• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTAR SAUDARA PADA REMAJA YANG TINGGAL TERPISAH DENGAN SAUDARA KANDUNG (STUDI PADA KELUARGA BERCERAI) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTAR SAUDARA PADA REMAJA YANG TINGGAL TERPISAH DENGAN SAUDARA KANDUNG (STUDI PADA KELUARGA BERCERAI) SKRIPSI"

Copied!
675
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTAR SAUDARA PADA REMAJA YANG

TINGGAL TERPISAH DENGAN SAUDARA KANDUNG

(STUDI PADA KELUARGA BERCERAI)

SKRIPSI

Disusun Oleh :

Finy Rachmasari

NIM.111111061

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(2)

HUBUNGAN ANTAR SAUDARA PADA REMAJA YANG

TINGGAL TERPISAH DENGAN SAUDARA KANDUNG

(STUDI PADA KELUARGA BERCERAI)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Universitas Airlangga Surabaya

Disusun oleh :

FINY RACHMASARI

NIM. 111111061

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

(3)
(4)
(5)
(6)

HALAMAN MOTTO

Impossible is nothing.

Ketidakmungkinan di dunia ini tidak ada, selama kita mau terus

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orangtua, keluarga, dan

sahabat terdekat, yang senantiasa mendoakan, memberikan

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin dan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, karunia, serta kemudahan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi Universitas Airlangga Surabaya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Tanpa dukungan, bantuan serta kerjasama dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Seger Handoyo, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.

2. Ibu Primatia Yogi Wulandari, S.Psi., M.Si., psikolog, selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas waktu, ilmu, referensi, masukan serta perhatiannya untuk terus sabar membimbing dan memotivasi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Ibu Margaretha, S.Psi., P.G.Dip. Psych., M.Sc., selaku dosen wali. Terima kasih atas bimbingan dan perhatian yang diberikan sejak awal hingga akhir perkuliahan, serta terima kasih atas motivasi, kepercayaan, dan pembelajaran kepada penulis untuk selalu belajar banyak hal selama kuliah. 4. Ibu Dr.Wiwin Hendriani, terima kasih atas kesediaan waktunya untuk

(9)

5. Ibu Herdina Indrijati, M.Psi., psikolog, terima kasih untuk pembelajaran selama penulis menjadi magangers di PTPP yang membuat penulis jadi siap menghadapi segala tantangan dan lebih bisa mengatur waktu.

6. Bapak Rudi Cahyono, M.Psi., psikolog, terima kasih untuk kepercayaan, motivasi, dan semangat yang diberikan selama di PTPP sehingga penulis banyak belajar dan berani mengembangkan ide-ide kreatif.

7. Seluruh dosen dan karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

8. Seluruh subyek penelitian yang bersedia membantu dan berpartisipasi. Terima kasih atas kesediaan kalian berbagi informasi, tanpa kalian tentu penelitian ini tak akan pernah bisa berjalan.

9. Kedua orangtuaku, Drs. Gatot Dwianto, M.Si dan Rumsari, BA. Terima kasih untuk doa, kasih sayang, dukungan, didikan selama ini, dan fasilitas yang tidak pernah ada habisnya.

10. Segenap keluarga, Mbak Nina dan suami, Mbak Ayu dan suami, adikku Wydan, terima kasih atas dukungan, perhatian, dan saran yang diberikan. Keponakan kecil tante, kakak Daffa, terima kasih untuk senyuman yang selalu diberikan sehingga menjadi penyemangat saat sedang kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini.

(10)

12. Yuni, Firdy, Misian. Terima kasih telah menjadi sahabat selama 13 tahun dan selalu mengerti, memotivasi, meghibur dengan canda tawanya, serta siap mendengarkan segala keluh kesah hingga terselesaikannya skripsi ini. 13. Dinar, Prima, Azmi. Terima kasih rekan senasib sepenanggungan atas

segala bantuan, dukungan, dan kesediaan waktu untuk berbagi selama kuliah maupun penyelesaian skripsi ini.

14. Sarah Rosalina. Terima kasih sahabat sejak masa putih abu-abu atas doa, semangat, dan kesediaan waktu menemani penulis sampai ke luar kota untuk sekedar bertemu dengan partisipan penelitian.

15. Magangers 4.0 PTPP (Brilli, Desty, Silmi, Dinar, Tami, Fitria, Mas Nuril, Dony, Ratih). Terima kasih rek atas segala keriuhan, kisah manis yang kalian berikan, saling dukung untuk menyelesaikan skripsi, saling mengingatkan deadline. Aku akan sangat merindukan kalian, keluarga kecil bahagiaku.

16. Keluarga PTPP, Mbak Ana, Mbak Nurfi, Mbak Dinda, Magangers 3.0, Magangers 5.0. Terima kasih atas segala pelajaran berharga yang diberikan selama di PTPP serta semangatnya agar skripsi ini cepat selesai.

17. Teman-teman Genggoss. Terima kasih sudah membantu dalam pencarian partisipan serta memberikan hiburan dan canda tawa luar biasa ketika penulis sedang tidak bersemangat.

(11)

1000 Guru Surabaya, terima kasih untuk segala pengalaman, semangat dan keceriaan yang selalu diberikan.

19. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuannya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

SURAT PERNYATAAN... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

ABSTRAK ... xxii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Fokus Penelitian ... 16

1.3. Signifikansi dan Keunikan Penelitian ... 17

1.4. Tujuan Penelitian ... 21

1.5. Manfaat Penelitian ... 22

BAB II PERSPEKTIF TEORI 2.1. Kajian Pustaka ... 24

(13)

2.1.1.1. Definisi Remaja ... 24

2.1.1.2. Batasan Usia Remaja ... 25

2.1.1.3. Ciri-Ciri Remaja ... 27

2.1.1.4. Relasi Sosial Remaja ... 35

2.1.2. Perceraian ... 38

2.1.2.1. Definisi Perceraian ... 38

2.1.2.2. Faktor Penyebab Perceraian ... 39

2.1.2.3. Tahapan Perceraian ... 42

2.1.2.4. Dampak Perceraian ... 46

2.1.2.5. Pengaturan Hak Asuh Anak Setelah Perceraian ... 48

2.1.3. Hubungan Antar Saudara ... 55

2.1.3.1. Definisi Saudara ... 55

2.1.3.2. Definisi Hubungan Antar Saudara ... 56

2.1.3.3. Dimensi Hubungan Antar Saudara ... 57

2.1.3.4. Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Antar Saudara ... 61

2.1.3.5. Perkembangan Hubungan antar Saudara ... 65

2.1.3.6. Manfaat Terjalinnya Hubungan Antar Saudara ... 67

2.1.4. Hubungan Antar Saudara pada Remaja yang Tinggal Terpisah dengan Saudara Kandung dengan di Latar Belakangi Perceraian Orangtua ... 69

2.2. Perspektif Teori ... 71

(14)

3.2. Unit Analisis ... 77

3.3. Partisipan Penelitian ... 78

3.4. Teknik Penggalian Data ... 80

3.4.1. Wawancara ... 80

3.5. Teknik Pengorganisasian dan Analisis Data ... 82

3.6. Teknik Pemantapan Kredibilitas Penelitian ... 91

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Tahapan Penelitian ... 94

4.1.1. Tahap Persiapan ... 94

4.1.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 98

4.2. Setting Penelitian ... 101

4.2.1. Lokasi Pengambilan Data ... 101

4.2.1.1. Pengambilan Data Partisipan 1 dan Significant Other Partisipan 1 ... 101

4.2.1.2. Pengambilan Data Partisipan 2 dan Significant Other Partisipan 2 ... 104

4.2.1.3. Pengambilan Data Partisipan 3 dan Significant Other Partisipan 3 ... 107

4.2.2. Profil Partisipan dan Significant Other ... 111

4.2.2.1. Profil Partisipan 1 ... 111

4.2.2.2. Profil Partisipan 2 ... 117

4.2.2.3. Profil Partisipan 3 ... 122

4.3. Hasil Penelitian ... 127

4.3.1. Deskripsi Penemuan ... 127

4.3.1.1. Partisipan 1 (JMM) ... 127

(15)

4.3.1.1.2. Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Antar Saudara ... 154

4.3.1.1.3. Dampak Hubungan Antar Saudara Yang Terjalin ... 158

4.3.1.2. Partisipan 2 (DW) ... 159

4.3.1.2.1. Dimensi Hubungan Antar Saudara ... 159

4.3.1.2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Antar Saudara ... 184

4.3.1.2.3. Dampak Hubungan Antar Saudara Yang Terjalin ... 189

4.3.1.3. Partisipan 3 (CS) ... 191

4.3.1.3.1. Dimensi Hubungan Antar Saudara ... 191

4.3.1.3.2. Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Antar Saudara ... 214

