• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Citra Diri Perempuan

Citra diri perempuan merupakan merupakan sosok individu yang mempunyai pendirian dan pilihan sendiri atas berbagai aktivitasnya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun sosialnya (Sugihastuti, 2000: 112-113). Berikut akan dipaparkan citra diri perempuan yang meliputi aspek fisik dan psikis.

4.1.1 Citra Diri Perempuan dari Aspek Fisik

Secara fisik, perempuan sering dianggap sebagai mahluk yang lemah daripada laki-laki dan menempati peran yang tidak membahagiakan . Anggapan bahwa kelemahan fisik perempuan itu merupakan takdir semata-mata yang disangsikan. Secara fisik, perempuan sudah dikodratkan berbeda dengan pria sejak awal terbentuknya kromosom; namun secara psikis dan sosial, perempuan dapat mencapai martabat wajar yang sesuai dengan citra dirinya.

Perbedaan antara fisik perempuan dan pria dapat dikongkretkan dalam bentuk citra fisik perempuan dewasa. Menurut Sugihastuti (2000: 94) aspek fisik perempuan dewasa dikongkretkan pada ciri fisik perempuan dewasa, misalnya pecahnya selaput dara, dapat melahirkan, menyusui, serta kegiatan-kegiatan kerumahtanggaan.

Berdasarkan aspek fisik, Maryamah (Enong) digambarkan sebagai perempuan dewasa dan sudah pernah menikah. Dalam kehidupannya, tokoh

21

Maryamah tidak digambarkan sebagai perempuan lemah sebagaimana anggapan bahwa perempuan dikodratkan memiliki fisik yang lemah. Tokoh Maryamah digambarkan sebagai perempuan yang kuat dengan tubuh yang kekar seperti lelaki karena dirinya sudah bekerja menjadi pendulang timah sejak usianya 14 tahun. Ia memiliki beban kerja yang berat demi memenuhi kebutuhan keluarganya dan pekerjaan itu ia lakukan sejak usianya masih belia.

“Enong bekerja keras menjadi pendulang timah sejak usianya masih 14 tahun. Ia berusaha sedapat-dapatnya memenuhi apa yang diperlukan ketiga adiknya dari seorang ayah.” (Hirata, 2016: 11)

Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa Maryamah sudah bekerja menjadi pendulang timah sejak berusia 14 tahun. Pekerjaan yang dilakukan oleh Maryamah sebagai seorang pendulang timah adalah sebuah pekerjaan berat yang seharusnya hanya mampu dilakukan oleh kaum lelaki, tetapi melalui Maryamah digambarkan bahwa perempuan juga bisa melakukan pekerjaan kasar walau fisik perempuan yang dianggap lemah.

“Bersusah payah Enong membujuk Ania. Tubuhnya yang kekar seperti lelaki karena bertahun-tahun mendulang timah merengkuh tubuh adiknya. Tangan yang kasar membelai-belai rambutnya.

Sungguh sebuah pemandangan yang memilukan yang akan melekat lama dalam kenanganku. Betapa besar hati perempuat itu.” (Hirata, 2016:12).

Berdasarkan pernyataan tersebut, citra tokoh Maryamah dari aspek fisik dicitrakan memiliki fisik yang kekar dan kuat seperti lelaki, serta bisa melakukan pekerjaan kasar sebagai pendulang timah. Pekerjaan berat yang dilakoninya sejak usia remaja itu membentuk fisiknya sedemikian rupa. Tubuh lemah gemulai yang seharusnya tergambar dari seorang perempuan, Maryamah justru memiliki tubuh yang kekar seperti lelaki.

“Kupandangi lengannya yang besar dan kasar, jemarinya yang hitam, berkerak, dan kaku, seperti bilah-bilah besi karena

22

bertahun-tahun mendulang timah. Jari-jemarinya itu sama sekali tak serasi didekatkan dengan buah catur mainan kaum menak dan para cerdik cendekia.” (Hirata, 2016:57)

Maryamah dari aspek fisik juga tidak digambarkan seperti kaum perempuan pada umumnya yang memiliki fisik yang cantik dan rupawan.

