Community Development yang oleh para praktisi pembangunan sering diterjemahkan sebagai pembangunan masyarakat, pengembangan masyarakat,
maupun pemberdayaan masyarakat, merupakan sebuah wacana pendekatan
pembangunan yang telah dimulai sejak periode 1960-an. Periode dimana secara
global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II dan mulai menapak jalan
kesejahteraan. Pada periode itu, persoalan kemiskinan dan keterbelakangan mulai
mendapatkan perhatian kalangan yang lebih luas dan mendorong berkembangnya
wacana dan praktek Community Development.
Dalam perspektif sejarah (Riza, Info URDI Vol. 16), perkembangan
Community Development pada tataran global dapat dibagi ke dalam setidaknya empat dasawarsa, yaitu dasawarsa 1960, 1970, 1980, dan 1990.
a. Dasawarsa 1960, Community Development banyak diwujudkan dalam bentuk investasi di dalam infrastruktur, riset, dan pengembangan teknologi tepat
guna. Tujuan dari investasi ini adalah mendorong berkembangnya sektor
produktif dari masyarakat terutama untuk meningkatkan produktivitas. Motor
dari kegiatan Community Development pada periode ini adalah pemerintah. b. Dasawarsa 1970, terjadi perpindahan penekanan dari sektor-sektor produktif
kesadaran bahwa peningkatan produktifitas hanya akan terjadi manakala
variabel-variabel yang menahan orang miskin tetap miskin, (misalnya
pendidikan dan kesehatan) dapat dibantu dari luar.
c. Dasawarsa 1980 ditandai dengan berkembangnya kesadaran adanya aktor lain
yang memiliki potensi untuk terlibat di dalam Community Development yaitu sektor swasta. Sektor swasta yang telah berkembang melalui dukungan
pemerintah memiliki tanggung jawab sosial untuk turut terlibat di dalam
Community Development. Hal ini dilaksanakan misalnya melalui pengembangan kerja sama, akses pasar, hubungan inti-plasma, dan
sebagainya.
d. Dasawarsa 1990 adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan
seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholder, pendekatan sistem dan
proses, maupun pendekatan civil society (masyarakat sipil). Beragam pendekatan tersebut telah mempengaruhi praktek Community Development
dan mengedepankan aktor lain yaitu organisasi masyarakat sipil sebagai
pelaku kunci dari Community Development.
Secara skematis, dinamika perkembangan wacana Community Development
Sumber : Riza, Info URDI Vol. 16
Gambar 2.1. Dinamika Perkembangan Wacana CD
Dari aspek keterlibatan masyarakat, praktek Community Development dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk (Riza, Info URDI Vol. 16), yaitu:
a. Development for community.
Development for community adalah bentuk Community Development dimana masyarakat pada dasarnya menjadi objek pembangunan karena berbagai
inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan
oleh aktor dari luar. Aktor luar ini dapat saja telah melakukan penelitian,
melakukan konsultasi, dan melibatkan tokoh setempat. Namun apabila
keputusan dan sumber daya pembangunan berasal dari luar, maka pada
dasarnya masyarakat tetap menjadi objek.
b. Development with community.
Development with community ditandai secara khusus dengan kuatnya pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang
diambil merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal
dari kedua belah pihak.
c. Development of community.
Development of community adalah proses pembangunan yang baik inisiatif, perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh masyarakat.
Masyarakat membangun dirinya sendiri. Peran aktor dari luar dalam kondisi
ini lebih sebagai sistem pendukung bagi proses pembangunan.
Ketiga pendekatan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan akhir yang sama,
yaitu memperbaiki kualitas kehidupan dan kelembagaan masyarakat lokal. Perbedaan
yang ada lebih berada pada sarana yang dipakai. Efektivitas sarana ini sangat
ditentukan oleh konteks dan karakteristik masyarakat yang dihadapi. Pada masyarakat
tertentu mungkin pendekatan development for community lebih sesuai sementara pada masyarakat yang lain development with community justru yang dibutuhkan. Faktor utama yang menentukan pemilihan ketiga pendekatan tersebut adalah seberapa jauh
kelembagaan masyarakat telah berkembang.