4.3.1.3.3. Dampak Hubungan Antar Saudara Yang Terjalin ... 219

4.3.2. Hasil Analisis Data ... 220

4.3.2.1. Partisipan 1 (JMM) ... 220

4.3.2.1.1. Dimensi Hubungan Antar Saudara Pada Partisipan 1 (JMM) ... 220

4.3.2.1.2. Perubahan Hubungan Antar Saudara Pada Partisipan 1 (JMM) ... 230

4.3.2.1.3. Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Antar Saudara Pada Partisipan 1 (JMM) ... 232

4.3.2.1.4. Dampak Hubungan Antar Saudara Yang Terjalin Pada Partisipan 1 (JMM) ... 234

4.3.2.1.5. Gambaran Hubungan Antar Saudara Beserta Perubahan Dan Keterkaitan Dengan Dampak Serta Faktor Yang Mempengaruhi (Partisipan 1-JMM) ... 235

4.3.2.2. Partisipan 2 (DW) ... 253

(16)

4.3.2.2.2. Perubahan Hubungan Antar Saudara Pada Partisipan 2 (DW) ... 264

4.3.2.2.3. Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Antar Saudara Pada Partisipan 2 (DW) ... 265

4.3.2.2.4. Dampak Hubungan Antar Saudara Yang Terjalin Pada Partisipan 2 (DW) ... 268

4.3.2.2.5. Gambaran Hubungan Antar Saudara Beserta Perubahan Dan Keterkaitan Dengan Dampak Serta Faktor Yang Mempengaruhi (Partisipan 2-DW) ... 270

4.3.2.3. Partisipan 3 (CS) ... 290

4.3.2.3.1. Dimensi Hubungan Antar Saudara Pada Partisipan 3 (CS) ... 290

4.3.2.3.2. Perubahan Hubungan Antar Saudara Pada Partisipan 3 (CS) ... 300

4.3.2.3.3. Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Antar Saudara Pada Partisipan 3 (CS) ... 301

4.3.2.3.4. Dampak Hubungan Antar Saudara Yang Terjalin Pada Partisipan 3 (CS) ... 303

4.3.2.3.5. Gambaran Hubungan Antar Saudara Beserta Perubahan Dan Keterkaitan Dengan Dampak Serta Faktor Yang Mempengaruhi (Partisipan 3-CS) ... 304

4.4. Pembahasan Hubungan Antar Saudara Pada Remaja Yang Tinggal Terpisah Dengan Saudara Kandung (Studi Pada Keluarga Bercerai) ... 327

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 363

(17)
(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Rekapitulasi Kasar Usia Anak Dalam Beberapa Putusan Perceraian

Pengadilan Agama Surabaya Tahun 2015 ... 6

Tabel 3.1 Panduan Kode Manual ... 88

Tabel 4.1 Keterangan Pencarian Partisipan ... 96

Tabel 4.2 Jadwal Pengambilan Data ... 100

Tabel 4.3 Rangkuman Hasil Analisis Data Hubungan antar Saudara pada Partisipan 1 (JMM) ... 246

Tabel 4.4 Rangkuman Faktor yang Mempengaruhi dan Dampak Hubungan antar Saudara pada Partisipan 1 (JMM) ... 251

Tabel 4.5 Rangkuman Hasil Analisis Data Hubungan antar Saudara pada Partisipan 2 (DW) ... 282

Tabel 4.6 Rangkuman Faktor yang Mempengaruhi dan Dampak Hubungan antar Saudara pada Partisipan 2 (DW) ... 287

Tabel 4.7 Rangkuman Hasil Analisis Data Hubungan antar Saudara pada Partisipan 3 (CS) ... 315

Tabel 4.8 Rangkuman Faktor yang Mempengaruhi dan Dampak Hubungan antar Saudara pada Partisipan 3 (CS) ... 319

(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual ... 75 Gambar 4.1 Bagan Ringkasan Hubungan antar Saudara Partisipan 1 Beserta

Dampak dan Faktor yang Mempengaruhi ... 252 Gambar 4.2 Bagan Ringkasan Hubungan antar Saudara Partisipan 2 Beserta

Dampak dan Faktor yang Mempengaruhi ... 289 Gambar 4.3 Bagan Ringkasan Hubungan antar Saudara Partisipan 3 Beserta

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Wawancara ... 377

Lampiran 2. Transkrip Dan Koding Wawancara Partisipan 1 (Pertemuan 1) .... 382

Lampiran 3. Transkrip Dan Koding Wawancara Partisipan 1 (Pertemuan 2) .... 451

Lampiran 4. Transkrip Dan Koding Wawancara Significant Other Partisipan 1 ... 500

Lampiran 5. Transkrip Dan Koding Wawancara Partisipan 2 (Pertemuan 1) .... 557

Lampiran 6. Transkrip Dan Koding Wawancara Partisipan 2 (Pertemuan 2) .... 622

Lampiran 7. Transkrip Dan Koding Wawancara Significant Other Partisipan 2 ... 678

Lampiran 8. Transkrip Dan Koding Wawancara Partisipan 3 (Pertemuan 1) .... 722

Lampiran 9. Transkrip Dan Koding Wawancara Partisipan 3 (Pertemuan 2) .... 809

Lampiran 10. Transkrip Dan Koding Wawancara Significant Other Partisipan 3 ... 870

Lampiran 11. Transkrip Dan Koding Wawancara Awal ... 947

Lampiran 12. Surat Pernyataan Kesediaan Partisipan 1 ... 957

Lampiran 13. Surat Pernyataan Kesediaan Partisipan 2 ... 958

Lampiran 14. Surat Pernyataan Kesediaan Partisipan 3 ... 959

Lampiran 15. Surat Pernyataan Kesediaan Significant Other Partisipan 1 ... 960

Lampiran 16. Surat Pernyataan Kesediaan Significant Other Partisipan 2 ... 961

Lampiran 17. Surat Pernyataan Kesediaan Significant Other Partisipan 3 ... 962

(21)
(22)

ABSTRAK

Finy Rachmasari, 111111061, Hubungan Antar Saudara Pada Remaja Yang Tinggal Terpisah Dengan Saudara Kandung (Studi Pada Keluarga Bercerai), Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 2015. xxiii + 376 halaman, 19 Lampiran

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran hubungan antar saudara pada remaja yang tinggal terpisah dengan saudara kandung dengan di latar belakangi perceraian orangtua. Fokus penelitian ini adalah bagaimana hubungan antar saudara pada remaja yang tinggal terpisah dengan saudara kandung dengan dilatar belakangi perceraian orangtua. Hubungan antar saudara adalah interaksi baik dalam bentuk fisik maupun komunikasi verbal atau non verbal antara dua orang atau lebih, dimana interaksi tersebut mencakup komponen perilaku, kognitif, dan afektif dari waktu ke waktu yang dimulai sejak seorang anak pertama kali sadar akan kehadiran saudaranya (Cicirelli, 1985 dalam Cicirelli, 1995). Perspektif teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah hubungan antar saudara oleh Cicirelli (1995), khusus untuk dimensi mengacu dengan Buhrmester & Furman (1987, 1990 dalam Cicirelli, 1995) yang menyelidiki dan menemukan dimensi hubungan antar saudara untuk remaja.

Penelitian ini melibatkan 3 orang partisipan yang terdiri dari 2 remaja perempuan dan 1 remaja laki-laki dengan latar belakang orangtua bercerai dan diasuh dengan model split/devided custody (saudara saling tinggal terpisah), serta 3 orang significant other. Partisipan 1 merupakan pelajar yang baru lulus SMA (18 tahun), partisipan 2 (17 tahun) dan 3 (14 tahun) merupakan pelajar aktif. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus intrinsik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesudah saling tinggal terpisah hubungan antar saudara pada setiap partisipan merupakan kombinasi dari beberapa dimensi hubungan antar saudara. Partisipan 1 memunculkan dua dimensi dalam hubungan antar saudara, sedangkan partisipan 2 dan 3 memunculkan tiga dimensi dalam hubungan antar saudara. Selanjutnya sebelum dan sesudah tinggal terpisah dengan saudara kandung partisipan 1 mengalami perubahan hubungan antar saudara, partisipan 2 tidak mengalami perubahan, serta partisipan 3 tidak diketahui karena tinggal bersama saat masih balita. Perceraian orangtua dan sifat anak mempengaruhi hubungan antar saudara yang terjalin. Pada partisipan 2 dan 3 dipengaruhi pula oleh perlakuan orangtua pada anak, bahkan pada partisipan 2 masih ditambah karena urutan kelahiran. Partisipan 3 tidak merasakan dampak dari hubungan antar saudara yang terjalin dengan saudaranya, berbeda dengan partisipan 1 dan 2 yang merasakan adanya dampak tertentu.

