• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERSPEKTIF TEOR

2.1.1. Remaja

2.1.1.3. Ciri-Ciri Remaja

Ciri-ciri dari remaja dapat dilihat dari perubahan atau perkembangan yang dialami. Santrock (2003) menyatakan bahwa perubahan atau perkembangan dari remaja dilihat melalui tiga aspek, yakni biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Berikut merupakan ciri-ciri dari remaja berdasarkan tiga aspek perkembangan yang dialami :

1. Perkembangan Biologis

Aspek perkembangan biologis remaja yang paling banyak mendapat perhatian yakni terkait tinggi dan berat badan, pertumbuhan kerangka tubuh, fungsi reproduksi, dan perubahan hormonal (Santrock, 2003). Pada masa remaja kebanyakan komponen pertumbuhan tulang dan otot seperti tinggi dan berat badan maupun organ hati dan ginjal mengalami pertumbuhan mengikuti kurva umum. Kemudian pertumbuhan organ reproduksi meningkat dengan lebih tajam pada masa remaja dibandingkan pertumbuhan tinggi dan berat badan. Hal ini karena pengaruh aktifitas kelenjar dan hormonal, dimana pertumbuhan organ reproduksi diatur oleh hormon seks (androgen dan estrogen) sehingga pada awal-awal masa remaja menunjukkan peningkatan aktifitas. Selanjutnya pada masa remaja perkembangan tengkorak kepala, mata, dan telinga juga lebih cepat matang dibandingkan bagian tubuh yang lain. Perkembangan biologis yang cepat pada masa remaja menimbulkan perlu adanya penyesuaian mental serta pembentukan sikap, nilai, dan minat yang baru (Hurlock, 2012).

Masa remaja awal ditandai dengan adanya pematangan seorang anak dan pertumbuhan fisik yang cepat (Batubara, 2010; Ingersoll, 1989; Patterson, 2008). Remaja pada masa ini masih terheran-heran dengan segala perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Remaja pada masa ini juga mudah terangsang secara erotis, dengan dipegang bahunya oleh teman lawan jenis ia sudah dapat berfantasi erotik (Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010). Secara

seksual pada remaja di masa awal ini juga mulai timbul rasa malu (Batubara, 2010). Berdasarkan ciri secara biologis tersebut selanjutnya fokus dari masa remaja awal ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik (Ingersoll, 1989).

Pada remaja madya perubahan tubuh karena pubertas sebagian besar telah selesai (Patterson, 2008). Akan tetapi untuk pertumbuhan tubuh baik pada remaja perempuan atau laki-laki masih terus berlangsung. Pada remaja perempuan pertumbuhan tubuh berlangsung sampai usia 14,5 tahun, sedangkan pada remaja laki-laki pertumbuhan tubuh sampai usia 16 tahun (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Selain itu menarche atau menstruasi pertama pada remaja perempuan masih mungkin terjadi atau baru muncul pada masa usia remaja madya (Papalia, dkk., 2008). Secara seksual remaja usia madya ini juga sangat memperhatikan penampilan (Batubara, 2010).

Pada masa remaja akhir perkembangan secara biologis lebih meningkat lagi, yakni maturitas fisik telah tercapai secara sempurna (Batubara, 2010). Selain itu pada masa remaja akhir ini identitas pribadi dan seksual telah terbentuk dan tidak akan berubah lagi (Batubara, 2010; Ingersoll, 1989; Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010). Remaja-remaja di masa ini juga mulai sering berpenampilan lebih dewasa (Patterson, 2008).

2. Perkembangan Kognitif

Cara berpikir remaja pada umumnya yakni secara operasional formal dimana bersifat abstrak, idealistis, dan logis (Santrock, 2003). Secara idealistis remaja sering berpikir tentang hal-hal yang mungkin terjadi, mereka

memikirkan karakteristik ideal dari diri mereka sendiri, orang lain, dan dunia. Kemudian pemikiran yang bersifat logis yakni remaja mulai berpikir seperti ilmuwan, mereka menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan oleh mereka. Selain itu remaja juga berpikir secara lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak.

Remaja juga merupakan seseorang yang berani mengambil resiko tinggi, hal ini karena egosentrisme yang ada dalam diri mereka (Santrock, 2003). Egosentrisme remaja itu sendiri merupakan meningkatnya kesadaran diri remaja berupa keyakinan bahwa orang lain memiliki perhatian amat besar terhadap perasaan dan keunikan diri mereka sebesar perhatian mereka pada diri sendiri (Santrock, 2003).