Dewasa ini, program pemberdayaan masyarakat banyak sekali diluncurkan
oleh pemerintah sebagai wujud komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sayangnya, terdapat kesan bahwa program ini kurang berhasil mencapai sasaran yang
diharapkan, yakni kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosial maupun
politis. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan dalam desain program pemberdayaan
itu, antara lain bahwa pemberdayaan sering dipersepsikan dan diterjemahkan secara
lebih besar kepada anggota masyarakat, khususnya kelompok miskin. Dengan
persepsi yang demikian, tidaklah mengherankan bahwa program pemberdayaan
sering kali dikemas dalam kerangka program pengentasan kemiskinan. Padahal,
masyarakat yang tidak berada dibawah garis kemiskinan pun membutuhkan upaya
pemberdayaan pula.
Dalam hal ini, terdapat kritik dari Michael Lipton dan Robert Chamber.
Menurut Lipton (1977), program pengentasan kemiskinan sering bias dan salah
sasaran. Program dan proyek pengentasan kemiskinan di berbagai negara
berkembang banyak dilaksanakan di perkotaan, sehingga kemiskinan di pedesaan
(rural poverty) tidak dapat berkurang secara signifikan. Situasi seperti ini oleh Lipton disebut sebagai bias perkotaan (urban bias).
Analisis serupa diberikan oleh Chamber (1983) yang mengatakan bahwa
pengentasan kemiskinan pada dasarnya bukan hanya persoalan teknis semata tentang
bagaimana memenuhi kebutuhan fisik masyarakat secara berkesinambungan, namun
lebih pada usaha untuk memberikan “energi” yang lebih besar kepada masyarakat
melalui proses pemberdayaan (empowerment).
Oleh karena itu, Chambers (1983) mengajukan pemikiran bahwa upaya untuk
mengatasi masalah ketidakberdayaan masyarakat adalah melalui “…. enabling and empowering the poor through ‘reversals in management’ of dominant paradigms of development which involves shifting power and initiatives downwards and outwards”. Dengan demikian, suatu proses pemberdayaan haruslah memberikan
pertukaran manajemen” dalam paradigma pembangunan yang selama ini dominan.
Artinya, diperlukan pemindahan atau pengoperan kekuatan dan inisiatif berusaha dari
kelompok kuat kepada kaum miskin tersebut.
Persepsi bahwa kebijakan pemberdayaan harus dikaitkan dengan program
pemberian bantuan lunak secara bergilir (revolving grant) juga mengandung bahaya, sebab hal ini justru menciptakan ketergantungan masyarakat. Dengan kata lain,
program micro credit atau micro finance bagi penduduk miskin mencerminkan budaya aparatur pemerintah yang masih berorientasi top down dan patronizing yang terlalu kuat, baik dalam kebijaksanaan maupun perencanaan. Sikap ini sering
menimbulkan kondisi ketergantungan (dependency) dan kurang menimbulkan
keswadayaan masyarakat lokal.
Upaya untuk mengatasi kelemahan tersebut mendorong Community
Development ke arah yang lebih maju. Pada saat ini Community Development telah mengalami proses pengkayaan sehingga menjadi sebuah pendekatan yang multi
aspek dan secara umum terdiri dari beberapa aspek kunci sebagai berikut (Riza, Info
URDI Vol. 16):
a. Adalah sebuah proses "akar rumput".
Community Development merupakan proses yang terjadi di masyarakat lokal
dan dilaksanakan di dalam konteks mereka. Community Development
bukanlah proses yang dapat didesain dan diproses dari atas.
Banyak kegiatan yang dinamakan Community Development dalam kenyataan justru menumbuhkan ketergantungan masyarakat lokal terhadap aktor luar.
