Bab 5 : Pewaris
D. Contoh Kasus
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.(QS. Al-Baqarah : 282)
D. Contoh Kasus
Semua teori yang ada di buku ini akan menjadi sia-sia kalau tidak langsung diterapkan di dalam contoh kasus. Maka untuk itu Penulis berinisiatif untuk langsung memberikan contoh-contoh nyata yang pernah Penulis langsung tangani, atau juga yang pernah ditanyakan kepada Penulis.
Dan ternyata apa yang terjadi di tengah masyarakat kita ini sebenarnya hanyalah baru urusan dasar-dasarnya saja dalam ilmu waris, belum menyentuh ke rumus dan hitung-hitungan.
Namun akibat awamnya umat Islam, hal yang sangat dasar dan sepele sekali, justru malah menjadi ajang keributan dan perpecahan keluarga.
Penulis mengganti nama dan tempat kejadian, agar tidak membuka aib atau kesalahan pihak-pihak tertentu yang harus dihindari. Tujuan pencantuman contoh-contoh kasus ini hanya untuk lebih mendekatkan kita kepada contoh realitas yang ada.
1. Contoh Kasus Pertama
Tetangga kami adalah pasangan berbeda agama. Suaminya pemeluk agama Kristen yang taat, tetapi istrinya seorang perempuan muslimah yang lahir dari keluarga yang cukup
ketet dalam masalah agama.
Pasangan ini dikaruniai dua orang anak, yang alhamdulillah keduanya ikut agama ibu mereka menjadi pemeluk agama Islam. Anak pertama laki-laki dan sudah menikah. Anak keduanya perempuan dan belum menikah.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana pembagian warisan di dalam keluarga itu ketika sang Ayah meninggal dunia?
Jawaban
Di dalam kasus ini, kita tidak akan membicarakan hukum nikah beda agama, tetapi kita akan membahas tentang hukum pembagian warisnya.
Sesuai dengan sabda Rasullah SAW, bahwa seorang muslim dan seorang kafir tidak bisa saling mewarisi, maka kalau si ayah meninggal dunia dalam keadaan bukan muslim, maka istri dan anak-anaknya bukan termasuk ahli waris. Sehingga mereka otomatis tidak akan menerima harta dari si ayah itu lewat jalur pembagian warisan.
Tetapi tetap ada jalan keluarnya, yaitu dengan menggunakan salah satu dari dua alternatif yang lain, misalnya lewat jalur hibah atau lewat wasiat.
Kalau pakai jalur hibah, maka sejak si ayah masih hidup, harta miliknya dihibahkan kepada anak dan istrinya. Sehingga harta itu kemudian berpindah pemilik, tidak lagi milik si ayah tetapi ketika ayah masih hidup itu, hartanya sudah diserahkan kepada anak dan istrinya.
Kalau pakai jalur wasiat, maka si ayah membuat surat wasiat, yang tentunya disaksikan oleh keluarganya. Isi surat itu harus tegas-tegas menyebutkan bahwa bila dirinya nanti telah mati, maka hartanya itu akan diserahkan kepada anak dan istrinya, dengan pembagian yang tidak harus menerapkan ketentuan ilmu waris.
Sehingga meski anak dan istri yang beragama Islam itu tetapi bisa mendapatkan harta dari suami atau ayah mereka, namun tidak lewat jalur hukum waris.
2. Contoh Kasus Kedua
Suatu hari ke kantor Penulis datang sepasang suami istri setengah baya. Sang suami mengadukan masalahnya, yaitu setiap hari mendapatkan teror dari tiga orang anaknya hasil dari penikahan dengan almarhumah mantan istrinya yang pertama.
Pasalnya, anak-anaknya itu meminta segera dibagi harta warisan secepatnya. Mereka tidak mau kalau harta ayah mereka sampai jatuh ke tangan istri kedua yang sekarang mendampinginya. Berikut ini penuturannya :
Saya berusia 78 tahun pak Ustadz, dan ini istri saya yang kedua, usianya 55 tahun. Sebelum menikah dengannya, dahulu saya pernah menikah dan dikarunia 3 orang anak. Sekarang mereka sudah besar semua dan sudah berkeluarga serta hidup dengan harta yang cukup. Yang pertama sudah jadi dokter, yang kedua menjadi pengusaha yang sukses serta yang ketiga sudah jadi pejabat.
Saya datang mengadukan masalah saya ini kepada ustadz lantaran saya sering diteror oleh anak-anak saya ini. Pasalnya, mereka minta saya segera membagi harta warisan milik saya ini kepada mereka, sebelum saya meninggal dunia. Mereka itu semua anak saya, tetapi di dalam hati saya menjerit, kenapa mereka segitu bersemangat minta harta saya ini segera dibagi-bagi waris. Alasan mereka, terlalu lama menuggu ayah meninggal, mendingan segera dibagi-bagi saja sejak sekarang.
Saya sudah bilang kepada mereka bahwa saya ini ayah kalian, masih sehat dan masih ingin hidup panjang, bahkan di usia yang seperti ini ayah masih menikah lagi, karena ayah masih ingin menikmati sisa hidup ini. Ternyata mereka bilang, jsutru karena ayah menikah lagi itulah mereka ingin segera harta ayah dibagi-bagi saja sejak sekarang, dari pada nanti menjadi keributan.
Pak ustadz, saya hanya bila mengelus dada melihat tingkah polah mereka itu. Mohon kiranya saya yang sudah tua ini diberikan petunjuk, syukran.