Kata Kunci : hubungan antar saudara, remaja, perceraian orangtua,

(23)

ABSTRACT

Finy Rachmasari, 111111061, Sibling Relationships in Adolescents Who Lived With Separated Siblings (Study in Divorced Families), Undergraduate Thesis, Faculty of Psychology, Universitas Airlangga, 2015. xxiii + 376 pages, 19 Appendix

This study aimed to give an overview of sibling relationships in adolescents who living separately with siblings, which the background of parental divorce. The focus of this research is how sibling relationships in adolescents who living separately with siblings, which the background of parental divorce. Sibling relationships are the total of the interactions (physical, verbal, and nonverbal communication) of two or more individuals who share knowledge, perceptions, attitudes, beliefs, and feelings regarding each other, from the time that one sibling becomes aware of the other (Cicirelli, 1985 within Cicirelli, 1995). Theory perspective which used in this study is sibling relationships, which is belonging to Cicirelli (1985 within 1995). Specific for the dimension referring of Buhrmester & Furman (1987, 1990 within Cicirelli, 1995), who investigated and found dimensional of sibling relationships in adolescent.

The study involved three participants consisted of 2 girls and 1 boy which the background of parental divorce and nurtured with split/devided custody’s model (living separately with siblings). This study also involved 3 significant others from each participant. Participant 1 is a graduated student of senior high school (18 years), participant 2 (17 years) and participant 3 (14 years) are students. This study used qualitative method with intrinsic case study as study approachment.

The results showed that sibling relationships in all of three participants are combinations of several dimensions of sibling relationships.Participant 1 showed two dimensions of sibling relationships, participant 2 and participant 3 showed three dimensions of sibling relationships. Furthermore, before and after living separately with siblings, participant 1 experiencing changes the sibling relationships, participant 2 not experiencing changes the sibling relationships, and participant 3 didn’t known because they live together while still a toddler. Parental divorce and the nature of participant and her/his siblings affects on tied of sibling relationships. Sibling relationships in participant 2 and participant 3 also influenced by the treatment of parents in children, in fact on participant 2 is compounded effect from the birth order. Participant 3 did not feel the impact of tied on sibling relationships with her sister, different with participant 1 and participant 2 who feeling the impact of tied on sibling relationships.

Keywords : sibling relationships, adolescent, parental divorce, split/devided

custody

(24)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menikah dan membangun sebuah keluarga merupakan sesuatu yang diinginkan oleh hampir setiap orang. Menikah itu sendiri merupakan komitmen secara legal dan emosional antara dua orang untuk kemudian saling berbagi keintiman (baik secara fisik maupun emosional), berbagi tugas dan tanggung jawab, serta berbagi penghasilan (Olson & DeFrain, 2003). Olson & DeFrain (2003) juga menyatakan bahwa pernikahan akan banyak memberikan dampak positif, diantaranya yakni orang yang menikah memiliki gaya hidup yang lebih sehat, harapan hidup lebih panjang (First, Waite, & Gallagher, 2000 dalam Olson & DeFrain, 2003), kehidupan seksual lebih sehat dan memuaskan (Waite & Gallagher, 2000 dalam Olson & DeFrain, 2003), memiliki aset ekonomi yang lebih baik, serta anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih baik jika dibesarkan oleh kedua orangtuanya. Melalui pernikahan tentu seseorang berharap dapat membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia sampai ajal yang memisahkan.

(25)

tahun”, 2014). Angka perceraian di Indonesia tersebut menurut Badan Pusat Statistik (2013, 2014) terus mengalami kenaikan maupun penurunan, pada tahun 2010 terdapat 285.184 kasus, tahun 2011 naik menjadi 276.791 kasus, kemudian tahun 2012 naik lagi sebanyak 346.480 kasus, dan tahun 2013 turun sedikit menjadi 324.247 kasus. Meskipun mengalami penurunan pada tahun 2013, namun di beberapa daerah kasus perceraian tersebut tetap ada yang bertambah. Seperti DI Yogyakarta yang tahun 2012 terdapat 5.441 kasus lalu tahun 2013 menjadi 70.769 kasus perceraian, kemudian Banten pada tahun 2012 terdapat 7.091 kasus lalu tahun 2013 menjadi 85.484 kasus, daerah Kalimantan Selatan yang pada tahun 2012 terdapat 6.287 kasus kemudian tahun 2013 naik menjadi 6.656 kasus, daerah Sulawesi Tenggara yang pada tahun 2012 terdapat 1.860 kasus lalu naik menjadi 10.690 kasus, serta daerah Bengkulu yang pada tahun 2012 terdapat 2.180 kasus lalu tahun 2013 berubah naik menjadi 5.965 kasus perceraian (Badan Pusat Statistik, 2014).

(26)

pengembangan diri sepenuhnya. Pada anak-anak mereka justru perceraian tersebut biasanya memberikan dampak yang kurang baik karena mempengaruhi hubungan anak dengan orang di luar lingkungan keluarga khususnya di kelompok teman sebaya (Harris, 1995, 1998 dalam Wolfinger, Kowaleski-Jones, & Smith, 2003). Perceraian yang dilakukan orangtua membuat anak cenderung “berbeda” di dalam kelompok teman sebayanya, jika ditanya dimana orangtuanya atau mengapa mereka mempunyai orangtua baru sebagai pengganti orangtua yang tidak ada mereka menjadi serba salah dan merasa malu (Hurlock, 1990). Tidak hanya itu saja, perceraian orangtua juga memberi dampak berupa anak harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam, dimana perasaan kehilangan, penolakan , dan ditinggalkan tersebut akan merusak konsentrasi anak di sekolah (Adrian, 2010 dalam Ningrum, 2013).

(27)

(Clarke-Stewart & Brentano, 2006). Di Indonesia macam hak asuh anak yang dapat digunakan oleh pasangan yang bercerai tidak jauh berbeda dengan yang telah dijelaskan oleh Clarke-Stewart & Brentano (2006), yakni sole custody, joint custody, devided custody, serta physical custody (Ka’Bah, 2007 dalam Gofar,

2013).

(28)

tinggal dengan ibu dan ada yang tinggal dengan ayah (Bauserman, 2002; DeFrain, dkk., 1987; Hawthorne, 2000 dalam Olson & DeFrain, 2003; Ka’Bah, 2007 dalam Gofar, 2013). Selanjutnya physical custody itu sendiri merupakan hak yang diberikan pengadilan kepada salah satu orangtua secara fisik untuk mengasuh, mengontol, dan merawat anak sehari-hari (Clarke-Stewart & Brentano, 2006; Ka’Bah, 2007 dalam Gofar, 2013).

(29)

ketetapan terkait hak asuh anak. Akan tetapi dalam putusan-putusan tersebut disertakan jumlah dan usia anak dari pasangan yang bercerai tersebut. Dari putusan tersebut kemudian penulis membuat rekapitulasi secara kasar terkait dengan kemungkinan pasangan yang bercerai menggunakan model pengasuhan split/devided custody dengan berpedoman pada pasal 105 Hukum Kompilasi Islam yang digunakan dalam menentukan pengaturan hak asuh anak. Berikut merupakan rekapitulasinya :

Tabel 1.1 Rekapitulasi Kasar Usia Anak Dalam Beberapa Putusan Perceraian Pengadilan Agama Surabaya Tahun 2015

Bulan

Jumlah Putusan (ditemukan

Penulis)

Usia Anak Dibawah 12

Tahun

Usia Anak diatas 12 Tahun (memiliki lebih

dari 1 anak)

Usia Anak Dibawah dan Diatas 12 Tahun

Maret 70 45 11 14

April 50 32 8 10

Mei 52 36 6 10

Sumber : Putusan Pengadilan Agama Surabaya dalam “Direktori Putusan”, 2015.

(30)

pengasuhan dipegang oleh ibu kandung, karena anak mereka diatas usia 12 tahun dibebaskan oleh pengadilan dalam memilih hak asuh. Model pengasuhan anak yang kemudian dipilih atau digunakan bisa jadi joint custody, split/devided custody, physical custody, atau bahkan sole custody berupa father with custody.

(31)

tersebut tidak diterima begitu saja oleh Mark Sungkar, ia berencana mengajukan banding (“Fanny Bauty dan Mark Sungkar resmi bercerai”, 2010).

Menentukan pengaturan pengasuhan anak memang merupakan bagian yang sulit dalam perceraian orangtua (Clarke-Stewart & Brentano, 2006). Sebagai akibatnya juga model pengasuhan anak yang digunakan sejak awal diputuskan resmi bercerai belum tentu akan berjalan dengan terus sama, hal tersebut bisa terjadi juga karena mengurus anak merupakan sesuatu yang kompleks dan menantang bagi pasangan yang bercerai (Clarke-Stewart & Brentano, 2006). Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat ditemukan anak yang orangtuanya bercerai lalu diasuh dengan model yang berbeda-beda selama menjalani kehidupannya. Contohnya seperti awal resmi bercerai diputuskan menggunakan model split/devided custody kemudian ditengah perjalanan hidup berubah menjadi diasuh dengan menggunakan model sole custody. Begitu pula sebaliknya, bisa saja di awal perceraian diputuskan bahwa anak-anak diasuh dengan menggunakan model sole custody lalu ditengah perjalanan hidup berubah diasuh dengan model split/devided custody.