Maryamah adalah sosok perempuan tangguh dengan yang menghabiskan waktunya dengan belajar dan bekerja sehingga tidak memiliki kesempatan untuk merias diri. Kondisi fisiknya yang terbentuk demikian adalah karena faktor pekerjaannya sebagai seorang pendulang timah. Lengannya yang besar akibat dari mengangkat beban-beban yang berat, serta jari-jemarinya yang hitam dan kaku akibat bilah-bilah besi karena bertahun-tahun mendulang timah. Maryamah merupakan perempuan tangguh, fisiknya kuat, dan sudah terlatih melakukan pekerjaan berat.

Adapun dari aspek fisik perempuan dewasa sebagaimana yang disampaikan oleh Sugihastuti (2000: 94) bahwa aspek fisik perempuan dewasa dikongkretkan pada ciri fisik perempuan dewasa, misalnya pecahnya selaput dara, dapat melahirkan, menyusui, serta kegiatan-kegiatan kerumahtanggaan.

Tokoh Maryamah meski diceritakan sudah pernah berumah tangga, tetapi rumah tangganya tidak bertahan lama karena adanya pihak ketiga dalam hubungannya dengan Matarom selaku suaminya. Hubungan pernikahan Maryamah dengan Matarom tidak sampai memiliki anak. Jadi, tidak terdapat citaraan pada melalui tokoh Maryamah mengenai aspek fisik wanita dewasa.

23

4.1.2 Citra Diri Perempuan dari Aspek Psikis

Perempuan sebagai mahluk individu, selain terbentuk dari aspek fisik juga terbangun dari aspek psikis. Ditinjau dari aspek psikisnya, perempuan adalah mahluk psikologis, mahluk yang berpikir, berperasaan, dan beraspirasi.

Dalam aspek psikisnya, kejiwaan perempuan dewasa ditandai antara lain oleh sikap pertanggungjawaban penuh terhadap diri sendiri, bertanggung jawab atas nasib sendiri, dan atas pembentukan diri sendiri. Aspek psikis perempuan juga dapat dicitrakan dari gambaran pribadi. Gambaran pribadi perempuan dewasa itu secara karakteristik dan normatif sudah terbentuk dan relatif stabil sifatnya.

Berdasarkan aspek psikisnya, Maryamah adalah seorang perempuan yang humoris, optimis, dan sentimental. Meski nasibnya tidak selalu baik, tetapi ia tetap berusaha menjadi yang terbaik untuk orang-orang di sekitarnya.

Ia mengajarkan banyak hal terhadap orang-orang di sekitarnya sikap yang luar biasa tentang kesabaran, keberanian dan kerja kerasnya.

“Belum terang tanah, Enong sudah berdiri agak gemulai di pekarangan, persis penari Semenanjung ingin menyambut pejabat tinggi dari Jakarta yang baru turun dari pesawat baling-baling.

Kuhampiri perempuan humoris dan selalu optimis itu. Tanpa banyak cincong ia menyerahkan sepucuk surat padaku, dan aku tak boleh membacanya sebelum ia pergi. Rupanya, tak hanya humoris dan optimis, ia juga sentimental.” (Hirata,2016:32).

Dari uraian di atas, citra diri perempuan dari aspek psikis Maryamah dicitrakan sebagai perempuan yang humoris dan optimis juga sentimental yang diceritakan lewat tokoh lain. Citra diri Maryamah dari aspek psikisnya sudah terbentuk sebagai karakteristik alami yang tidak terpengaruh oleh lingkungan.

Meskipun seringkali keadaan tidak berpihak kepadanya, tetapi sikap optimis

24

dalam dirinya tidak pernah hilang. Sikap optimis Maryamah juga tergambar jelas ketika ia memutuskan belajar catur untuk mengalahkan Matarom mantan suaminya yang merupakan seorang pecatur tangguh. Meskipun Mayamah sama sekali belum pernah memainkan permainan catur, ia tetap bersikap optimis dan percaya diri bahwa ia mampu untuk menguasai permainan catur sebagaimana terdapat dalam percakapan kutipan novel berikut.