Ciri selanjutnya yakni remaja memiliki kapasitas pemrosesan informasi lebih besar, memproses informasi lebih cepat, dan menunjukkan otomatisasi yang lebih besar dalam memproses informasi dibandingkan dengan anak-anak (Santrock, 2003). Tidak hanya itu saja, masa remaja juga merupakan masa meningkatnya pengambilan keputusan seperti terkait masa depan, teman yang akan dipilih, apakah akan melanjutkan kuliah, orang mana yang akan dijadikan pacar, apakah akan melakukan hubungan seksual, dan seterusnya (Santrock, 2003). Dibandingkan dengan anak-anak, remaja cenderung membuat pilihan-pilihan, menelaah situasi dari berbagai sudut pandang, memperkirakan konsekuensi dari suatu keputusan, dan

mempertimbangkan kredibilitas dari setiap informasi yang diperoleh (Mann, Harmoni, & Power, 1989 dalam Santrock, 2003).

Remaja mulai membentuk diri sebagai individu yang unik pada masa remaja awal (Ingersoll, 1989). Mereka mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak, akan tetapi perilaku yang ditunjukkan beberapa kali masih cenderung kekanak-kanakan. Kemampuan verbal mereka juga mulai meningkat, hal ini digunakan sebagai salah satu cara untuk mengekspresikan diri (Batubara, 2010). Selain itu di masa ini pandangan dan pemikiran mereka masih bersifat konkrit, kaku, dan egosentris, melihat orang lain sebagai baik atau buruk, benar atau salah, dan tidak ada toleransi sama sekali untuk hal-hal yang sifatnya ambigu (Ingersol, 1989), serta hanya tertarik pada masa sekarang (belum memikirkan masa depan) (Batubara, 2010).

Pada remaja madya mulai muncul kemampuan berpikir baru, energi dan kemampuan mereka mulai diarahkan untuk mempersiapkan peran sebagai orang dewasa, serta kapasitas intelektual mereka terkait dunia secara tiba-tiba sangat berkembang (Ingersoll, 1989). Selain itu setelah di masa sebelumnya pemikiran remaja masih kaku, pada masa ini mereka mulai mengalami kebingungan-kebingungan harus memilih atau melihat sesuatu dari segi yang mana. Kebingungan disini seperti harus peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis, dan sebagainya (Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010). Disamping itu remaja-remaja di masa ini juga sering menghabiskan energi mereka untuk memikirkan hal- hal yang sifatnya masih konsep, memikirkan apa yang sedang mereka

pikirkan dengan mendalam, atau bahkan menanyakan sesuatu yang sifatnya realita (Ingersoll, 1989). Remaja-remaja di masa ini juga mulai tertarik dengan karir, mereka mulai konsisten dengan cita-citanya (Batubara, 2010), dan dalam membuat keputusan mempertimbangkan tujuan masa depannya (terkait dengan pendidikan) (Ingersoll, 1989).

Pada masa remaja akhir mereka mulai mampu memikirkan ide-ide secara mandiri, mengekspresikan perasaan dengan kata-kata (Batubara, 2010), dan egosentrisme mereka berubah menjadi seimbang antara kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain (Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010). Disamping itu remaja-remaja di masa akhir ini lebih memperhatikan masa depan mereka (Batubara, 2010). Mereka mulai mengkristalkan atau menetapkan tujuan atau karir masa depan mereka (Ingersoll, 1989), konsisten dengan minat mereka, serta sangat memperhatikan peran yang mereka inginkan nantinya di masa depan (Batubara, 2010).

3. Perkembangan Sosial-Emosional

Remaja memiliki sifat kontradiktif di dalam dirinya sehingga memunculkan ketidakstabilan dalam berbagai situasi dan waktu (Santrock, 2003). Ketidakstabilan tersebut seperti pada suatu waktu menjadi seseorang yang ceria kemudian berubah dengan cepat menjadi cemas, bahkan pada beberapa waktu kemudian bisa menjadi sarkastis. Seseorang pada masa remaja juga menjadi lebih introspektif, dimana mereka kadang-kadang

meminta opini dan dukungan dari teman-teman terkait dengan dirinya (Santrock, 2003).