(32)

anak-anak serta sulit menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan (Olson & DeFrain, 2003). Melalui model pengasuhan split/devided custody maka stress dan ketegangan yang dirasakan akan terminimalisir. Akan tetapi meskipun model pengasuhan split/devided custody baik bagi pasangan yang bercerai, namun faktanya keputusan tersebut belum tentu baik bagi anak. Model pengasuhan split/devided custody justru dapat mengganggu penyesuaian anak dengan

perceraian yang dilakukan oleh orangtua (Kaplan, Hennon & Ade-Ridder, 1993 dalam Hawthorne, 2000) bahkan diprediksi dapat mempengaruhi hubungan antar saudara. Hal tersebut karena begitu diasuh dengan menggunakan model pengasuhan split/devided custody anak-anak jadi saling terpisah rumah, hal tersebut yang kemudian diprediksi akan mempengaruhi hubungan antar saudara berupa menghilangkan perilaku saling mendukung antar saudara kandung serta menghilangkan kenyamanan dan perlindungan yang dilakukan oleh kakak terhadap adiknya (Bryant, 1992; Kris & Ritvos, 1983; Wallerstein, 1985; Waters, 1987 dalam Hawthorne, 2000). Padahal hubungan antar saudara tersebut penting karena turut berperan dalam membantu perkembangan sosial dan emosional seorang anak (Sanders, 2004).

(33)

dan afektif tersebut seperti pengetahuan, sikap, keyakinan, dan perasaan satu sama lain.

Pada beberapa anak, saudara dianggap sebagai sosok orang yang dapat diajak berbagi rahasia, berdebat, dan bernegosiasi, berbeda dengan orangtua yang memiliki peran sebagai instruktur dan sumber bimbingan (Lam, Solmeyer, &McHale, 2012). Bahkan pada beberapa kasus ditemukan bahwa saudara kandung berperan sebagai penguat nasihat yang diberikan oleh orangtua, kakak adalah sosok yang memberikan gambaran lebih jelas, nyata, dan positif terkait perencanaan kehidupan kedepan yang dapat diambil oleh adiknya (Tucker, Barber, & Eccles, 2001). Tidak hanya itu saja, kakak atau saudara yang lebih tua juga berperan sebagai orang yang memberikan dukungan bagi adik-adik mereka yang berada pada usia 13-16 tahun dalam menghadapi berbagai masalah yang ada di lingkungan sosial, sekolah, atau di dalam keluarga (Tucker, McHale, & Crouter, 2001 dalam Scharf, Shulman, & Avigad-Spitz, 2005). Hubungan yang terjalin antar saudara jadi penuh dengan perilaku yang baik atau positif. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki hubungan sangat dekat dengan saudaranya rata-rata memiliki empati yang cukup tinggi (Lam, dkk., 2012).

(34)

perkembangan seseorang, bahkan pada beberapa kasus sampai dapat menyebabkan patologi. Selain masalah iri hati, kecemburuan, dan persaingan, ternyata dalam hubungan antar saudara juga ditemukan adanya kekerasan. Straus, dkk (1980 dalam Eriksen & Jensen, 2006) menemukan bahwa diantara anak-anak yang berusia 15-17 tahun, 2-3 diantara mereka masih terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap saudaranya seperti menggigit dan memukul. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Eriksen & Jensen (2006) ditemukan bahwa anak laki-laki cenderung melakukan tindak kekerasan kepada saudaranya, khususnya kepada adik.

(35)

hubungan anak dengan teman sebaya, sahabat, bahkan orangtua mereka di masa dewasa kelak (Gully, Dengerink, Pepping, & Bergstrom, 1981; Loeber, Weissman, & Reid, 1983; Simonelli, Mullis, Elliott, & Pierce, 2002; Steinmetz, 1977 dalam Eriksen & Jensen , 2006).

(36)

berujung pada penarikan diri dari lingkungan (Asih, 2007 dalam Ningrum, 2013). Dampak tersebut sama halnya dengan yang dialami oleh seorang remaja yang berhasil di wawancarai oleh penulis. Berikut merupakan pernyataan dari remaja tersebut :

“Yang pasti tau orangtua cerai itu sedih banget…Suka iri sama temen-temen kalo liat bareng ortu bisa deket sama ortu sedangkan aku nggak. Sempet malu, minder karna ortu cerai. Sempet akhirnya dibawa ke pskiater karna bapakku takut aku kenapa-kenapa. Tapi setelah gede ya akhirnya

memaklumi tapi tetep ngerasa ada yang kurang” (RAP311015BBM-28)

“Iya aku sempet pendiem banget….” (RAP311015BBM-30)

“……Ngelihat temen-temen kalo ada acara sekolah ortunya datang

sedangkan aku nggak kan bikin sedih dan minder” (RAP311015BBM-54)

“…....trus kalo lagi ngehadapin masalah yg bener-bener butuhin ortu jadi

susah karna gak deket sama ortu” (RAP311015BBM-74)

“Aku orangnya, gak tau yah mbak, emang sifatku ke ortu gak bisa kayak dulu gitu. Gak bisa cerita-cerita ke ortu sampe sekarang. Ya mungkin

dampak ortu cerai” (RAP311015BBM-76)

“Iya gak nyaman aja mbak kalo cerita ke mereka, gak tau, kayak canggung

gitu” (RAP311015BBM-78)

(37)

Begitu pula dengan model pengasuhan split/devided custody yang dialami oleh remaja tersebut. Model pengasuhan split/devided custody yang dialami dan dijalani oleh remaja tersebut ternyata mempengaruhi hubungan antar saudara dengan adiknya. Berikut penuturan remaja tersebut :

“Yang pasti tau orangtua cerai itu sedih banget, apalagi kepisah aku ikut

bapak adekku ikut ibuk…..” (RAP311015BBM-28)

“Ya kan namanya keluarga kepisah pasti sedih kan kak, apalagi jarak yang lumayan jauh gak bisa kunjung tiap hari aku nemuin ibuk sama adek juga kalo liburan doang. Dan sedih karna dulu satu rumah nonton tv, maen, tidur bareng trus kepisah pasti sedih apalagi diusia seperti itu kan keluarga

penting banget…..” (RAP311015BBM-54)

“Iya dulu deket banget sama adek, kan dulu apa-apa sama adek”

(RAP311015BBM-56)

“Ya dulu kan deket karna satu rumah sama-sama masih kecil maennya bareng karna ke pisah ya jadi gak tau perkembangan dia aku…..”

(RAP311015BBM-58)

“Kalo dibilang canggung sih enggak mbak, tapi agak sendiri-sendiri gitu

dia maen sama temennya aku lebih di rumah” (RAP311015BBM-60)

“Eh dulu sih pernah sih. Karna ibuk selalu bela adek….”

(RAP311015BBM-88)

“(Sering ta itu ngerasa iri kayak gitu?) Ya lumayan sering sih mbak. Karna adek masih kecil harus ngalah mulu aku, tapi sekarang udah makin gede

akhirnya ngerti” (RAP311015BBM 91-92)

“Sebel soalnya adek selalu dibela dan aku harus selalu ngalah”

(RAP311015BBM-100)

“(Ehhmmm gitu. Gak ngerasa adek di bela karena sehari-hari lebih sama ibuk gitu?) Iya, ya gitu mbak, jadi agak sebel gitu” (RAP311015BBM 101-102)

(38)

dengan diasuh menggunakan model split/devided custody, ditemukan bahwa remaja tersebut jadi tidak dekat lagi serta timbul perasaan iri kepada saudaranya. Remaja tersebut jadi tidak dekat dengan saudaranya setelah saling tinggal terpisah dimana ditunjukkan dengan ketika liburan ia berkunjung ke rumah ibunya maka ia dan adiknya cenderung melakukan aktifitas sendiri-sendiri, padahal saat masih tinggal bersama ia dan adiknya sering melakukan kegiatan bersama sampai tidur bersama. Remaja ini juga merasa bahwa ibu kandungnya yang memang dekat dengan adiknya karena saling tinggal bersama jadi suka membela adiknya dan menyuruhnya untuk mengalah dalam segala hal, remaja ini pun menjadi iri hati kepada adiknya. Tidak hanya itu saja, tinggal terpisah dengan saudara membuat remaja tersebut jadi tidak dapat mengetahui perkembangan adiknya sehari-hari, padahal sesungguhnya ia juga khawatir dengan kondisi adiknya pasca perceraian orangtua.

(39)

dengan saudara kandungnya, dimana tinggal terpisah tersebut dilatar belakangi oleh perceraian orangtua.