Apabila hal ini terjadi, maka kegiatan yang dilaksanakan pada dasarnya bukan
Community Development karena Community Development pada dasarnya adalah upaya menolong masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya
sendiri dengan membuat masyarakat menjadi swadaya.
c. Berkembang menjadi komunitas pembelajar (learning communities).
Menjadi swadaya menuntut masyarakat lokal untuk mampu belajar dari
pengalamannya sendiri untuk menjawab tantangan yang akan muncul
dikemudian hari.
d. Berkurangnya kerentanan dan kemiskinan.
Keberhasilan Community Development bukan sekedar bahwa kegiatan yang direncanakan telah dilaksanakan (output). Apapun kegiatannya dan oleh siapa
saja, Community Development hanya dianggap berhasil bila mampu
mengurangi kerentanan dan kemiskinan yang dihadapi masyarakat.
e. Terciptanya peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan.
Peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan dalam sebagian
besar kegiatan Community Development adalah sasaran yang menjadi pondasi bagi pencapaian sasaran lain yang lebih jauh.
f. Menguatnya modal sosial.
Dalam komunitas masyarakat miskin yang tidak memiliki modal finansial,
bertahan hidup dan mengembangkan aktivitas ekonomi. Community Development dilaksanakan dengan menggunakan modal sosial sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan lainnya.
g. Tercapainya keseimbangan tujuan sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan
Pendekatan pemberdayaan masyarakat dipercaya akan mengantar masyarakat dalam berproses untuk mampu menganalisa masalah dan peluang yang ada serta mencari jalan ke luar sesuai sumberdaya yang mereka miliki. Untuk mencapai hasil optimal dalam upaya memberdayakan masyarakat, penggunaan pendekatan tunggal jelas tidak tepat. Perlu dikembangkan pendekatan lain untuk merumuskan kebijakan yang lebih komprehensif. Untuk memudahkan pemahaman mengenai pendekatan baru dalam perumusan kebijakan pemberdayaan tersebut, maka perlu ditentukan dua hal. Pertama tentang dimensi dan tingkatan pemberdayaan, sedang kedua adalah kategorisasi dari program pemberdayaan itu sendiri.
Dalam dimensi dan tingkatan pemberdayaan, merujuk pada kajian UNDP (UNDP, 1998, Capacity Assesment and Development in A System and Strategic Management Context, Technical Advisory Paper No. 3) paling tidak ada tiga level yang harus dicapai oleh program pemberdayaan, yakni: 1) pemberdayaan pada level individu, berupa pengembangan potensi dan keterampilan; 2) pemberdayaan pada level kelompok/organisasi, yakni yang berhubungan dengan peningkatan partisipasi kelompok dalam pembangunan; serta 3) pemberdayaan pada level kesisteman, yakni berwujud meningkatnya kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosiologis maupun politis.
Adapun indikator dari masing-masing dimensi dan tingkatan pemberdayaan (UNDP, 1998) dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat
Dimensi Indikator
Level Individu:
Pengembangan potensi dan keterampilan
• Kepemilikan asset/modal
• Kekuatan fisik
• Tidak terisolasi
• Penguasaan keterampilan
• Keberfungsian lembaga usaha Level Kelompok/Organisasi:
Partisipasi dalam pembangunan
• Perencanaan dan pengambilan keputusan
• Pelaksanaan dan pengawasan keputusan bersama
• Pemanfaatan hasil-hasil pembangunan Level Sistem:
Kemandirian masyarakat • Pengurangan ketergantungan kepada bantuan luar
Sumber: Utomo, 2006
Sementara pada aspek kategorisasi program pemberdayaan, paling tidak ada
lima kelompok besar pemberdayaan (Widodo, 2006), yakni:
1. Penyediaan akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumber-sumber
daya seperti modal, informasi, kesempatan berusaha dan memperoleh
kemudahan/fasilitas, dan sebagainya.
