• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJ IAN PUSTAKA KAJ IAN PUSTAKA

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

dipaksakan terhadap pembaca yang terjerat di dalam struktur-struktur semiologi teks. Barthes memfokuskan ullang lensa arsenal teoritisnya pada konsep-konsep yang berkaitan dengan pengolahan hasrat manusia. Jadi, penekanan pembaca diarahkan pada representasi tubuh, kenikmatan, cinta, nafsu, keterasingan, intersubjektifitas, budaya, perbedaan, memori dan tulisan. (Trifonas, 2003: 12).

2.1.8 Kode-kode pembacaan

Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Roland barthes didalam tek setidaknya beroperasi lima kode pokok (five major codes) yang didalamnya semua penanda tekstual (baca:leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan kedalam salah satu dari lima buah kose ini. Kode-kode ini menciptakan sejenis jaringan (network). (Barthes, 1990:20). Adapun kode-kode pokok ditinjau Barthes adalah kode sebagai sistem makna luar yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda, menurut Barthes terdiri atas lima jenis : kode hermeneutica (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik ( logika tindakan), dan kode gnomik atau cultural yang membangkitkan suatu badan pengetahauan tertentu. (Lecthe, 2001: 196)

Pertama, kode hermeneutika atau kode teka-teki adalah satuan-satuan dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasi suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasi persoalan tersebut, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya (Barthes,1990:17). Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode ”penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban. (Budiman, 2003 : 55)

Kedua, kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak menawarkan sisi. Dalam proses pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema isi dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat dengan atribut teretentu., kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes mengaggap denotasi sabagai konotasi yang paling kuat an palinh “akhir” (Sobur, 2006: 65-66). Kode ini memanfaatvan isyarat, petunjuk atau “kiasan makna” yang

ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu (Budiman, 2003 : 56)

Ketiga, kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonemena dalam proses produksi produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem Barthes. (Sobur, 2006: 66). Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculnnya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbgai macam cara dan saran tekstual (Budiman, 2003 : 56)

Keempat, kode proaretik atau kode tindakan/lakukan. mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia seperti tindakan-tindakan membuahkan dampak-dampak dan masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam ”judul” bagi sekuens yang bersangkutan. (Budiman, 2003 : 56)

Kode ini dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang ; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan

dapat dikodifikasi. Pada prakteknya, ia menerapvan beberapa prinsip seleksi (Sobur, 2006: 66)

Kelima, kode gnomic atau cultural yang banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan kepada apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasikan yang di atasnya para penulis bertumpu (Sobur, 2006 : 66)

Tujuan analisis Barthes ini, bukan hanya untuk membangun suatu system klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian paling meyakinkan atau teka-teki yang paling menarik, merupakan pruduk buatan, dan bukan tiruan yang nyata. (Leche, 2001 :196)

2.2. Ker angka Ber fikir

Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam memaknai suatu obyek atau peristiwa. Hal ini dikarenakan latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda pada tiap individu tersebut. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini pesan disampaikan melalui teks novel, maka seseorang penulis novel dalam menyampaikan pesan yang dituliskan dalam

sebuah karyanya, tentu tidak terlepas dari Frame of Reference, dan Field of Experience. Dua hal ini juga yang nantinya akan mempengaruhi peneliti dalam memakai pesan yang terdapat dalm teks novel tersebut.

Kerangka berfikir dalam penelitian ini, menggunakan metode deskriptif atau pemaparan dengan data kualitatif. Peneliti melakukan pemaknaan tehadap tanda dan lambang tulisan pada novel yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dalam mempresentasikan penelitian ini menggunakan metode semiologi Roland Barthes, dengan menggunakan leksia, dan lima kode pembacaan.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk akan dipilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut leksia atau satuan bacaan, yaitu satuan pembacaan (unit of reading) dengan menggunakan kode-kode pembaca yang terdiri dari lima kode. Kelima kode tersebut meliputi kode hermeneutic (teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode symbolic, kode proaretik (logika tindakan), kode Gnomik (cultural).

Leksia ini dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat, atau beberapa paragraph.

Pada tahap kedua sebagai sebuah bahasa pada tataran signifikasi akan dianalisis secara metologi pada tataran bahasa atau

system semiologi tingkat pertama sebagai landasannya. Dengan cara berikut :

1. Dalam tataran Linguistik, yaitu system semiologi tingkat pertama penanda-penanda sedemikian sehingga menghasilkn tanda.

2. Dalam tataran mitos, yaitu semiologi lapis dua, tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan berhubungan pula pada penanda-penanda yang behubungan pula pada petanda-petanda pada tataran kedua.

Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan interpretasi yang mendalam dan tidak dangkal dengan disertai bukti dari pendeatan-pendekatan yang dilakukan secara ilmiah. Seperti yang ditunjukan pada gambar kerangka sebagai berikut :

Gambar 2.2 Ker angka Ber fikir

Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Analisis Menggunakan Metode Semiologi Roland Barthes Hasil Interpretasi data

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975: 5) mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. ( Moleong, 2002 : 3)

Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif, selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipaN-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan-lapangan foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. (Moleong, 2002 : 6)

Dalam pendekatan deskriptif kualitatif, Peneliti merasa penelitian ini akan dapat memperoleh pengungkapan secara rinci interpretasi penggambaran bentuk-bentuk diskriminasi

perempuan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk ini. Adapun digunakan metode deskriptif kualitatif karena metode ini akan lebih menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. (Moleong, 2002 :5)

3.2. Ker angka Konseptual 3.2.1. Definisi Oper asional

3.2.1.1. Gender , ketidakadilan dan Diskr iminasi Per empuan

1. Gender

Konsep gender timbul dari konstruksi social maupun cultural. Pembagian sifatnya dapat dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki, dapat berubah sesuai waktu, tempat dan kelas social.

Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh factor-faktor social dan budaya, bukan kodrat, sehingga terbangun anggapan tentang peran social dan budaya antara laki-laki.

2. Ketidakadilan

Ketidakadilan adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah

daripada laki-laki. Pembedaan yang tegas terhadap peran laki-laki dan perempuan yang selama ini terjadi didukung oleh budaya patriarkhi yang sangat mendominasi menyebabkan ketimpangan gender itu terjadi.

3. Diskr iminasi Per empuan

Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.

Diskriminasi terhadap perempuan didefinisikan setiap perbedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan

kebebasan-kebebasan pokok bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil atau apa pun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain.

3.3. Obyek dan Subyek Penelitian

Objek adalah unsur-unsur yang bersama-sama dengan sasaran penelitian membentuk kata dan konteks data. (Sudaryanto, 1988: 30) Dalam penelitian ini obyek penelitian hanya pada teks yang mengandung unsur diskriminasi perempuan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sedangkan yang menjadi subyek penelitiannya adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari, cetakan ketujuh tahun 2011, tebal 404 halaman. diterbitkan oleh PT.Gramedia Pustaka Utama.

3.4. Cor pus dan Penyajian data

Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu permasalahan yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembngannya oleh analisis kesemenaan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang berlasan bahwa unsur-unsur akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang lengkap. Corpus juga berifat sehomogen mungkin, baik homogen pada taraf waktu (sincrony). (Kurniawan, 2007: 70)

Corpus dalam penelitian ini adalah leksia kata dan konteks data yang mengandung unsur diskriminasi perempuan dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Corpus yang ditampilkan sebagai berikut :

1. Yang merisaukanku adalah ulah suami-istri Sakarya yang melarang Srintil keluar bermain-main di tepi kampung atau dibawah pohon nangka (hal 36)

2. Lagu-lagu pemancing berahi disuarakan. Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan. Kartareja mengangkat tubuh srintil tinggi-tinggi. Menurunkannnya kembali dan menciumi ronggeng itu dengan berahi. (hal 48)

3. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah

uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. (hal 51)

4. Dalam waktu satu malam Srintil akan menjadi barang yang sudah terbeli. Dower akan memperlakukannya sebagaimana dia suka (hal 60)

5. Seorang sepeti Kartareja tidak merasa perlu mencari orang-orang alim. Dia hanya memerlukan sebuaah ringgit emas sebagai nilai keperawanan Srintil. (hal 71) 6. “Rasus. Dengar, mereka bertengkar diluar. Aku takut,

sangat takut. Rasus, kau sungguh baik. Kau ada di sini ketika aku sedang diperjual-belikan.” Aku benci, benci.(hal 76)

7. Nanti bila Sulam terjaga, dia akan masuk kemari.”“Jadi aku harus melayani Sulam pula?”. “Tetapi perutku sakit, Nek. Amat sakit.” Pecayalah padaku. Semuanya tak mengapa kaulakukan (hal 77)

8. Srintil mengisak seorang diri. Tak terpikir lagi soal ringgit emas atau lainnya. Yang dirasakannya sekarang adalah perutnya yang bagai teriris-iris. Ronggeng itu tak akan menghentikan tangis karena binatang jantan lainnya akan segera datang menyingkap kelambu dan mendengus. (hal 78)

9. Nyai Kartareja telah memijat hingga mati indung telurnya, peranakannya. Suami-istri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab hukum Dukuh Paruk mengatakan karier seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama (hal 90)