1.2. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, selanjutnya permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan dalam grand tour question, yaitu bagaimana hubungan antar saudara pada remaja yang tinggal terpisah dengan saudara kandung dengan dilatar belakangi perceraian orangtua? Kemudian untuk membantu menjawab grand tour question, maka dapat dibuat sub question seperti berikut ini :

1. Bagaimana kedekatan atau kehangatan yang terjalin antara partisipan dengan saudaranya yang tinggal terpisah dengan di latar belakangi perceraian orangtua?

2. Bagaimana bentuk status atau kekuatan yang dimiliki antara partisipan dengan saudaranya yang tinggal terpisah dengan di latar belakangi perceraian orangtua?

3. Bagaimana konflik yang terjalin antara partisipan dengan saudaranya yang tinggal terpisah dengan di latar belakangi perceraian orangtua?

4. Bagaimana bentuk persaingan yang terjadi pada partisipan dan saudaranya yang tinggal terpisah dengan di latar belakangi perceraian orangtua?

(40)

6. Faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan antar saudara yang terjalin pada remaja yang tinggal terpisah dengan saudara kandung dengan di latar belakangi perceraian orangtua?

7. Apa dampak dari hubungan antar saudara yang terjalin pada remaja yang tinggal terpisah dengan saudara kandung dengan di latar belakangi perceraian orangtua dalam kehidupan sehari-hari?

1.3. Signifikansi dan Keunikan Penelitian

Pada dasarnya penelitian tentang hubungan antar saudara bukan penelitian yang baru, namun jika dibandingkan dengan topik penelitian yang lain penelitian tentang hubungan antar saudara masih kurang banyak dibahas atau diminati. Apalagi penelitian hubungan antar saudara dalam lingkup perceraian, belum banyak penelitian yang membahas secara spesifik. Emery (1999) mengatakan bahwa tiga topik penting yang berpotensi menjadi mediator atau moderator dari dampak perceraian yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak justru mendapat sedikit perhatian dalam penelitian ilmiah. Tiga hal tersebut yakni kesehatan mental orangtua, hubungan antar saudara, dan budaya.

(41)

pendidikan dan stabilitas perkawinan. Anak-anak mereka banyak yang tidak menuntaskan pendidikan atau sekolahnya sampai akhir dan ketika sudah menikah memiliki kecenderungan cukup besar untuk mengakhiri pernikahan atau bercerai.

Berikutnya penelitian dari Eriksen & Jensen (2006) berusaha menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memicu terjadinya hubungan antar saudara dipenuhi dengan kekerasan tidak hanya karena dinamika kekerasan di dalam keluarga, melainkan ada pengaruh dari faktor lingkungan keluarga. Faktor-faktor tersebut yakni karakteristik dari anak, stabilitas di dalam keluarga (perceraian orangtua, sumber daya ekonomi), serta disorganisasi dalam keluarga (kekerasan suami-istri, alkohol atau penggunaan narkoba, kekuasaan dalam perkawinan, peran ideologi gender, ketidakadilan di dalam keluarga). Dengan kata lain, penelitian ini menunjukkan fakta bahwa perceraian orangtua berdampak negatif terhadap hubungan anak dengan saudaranya.

(42)

Adapun alasan pertama penelitian ini penting untuk dilakukan karena di Indonesia cukup banyak kasus perceraian yang terjadi. Dari tahun ke tahun kasus perceraian terus meningkat, bahkan sampai tahun 2013 meningkat sebanyak 14,6 persen dari tahun sebelumnya (“Tingkat perceraian Indonesia meningkat setiap tahun, ini datanya”, 2014). Akan tetapi seiring dengan bertambahnya kasus perceraian di Indonesia penulis belum menemukan penelitian yang membahas hubungan antar saudara di dalam kasus perceraian orangtua, khususnya yang setelah perceraian anak-anak diasuh dengan model split/devided custody. Rata-rata penelitian yang dilakukan berkaitan dengan dampak perceraian pada anak secara individual, seperti penyesuaian diri remaja, resiliensi remaja, atau tentang subjective well-being anak dari orangtua yang bercerai. Padahal hubungan antar saudara masuk di dalam komponen keluarga dan penting dalam membantu perkembangan sosial dan emosional seorang anak (Sanders, 2004), bahkan ketika orangtua bercerai lalu pengasuhan anak berubah menjadi split/devided custody diprediksi mempengaruhi hubungan antar saudara yang selama ini terjalin

(43)

orangtua. Jika nantinya ditemukan hubungan antar saudara yang dipenuhi oleh perilaku kurang baik atau negatif maupun perilaku baik atau positif, maka penelitian ini bisa digunakan sebagai informasi dalam membuat solusi atau sebagai masukan dalam mengembangkan intervensi maupun penelitian selanjutnya untuk menjaga hubungan antar saudara.

Alasan kedua yakni penelitian terdahulu tentang hubungan antar saudara cenderung hanya meneliti satu bagian dari dimensi hubungan antar saudara. Sebagai contoh, Fenny & Suwartono (2010) hanya melihat aspek kedekatan hubungan antar saudara tanpa memperhatikan aspek-aspek yang bersifat negatif seperti konflik dan persaingan dalam penelitiannya. Sebaliknya, Eriksen & Jensen (2006) dalam penelitiannya hanya melihat aspek negatif pada hubungan antar saudara, yakni kekerasan antar saudara, tanpa memperhatikan aspek-aspek yang bersifat positif seperti kedekatan atau kehangatan. Adapun penelitian ini ingin mengetahui dan melihat hubungan antar saudara pada remaja yang tinggal terpisah dengan saudara kandungnya dengan di latar belakangi perceraian orangtua secara utuh, jadi mencakup aspek yang positif dan juga yang negatif dari hubungan antar saudara kandung. Dengan begitu informasi yang didapat akan lebih kaya dan menyeluruh karena mencakup semua aspek dalam hubungan antar saudara.

(44)

Beberapa penelitian terdahulu baik tentang hubungan antar saudara atau perceraian cukup sering yang menggunakan metode kuantitatif, seperti penelitian dari Wolfinger, dkk. (2003) serta Eriksen & Jensen (2006). Penelitian-penelitian tersebut lebih menekankan pada ada tidaknya kaitan antara hubungan antar saudara dengan variabel yang lain. Peneliti berhasil menemukan satu penelitian yang menggunakan metode kualitatif dan membahas tentang hubungan antar saudara dengan seutuhnya, yakni penelitian dari Abbey & Dallos (2004). Akan tetapi penelitian dari Abbey & Dallos (2004) masih kurang representatif karena partisipan yang diambil hanya anak perempuan, kemudian rentang usia partisipan yakni 9-17 tahun, dan panduan wawancara yang digunakan masih ada unsur pengalaman pribadi. Penelitian dari Abbey & Dallos (2004) juga membahas hubungan antar saudara dalam kasus perceraian secara umum, tidak spesifik dalam kasus anak yang diasuh dengan model split/devided custody. Dalam penelitian ini peneliti ingin mendapatkan gambaran yang cukup dalam dan menyeluruh melalui proses yang cukup matang dan obyektif, mulai dari partisipan yang digunakan laki-laki dan perempuan sampai penyusunan panduan wawancara berdasarkan teori dan dimensi yang ada dengan mengesampingkan pengalaman terkait penelitian baik yang pernah dilihat maupun yang pernah dirasakan terkait remaja yang diasuh dengan model pengasuhan split/devided custody.

1.4. Tujuan Penelitian

(45)

1. Mengetahui gambaran hubungan antar saudara pada remaja yang tinggal terpisah dengan saudara kandung dengan di latar belakangi perceraian orangtua.

2. Mengetahui apakah terdapat perubahan hubungan antar saudara sebelum dan sesudah tinggal terpisah dengan di latar belakangi perceraian orangtua.

3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antar saudara yang terjalin pada remaja yang tinggal terpisah dengan di latar belakangi perceraian orangtua.

4. Mengetahui dampak dari hubungan antar saudara yang terjalin pada remaja yang terpisah dengan saudara kandung dengan di latar belakangi perceraian orangtua dalam kehidupan sehari-hari.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat bagi berbagai pihak baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis:

a. Menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai konsep hubungan antar saudara yang terjalin pada remaja yang terpisah dengan saudara kandungnya dengan di latar belakangi perceraian orangtua.

(46)

2. Manfaat Praktis:

a. Memberikan informasi dan gambaran kepada pasangan suami dan istri baik yang bercerai atau tidak bercerai terkait dampak perceraian terhadap hubungan persaudaraan anak.

b. Memberikan informasi dan gambaran terkait hubungan antar saudara kepada orangtua yang akan menggunakan model pengasuhan split/devided custody pasca bercerai.

c. Memberikan informasi kepada remaja yang terpisah dengan saudara kandungnya karena perceraian orangtua tentang pentingnya hubungan antar saudara bagi perkembangan sosial emosional, sehingga seandainya ditemukan hubungan yang dipenuhi dengan perilaku buruk atau negatif maka remaja dapat mencari upaya untuk mengatasinya.

d. Dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait, seperti psikolog atau konsultan keluarga, sebagai dasar untuk mencari solusi atau membuat intervensi seandainya terjadi dampak negatif dari perceraian pada hubungan antar saudara.