Ciri selanjutnya yakni penampilan fisik merupakan sesuatu yang sangat penting bagi remaja. Penampilan fisik sangat berpengaruh terhadap rasa percaya diri remaja (Santrock, 2003) dan juga penerimaan sosial remaja dengan teman sebayanya (Harter, 1989 dalam Santrock, 2003). Rendahnya rasa percaya diri menimbulkan rasa tidak nyaman secara emosional pada remaja (Damon, 1991 dalam Santrock, 2003). Ketidak nyamanan tersebut dapat bersifat sementara (Damon, 1991 dalam Santrock, 2003) atau bahkan menimbulkan masalah pada remaja seperti depresi, bunuh diri, anoreksia nervosa, delikuensi, atau masalah penyesuaian diri lainnya (Damon & Hart, 1988; Fenzel, 1994; Harter & Marold, 1992; Markus & Nurius, 1986; Pfeffer, 1986 dalam Santrock, 2003).

Kemudian pada masa remaja, teman sebaya berperan sebagai orang yang penting dalam kehidupan remaja (Brown, 2004 dalam Patterson, 2008). Remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya dibandingkan dengan orangtua mereka (Larson & Verma, 1998 dalam Patterson, 2008). Santrock (2003) menyatakan bahwa pada kebanyakan remaja bagaimana mereka dipandang oleh teman sebayanya merupakan aspek yang paling penting dalam kehidupan, apabila remaja dikucilkan oleh teman sebaya maka yang terjadi akan stress, frustasi, dan muncul kesedihan.

Pada masa remaja awal terdapat kepekaan yang berlebihan serta berkurangnya kendali terhadap ego, hal tersebut menyebabkan remaja sulit

mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa (Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010) serta menjadi sangat labil (Batubara, 2010). Selain itu masa remaja awal merupakan masa dimana pertama kalinya seorang remaja berupaya untuk lepas dari ketergantungan dengan orangtua (Ingersoll, 1989). Remaja- remaja di masa ini kadang-kadang juga berperilaku kasar serta kurang hormat kepada orangtua (Batubara, 2010). Selain itu pada masa remaja awal ini terdapat konformitas yang kuat dengan teman sebaya (Ingersoll, 1989) yang kemudian memberikan pengaruh-pengaruh tertentu (Batubara, 2010). Pengaruh dari teman sebaya tersebut antara lain pengaruh terhadap hobi maupun cara berpakaian. Jadi remaja-remaja dalam masa awal ini berusaha membentuk kelompok kemudian cenderung mengikuti apa saja yang ada di dalam kelompok tersebut, seperti bertingkah laku sama, berpenampilan sama, serta memiliki bahasa dan kode isyarat yang sama (Batubara, 2010).

Pada remaja madya jumlah waktu yang dihabiskan bersama keluarga menurun secara drastis (Larson, Richard, Moneta, Holmbeck, & Duckett, 1996 dalam Papalia, dkk., 2008). Mereka sering mengeluh orangtua terlalu ikut campur dalam kehidupannya serta jadi kurang menghargai pendapat dari orangtua (Batubara, 2010). Remaja di masa madya ini juga sangat moody. Selanjutnya remaja usia madya juga banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya yang merupakan figur penting dan berperan dalam kehidupan mereka (Ingersoll, 1989). Mereka selalu berusaha untuk mendapatkan teman baru (Batubara, 2010) dan memiliki kecenderungan mencintai diri sendiri, remaja-remaja di masa madya ini akan sangat senang jika banyak teman yang

menyukai dirinya dan teman-teman tersebut memiliki sifat-sifat yang sama dengan dirinya (Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010). Karena hal tersebut remaja-remaja di masa madya ini sangat memperhatikan kelompok main secara selektif dan kompetitif (Batubara, 2010). Remaja usia madya juga mulai fokus pada penerimaan mereka oleh teman lawan jenis (Batubara, 2010; Ingersoll, 1989). Mereka mulai mempunyai dan sering berganti-ganti pacar (Batubara, 2010).

Selanjutnya pada masa remaja akhir, remaja-remaja ini mulai memunculkan peran sebagai orang dewasa dan lebih bertanggung jawab (Patterson, 2008). Selain itu emosi mereka juga lebih stabil, lebih bisa menghargai orang lain, dan mulai dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan tradisi dan kebiasaan lingkungan (Batubara, 2010). Remaja-remaja di masa ini memiliki keinginan sangat kuat untuk bisa menjadi matang dan diterima di dalam lingkungan, entah itu teman sebaya mereka atau orang- orang dewasa lainnya (Ingersoll, 1989). Karena hal tersebut ego mereka selalu mencari kesempatan untuk dapat bersatu dengan orang lain (Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010).

Dokumen terkait