplasma tumbuhan dan hewan dan 3) fosfor organik terlarut

dalam air, yang terbentuk dari proses penguraian sisa-sisa organisme (Barus, 2004).

Dalam Effendi (2003), menyatakan bahwa fosfat merupakan bentuk fosfor yag dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Karakteristik fosfor sangat berbeda dengan unsur-unsur lain yang merupakan penyususn biosfer karena unsur ini tidak terdapat di atmosfer. Pada kerak bumi, keberadaan fosfor relatif sedikit dan mudah mengendap. Fosfor juga merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, sehingga unsur ini merupakan faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik serta sangat mempengaruhi produktivitas perairan. Di perairan, bentuk unsur fosfor terus berubah secara terus-menerus akibat proses dekomposisi dan sintetis antar bentuk organik dan anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Semua polifosfat mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat. Pada suhu yang mnedekati titik didih, perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat. Hubungan antara ortofosfat dengan kesuburan perairan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hubungan Antara Kandungan Ortofosfat dengan Kesuburan Perairan

No Ortofosfat(mg/L) Krite ria

1 0,003 – 0,01 Perairan Oligotrofik 2 0,011 – 0,03 Perairan Mesotrofik 3 0,031 – 0,1 Perairan Eutrofik Sumber: Wetzel (1979) diacu oleh Effendi (2003)

Parameter Biologi

Lingkungan perairan mudah tercemar oleh mikroorganisme patogen (berbahaya) yang masuk dari berbagai sumber seperti permukiman, pertanian dan peternakan. Bakteri yang umum digunakan sebagai indikator tercemarnya suatu badan air adalah bakteri yang tergolong Escherichia coli , yang merupakan satu diantara beberapa bakteri yang tergolong koliform dan hidup normal di dalam kotoran manusia dan hewan (Effendi, 2003).

Bakteri coliform umumnya digunakan sebagai indikator bakteri untuk kualitas makanan dan air. Coliform banyak ditemukan di dalam tinja dari hewan-hewan berdarah panas, tetapi dapat juga ditemukan di lingkungan perairan, tanah, dan vegetasi. Secara umum coliform itu sendiri tidak mengakibatkan sakit, tetapi mereka mudah berkembang biak dan keberadaannya digunakan untuk menunjukkan bahwa organisme patogen lain juga ada (Atmojo dkk., 2011).

Penelitian Marganof (2007) menyatakan bahwa Hasil analisis kandungan bakteri fecal coliform di perairan danau berkisar antara 68–77 MPN/100 ml, dengan nilai rata-rata 72 MPN/100 ml. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Danau Maninjau mengandung bahan organik yang cukup tinggi sebagai sumber kehidupan mikroorganisme.

Status Kualitas Air Perikanan Budidaya Di KJA

Sistem budidaya perikanan yang dianggap cukup produktif dilakukan di danau adalah sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Usaha budidaya di Keramba Jaring Apung (KJA). yang dilaksanakan oleh masyarakat telah mempengaruhi kondisi perairan. Menurut Barus (2007), menyatakan bahwa hasil analisis

laboratorium terhadap sampel air danau yang diambil pada waktu terjadinya kematian masal ikan mas di perairan Haranggaol Danau Toba pada bulan November 2004 menunjukkan bahwa nilai kelarutan oksigen (DO) telah turun pada nilai yang sangat rendah yaitu sebesar 2,95 mg/l, hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan oksigen sudah sangat terbatas. Selanjutnya nilai BOD Biochemical Oxygen Demand (BOD) sebesar 14 mg/l memberikan indikasi tingginya bahan organik di dalam air. Dalam penelitian Rahmawati (2010), menyatakan bahwa total beban pencemaran fosfor di Danau Toba adalah 1.408.992 kg/tahun.

Penurunan kualitas air danau akibat kegiatan budidaya perikanan terutama di KJA tidak hanya terjadi di Danau Toba. Waduk Cirata memiliki peranan penting dalam pengembangan budidaya ikan mas di dalam Keramba Jaring Apung (KJA) khususnya untuk wilayah Jawa Barat. Potensi waduk ini sebagai media budidaya ikan telah dimanfaatkan dengan cukup baik, bahkan cenderung berlebihan. Pada tahun 1988 jumlah KJA di waduk Cirata hanya 74 unit dengan produksi 32 ton, pada tahun 1996 telah mencapai 15.289 unit dengan produksi sebesar 25.114 ton dan produksi rata-rata 1,74 ton per unit. Pada Desember 2004 tercatat jumlah KJA yang beroperasi di waduk Cirata mencapai 39.690 petak, padahal pada tahun 1996 jumlah petak yang dianjurkan adalah 12.000. Kondisi perairan Waduk Cirata pada saat ini dalam status eutrofik bahkan hipereutrofik, sebagaimana telah diindikasikan oleh Garno dan Adibroto (1999), yang merupakan akibat dari pencemaran bahan organik yang bersumber dari budidaya sistem KJA.

Pengembangan KJA banyak menyumbangkan sisa pakan dan hasil metabolisme ikan yang cenderung meningkatkan unsur hara di dalam perairan

sehingga mempercepat eutrofikasi. Dari unsur hara P saja, KJA di Waduk Cirata diperkirakan memberikan kontribusi 2.474 ton/per tahun. Kondisi perairan waduk yang eutrofik antara lain akan ditandai oleh keadaan blooming alga perairan, anoksia dan perairan menjadi toksik (Komarawidjaja, 2005).