(47)

BAB II

PERSPEKTIF TEORITIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Remaja

2.1.1.1. Definisi Remaja

Definisi remaja secara umum cukup sulit untuk ditentukan, hal ini karena konsep remaja berasal dari beberapa bidang ilmu sosial seperti Antropologi, Sosiologi, Psikologi, dan Paedagogi (Sarwono, 2010). Dalam bidang Psikologi sendiri cukup banyak ahli yang mendefinisikan remaja. Menurut Hall (1904 dalam Santrock, 2008) remaja merupakan seseorang yang berada pada rentang usia antara 12 sampai 23 tahun yang penuh dengan gejolak dan tekanan. Gejolak dan tekanan tersebut merupakan masa goncangan yang ditandai dengan adanya konflik dan perubahan suasana hati.

Ahli lain menyatakan bahwa remaja merupakan individu yang berada pada masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2008). Gunarsa & Gunarsa (2009) menyatakan bahwa remaja merupakan seseorang yang berada pada masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, dimana dalam prosesnya meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan dalam memasuki masa dewasa.

(48)

atau peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa yang mengalami perubahan secara biologis, kognitif, dan sosial emosional serta diliputi oleh gejolak dan tekanan. Gejolak dan tekanan yang dialami tersebut karena adanya konflik dan perubahan suasana hati selama masa remaja.

2.1.1.2. Batasan Usia Remaja

Berdasarkan definisi yang diutarakan oleh Hall (1904 dalam Santrock, 2008), batasan usia remaja yakni 12 sampai 23 tahun. Akan tetapi rentang usia remaja ini dapat bervariasi, hal ini berkaitan dengan kondisi budaya dan sejarah (Santrock, 2008). Santrock (2008) sendiri menyatakan bahwa usia remaja dimulai dari usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun.

Begitu pula dengan batasan usia remaja di Indonesia. Batasan usia remaja di Indonesia belum tentu sama dengan batasan usia remaja yang digunakan di negara Barat, hal ini karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat, tingkatan sosial-ekonomi maupun pendidikan yang menyerupai atau tidak menyerupai masyarakat di Barat pada umumnya (Sarwono, 2010). Atas dasar pertimbangan tersebut maka batasan usia remaja di Indonesia yang digunakan sebagai pedoman umum yakni usia 11-24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 2010). Batasan usia yang digunakan di Indonesia tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan berupa :

(49)

2. Berdasarkan kriteria sosial, di Indonesia individu usia 11 tahun oleh agama maupun adat sudah dianggap akil balig sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak.

3. Berdasarkan kriteria secara psikologis pada usia tersebut mulai muncul tanda-tanda pencapaian tugas perkembangan seperti identitas diri, fase genital terkait perkembangan psikoseksual, dan pencapaian terkait perkembangan kognitif serta moral.

4. Usia 24 tahun merupakan batas dimana individu belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis, seperti masih bergantung pada orangtua, belum memiliki hak-hak penuh sebagai orang dewasa secara adat atau tradisi, atau belum bisa memberikan pendapat secara mandiri.

5. Arti perkawinan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya masih sangat penting, dimana status perkawinan menentukan dewasa atau tidaknya seseorang. Pada usia berapa pun jika seseorang sudah menikah maka oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa sepenuhnya.

(50)

pada rentang usia 16-18 tahun. Hal senada juga dikemukakan oleh Mönks, dkk. (2002), mereka membagi usia remaja menjadi remaja awal, remaja madya, dan remaja akhir. Remaja awal berada pada rentang usia 12-15 tahun, kemudian remaja madya berada pada rentang usia 15-18 tahun, dan remaja akhir berada pada rentang usia 18-21 tahun. Steinberg (2002) juga membagi usia remaja menjadi tiga tahap, yakni remaja awal yang berada di usia 10-13 tahun, remaja madya usia 14-18 tahun, dan remaja akhir yang berada pada usia 19-22 tahun. Steinberg (2002) menentukan batasan usia remaja tersebut berdasarkan penelitian dari beberapa ahli, seperti penelitian yang dilakukan oleh Arnett (2002), Kagan & Coles (1972), Keniston (1970), dan Lipsitz (1977).

Berdasarkan pemaparan di atas maka batasan usia yang digunakan dalam penelitian ini yakni batasan usia remaja berdasarkan pedoman umum di Indonesia yang diungkapkan oleh Sarwono (2010), yakni remaja usia 11-24 tahun dan belum menikah.

2.1.1.3. Ciri-ciri Remaja

(51)

1. Perkembangan Biologis

Aspek perkembangan biologis remaja yang paling banyak mendapat perhatian yakni terkait tinggi dan berat badan, pertumbuhan kerangka tubuh, fungsi reproduksi, dan perubahan hormonal (Santrock, 2003). Pada masa remaja kebanyakan komponen pertumbuhan tulang dan otot seperti tinggi dan berat badan maupun organ hati dan ginjal mengalami pertumbuhan mengikuti kurva umum. Kemudian pertumbuhan organ reproduksi meningkat dengan lebih tajam pada masa remaja dibandingkan pertumbuhan tinggi dan berat badan. Hal ini karena pengaruh aktifitas kelenjar dan hormonal, dimana pertumbuhan organ reproduksi diatur oleh hormon seks (androgen dan estrogen) sehingga pada awal-awal masa remaja menunjukkan peningkatan aktifitas. Selanjutnya pada masa remaja perkembangan tengkorak kepala, mata, dan telinga juga lebih cepat matang dibandingkan bagian tubuh yang lain. Perkembangan biologis yang cepat pada masa remaja menimbulkan perlu adanya penyesuaian mental serta pembentukan sikap, nilai, dan minat yang baru (Hurlock, 2012).

(52)

seksual pada remaja di masa awal ini juga mulai timbul rasa malu (Batubara, 2010). Berdasarkan ciri secara biologis tersebut selanjutnya fokus dari masa remaja awal ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik (Ingersoll, 1989).

Pada remaja madya perubahan tubuh karena pubertas sebagian besar telah selesai (Patterson, 2008). Akan tetapi untuk pertumbuhan tubuh baik pada remaja perempuan atau laki-laki masih terus berlangsung. Pada remaja perempuan pertumbuhan tubuh berlangsung sampai usia 14,5 tahun, sedangkan pada remaja laki-laki pertumbuhan tubuh sampai usia 16 tahun (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Selain itu menarche atau menstruasi pertama pada remaja perempuan masih mungkin terjadi atau baru muncul pada masa usia remaja madya (Papalia, dkk., 2008). Secara seksual remaja usia madya ini juga sangat memperhatikan penampilan (Batubara, 2010).

Pada masa remaja akhir perkembangan secara biologis lebih meningkat lagi, yakni maturitas fisik telah tercapai secara sempurna (Batubara, 2010). Selain itu pada masa remaja akhir ini identitas pribadi dan seksual telah terbentuk dan tidak akan berubah lagi (Batubara, 2010; Ingersoll, 1989; Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010). Remaja-remaja di masa ini juga mulai sering berpenampilan lebih dewasa (Patterson, 2008).

2. Perkembangan Kognitif

(53)

memikirkan karakteristik ideal dari diri mereka sendiri, orang lain, dan dunia. Kemudian pemikiran yang bersifat logis yakni remaja mulai berpikir seperti ilmuwan, mereka menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan oleh mereka. Selain itu remaja juga berpikir secara lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak.

Remaja juga merupakan seseorang yang berani mengambil resiko tinggi, hal ini karena egosentrisme yang ada dalam diri mereka (Santrock, 2003). Egosentrisme remaja itu sendiri merupakan meningkatnya kesadaran diri remaja berupa keyakinan bahwa orang lain memiliki perhatian amat besar terhadap perasaan dan keunikan diri mereka sebesar perhatian mereka pada diri sendiri (Santrock, 2003).

(54)

mempertimbangkan kredibilitas dari setiap informasi yang diperoleh (Mann, Harmoni, & Power, 1989 dalam Santrock, 2003).

Remaja mulai membentuk diri sebagai individu yang unik pada masa remaja awal (Ingersoll, 1989). Mereka mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak, akan tetapi perilaku yang ditunjukkan beberapa kali masih cenderung kekanak-kanakan. Kemampuan verbal mereka juga mulai meningkat, hal ini digunakan sebagai salah satu cara untuk mengekspresikan diri (Batubara, 2010). Selain itu di masa ini pandangan dan pemikiran mereka masih bersifat konkrit, kaku, dan egosentris, melihat orang lain sebagai baik atau buruk, benar atau salah, dan tidak ada toleransi sama sekali untuk hal-hal yang sifatnya ambigu (Ingersol, 1989), serta hanya tertarik pada masa sekarang (belum memikirkan masa depan) (Batubara, 2010).

