• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ciri-Ciri Sistem Matrilineal di Minangkabau

Dalam dokumen Kedudukan dan peran bundo kanduang (Halaman 29-33)

SISTEM KEKERABATAN MATRILINEAL MINANGKABAU 3.1 Pengertian Sistem Matrilineal di Minangkabau

31 Ngazidja/Grande Comore Comoros/Afrika

3.2 Ciri-Ciri Sistem Matrilineal di Minangkabau

Mengenai ciri-ciri sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli seperti yang diungkapkan oleh Radjab (1969) bahwa ciri-ciri sistem matrilineal adalah sebagai berikut.

1. Keturunan dihitung menurut garis ibu 2. Suku terbentuk menurut garis ibu

3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami) 4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku 5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”,

tetapi jarang sekali dipergunakan

6. Sebaliknya, yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya 7. Perkawinan bersifat matrilokal, yakni suami mengunjungi istrinya 8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakananya

dan saudara laki-laku ibu kepada anak dari saudara perempuan. Ciri-ciri matrilineal menurut Raudha Thaib (2014) pada pelaksanaan FGD (Februari 2014 di Kota Payakumbuh) adalah sebagai berikut.

1. Garis keturunan dihitung menurut garis keturunan ibu 2. Suku anak menurut suku ibu

3. Sako- pusako diwariskan kekemenakan

4. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami tinggal di rumah istri 5. Perkawinan diharuskan ke luar suku (eksogami)

6. Memiliki rasa “sahino samalu, saraso sapareso

Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minagkabau sendiri. Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau:

1. Basuku (bamamak, bakamanakan) 2. Barumah gadang

3. Basasok bajarami 4. Basawah baladang 5. Bapandam pakuburan

6. Batapian tampek mandi

Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan itu dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minangkabau juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbagai persyaratan pula dalam istilah “inggok mancangkam tabang basitumpu”. Artinya orang itu hatus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.

Masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal (nasab ibu). Keturunan diatur berdasarkan garis keibuan (perempuan) dimana seorang akan masuk pada lingkungan kerabat (suku) ibunya, bukan kerabat ayahnya. Seseorang itu sejak kecil hingga berumah tangga tinggal di lingkungkan kerabat ibunya, kecuali laki-laki yang sudah menikah dia akan tinggal di lingkungkan kerabat istrinya. Meskipun demikian, dalam kebudayaan Minangkabau antara laki-laki dan perempuan tidak saling masuk kepada kaum pasangannya, melainkan tetap pada kaumnya masing-masing. Laki-laki dan perempuan dalam sukunya masing-masing mengikuti garis keturunan ibunya sehingga tidak akan pernah terjadi saling memasuki suku. Anak yang lahir nanti secara otomatis mengikuti garis suku ibunya. Hal ini terus berlangsung demikian sehingga keberlangsungan suku masing-masing tetap terjaga. Kuatnya masing-masing pihak dalam keberadaan mereka dalam sukunya masing-masing, seperti yang dianalogikan oleh Raudha Thaib berikut ini (FGD, 21—23 Februari, 2014)

“...Setiap laki-laki dan perempuan Minang punya kaumnya masing-masing. Masing-masing punya sistem manajemennya yang kalau bisa disamakan kaumnya seperti sebuah perusahaan (PT, CV dan sejenisnya), maka perempuan itu pemegang saham terbesar yang letaknya di komisaris utama, sementara laki-laki direksi. Siapa yang jadi direksi yang menentukan adalah komisaris utama. Kalau di sistem materilineal siapa yang akan menjadi penghulu dilihat terlebih dahulu paruiknya. (asalnya dari paruik siapa) ) Perempuan Minangkabau pemegang otoritas sebagai penentu, yang mempunyai saham, rumah gadang, tanah ulayat, gala sako, sedangkan yang laki-laki hanya diberi hak, dan yang diberi hak itu dilihat dalam matrilineal paruik padusi...”