Di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur, KJA umumnya dibuat dengan luas permukaan 7 x 7 m2 dan kedalaman bervariasi antara 3-4 m. KJA dengan luasan tersebut ditargetkan untuk memelihara ikan 3-4 kali dalam setahun dengan produksi pertahunnya sekitar 4 ton ikan Mas (Cyprinus carpio) dan 1,200 ton ikan Nila (Oreochromis nilotica) (Garno, 2002).

Kasus kematian massal ikan-ikan juga terjadi di Danau Maninjau Sumatera Barat. Hal tersebut terjadi akibat terjadinya fenomena up-welling pada akhir Desember 2008 hingga awal 2009. Berdasarkan penelitian, akumulasi bahan organik di dasar perairan dapat menghasilkan senyawa-senyawa toksik melalui proses dekomposisi anaerob. Senyawa toksik tersebut dapat menyebabkan kematian massal ikan jika terjadi proses pembalikan massa air (up-welling). Kegiatan budidaya ikan di Danau Maninjau masih belum dapat digolongkan pada budidaya intensif jika dilihat dari kepadatannya, yakni 50-250 kg/petak dengan ukuran KJA rata-rata 5 m x 5 m x 2,5 m (volume efektif 50 m3). Sedangkan

produksi untuk satu siklus budidaya berkisar antara 14-70 kg/m3/siklus (Erlania, dkk., 2010).

Kasus penurunan kualitas perairan juga terjadi di Waduk PLTA Koto Panjang. Adanya kegiatan masyarakat di DAS waduk, sepadan waduk berupa pertanian, perkebunan dan industri yang meningkat dari tahun ke tahun dapat menyebabkan semakin tingginya beban nutrien yang masuk ke kawasan waduk.

Semakin meningkatnya pemanfaatan waduk uuntuk kegiatan budidaya sistem KJA dengan pemberian pakan yang cukup tinggi yaitu 10 % dari bobot ikan yang dipelihara maka beban limbah organik yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan dari feses masuk ke lingkungan waduk semakin tinggi. Beban limbah organik yang berasal dari luar dan dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA ini akan mempengaruhi parameter kualitas lingkungan perairan, terutama kadar total P dan ketersediaan oksigen terlarut, yang akan mempengaruhi daya dukung perairan (Siagian, 2010).

Limbah KJA adalah limbah organik yang tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosforus, sulfur dan mineral lainnya. Limbah dalam perairan dapat berbentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut . Padatan limbah terendap akan langsung mengendap menuju dasar waduk. sedangkan bentuk lainnya akan tetap berada di badan air, baik di badan air yang aerobik maupun anaerobik. Di lapisan aerobik maupun anaerobik bahan organik limbah KJA tersebut akan menjadi sumber makanan bagi mikroba heterotropik untuk hidup dan berkembang biak (Garno, 2002).

Strategi Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) Di Kecamatan Haranggaol Horison Danau Toba

Budidaya ikan dengan menggunakan keramba merupakan alternative sistem budidaya ikan yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena wilayah perairan lebih luas daripada daratan. Oleh karena itu, strategi pengelolaan kegiatan budidaya sistem Keramba Jaring Apung (KJA) perlu dilakukan agar kegiatan budidaya menghasilkan keuntungan bagi petani ikan dan tetap ramah lingkungan. Strategi pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA)

dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT untuk mengambil keputusan pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) di Kecamatan Haranggaol Horison Danau Toba.

Analisis SWOT adalah suatu cara menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal menjadi langkah-langkah strategi dalam pengoptimalan usaha yang lebih menguntungkan. Dalam analisis faktor-faktor internal dan eksternal akan ditentukan aspek-aspek yang menjadi kekuatan (Strengths), kelemahan (Weakness), kesempatan (Opportunities), dan yang menjadi ancaman (Treathment) sebuah organisasi. Dengan begitu akan dapat ditentukan berbagai kemungkinan alternatif strategi yang dapat dijalankan. Analisis SWOT mempunyai diagram yang terdiri dari 4 kuadran, seperti terdapat pada Gambar 2.: (Rangkuti, 2006).

Gambar 2. Diagram Analisis SWOT Kuadran I Kuadran II Kuadran III Kuadran IV Opportunity Weakness Strength Threath (+,+) progresif (+,-)

Diversifik asi Strategi

(-,-)

Strategi Bertahan

(-,+)

Keterangan Kuadran 1 :

merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Organisasi memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang dapat diterapkan adalah dengan mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif

Kuadran II :

Meskipun menhadapi berbagai macam ancaman, perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara diversifikasi. Kuadran III :

Perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi dilain pihak, dia menghadapi kendala/kelemahan internal. Fokus strategi perusahaan ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik.

Kuadran IV :

Ini merupakan yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai macam ancaman dan kelemahan internal.

Setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh tahap selanjutnya adalah memanfaatkan semua informasi tersebut dalam model-model kuantitatif perumusan strategi. Alat yang dipakai menyusun faktor-faktor strategis adalah Matriks SWOT, seperti yang terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Matriks Analisis SWOT

Strength (S) Weakness (W)

Oppurtunity (O) SO

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

WO

Ciptakan strategi yang meminimalkan

kelemahan untuk memanfaatkan peluang

Threats (T) ST

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi

ancaman

WT

Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman Sumber: Rangkuti (2006) Internal Eksternal

Dokumen terkait