10. Srintil hanya ingin disebut sebagai seorang perempuan utuh. Dia sungguh-sungguh ingin melahirkan anakku dari rahimnya. Pinta Srintil di tengah malam yang amat sepi. (hal 105)

11. Seorang laki-laki tergila-gila kepada ronggeng karena ronggeng memang dibuat untuk menarik hati laki-laki. Dia tidak boleh terikat kepada seorang pun. (hal 115) 12. Srintil disuruhnya melayani sebanyak mungkin laki-laki

tanpa menghiraukan adanya hari-hari pantangan, terutama pada hari kelahiran Srintil. Memang Nyai Kartareja ikut menjadi kaya. (hal 115)

13. Aku tahu seorang ronggeng sering kali dianggap sebagai ternak piaraan oleh induk semangnya. Lihatlah, dalam musim orang berhajat atau masa panen; ronggeng naik pentas setiap malam. Siang hari dia mesti melayani laki-laki yang menghendaknya. Sementara itu yang mengatur semua urusan, lebih-lebih urusan keuangan, adalah si dukun ronggeng. kasihan kan ? (hal 125)

14. Tentara itu tak merasa salah ketika tangannya menggamit pantat Srintil. Tak diduganya Srintil membalas dengan tatapan mata amarah. “Aku memang ronggeng, maka tangan laki-laki boleh hinggap di mana saja pada tubuhku. Tetapi kini hatiku bukan lagi ronggeng”! Sayang, teriakan keras Srintil hanya bergema dalam hati sendiri. (hal 132)

15. Selama ini Srintil hanya menurut pada Nyai Kartareja, lalu menerima uang atau perhiasan. Betapapun dirinya seorang ronggeng, Srintil merasa tidak mempunyai perbedaan dengan perempuan lain. Dia memiliki perasaan khusus terhadap laki-laki tertentu dan merasa harus memiliki kesempatan memilih.(hal 141)

16. Srintil masih menundukkan kepala. Kini matanya basah, setiap kali Sakum menyebut nama Rasus, setiap kali pula jantungnya berdenyut keras. Terngiang kembali ucapan terakhir yang masih sempat didengarnya, “Aku tak mungkin mengawinimu karena kamu seorang ronggeng. Kamu milik dukuh Paruk.” (hal 166)

17. Srintil sama sekali tak berperan dalam pe-nentuan. Srintil ingin memiliki hak memilih dan ikut menentukan.dalam setiap urusan yang menyangkut dirinya. (hal 202)

18. Selama enam tahun Srintil menjadi anak asuhan yang patuh sepenuhnya kepada Nyai Kartareja (hal 205) 19. Siapa saja boleh naik panggung rakyat buat berjoget

atau mencium Srintil sepuas hati. Cuma-Cuma (hal 237) 20. Srintil tetap ditahan, bahkan ronggeng Dukuh Paruk itu dipindahkan entah kemana. Mereka juga tidak tahu mengapa Srintil diperlakukan tidak sama dengan mereka yang sudah dikeluarkan (hal 253)

21. Citra seseorang perempuan kebanyakan, itulah yang ingin digapai oleh Srintil sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya. (hal 336)

22. “Nyai!” kata Srintil cepat dan keras. Aku ingin kawin seperti semua orang kawin. Itu saja.” (hal 370)

3.5. Unit Analisis

Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks yang mempresentasikan “diskriminasi perempuan” dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Peneliti menggunakan leksia Roland Barthes sebagai unit analisis. Leksia merupakan satuan bacaan tertentu dengn panjang pendek bervariasi (Kurniawan, 2001: 93). Leksia ini dapat berupa beberapa kata, satu kalimat, beberap kalimat, sebuah paragraph, dari teks novel “Ronggeng Dukuh Paruk” yang menunjukkan adanya

unsur diskriminasi perempuan dan sesuai subyek dan obyek penelitian.

3.6. Tek nik Pengumpulan Data 1) Sumber Data Primer.

Sumber data primer adalah sumber asli, sumber tangan pertama peneliti. Dari sumber data primer ini akan menghasilkan data primer yaitu data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data oleh penyelidik untuk tujuan khusus. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel “Ronggeng Dukuh Paruk”, diterbitkan oleh PT Gramedia pustaka Utama, cetakan ketujuh tahun 2011.

2) Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang berkedudukan sebagai penunjang penelitian. Sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu: sumber data yang berasal dari kepustakaan atau buku, literature-literatur pendukung lain serta artikel-artikel yang dapat mendukung penelitian ini.

3.7. Tek nik Analisis Data

Untuk dapat menganalisis seluruh temuan data yang ada di dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk”, maka peneliti akan membagi dalam beberapa langkah teknis dengan tujuan untuk

memudahkan menganalisis secara semilogi. Langkah-langkah ini merupkan pengembangan dari Roland Barthes dalam membaca semiologi teks tertulis.