Pemberian pinjaman lunak, penerbitan dan penyebaran buletin,
subsidi bagi pengusaha lemah, dan sebagainya dapat diklasifikasikan
sebagai aktivitas dalam kategori ini.
2. Peningkatan keseimbangan antara sebuah kondisi yang memiliki keunggulan
Sebagai contoh, kawasan perkotaan yang memiliki kelengkapan
infrastruktur transportasi dan komunikasi, lembaga keuangan bank dan
non-bank, jaringan pemasaran, dan lain-lain adalah contoh kondisi yang
memiliki faktor-faktor keunggulan. Di sisi lain, kawasan pedesaan sering
dicirikan oleh karakteristik yang sebaliknya. Oleh karena itu,
kebijakan-kebijakan yang bisa mendekatkan kesenjangan antara kawasan perkotaan
dan pedesaan dapat digolongkan sebagai pemberdayaan masyarakat.
Contoh lain, ada lahan pertanian yang sudah dilengkapi dengan
prasarana irigasi sementara lahan lain tidak memiliki prasarana yang sama.
Kebijakan pertanian yang ditempuh selama ini lebih banyak difokuskan
kepada lahan yang sudah memiliki faktor keunggulan (misalnya jaringan
irigasi) dengan alasan untuk mendongkrak produksi panen. Seandainya
pemerintah mempromosikan program intensifikasi pertanian untuk lahan
yang tidak memiliki jaringan irigasi, maka hal ini berarti telah terjadi
pemberdayaan pertanian rakyat, sekaligus pemberdayaan petani.
3. Pengembangan potensi masyarakat baik dalam pengertian SDM maupun
kelembagaan masyarakat.
Setiap upaya untuk merubah kondisi dari bodoh menjadi pintar, dari
tidak mampu menjadi mampu, dari tidak tahu menjadi tahu dan sebagainya,
jelas sekali merupakan program pemberdayaan. Aktivitas semacam
pelatihan, penyuluhan dan kursus-kursus yang diselenggarakan secara
nyata dari aksi pemberdayaan. Demikian pula, setiap upaya yang ditujukan
untuk memperkuat keberfungsian atau meningkatkan efektivitas
lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti Koperasi Unit Desa (KUD), Perkumpulan
Petani Pengguna Air (P3A), dan sebagainya dapat dikelompokkan sebagai
kebijakan pemberdayaan.
4. Penyediaan stimulus untuk membangkitkan swadaya dan swakelola dalam
bidang pelayanan umum.
Dalam banyak kasus ditemukan adanya fenomena bahwa
masyarakat (khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan), telah memiliki
kemampuan ekonomis dan manajerial yang memadai untuk mengelola
suatu kegiatan tertentu seperti perbaikan jalan dan gorong-gorong,
penyediaan air bersih melalui pembangunan sumur artesis atau sistem bak
penampungan, dan sebagainya. Hanya saja, hal ini sering terbentur pada
kendala koordinasi dan inisiatif untuk memulainya. Dalam situasi seperti
itulah, kebijakan pemerintah untuk mengucurkan stimulan atau perangsang,
sangat berarti. Stimulan di sini bisa berwujud pemberian perijinan, bantuan
teknis, atau pemberian dana suplemen bagi suatu kegiatan tertentu.
5. Penyertaan masyarakat atau kelompok masyarakat dalam proses perumusan
perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan.
Seiring dengan paradigma pembangunan yang bertumpu dan
berorientasi pada rakyat (people-based and people-oriented development), rakyat harus diakui dan ditempatkan sebagai elemen kunci dalam
perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan-kebijakan
pembangunan. Beberapa contoh program pemberdayaan yang masuk dalam
kategori ini misalnya pembentukan forum konsultasi pembangunan, deregulasi perijinan pendirian LSM atau NGO, eliminasi perlakuan
diskriminatif terhadap kelompok minoritas (keturunan, wanita, pendudu k
asli/pendatang, dll), dan sebagainya.