Artinya bahwa antara laki-laki dan perempuan di Minangkabau itu sudah sangat jelas bagaimana posisinya di kaum masing-masing. Sebenarnya, di masyarakat Minangkabau tidak perlu ada istilah menuntut emansipasi atau kesetaraan jender. Kalau pun itu ada disebabkan oleh perempuan itu sendiri yang tidak lagi memahami hal yang sebenarnya.

Banyaknya tuntutan mengenai jender terjadi bukan disebabkan adat Minangkabau yang tidak memberikan tempat seperti yang banyak dituntut akhir-akhir ini. Justru menurut penelitian seorang doktor, ruang atau kedudukan yang diberi adat Minangkabau untuk perempuan telah melebihi dari apa yang dibutuhkan oleh perempuan itu. Sistem matrilineal memiliki berbagai kebaikan dan kelebihan, seperti yang diuraikan Yakub (1995:29) sebagai berikut.

1. Menjunjung tinggi kedudukan kaum perempuan 2. Menjamin eksistensi keturunan

3. Mempertahankan harta pusaka 4. Menghindarkan prostitusi (pelacuran)

5. Membatasi kekuasaan orang yang masuk semenda 6. Menghindarkan keleluasaan suami terhadap istri

7. Menghindarkan kekejaman bapak/ibu tirimeniadakan sistem anak angkat

8. Menghindarkan pengemisan 9. Menghilangkan pengangguran

10. Meniadakan anak-anak yang terlantar atau yatim

Selanjutnya Raudha Thaib (26 Mei 2014) menyebutkan bahwa ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilineal Minangkabau:

1. Pengaturan Harta Pusaka 2. Peran laki-Laki

3. Kaum dan Persukuan

4. Kedudukan dan Peranan Perempuan (Bundo Kanduang)

Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan ujud secara material seperti sawah, ladang, rumah, ternak dan sebagainya. Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda yakni sako dan pusako. Sako adalah milik kaum secara turun temurun yang tidak berbentuk material seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya, tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga.

Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut kaum yang bersangkutan. Jika mereka menganut sistem kelarasan Koto Piliang maka sistem pewarisan sakonya

berdasarkan “patah tumbuah”. Artinya gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan langsung dari penghulu yang memegang gelar itu. Gelar itu tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan apapun juga. Jika mereka menganut sistem kelarasan Bodi Caniago , maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan “hilang baganti”. Artinya jika penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal dunia, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Penggantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.

Pusako adalah milik kaum secara turun temurun yang berbentuk material. Hasil sawah ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya dan rumah gadang menjadi tempat tinggalnya. Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya. Kedudukan harta pusaka terbagi dalam: (1) Pusako Tinggi, harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun menurut garis ibu. Pusaka tinggi tidak boleh digadaikan apalagi dijual kecuali bila keadaan sangat mendesak hanya untuk tiga hal saja pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik tabujua ditangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan. (2) Pusako Randah, harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka randah ini diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh atau hukum Islam.

Laki-laki Minangkabau mempunyai peran yang sangat penting baik di dalam kaum maupun di luar kaum. Peranan laki-laki di dalam kaum dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan. Di dalam kaum laki-laki itu sebagai kemenakan, sebagai mamak dan sebagai penghulu. Di dalam kaum, seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan dan setelah dewasa menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Selanjutnya ia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya dengan sebutan datuk. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya:

Tagak badunsanak mamaga dunsanak Tagak basuku mamaga suku

Tagak ba kampuang mamaga kampuang Tagak ba nagari mamaga nagari

Di luar kaum laki-laki sebagai rang sumando. Laki-laki yang sudah berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau

pendatang di dalam kaum istri. Artinya di sini dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya.

Kaum dan persukuan dibahas lebih luas pada sub judul dibawah ini, sedangkan kedudukan dan peranan perempuan (Bundo Kanduang) dibahas pada Bab. IV.

Dalam dokumen Kedudukan dan peran bundo kanduang (Halaman 29-33)