“Aku mau belajar catur. Aku mau bertanding 17 Agustus nanti.

Aku mau menantang Matarom”…“Ya, aku mau melawan mereka,” katanya lagi sambil menunjuk pria-pria yang terbahak-bahak mengelilingi papan catur itu. ia mengucapkannya dengan ringan, seolah mengatakan ingin memompa sepedanya yang kempes, sementara kami macam disambar petir”. “Haiya, rumah tangga gulung tikar bikin ni gila, ya, Mah? Ni pikir macam main halma?” berbunyi Giok Nio. “Aku akan belajar. Pasti bisa” jawab Maryamah”. (Hirata, 2016: 46)

Selain seorang perempuan yang optimis dan percaya diri, Maryamah juga sosok yang cerdas. Meski waktu belajarnya harus dibagi dengan bekerja sebagai pendulang timah, Maryamah tetap bisa menjadi lulusan kelima terbaik pada wisuda kursus bahasa Inggrisnya. Berdasarkan pengalaman-pengalaman hidupnya ia juga diakui sebagai sosok perempuan cerdas oleh orang-orang di sekitarnya.

“Lulusan terbaik kelima,” kata Bu Indri. Ia menunda menyebutkan namanya, mungkin karena sangat istimewa, wajahnya tegang bercampur gembira. “Maryamah binti Zamzami”, Enong menutup mulutnya. Ia sangat terkejut mendengar namanya disebut Bu Indri”. (Hirata, 2016:33)

Kecerdasan Maryamah tidak hanya dalam belajar bahasa Inggis, tetapi juga dalam mempelajari permainan catur meski untuk menyentuh anak-anak catur saja dirinya belum pernah. Sifat optimis dalam dirinya membuat ia yakin

25

untuk belajar catur mulai dari nol. Walaupun ia masih pemula, seorang master catur yang menjadi gurunya percaya akan kemampunnya.

“Orang ini memang hanya seorang perempuan penambang, tetapi dia cerdas, Noch!”. “Tentu. Aku bersimpati padanya dan senang mendapat murid yang menantang.” (Hirata, 2016: 55)

Sebuah filosofi dapat ditemukan pada diri Maryamah, bahwa belajar adalah sikap berani menantang segala ketidakmungkinan, bahwa ilmu yang tidak dikuasai akan menjelma di dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bukan penakut. Menjadi siswa terbaik tentu bukanlah hal yang mudah didapatkan tanpa usaha di belakangnya. Kecerdasan dalam diri juga tidak akan datang dengan sendirinya. Ia harus diusahakan sebagaimana yang dilakukan oleh Maryamah dengan segala kerja kerasnya. Kendatipun banyak cobaan hidup yang ia hadapi, Maryamah adalah sosok perempuan hebat dan pantang menyerah pada nasib. Meski usianya terbilang tidak muda lagi, tetapi ia tidak pernah ragu akan kemampuannya. Semua keterbatasan yang ia miliki justru menjadi semangat untuknya. Tekadnya tidak dapat disurutkan dengan alasan apapun.

“Pertemuan dengan Maryamah hari ini telah meletupkan semangatku. Aku telah melihatnya belajar bahasa Inggris dengan susah payah, tanpa merasa ragu dengan usia dan segala keterbatasan, dan dia berhasil. Sekarang, ia siap berjibaku dengan catur, dengan tekad mengalahkan seorang kampiun seperti Matarom. Ia tak dapat disurutkan oleh bimbang, tak dapat dinisbikan oleh gamang”. (Hirata, 2016:15)

Bagian dari aspek psikis perempuan juga adalah berperasaan. Begitupun tokoh Maryamah dicitrakan sebagai perempuan yang berperasaan. Ia bisa

