Dengan saling berbagi perasaan pada orang lain tentang masalah yang dihadapi, berharap mendapat penjelasan dan pemahaman dari orang lain sehingga pikiran akan menjadi jernih dan tenang untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
c. Keabsahan sosial (social validation)
Dengan sudut pandang sendiri akan cenderung menggunakan ukuran yang idealistis menurut diri sendiri, dengan mengkomunikasikannya pada orang lain akan mendapatkan informasi tentang kebenaran dari pandangan diri sendiri, persetujuan, dukungan atau sebaliknya.
d. Kendali sosial (social control)
Seseorang dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang keadaan dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan kontrol sosial. e. Perkembangan hubungan (relationship development)
Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri pribadi kepada orang lain dan saling percaya adalah usaha yang penting dalam merintis suatu hubungan sehingga akan semakin meningkatkan keakraban.
B. Secure Attachment
1. Pengertian Secure Attachment
Attachment adalah ikatan emosional yang kuat antara anak dan pengasuhnya (Santrock, 2002). Sedangkan secure attachment adalah pola kelekatan yang terbentuk dari interaksi antara pengasuh dan anak, dimana
anak merasa percaya pada pengasuh sebagai figur yang selalu siap mendampingi, sensitif dan responsif, penuh cinta dan kasih sayang ketika anak mencari perlindungan atau kenyamanan, dan selalu menolong atau membantunya dalam menghadapi situasi yang mengancam dan menakutkan (Bowlby dalam Yessy, 2003).
Menurut Bee (1992) secure attachment adalah sebuah konstruksi mental dalam hubungan dimana anak menggunakan orang tua sebagai sebuah landasan rasa aman dan ketersediaan menghibur setelah berpisah, ketika takut, atau ketika stress. Sejalan dengan pendapat tersebut Santrock (2003) menyebutkan bahwa secure attachment merupakan pola attachment dimana bayi menggunakan pengasuhnya, biasanya ibu, sebagai landasan rasa aman untuk memulai mengeksplorasi lingkungan. Secure attachment merupakan landasan yang penting bagi perkembangan psikologis berikutnya pada masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa.
Menurut Beckett (2002) secure attachment yaitu pola attachment dimana anak menunjukkan rasa suka kepada ibunya atau pengasuhnya daripada orang lain. Ibu sensitif, responsif terhadap usaha anak untuk berkomunikasi. Anak yakin bahwa pengasuhnya siap memberi dukungan dan membawa kesenangan padanya, dan menunjukkan kesedihannya ketika berpisah dengan ibunya.
Menurut Mikulincer (1995) secure attachment adalah kepercayaan pada kesediaan figur attachment disaat dibutuhkan, nyaman dengan kedekatan, saling membutuhkan dan saling percaya. Papalia (2003) juga mengemukakan pengertian secure attachment yaitu pola attachment dimana anak menangis
commit to user
atau protes ketika pengasuhnya pergi dan dengan aktif mencari pengasuhnya sampai pengasuhnya itu kembali.
Stewart dan Friedman (1987) menjelaskan pengertian secure attachment yaitu pola attachment di mana bayi mencoba untuk dekat dengan ibunya dan memberi perhatian lebih pada ibunya daripada kepada orang baru. Kehadiran ibunya di kamar menawarkan mereka landasan rasa aman untuk mengeksplorasi ruangan itu dan mainan. Ketika ibunya kembali ke kamar setelah perpisahan singkat, bayi senang, menyambutnya, dan bermain di dekatnya.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa secure attachment adalah pola attachment yang terbentuk dari interaksi antara pengasuh dan anak, dimana anak merasa percaya pada pengasuh sebagai figur yang selalu siap mendampingi, sensitif dan responsif, penuh cinta dan kasih sayang ketika anak mencari perlindungan atau kenyamanan, dan selalu menolong atau membantunya dalam menghadapi situasi yang mengancam dan menakutkan.
2. Aspek-aspek Secure Attachment
Menurut Brennan dan Shaver (1995) aspek secure attachment yaitu: a. Frustration with partners, yaitu kemarahan yang individu rasakan
terhadap temannya yang tidak membuat mereka merasa dicintai dan dihargai.
b. Proximity seeking, merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mencari kedekatan dengan temannya setelah berpisah, bertukar pikiran dan berita dengan temannya, dan mendampingi teman di saat diperlukan. c. Self reliance, yaitu tidak mau meminta bantuan atau kenyamanan kepada
teman walaupun ketika membutuhkan.
d. Ambivalence, yaitu konflik dalam perasaan mengenai temannya, disatu sisi memerlukan dan menyayangi temannya disisi lain tidak mampu merasa nyaman dengan temannya.
e. Trust/confidence in others, yaitu kemampuan mempercayai orang lain. f. Jealousy/fear of abandonment, yaitu ketakutan tidak dicintai oleh orang
lain.
g. Anxious clinging to partners,yaitu kecemasan bergantung pada orang lain. Robert, dkk. (1996) mengemukakan aspek secure attachment yaitu: a. Close, merupakan kenyamanan yang dirasakan oleh individu atas
kedekatannya dengan orang lain, cenderung mudah untuk dekat dengan orang lain.
b. Depend, merupakan perasaan bahwa orang lain akan selalu ada ketika dibutuhkan.
c. Anxiety, merupakan kekhawatiran tidak dicintai oleh orang lain atau ditinggalkan oleh orang lain.