(55)

pikirkan dengan mendalam, atau bahkan menanyakan sesuatu yang sifatnya realita (Ingersoll, 1989). Remaja-remaja di masa ini juga mulai tertarik dengan karir, mereka mulai konsisten dengan cita-citanya (Batubara, 2010), dan dalam membuat keputusan mempertimbangkan tujuan masa depannya (terkait dengan pendidikan) (Ingersoll, 1989).

Pada masa remaja akhir mereka mulai mampu memikirkan ide-ide secara mandiri, mengekspresikan perasaan dengan kata-kata (Batubara, 2010), dan egosentrisme mereka berubah menjadi seimbang antara kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain (Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010). Disamping itu remaja-remaja di masa akhir ini lebih memperhatikan masa depan mereka (Batubara, 2010). Mereka mulai mengkristalkan atau menetapkan tujuan atau karir masa depan mereka (Ingersoll, 1989), konsisten dengan minat mereka, serta sangat memperhatikan peran yang mereka inginkan nantinya di masa depan (Batubara, 2010).

3. Perkembangan Sosial-Emosional

(56)

meminta opini dan dukungan dari teman-teman terkait dengan dirinya (Santrock, 2003).

Ciri selanjutnya yakni penampilan fisik merupakan sesuatu yang sangat penting bagi remaja. Penampilan fisik sangat berpengaruh terhadap rasa percaya diri remaja (Santrock, 2003) dan juga penerimaan sosial remaja dengan teman sebayanya (Harter, 1989 dalam Santrock, 2003). Rendahnya rasa percaya diri menimbulkan rasa tidak nyaman secara emosional pada remaja (Damon, 1991 dalam Santrock, 2003). Ketidak nyamanan tersebut dapat bersifat sementara (Damon, 1991 dalam Santrock, 2003) atau bahkan menimbulkan masalah pada remaja seperti depresi, bunuh diri, anoreksia nervosa, delikuensi, atau masalah penyesuaian diri lainnya (Damon & Hart, 1988; Fenzel, 1994; Harter & Marold, 1992; Markus & Nurius, 1986; Pfeffer, 1986 dalam Santrock, 2003).

Kemudian pada masa remaja, teman sebaya berperan sebagai orang yang penting dalam kehidupan remaja (Brown, 2004 dalam Patterson, 2008). Remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya dibandingkan dengan orangtua mereka (Larson & Verma, 1998 dalam Patterson, 2008). Santrock (2003) menyatakan bahwa pada kebanyakan remaja bagaimana mereka dipandang oleh teman sebayanya merupakan aspek yang paling penting dalam kehidupan, apabila remaja dikucilkan oleh teman sebaya maka yang terjadi akan stress, frustasi, dan muncul kesedihan.

(57)

mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa (Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010) serta menjadi sangat labil (Batubara, 2010). Selain itu masa remaja awal merupakan masa dimana pertama kalinya seorang remaja berupaya untuk lepas dari ketergantungan dengan orangtua (Ingersoll, 1989). Remaja-remaja di masa ini kadang-kadang juga berperilaku kasar serta kurang hormat kepada orangtua (Batubara, 2010). Selain itu pada masa remaja awal ini terdapat konformitas yang kuat dengan teman sebaya (Ingersoll, 1989) yang kemudian memberikan pengaruh-pengaruh tertentu (Batubara, 2010). Pengaruh dari teman sebaya tersebut antara lain pengaruh terhadap hobi maupun cara berpakaian. Jadi remaja-remaja dalam masa awal ini berusaha membentuk kelompok kemudian cenderung mengikuti apa saja yang ada di dalam kelompok tersebut, seperti bertingkah laku sama, berpenampilan sama, serta memiliki bahasa dan kode isyarat yang sama (Batubara, 2010).

(58)

menyukai dirinya dan teman-teman tersebut memiliki sifat-sifat yang sama dengan dirinya (Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010). Karena hal tersebut remaja-remaja di masa madya ini sangat memperhatikan kelompok main secara selektif dan kompetitif (Batubara, 2010). Remaja usia madya juga mulai fokus pada penerimaan mereka oleh teman lawan jenis (Batubara, 2010; Ingersoll, 1989). Mereka mulai mempunyai dan sering berganti-ganti pacar (Batubara, 2010).

Selanjutnya pada masa remaja akhir, remaja-remaja ini mulai memunculkan peran sebagai orang dewasa dan lebih bertanggung jawab (Patterson, 2008). Selain itu emosi mereka juga lebih stabil, lebih bisa menghargai orang lain, dan mulai dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan tradisi dan kebiasaan lingkungan (Batubara, 2010). Remaja-remaja di masa ini memiliki keinginan sangat kuat untuk bisa menjadi matang dan diterima di dalam lingkungan, entah itu teman sebaya mereka atau orang-orang dewasa lainnya (Ingersoll, 1989). Karena hal tersebut ego mereka selalu mencari kesempatan untuk dapat bersatu dengan orang lain (Blos, 1962 dalam Sarwono, 2010).

2.1.1.4. Relasi Sosial Remaja

(59)

usia remaja akhir, kebutuhan untuk berhubungan sosial secara intens dengan teman sebaya sedikit berkurang dan bertambah dengan kebutuhan dan keinginan untuk dapat diterima oleh orang dewasa lain di lingkungannya (Ingersoll, 1989). Pandangan teman sebaya terhadap diri mereka (remaja) merupakan aspek yang sangat penting. Beberapa remaja akan melakukan apa saja untuk dapat dimasukkan dan diakui dalam suatu kelompok teman sebaya. Jika mereka sampai dikucilkan oleh teman sebaya maka yang terjadi akan stress, frustasi, dan muncul kesedihan (Santrock, 2003).

Konteks relasi sosial remaja yang kedua yakni keluarga. Menurut Santrock (2003), pada masa remaja anak menginginkan orangtua mereka untuk beradaptasi dengan perubahan dunia sekolah, hubungan dengan teman sebaya, dan dorongan untuk mendapatkan kebebasan. Semua yang diinginkan tersebut tidak lain sebagai jalan untuk akhirnya bisa berkomitmen, mengambil keputusan, dan menemukan peran mereka di dalam lingkungan. Remaja ingin orangtua mereka mengerti dan paham akan hal tersebut, namun tidak sepenuhnya orangtua mengerti dan setuju. Akhirnya yang terjadi adalah muncul konflik antara remaja dengan keluarganya. Konflik keluarga sering terjadi pada masa awal remaja dan semakin intens pada masa remaja madya (Laursen, Coy, & Collins, 1998 dalam Papalia, dkk., 2008). Argumen dan bantahan-bantahan terhadap orangtua sering terjadi, hal tersebut sebagai refleksi ketegangan emosional yang muncul ketika remaja mencoba mewujudkan keinginan mereka (Papalia, dkk., 2008).

(60)

mau menurut, melawan, dan menentang standar-standar orangtua (Santrock, 2002). Akibatnya tidak jarang orangtua yang cenderung berusaha mengendalikan anak remaja mereka dengan cara keras dan memberi lebih banyak tekanan agar menaati standar-standar orangtua (Collins, 1990 dalam Santrock, 2002). Adanya konflik dan perlakuan dari orangtua yang seperti itu tidak jarang membuat remaja beralih ke sosok lain yang dapat mendukung dalam mewujudkan keinginan mereka. Sosok lain di dalam keluarga yang biasanya dipilih oleh remaja-remaja ini biasanya adalah saudara kandung mereka sendiri. Dalam beberapa hal saudara kandung bisa lebih kuat mempengaruhi remaja dibandingkan orangtua (Cicirelli, 1977 dalam Santrock, 2003). Contohnya seperti ketika berhadapan dengan teman sebaya, menghadapi guru yang sulit atau tidak disukai, serta mendiskusikan masalah yang bagi orang umum tabu (seperti seks). Saudara kandung lebih berpengaruh dalam melakukan sosialisasi (Santrock, 2003).

(61)

masyarakat akan selalu berubah-ubah (Santrock, 2003) dan bukan tidak mungkin relasi sosial yang terjalin antara remaja dengan keluarganya akan mengalami beberapa perubahan juga.

2.1.2. Perceraian

2.1.2.1. Definisi Perceraian

Menurut Berk (2012) perceraian merupakan rusaknya hubungan suami dan istri sebagai akibat dari gaya penyelesaian masalah yang tidak efektif sehingga melemahkan keterikatan satu sama lain. Rusaknya hubungan suami dan istri tersebut mengakibatkan terjadinya perpisahan. Menurut Emery (1999) kegagalan pasangan suami dan istri dalam menyelesaikan konflik yang terjadi selama pernikahan menyebabkan berkurangnya penerimaan terhadap pasangan dan kemudian memutuskan untuk bercerai atau berpisah.