26

merasakan senang dan juga sedih. Tetapi, sebagai perempuan yang pada umumnya lebih mengutamakan perasaan daripada logika, Maryamah dicitrakan sebagai perempuan tegar dan dewasa dalam menyikapi setiap takdir hidupnya. Hal ini tergambar ketika ibu Maryamah meninggal dunia. Ketika orang-orang di sekitarnya masih berkabung akan kesedihan yang menimpa Maryamah, justru Maryamah tampak tegar akan kepergian ibunya. Ia tidak berlama-lama dengan kesedihannya, ketegaran jiwa yang dimilikinya mengalahkan egonya untuk mengeluh karena masih banyak hal di dunia ini yang dapat ia syukuri. Ia menyadari bahwa hidup harus terus berlanjut.

“Semula kami menduga, Maryamah masih berkabung sehingga kami belum mau menghubunginya. Namun, ia sendiri yang datang ke kantor Detektif M. Nur. Malah tampak lebih tegar dari kami.

Katanya ia telah menangisi kepergian ibunya sepanjang malam sampai azan subuh. “Habis air mataku, lunas sudah kesedihan itu.

Hidup harus lanjut. Tantangan ada di muka. Masih banyak yang dapat disyukuri,” ujarnya ringan”. (Hirata, 2016: 114)

Citra diri perempuan dari aspek psikis yang dicitrakan melalui tokoh Maryamah semua merupakan citraan yang positif. Tetapi, ada satu hal yang masih membekas dalam jiwanya yang berusaha ia sembunyikan, yaitu rasa terauma. Rasa trauma terhadap salakan anjing, sebab mengingatkannya pada kejadian di masa lampau. Semasa kecil dulu Maryamah pernah mengalami sebuah pengalaman yang mengerikan. Ia hampir celaka karena diburu di hutan oleh sejumlah lelaki karena mendulang timah. Beruntung ia masih selamat karena tersangkut di akar bakau ketika terjun ke hulu sungai. Kejadian tersebut bukan sekadar kecelakaan biasa. Sejumlah lelaki yang hendak mencelakai Maryamah merupakan orang-orang suruhan dari seorang mantan pejabat tinggi

27

yang ingin menguasai lahan tambang sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut.

“Seperti Mitoha, kami pun sempat heran melihat kelakuan Maryamah. Usai pertarungan melawan guru biologi kemarin, Maryamah kami tanyai. Mulanya ia enggan menjawab. Setelah didesak, ia berkisah tentang pengalaman mengerikan yang ia alami waktu kecil dulu. Ia hampir celaka karena diburu di hutan oleh sejumlah laki-laki karena mendulang timah. Kami miris mendengarnya ketakutan diperkosa dan dibunuh, lalu terjun ke hulu sungai Linggang. Ia selamat karena tersangkut di akar bakau nun di muara. Maryamah mengatakan, sejak itu ia ketakutan mendengar salak anjing. Sekarang kami pun paham mengapa ia meminta wasit agar mengusir anjing-anjing yang menyalak di dekat warung kopi, waktu ia bertanding melawan Syamsuri Abidin dulu”. (Hirata, 2016: 252)

Sebagaimana penjelasan di atas bahwa dari aspek psikis, Maryamah dicitrakan memiliki trauma masa kecil. Maryamah gemetar ketika mendengar salakan anjing karena mengingatkan dirinya pada kejadian masa lampau ketika ia hampir dicelakakan oleh sekelompok pria yang merupakan orang-orang suruhan dari penguasa tambang timah. Rasa trauma yang dimiliki Maryamah diketahui ketika ia menyuruh wasit mengusir anjing-anjing yang menyalak di dekat warung kopi tempat pertandingan catur diadakan.

Sebagai seorang perempuan, dilihat dari aspek psikisnya Maryamah juga merupakan sosok yang memiliki aspirasi. Ia mempunyai kemauan dan keberanian untuk menolak apa yang tidak sesuai dengan hati nuraninya.