Berikut ini peneliti akan menjelaskan beberapa langkah yang akan ditempuh, sebagai berikut :

1. Peneliti menggunakan semiologi Roland Barthes, dengan mengumpulkan seluruh unit analisis yang berupa leksia atau bacaan berupa beberapa kata, satu kalimat, beberap kalimat, sebuah paragraph, atau beberapa paragraph tertentu berdasarkan pemilihan atas teks novel “Ronggeng Dukuh Paruk” yang layak dan sesuai untuk dijadikan subyek penelitian.

2. peneliti membagi semua leksia yang terkumpul tersebut dalam aspek material dan aspek konseptual. Leksia-leksia tersebut dalam semiologi Roland Barthes dianggap sebagai tanda (sign). Yang dimaksud aspek material adalah teks tertulis dalam novel ”Ronggeng Dukuh Paruk” yang tedapat pada leksia, sedangkan aspek konseptual adalah gambaran yang muncul pada peneliti ketika membaca aspek material pada leksia tersebut.

3. peneliti akan menganalisa secara semiologi teks Roland Barthes dengan mengemukakan kode-kode pokok yaitu : kode hermeneutic (kode teka-teki), kode semik (makna

konotatif), kode simbolik, kode proaretik (tindakan), kode gnomic (cultural) di dalam leksia tersebut. Melalui kode-kode pembacaan ini peneliti akan menemukakan tanda-tanda dan kode yang menghasilkan makna.

Dari langkah-langkah diatas akan menghasilkan kesimpulan bagaimana representasi diskriminasi perempuan dalam novel “Ronggeng Dukuh paruk”. (Studi semiologi tentang representasi diskriminasi perempuan dalam novel “Ronggeng Dukuh paruk” karya Ahmad Tohari.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambar an Obyek Penelitian

Srintil adalah gadis Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Segenap warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat. Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main di tegalan bersama kawan-kawan sebayanya (Rasus, Warta, Darsun). Permainan menari itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya, mereka sadar bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng Kartareja. Harapan Sakarya kelak Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat.

Tokoh utama dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah seorang perempuan cantik yang bernama Srintil. Dukuh Paruk yang telah lama kering kini menampakkan kehidupannya kembali ketika Srintil,

bocah berusia sebelas tahun, menjadi ronggeng, mereka menganggap kehadiran Srintil akan mengembalikan citra pedukuhan yang sebenarnya.

Sebagaimana layaknya seorang ronggeng, Srintil harus melewati tahap- tahap untuk menjadi ronggeng yang sesungguhnya. Srintil harus dimandikan di depan cungkup makam Ki Secamenggala setelah ia diserahkan kepada Kertareja, dukun ronggeng di dukuh itu, Srintil juga harus melewati tiga tahap bukak- klambu. Dia tidak mungkin naik pentas dengan memungut bayaran kalau tidak melewati tahap yang lebih mirip sebagai sayembara bagi setiap laki-laki yang mampu memberikan sejumlah uang sebagai syaratnya. Sayembara bukak-klambu tersebut terdengar sampai kemana-mana, banyak laki-laki yang berusaha mengikutinya dengan segala cara.

Srintil pun membuktikan kebolehannya menari dalam waktu singkat, disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional sebagai seorang ronggeng dan puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal.

Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang

dianggap milik orang banyak. Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk. Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka

4.2. Penyajian dan Analisis Data 4.2.1. Penyajian Data

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dari pengamatan yang dilakukan terhadap novel “Ronggeng Dukuh Paruk”, maka hasil dari penelitian tersebut kemudian akan disajikan representasi novel “Ronggeng Dukuh Paruk” mengenai diskriminasi perempuan.

Selanjutnya novel “Ronggeng Dukuh Paruk”akan diinterpretasikan dan dianalisis berdasarkan landasan teori Roland Barthes. Mendefinisikan tanda berdasarkan aspek penanda (signifier), juga petanda (signified) denotative serta pemaknaan tataran tingkat kedua yaitu aspek penanda (signifier) dan juga petanda konotatif untuk mengetahui realitas yang sebenarnya muncul signification yang menghasilkan interpretasi secara keseluruhan.

Penyajian data dalam penelitian ini adalah 22 leksia yang terdapat dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari. Sesuai dengan korpus penelitian, leksia tersebut adalah :

1. Yang merisaukanku adalah ulah suami-istri Sakarya yang melarang Srintil keluar bermain-main di tepi kampung atau dibawah pohon nangka (hal 36).

2. Lagu-lagu pemancing berahi disuarakan. Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan. Kartareja mengangkat tubuh srintil tinggi-tinggi. Menurunkannnya kembali

Dokumen terkait