Ahli lain menyatakan bahwa perceraian merupakan ketidakmampuan pasangan suami dan istri dalam mencapai pernikahan yang bahagia dikarenakan keduanya sudah tidak mau menyelesaikan satu pun permasalahan buruk yang terjadi (Bohannan, 1970 dalam Olson & DeFrain, 2003). Perceraian sendiri di Indonesia diatur berdasarkan undang-undang. Dalam pasal 39 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(62)

karena tidak mampu bahkan tidak mau menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam perkawinan.

2.1.2.2. Faktor Penyebab Perceraian

Ketika pasangan suami dan istri memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka, tentu tidak serta merta langsung terjadi dan dilakukan. Ketika membuat atau mengambil keputusan bercerai tentu ada faktor yang melatar belakangi keputusan tersebut. Menurut Berk (2012) terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi atau menjadi penyebab dari perceraian yang dilakukan oleh suami dan istri, faktor-faktor tersebut yaitu:

1. Sulit Memahami Kesusahan yang Dialami oleh Pasangan

(63)

2. Perselingkuhan

Perselingkuhan merupakan segala bentuk hubungan intim dan personal, baik itu secara fisik, emosional, psikologis, maupun seksual, yang dilakukan dengan orang yang bukan merupakan pasangannya (Malinger, 2007 dalam Nuryani, 2012). Perselingkungan ini biasanya disebabkan karena mulai berkurangnya atau lunturnya kedekatan dan keintiman seseorang secara psikologis dengan pasangannya (Ragil, 2007 dalam Nuryani, 2012).

3. Sering Minum atau Menggunakan Obat-obatan Terlarang

Penggunaan atau konsumsi alkohol di dalam keluarga umumnya berkaitan dengan gangguan perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga, dan masalah keluarga lainnya (Roosa, Tein, Groppenbacher, Michaels, & Dumka, 1993 dalam Olson & DeFrain, 2003). Suami atau istri yang memiliki pasangan sering minum atau menggunakan obat-obatan terlarang pada awalnya akan mencoba mengontrol dengan cara mengingatkan atau menyembunyikan alkohol atau obat terlarangnya, bahkan bisa sampai menggunakan bantuan konselor untuk melakukan diskusi dan terapi. Akan tetapi jika setelah di terapi masih kembali menggunakan obat terlarang atau mengkonsumsi alkohol, kebanyakan keluarga akan mencoba melarikan diri atau lepas dari masalah tersebut, yakni dengan cara pasangan memutuskan untuk bercerai (Olson & DeFrain, 2003).

4. Perasaan Cemburu yang Besar

(64)

cemburu, apalagi jika sangat berlebihan, termasuk dalam salah satu masalah perkawinan yang dapat menyebabkan perceraian pasangan suami dan istri (Amato & Rogers, 1997).

5. Pernikahan Dini

Pernikahan dini merupakan salah satu faktor pemicu terbesar terjadinya perceraian pasangan suami dan istri. Hal tersebut karena pernikahan di usia muda mengandung resiko besar, dimana secara mental mereka masih belum siap untuk memikul tanggung jawab yang besar sebagai sebuah keluarga (Surbakti, 2008).

6. Perceraian Orangtua

Perceraian orangtua meningkatkan resiko perceraian, setidaknya pada dua generasi selanjutnya. Hal ini karena perceraian yang dilakukan oleh orangtua dapat memicu masalah penyesuaian anak dan mengurangi komitmen terhadap norma pernikahan yang seumur hidup (Amato & Cheadle, 2005; Wolfinger, 2005 dalam Berk, 2012). Sebagai akibatnya anak-anak korban perceraian tersebut ketika menikah lebih terlibat pada perilaku acuh dan memiliki hubungan yang sarat akan konflik namun kurang berusaha dan kurang memiliki keterampilan untuk menyelesaikan konflik yang dialami tersebut. 7. Masalah Ekonomi dan Pasangan Berpendidikan Rendah

(65)

8. Karir dan Penghasilan Istri Lebih Besar Dibandingkan Suami

Ketika karir dan juga penghasilan istri lebih besar dari suami, resiko terjadinya perceraian semakin besar. Menurut Berk (2012) hal ini disebabkan karena kaitannya dengan perbedaan keyakinan peran gender antara kedua pasangan, yaitu suami yang merupakan laki-laki dan istri yang merupakan perempuan. Kurangnya dukungan suami terhadap karir yang dijalani sang istri dapat membuat istri menjadi semakin tidak bahagia dan akhirnya besar kemungkinan untuk mengakhiri pernikahan (Berk, 2012).

2.1.2.3. Tahapan Perce raian

Menurut Bohannan (1970 dalam Olson & DeFrain, 2003) terdapat beberapa tahapan dalam perceraian, yaitu :

1. Emotional Divorce

(66)

Brentano, 2006). Setelah penarikan dan pengasingan diri tersebut konflik yang terjadi pada pasangan suami dan istri lambat laun jadi menurun, namun kemudian diikuti dengan adanya penurunan minat untuk menyelesaikan masalah dan lebih memilih strategi mengatasi konflik yang terjadi dengan cara berpisah (Clarke-Stewart & Brentano, 2006).

2. Legal Divorce

Tahap kedua ini merupakan tahap perceraian dimana pasangan suami dan istri memutus pernikahan pada sistem hukum melalui proses pengadilan (Olson & DeFrain, 2003). Melalui proses pengadilan kemudian akan diputuskan perjanjian-perjanjian terkait perceraian dari segi hukum seperti pengaturan hak rumah, keputusan hak asuh anak, dan lain sebagainya (Clarke-Stewart & Brentano, 2006). Pada tahap ini lembaga peradilan juga memfasilitasi pasangan yang akan bercerai dengan memberikan mediator yang terlatih, mediator ini bertugas untuk menemukan solusi yang terbaik untuk kedua belah pihak yang akan bercerai untuk meminimalisir perebutan atau perilaku merasa dirinya yang paling benar dan pasangan yang salah di dalam ruang sidang (Olson & DeFrain, 2003).

3. Economic Divorce

(67)

penentuan barang pribadi dan yang dibagi, atau keputusan terkait hak kepemilikan rumah (Clarke-Stewart & Brentano, 2006).

4. Coparental Divorce

Tahapan keempat ini berkaitan dengan keputusan pengasuhan anak menggunakan model seperti apa maupun membuat aturan dalam melakukan kunjungan terhadap anak (Clarke-Stewart & Brentano, 2006; Olson & DeFrain, 2003). Pada tahap ini bagi anak yang mengalami perceraian orangtua, perceraian tersebut merupakan krisis yang sangat sulit di dalam kehidupan mereka dan mereka berharap perceraian itu tidak terjadi. Atas dasar hal tersebut maka pasangan suami dan istri yang bercerai perlu mengetahui bagaimana cara mereka untuk tetap mengasuh anak-anak seperti biasanya meskipun sudah tidak lagi hidup bersama sebagai suami dan istri (Olson & DeFrain, 2003).

5. Community Divorce

(68)

6. Psychological Divorce

Tahapan ini merupakan tahap terakhir dari perceraian dimana merupakan tahap untuk mendapatkan kembali otonomi individu (Olson & DeFrain, 2003) dengan cara melepaskan segala aspek emosional terhadap mantan pasangan (Clarke-Stewart & Brentano, 2006). Dalam tahapan ini banyak pasangan yang bercerai merasa perlu untuk berbicara dengan konselor atau terapis perkawinan dan keluarga untuk membantu agar dapat menyesuaikan diri kembali baik secara pribadi maupun yang berhubungan dengan pekerjaan (Olson & DeFrain, 2003).

Pengalaman pada beberapa pasangan yang bercerai, tahapan-tahapan dalam perceraian tersebut sering tumpang tindih, bervariasi, dan terjadi dengan urutan-urutan yang berbeda (Bohannan, 1970 dalam Olson & DeFrain, 2003). Akan tetapi Bohannan (1970, dalam Clarke-Stewart & Brentano, 2006) menyarankan agar pasangan yang bercerai melalui enam tahapan perceraian secara paralel untuk dapat menyelesaikan proses perceraian secara tuntas.

Dalam penelitian ini nantinya penulis akan menggunakan partisipan yang orangtuanya bercerai dan sudah melalui tahapan legal divorce dan coparental divorce. Alasan pertama yakni ketika pasangan suami dan istri yang bercerai telah

(69)

orangtua. Fokus penelitian tersebut terkait dengan model pengaturan hak asuh anak pasca terjadinya perceraian, keputusan pengaturan hak asuh anak dalam tahapan perceraian masuk dalam tahap coparental divorce.

2.1.2.4. Dampak Pe rceraian

Gambar

Gambar 4.3 Bagan Ringkasan Hubungan antar Saudara Partisipan 3 Beserta
Tabel 1.1 Rekapitulasi Kasar Usia Anak Dalam Beberapa Putusan
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Tabel 3.1 Panduan Kode Manual
+7

Referensi

Dokumen terkait