Sebagaimana timbulnya keinginan belajar catur dan ikut serta dalam pertandingan catur pada perayaan tujuh belasan di kampungnya. Dalam pertandingan catur ini Maryamah harus bertanding melawan para kaum lelaki jawara kampung, termasuk Matarom mantan suaminya. Melawan Matarom

28

dalam pertandingan catur memanglah tujuan awalnya untuk ikut bertanding.

Perlakuan buruk yang diterima Maryamah sewaktu menjadi istri Matarom dulu tidak bisa ia terima begitu saja. Maka timbullah keinginannya untuk menegakkan harkat martabatnya sebagai perempuan, karena tidak seharusnya perempuan diperlakukan semena-mena oleh lelaki.

Dari aspek psikis Maryamah tergambar bahwa perempuan memiliki keinginan dan dorongan untuk menolak apa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya. Keistimewaan yang dimiliki oleh sosok Maryamah adalah berani memperjuangkan harga dirinya sebagai perempuan karena tidak semua orang berani melakukannya. Adapun bentuk perlawan yang dilakukan Maryamah dalam menegakkan harkat dan martabatnya bukan dengan cara yang bar-bar atau melanggar hak orang lain, melainkan dengan cara yang elegan dengan membuktikan kemampuan dirinya-sendiri.

“Obrolan kami sesekali berhenti karena kerasnya tawa orang-orang yang sedang bermain catur di warung kopi di seberang Giok Nio.

Maryamah memandangi orang-orang itu, lalu muncullah ide yang ajaib itu… “Aku mau belajar catur. Aku mau bertanding 17 Agustus nanti. Aku mau menantang Matarom.”(Hirata, 2016:45-46)

“Ia telah mengalahkan banyak pecatur dan telah menyaksikan berpuluh pecatur pria, berderet-deret di papan pendaftaran pertandingan, namun sejak awal Mataromlah sesungguhnya yang ia sasr. Keinginan itu bahkan sebelum ia pandai menggerakkan sebiji pun buah catur”. (Hirata, 2016: 271-273)

Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa timbulnya ide Maryamah untuk belajar catur dan ikut serta dalam perlombaan catur pada acara perayaan tujuh belasan tujuannya adalah untuk mengalahkan Matarom. Ketika memandangi orang-orang yang sedang bermain catur di warung kopi, keinginannya tersebut

29

muncul bahkan sebelum ia pandai menjalankan buah catur. Keinginannya untuk mengikuti pertandingan catur bukan hanya sekadar untuk bertanding dan memenangkan pertandingan, tetapi ia ingin mengalahkan Matarom untuk membalaskan perbuatan buruk dan semena-mena yang dilakukan oleh Matarom padanya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa citra diri prempuan terbangun dari aspek fisik dan aspek psikisnya. Aspek fisik yang tergambar dalam novel Cinta di Dalam Gelas melalui tokoh Maryamah (Enong) tersebut dicitrakan sebagai perempuan yang kuat dengan tubuh yang kekar seperti lelaki. Sedangkan dari aspek fisik perempuan dewasa meski sudah pernah menikah tidak terdapat citra perempuan aspek perempuan dewasa seperti melahirkan, menyusui, dan sebagainya. Adapun dari aspek psikisnya, Maryamah dicitrakan sebagai sosok yang humoris, optimis, percaya diri, cerdas, tegar, dan sabar, serta memiliki sebuah trauma masa kecil. Selain itu, Maryamah juga sosok perempuan yang beraspirasi.

4.2 Citra Sosial Perempuan

Citra sosial perempuan disederhanakan ke dalam dua peran, yaitu peran perempuan dalam keluarga dan peran perempuan dalam masyarakat. Peran ialah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan (Wolfman dalam Sugihastuti, 2000: 121). Citra sosial tumbuh melalui pemahaman dan penguasaannya terhadap realitas yang dihadapinya melalui komunikasi antarsesama.