Menurut Backstrom dan Holmes (2007) aspek secure attachment meliputi:
commit to user
a. Avoidance, yaitu tidak nyaman dengan kedekatan dan ketergantungan dengan orang lain. Individu dengan secure attachment menunjukkan rendahnya avoidance.
b. Anxiety, yaitu merasa takut terhadap penolakan dan ditinggalkan oleh orang lain. Individu dengan secure attachment menunjukkan rendahnya anxiety.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas peneliti menyimpulkan bahwa aspek secure attachment dari Brennan dan Shaver (1995) yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu: frustration with partners, proximity seeking, self reliance, ambivalence, trust, jealousy, dan anxious clinging to partners. Hal ini dikarenakan peneliti menilai bahwa aspek-aspek ini sudah mewakili aspek-aspek yang lain.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Secure Attachment
Menurut Bowlby (dalam Steward dan Friedman, 1987) faktor-faktor yang mempengaruhi secure attachment adalah:
a. Kasih sayang
Secure attachment tidak tumbuh secara otomatis dalam diri bayi dengan kehadiran pengasuh yang menyediakan makanan yang cukup dan perawatan fisik. Kualitas interaksi dengan pengasuh merupakan hal yang sangat penting untuk menumbuhkan secure attachment. Bayi yang memiliki pola secure attachment memiliki ibu yang memberi bayinya kesenangan dan dukungan yang lebih, bersedia membantu, penuh kasih sayang, dan bermain dengan anaknya.
b. Perhatian yang berlanjut
Bayi yang tumbuh lekat dengan ibunya mengalami stres ketika mereka berpisah terlalu lama. Misalnya ketika berada di rumah sakit mereka menangis dan menolak orang lain yang berusaha menenangkannya. Orang tua tidak bisa melindungi bayinya dari reaksi emosi akibat perpisahan, tetapi mereka bisa mengambil langkah untuk mengurangi rasa sakit akibat perpisahan itu. Jika bayi berada di rumah sakit, orang tua bisa sering mengunjunginya atau tinggal di rumah sakit sebanyak waktu yang di ijinkan oleh pihak rumah sakit. Orang tua yang tidak bisa tinggal dan harus pergi, saat mereka kembali, mereka bisa membuat usaha khusus untuk menyenangkan dan merawat anaknya.
c. Temperamen bayi
Bayi dengan pola secure attachment umur satu tahun relatif lebih sedikit menangis dibandingkan bayi dengan pola insecure attachment. Penelitian lain membuktikan bahwa ada hubungan antara bayi dengan temperamen yang sulit dengan insecure attachment.
4. Manfaat Secure Attachment
Santrock (2003) menyebutkan beberapa manfaat secure attachment, antara lain:
a. Kelekatan pada masa remaja bisa memfasilitasi kecakapan dan kesejahteraan sosial seperti yang dicerminkan dalam beberapa ciri seperti harga diri, penyesuaian emosi, dan kesehatan fisik. Remaja dengan
commit to user
hubungan yang aman dengan orang tua mempunyai harga diri yang lebih tinggi dan kesejahteraan emosi yang lebih baik.
b. Sebagai fungsi adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman terhadap remaja agar dapat mengeksplorasi dan menguasai lingkungan baru serta dunia sosial yang semakin luas dalam kondisi psikologi yang sehat.
c. Membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa.
d. Membantu keberhasilan remaja dalam hubungan intim dan harga diri pada awal masa dewasa.
e. Membantu remaja untuk menghasilkan hubungan positif dan dekat di luar keluarga dengan teman sebaya.
C. Dukungan Sosial 1. Pengertian Dukungan Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kehadiran manusia lain untuk berinteraksi. Kehadiran orang lain di dalam kehidupan pribadi seseorang begitu diperlukan. Hal ini terjadi karena seseorang tidak mungkin memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologisnya sendirian. Individu membutuhkan dukungan sosial baik yang berasal dari teman maupun keluarga. Dukungan sosial diartikan sebagai kesenangan, bantuan, yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal dengan yang lain atau kelompok (Gibson dalam Andarika, 2004).
Menurut Rahardjo dkk. (2008) dukungan sosial yaitu bantuan yang diterima seseorang dari lingkungannya (orang lain) untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Semakin dewasa, individu dituntut untuk dapat lebih mandiri, namun bagaimanapun individu masih membutuhkan bantuan dari orang lain untuk mengatasi masalahnya.
Gottlieb (dalam Smet 1994) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi atau nasehat verbal dan/atau nonverbal, bantuan nyata, atau tindakan yang yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Rook (dalam Smet, 1994) menganggap dukungan sosial sebagai satu diantara fungsi pertalian atau ikatan sosial yang mencakup dukungan emosional, mendorong adanya ungkapan perasaan, pemberian nasehat atau informasi, pemberian bantuan material. Sedangkan Sarafino (1990) mengatakan dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian, atau membantu orang menerima dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dukungan sosial adalah bantuan yang diterima seseorang dari orang lain untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
2. Aspek-aspek Dukungan Sosial
Neergaard (dalam Rahardjo dkk., 2008) membagi dukungan sosial sebagai berikut: