• Tidak ada hasil yang ditemukan

MISNAH, BK KOTA PAYAKUMBUH

Dalam dokumen Kedudukan dan peran bundo kanduang (Halaman 169-174)

MATRILINEAL MINANGKABAU Oleh

MISNAH, BK KOTA PAYAKUMBUH

Diberikan kepada peneliti langsung tentang masukannya terhadap draf laporan.

RAUDAH

ranji adalah perwujudan eksistensi perkauman yang kuat. Makanya perlu dibuat ranji selengkapnya. Ranji tidak bisa diberitahukan kepada orang lain karena nanti bisa disisipkan nama dia. Oleh karena itu penting membuat ranji, karena penghulu, ulayat, pusako, semua berdasar ranji, karena ranji legalitas perkauman. Peranan ranji di kaum itu adalah penentu harus dibuat agar terlihat tanah ulayat, rumah gadangnyo, siapa ahli warisnya.

Peranan bundo kanduang seperti karambia tumbuah...., banyak yang tidak dipersiakan, dari cara makan, cara berpakaian cara berbicara tidak beradat.

Bedah Buku

Nara Sumber : Hj. Misnah, B.A, S.Sos. Ketua Bundo Kanduang Kota Payakumbuh/ Luak 50

Laporan penelitian oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang, 2014

Judul : KEDUDUKAN DAN PERAN BUNDO KANDUANG DALAM SISTEM KEKERABATAN MATRILINEAL DI LUHAK DAN RANTAU MINANGKABAU

1. Bab 1. Pendahuluan : Latar Belakang pada baris ke 3 setelah kata “ matrilineal” sebaiknya ditambah dengan keterangan : yang pada umumnya masyarakat dunia menganut sistem patrilineal” karena kekhasan tersebut memancing keingintahuan para peneliti.

2. Bab 2 Latar Belakang baris ke 9 tertulis menyebabkan perempuan berkuasa atas harta benda kaum yang dinamakan sebagai “ ambun puruik aluang bunian”.

a. Kata berkuasa diganti dengan kata-kata amat menentukan, sebab di Minaqngkabau bukan perempuan yang berkuasa, akan tetapi yang berkuasa adalah kata mufakat, seperti ungkapan adat : Kamanakan barajo ka mamak, Mamak barajo ka Pangulu, Pangulu barajo ka mufakat, Mufakat barajo ka nan bona, Bona badiri sandirinyo. Minangkabau adalah negeri demokrasi tertua di nusantara.

b. Istilah ambun puruak aluan bunian. Kata ambun diganti dengan kata “amban”. Secara leksikal arti kata ambun=embun. Amban berarti emban, yaitu kain pembebat badan (dada, susu, dan perut); tali pembebat perut pada kuda (KBBI). Dalam Kamus Kecil Bahasa Minangkabau oleh Yunus St. Majolelo istilah amban puro= emban pura. Perbendaharaan, tempat menyimpan benda-benda berharga.

Sakali mambukak puro (pura), duo tigo utang tabayia. Sakali marangkuah dayuang, duo tigo pulau talampau. Ungkapan lainnya amban puruak pegangan kunci. Menurut H. Kamardi Rais Dt. Panjang Simula alm. (Ketua LKAAM Sumbar periode sebelum ini) maksudnya adalah barang berharga tersebut, diamban dan dipuruak-an dalam-dalam agar tidak tercecer, supaya benar-benar kokoh penyimpanannya. Amban puruak aluang bunian, maksudnya adalah peti besar tempat menyimpan benda-benda pusaka, atau benda berharga yang bernilai tinggi. Bunian = baunian, maksudnya peti tersebut sekaligus berfungsi sebagai tempat tidur.

3. Pada Bab 1 : Latar belakang tertulis...hal ini juga sesuai dengan apa yang disebutkan dalam al Qur’an Surat 16 ayat 72. Setelah kami lihat dalam Al Qur’an arti ayat tersebut tidak sesuai dengan narasi yang dikemukakan. Maka sebaiknya diganti saja dengan hadis yang berbunyi “ Annisa u ‘imaadul bilad, iza solahat solahatul bilad, Wa iza fasadat fasadatul bilad”

4. Uraian pada Bab 1, Pendahuluan halaman 5, alinea 1 baris ke 1 sampai dengan ke 16 tumpang tindih dengan uraian pada Bab IV alinea ke 2 baris ke 6 s/d. Ke 21. Maka sebaiknya tulisan pada Pendahuluan dihilangkan karena lebih tepat diletakkan pada Bab IV. 5. Latar Belakang pada Bab 1 agar dipertegas apa-apa yang menjadi

landasan atau penyebab tergeraknya penulis melakukan penelitian, misalnya:

Adanya program dari BPNB untuk melakukan penelitian

Adanya kecemasan pemangku adat dan pemerhati adat budaya akan melunturnya adat budaya Minangkabau yang adi luhung karena gencarnya pengaruh budaya lokal yang negatif.

6. Halaman 3 alinea ke 2 baris ke 12 tertulis bundo kanduang adalah pengantara keturunan, benarnya adalah pengantar keturunan. Kemungkinan salah dalam pengetikan.

7. Halaman 15 tentang asal usul nama Luak limo Puluah, pada baris ke 24 tertulis Luak Limo PuluahKoto. Memang ada penulis-penulis yang memakai nama Koto setelah Limo puluah, seperti dalam Tambo B. Dt Nagari Basa pada terjemahan ke bahasa Indonesia menulis Luak Limo Puluah Koto, dan pada tambonyo dalam bahasa Minang ditulis Luak Limo Puluah Kota. Pada Tambo yang ditulis Dt. Sanggono Dirajo memakai nama Luak Limo Puluah saja, tanpa Koto atau Kota. Kami cenderung memakai nama Luak Limo Puluah dengan alasan asal usul nama tersebut adalah dari 50 kaum yang eksodus dari Luak Tanah Data ke daerah ini setelah beristirahat di padang Ribu-ribu, kemudian luak (berkurang ) 5 kaum. Yang luak adalah jumlah kaum bukan jumlah koto atau kota. 45 kaum yang tersisa dipimpin oleh Pangulunya masing-masing mendirikan koto di daerah kabupetan Limo Puluah Kota dan Kota Payakumbuah sekarang setelah terjadinya pembauran dengan penduduk asliPayo nan Bakumbuah (9 orang nenek muyang). 5 kaum yang memisah dari rombongan kemudian mendirikan nagari yang kemudian dinamakan Rantau 5 Koto (di daerah Kab. 13 Koto Kampar, Riau).

8. Halaman 42 baris ke 16 dan ke 17 tertulis : gadangnyo karano dilambuak, betulnya karano diambak. Mulia karano diambah, betulnyo karano disambah.

9. Halaman 43 s.d 46 agak melebar dari topik penelitian, yaitu mengenai Pangulu. Lebih baik jika dialihkan pada tugas, dan kewajiban Bundo Kanudang, dalam kaum, bukan Pangulu.

Fungsi dan kedudukan Bundo kanduang diistilahkan dengan Sutiang salapan Bundo Kanduang, dan Tugas Kewajibannya 4 macam. Dalam pembahasan ini memang telah dipaparkan sebagiannya saja.

10.Halaman 53 baris ke 18 tertulis istilah “ do biak bondua” betulnya “ dobiak” tanpa spasi.

11.Halaman 62 baris ke 2 dari bawah tertulis istilah Mando Soko “ betulnya adalah mandeh soko atau bundo doko. Soko=sako.

12.Halaman 66 baris ke 13 tertulis pepatah “ capek kaki indak panaruang, ca[ek tangan ondak pamacah. Capek kaki berarti rajin melakukan pekerjaan yang mesti diselesaikan segera tanpa mendatangkan resikko yang menciderai badan. Sedangkan capake tangan berarti suka mengambil barang atau milik orang lain tanpa diketahui orang, alias sado tajulua dijambonyo, sado tacuai diambiaknyo, atau dinamakan juga pancilok yang lihai dalam menggunakan tangannya yang cekatan. Agar maknanya tidak negatif maka selayaknya istilah capek tangan diganti dengan ringan tangan indak pemacah.