30 4.2.1 Citra Perempuan dalam Keluarga

Sebagai perempuan dewasa, seperti tercitrakan dari aspek fisik dan psikisnya, salah satu peran yang menonjol daripadanya adalah peran perempuan dalam keluarga. Peran perempuan dalam keluarga seperti terdapat dalam novel Cinta di Dalam Gelas ialah menyangkut perannya sebagai sebagai kakak, anak perempuan, dan sebagai istri.

Pertama sebagai seorang kakak, Maryamah adalah anak pertama dari empat bersaudara dan merupakan anak paling sulung. Sebagai seorang kakak Maryamah sangat disayangi oleh ketiga adiknya begitu pula sebaliknya.

Ketiga adik perempuannya menganggap ia sebagai pahlawan yang paling hebat dari pahlawan manapun karena mereka telah melihat bagaimana kakaknya berjuang untuk mereka. Maryamah (Enong) selalu berusaha memenuhi kebutuhan adiknya hingga ketiganya menikah. Ketika adik-adiknya sudah menikah, mereka merasa berat dan tidak tega meninggalkan kakak dan ibunya, tetapi Maryamah mampu meyakinkan adik-adiknya supaya melanjutkan hidup dan mencari kebahagiannya.

“Jika ada orang yang paling disayangi oleh Ania, Lana, dan Ulma di dunia ini, mereka dalah ibu dan kakak sulung mereka. Pernah seorang guru bercerita padaku. Katanya ia bertanya pada Ania, siapakah pahlawan yang ia kagumi. Ania kecil menjawab tanpa ragu bahwa pahlawannya adalah Syalimah-ibunya dan Enong-kakak sulungnya….” (Hirata, 2016:10).

Maryamah adalah seorang kakak yang penyayang dan mengajarkan kasih sayang sehingga ia menjadi kakak yang dibanggakan oleh adik-adiknya.

Kasih sayang yang diberikan oleh Maryamah sama halnya seperti kasih sayang

31

yang diberikan oleh orangtuanya. Bagi ketiga adiknya Maryamah dan ibunya adalah pahlawan yang mereka kagumi.

“Semuanya karena sepanjang hidup ketiga gadis kecil kakak-beradik itu telah menyaksikan bagaimana ibu dan Enong berjuang untuk mereka. Enong bekerja keras menjadi pendulang timah sejak usianya masih 14 tahun.Ia berusaha sedapat-dapatnya memenuhi apa yang diperlukan ketiga adiknya dari seorang ayah.

Dibelikannya mereka baju lebaran, diurusnya jika sakit, dan ia menangis setiap kali mengambil rapor adik-adiknya. Sebab, saat menandatangani rapor yang seharusnya ditandatangani ayahnya itu, ia rindu pada ayahnya.” (Hirata, 2016: 11).

Sebagai seorang kakak, ia tidak hanya mengajarkan makna kasih sayang kepada adik-adiknya. Ia bahkan berusaha mengisi posisi ayahnya yang telah tiada dengan mengemban semua tanggung jawab terhadap ketiga adiknya dan memberikan apa yang seharusnya diberikan oleh seorang ayah terhadap anak-anaknya. Ketika adiknya yang bernama Ania tumbuh remaja, perlahan ia mengerti akan pengorbanan Maryamah dan merasa kasihan. Ania meminta untuk berhenti sekolah supaya bisa membantu Maryamah, tetapi, Maryamah melarangnya. Kedewasaan berpikir Maryamah membuatnya ikhlas untuk menanggung semua beban keluarga di pundaknya demi kebahagiaan adik-adiknya.