Langkah selanjutnya dalam menganalisis kebijakan pemberdayaan adalah
menetapkan bidang dan strategi pencapaiannya. Dalam hal ini, paling tidak ada empat
bidang pencapaian untuk mengakselerasi kebijakan pemberdayaan, yakni ekonomis,
sosial budaya, politis/administratif, serta prasarana. Sebagai contoh, untuk kategori
pemberdayaan yang pertama yakni “penyediaan akses yang lebih terbuka, luas dan
lebar terhadap sumber-sumber daya”, secara ekonomis hal ini bisa dicapai dengan
cara pemberian pinjaman lunak dan subsidi bagi pengusaha lemah, penyebaran
informasi peluang pasar domestik dan internasional, atau melalui pemberian dana
suplemen. Sementara dari aspek sosial budaya dapat ditempuh melalui penerbitan dan
penyebaran bulletin, penyediaan sarana promosi/pengadaan pekan promosi, promosi
program intensifikasi sektoral seperti pertanian, serta penyelenggaraan kursus dan
berbagai macam pelatihan.
Dalam aspek politis/administratif dapat dilakukan langkah-langkah strategis
seperti membangun kemitraan dengan sektor swasta, memperkuat fungsi atau
efektivitas lembaga kemasyarakatan, memberikan kemudahan dalam proses perijinan
(deregulasi), menghilangkan perlakuan yang diskriminatif terhadap masyarakat dan
dari aspek infrastruktur dapat dipertimbangkan untuk beberapa langkah seperti
pembukaan daerah terisolir melalui pembangunan jalan tembus, bantuan material
fisik sebagai bentuk rangsangan, dan sebagainya.
Keterlibatan tersebut, juga didukung oleh Blakely (1991) yang mengatakan
bahwa: “Local government, community institutions and the private sector are essential partners in the economic development process”. Pandangan Blakely sejalan pula dengan paradigma baru pembangunan bahwa untuk menyelesaikan suatu
masalah pembangunan di suatu daerah, harus dilakukan melalui institutional radicalization, yaitu kembali ke akar kelembagaan yang tumbuh (berada) di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.
Sering terjadi, Community Development justru mengubah keseimbangan elemen-elemen dalam masyarakat yang ada. Apabila hal ini terjadi maka dalam
jangka panjang akan merugikan masyarakat. Community Development sebaiknya dilaksanakan dengan mempertahankan perspektif keseimbangan yang ada
di masyarakat lokal.
Menurut Riza (dalam Info URDI Vol. 16), Community Development agar dapat dilaksanakan secara efektif perlu didasarkan pada beberapa pemahaman dasar
seperti di bawah ini:
a. Upaya jangka panjang. Community Development merupakan sebuah proses terus menerus (on-going process) yang menuntut lebih kepada pengembangan kelembagaan dan bukan serangkaian aktivitas dalam kerangka proyek.
b. Terbuka dan setara. Community Development adalah proses yang terbuka terhadap berbagai masukan dan pengaruh sesuai kondisi lokal. Untuk itu sikap
yang melihat berbagai stakeholder Community Development secara setara menjadi keharusan. Sikap ini merupakan prasyarat untuk mengembangkan
partisipasi.
c. Milik masyarakat. Community Development merupakan aktivitas yang dimiliki oleh masyarakat. Karenanya desain, proses, dan pengembangannya
dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat lokal.
d. Berdasar pada pengalaman kasus-kasus yang terbaik (best practices).
Community Development merupakan bagian dari proses sejarah masyarakat lokal. Community Development terutama dengan perspektif Appreciative Inquiry melihat bahwa di masyarakat banyak hal-hal positif yang dapat menjadi batu pijakan melaksanakan berbagai aktivitas lainnya.
Dengan demikian Community Development yang dikembangkan sebagai respon sesaat pada isu atau kecenderungan tertentu, membuat masyarakat tidak dapat
berpartisipasi, dan dilaksanakan terisolasi dari sektor-sektor lain pada dasarnya
bukanlah Community Development.