13.Halaman 67 baris ke 1 tertulis tau diujuang kato sampai, seharusnya ditulis tau dibayang kato sampai.

14.Halaman 68 menggambarkan kecantikan fisik seorang perempuan yang dituangkan dalam ungkapan. Disini terdapat beberapa kesalahan penulisan sehingga dapat mengubah arti dan dapat mengubah bentuk ungkapan Minang yang telah baku, seperti : talingo jarek tahanan, kaki bak batang padi, jalannyo siganjua lalai, pado maju suruik nan labiah. Betulnya : talingo jarek tatahan, kakinyo bak paruik padi, jalannyo siganjua lalai, pado pai suruik nan labiah.

15.Halaman 71 baris ke 14 tertulis rumahtangga merupakan pendidikan pertama yang didapat oleh seorang anak seperti kata adat, raso dibao naiak, pareso turun artinya pendidikan yang baik harus dimulai di dalam rumahtangga dan keluarga baru dia menjadi orang baik di luar rumah tangga.

Bunyi yang benar dari ungkapan adat tersebut adalah raso dibao naiak, pareso dibao turun.

Penempatan ungkapan tersebut kurang tepat, sebab arti dari ungkapan ini tidaklah seperti yang dipaparkan. Walaupun tulisan tersebut dikutip dari buku pegangan Penghulu, Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan adat di Minangkabau, halaman 95 yang ditulis oleh H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, namun saya merasa

tulisan tersebut perlu dibetulkan, sebab setelah ditelaah lebih lanjut dengan beberapa tokoh adat, terjadi kelainan pemahaman dan penafsiran.

Betulnya adalah : pendidikan di rumahtangga terhadap anak hendaklah mendidikkan sifat nan ampek dalam pergaulan sehari-hari, yaitu raso jo pareso, malu jo sopan.nan raso dibao naiak a utak banak. Pareso dibao turun ka dalam dado. Maksudnya segala sesuatu yang dihadapi hendaklah dipikirkan secara logis dan waras, kemudian melakukan introspeksi diri. Menurut AA. Navis dalam buku Alam Takambang jadi Guru halama 72, menjelaskan bahwa ukuran raso terbagi dua yaitu rasa sakit dan rasa senang. Hukum piciak jangek, sakik dek awak, sakik dek urang, maka hendaklah lamak dek awak katuju dek urang. Sedangkan ukuran pareso atau periksa memakai alua jo patuik. Maksudnya periksalah sesuatu masalah menurut alur yang lazim, tetapi pertimbangkanlah dengan rasa kepantasan (kepatutan), yaitu periksalah dengan hati nurani sendiri. 16.Halaman 74 ungkapan yang dikutip dari buku H. Idrus Hakimy Dt.

Rajo Pangulu kata malabiahi ancak-ancak. Ini berkaitan dengan laku perangai. Ancak-ancak artinya amat bagus. Sedangkan pada sumber lain ada yang menulis malabiahi encak-encak. Arti encak-encak adalah takabur, sombong, merasa super, lupa diri. Jan encak-encak parangai wa ang nak! Bakalabiahan bana komah, dll. Maka kami cenderung pada pemakaian kata encak-encak. Pada baris terakhir tertulis bak lonjak balu dibanam. Betulnya bak lonjak labu dibanamkan.

17. Setelah saya baca sepintas draf laporan ini maka belum tergambar hasil penelitian dari tujuan dan manfaat yang kedua penulisan laporan ini yaitu : sejauh mana kiprah Bundo kanduang dalam menyikapi perubahan yang terjadi dalam masyarakat?

18.Draf laporan penelitian ini belum lengkap, belum ada Penutup, Kesimpulan, saran, dan Sumber Rujukan yang digunakan.

Payakumbuh, 6 Desember 2014

Kok panjang jadikan ukua, nansingkek untuak pambilai, runuk ka poham aka budi. Kok nyampang rotak dek malontua, jo budi baiak tolong pasimpai, Sombah jo simpuah pamanuahi

Dalam dokumen Kedudukan dan peran bundo kanduang (Halaman 169-174)