“Ania dengan cepat tumbuh remaja. Perlahan-lahan ia mengerti pengorbanan Enong dan merasa kasihan, ia minta berhenti sekolah karena ingin membantu. Enong melarangnya”. (Hirata, 2016:11)

Kedua sebagai anak perempuan, dalam keluarga Maryamah atau Enong sangatlah menyayangi ibunya. Selain membantu ibunya dengan bekerja sebagai pendulang timah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia juga berusaha menyenangkan hati ibunya dengan memenuhi semua keinginannya,

32

termasuk keinginan ibunya untuk melihat Maryamah menikah. Meski itu bukanlah hal yang mudah, tetapi selagi masih ada waktu untuk mewujudkan keinginan hati ibunya Maryamah memutuskan untuk menerima pinangan seorang lelaki yang belum ia kenali sepenuhnya. Maryamah tidak mengetahui bahwa di kemudian hari keputusan yang dia ambil untuk menerima pinangan lelaki yang melamarnya tersebut menjadi sebuah penyesalan.

“Beberapa waktu kemudian, Syalimah jatuh sakit. Dokter berkata, ia sakit karena lanjut usia. Tabib berkata, ia sakit karena sudah tua.

Selama ibunya sakit, Enong mendapati ibunya memandanginya dengan sedih. Enong tahu apa yang ingin dikatakan ibunya, namun tak sanggup terkatakan. Ia ingin melapangkan hati ibunya semantara masih ada waktu. Karena itu, ia menerima pinangan seorang lelaki bernama Matarom. Suatu keputusan yang kemudian akan disesalinya”.

Selain itu, Maryamah juga dicitrakan sebagai seorang anak yang berbakti dan sangat mencintai ibunya. Ia sangat menyayangi ibunya dengan seribu alasan yang tidak bisa ia ungkapkan. Kasih sayang Maryamah ditunjukkan langsung dengan perbuatan dan bakti terhadap ibunya, orangtua tunggal yang telah merawat dan membesarkannya. Sebagai anak yang berbakti Maryamah merawat dan menjaga ibunya. Ketika ibunya sedang sakit ia berusaha memenuhi keinginan ibunya dan merawatnya dengan penuh kasih sampai pada suatu siang, ketika ia hendak menyuapi ibunya makan, ternyata ibunya telah meninggal dunia.

“Siang itu ketika Maryamah membangunkan ibunya untuk disuapi makan, Syalimah tak bergerak. Perempuan yang setia itu telah meninggal dunia. Maryamah menangis tersedu-sedu di samping jasad ibunya, ibu yang ia sayangi karena seribu alasan. Syalimah adalah seorang ibu yang telah berjuang sepanjang hidupnya…”

(Hirata, 2016:100)

33

Ketiga, peran perempuan sebagai seorang istri. Maryamah pernah menikah dan menjadi istri seorang lelaki bernama Matarom. Seorang lelaki yang pada mulanya ia kenal hanya lewat reputasinya sebagai pecatur yang tangguh dan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan, ia bahkan belum pernah melihat rupanya. Ternyata, reputasi Matarom merupakan kombinasi ketenaran dan kesemena-menaannya memanfaatkan nama besar untuk melestarikan hobinya sebagai lelaki hidung belang. Sebagai seorang istri, Maryamah bukanlah orang yang beruntung. Kelakuan buruk suaminya telah tampak sejak awal pernikahannya. Tetapi, seburuk apa pun ia diperlakukan, ia menganggap dirinya telah mengambil keputusan dan Maryamah ingin menjaga

Ketiga, peran perempuan sebagai seorang istri. Maryamah pernah menikah dan menjadi istri seorang lelaki bernama Matarom. Seorang lelaki yang pada mulanya ia kenal hanya lewat reputasinya sebagai pecatur yang tangguh dan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan, ia bahkan belum pernah melihat rupanya. Ternyata, reputasi Matarom merupakan kombinasi ketenaran dan kesemena-menaannya memanfaatkan nama besar untuk melestarikan hobinya sebagai lelaki hidung belang. Sebagai seorang istri, Maryamah bukanlah orang yang beruntung. Kelakuan buruk suaminya telah tampak sejak awal pernikahannya. Tetapi, seburuk apa pun ia diperlakukan, ia menganggap dirinya telah mengambil keputusan dan Maryamah ingin menjaga

Dokumen terkait