Jawaban
Semoga Allah SWT selalu melindungi dan merahmati Anda. Terkait dengan masalah yang Anda sampaikan, saya menjawab bahawa prinsipnya yang disebut dengan pembagian warisan itu hanya baru bisa dijalankan manakala si muwarrits, yaitu orang yang memiliki harta, telah dinyatakan meninggal dunia secara sah.
Artinya, ketika Anda masih segara bugar dan sehat wal afiat seperti ini, seharusnya anak-anak anda tidak perlu meributkan harta warisan. Sebab warisan itu baru dibagi nanti, kalau Anda telah menemui Allah SWT. Itu pun dengan syarat kalau Allah SWT berkenan memanggil Anda terlebih dahulu. Siapa tahu malah anak-anak anda itu yang meninggal duluan, toh kita tidak pernah tahu kapan ajal kita, bukan?
Nah yang seharusnya dilakukan sejak dahulu memang Anda perlu mendidik mereka dengan ilmu mawaris yang benar, sehingga tidak terjadi hal-hal seperti ini. Saya yakin mereka menuntut sekarang juga harus dibagi harta warisan, latar belakangnya karena mereka awam dan tidak tahu ilmunya. Kalau seandainya mereka tahu, tentu tidak akan ribut-ribut. Biasanya orang ribut itu karena khawatir tidak dapat bagian, dan juga karena tidak tahu apakah dirinya akan dapat bagian atau tidak.
Tetapi kalau seorang muslim sudah mengerti ilmu waris, tentu tidak tahu berapa hak yang nanti akan diterimanya, bila ayahnya meninggal dunia. Sehingga dia tidak akan ribut-ribut urusan harta ayahnya.
Tapi mari kita kembali ke masalah semula. Kalau Anda ingin memberi harta Anda ini kepada anak-anak Anda, sebenarnya tidak harus lewat pembagian warisan, karena harus menunggu kematian. Saat ini pun sebenarnya kalau mau, Anda bisa hibahkan sebagian harta Anda itu kepada mereka. Dalam hal ini, secara aturan, yang namanya hibah
itu boleh diserahkan dengan hitung-hitungan sekehendak hati, tanpa ada aturan-aturan seperti di dalam harta waris, juga boleh diserahkan kepada calon ahli waris. Tidak seperti wasiat yang justru tidak boleh diserahkan kepada ahli waris. 3. Contoh Kasus Ketiga
Ketika Ayah kami meninggal dunia, saya berpidato di depan para jamaah yang ikut menshalatkan jenazah. Saat itu seperti umumnya dilakukan orang-orang, saya bilang bahwa bagi siapa saja yang merasa hartanya masih ada di tangan almarhum, silahkan datang kepada kami, untuk diselesaikan urusannya.
Ternyata beberapa hari kemudian, saya didatangi oleh beberapa orang yang menagih hutang atas nama ayah kami. Dan yang bikin saya kaget adalah ternyata ayah kami itu berhutang dalam jumlah yang cukup besar, nilainya milyaran rupiah. Hutang itu sebenarnya hutang bisnis, karena kebetulan ayah kami memang seorang yang banyak melakukan transaksi bisnis, khususnya sebagai perantara jual-beli tanah, alias makelar tanah.
Pertanyaan saya, kalau kasus seperti ini, apakah kami sebagai ahli waris harus menanggung hutang-hutang orang tua kami? Dan kalau memang iya, apakah skema pertanggung-jawabannya itu identik dengan prosentase dalam ilmu waris?
Jawaban
Kasus yang Anda hadapi itu memang sering kali terjadi, yaitu ketika masih hidup dahulu, almarhum pernah berhutang secara diam-diam, tanpa pernah memberitahukan hal itu kepada para calon ahli warisnya.
Agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi di waktu lain, maka siapa pun kalau mau berhutang, khususnya hutang-hutang yang nilainya cukup besar, dia wajib bermusyawarah terlebih dahulu dengan para calon ahli warisnya. Sebab kalau terjadi apa-apa, maka para ahli warisnya itu pula yang akan disusahkan.
Di sisi yang lain, sebenarnya berhutang itu sendiri meski halal, namun bukan termasuk berbuatan yang terpuji. Khususnya bila hutang itu sifatnya hanya demi bersenang-senang saja, dan bukan kebutuhan yang sifatnya fundamental.
Contoh orang bersenang-senang dengan berhutang adalah menggunakan kartu kredit yang tidak ada kepentingannya, kecuali sekedar untuk memuaskan syahwat bergaya hidup mewah. Segala yang dibelinya dengan hutang itu justru semua yang pada dasarnya tidak dibutuhkannya.
Kembali ke pertanyaan anda, kalau sudah terlanjur terjadi, apakah skema pembayaran hutang dari ahli waris itu harus sesuai dengan prosentase hak waris?
Jawabannya tidak harus. Sebab pembagian harta warisan itu hanya berlaku untuk skema pembagian harta, bukan skema pertanggungan. Jadi tidak mentang-mentang anak laki-laki berhak mendapat 2 bagian anak perempuan dalam menerima harta waris, lantas kalau yang terjadi adalah mereka harus bayar hutang orang tua, anak laki-laki harus membayar dua kali lipat juga. Tidak demikian ketentuannya.
Dan bisa saja satu orang anak yang ingin mendapatkan kebaikan dari orang tuanya, dia sendirian yang menanggung hutang itu. Yang penting, asalkan hutang itu terbayar lunas, siapa pun yang membayarkannya, tidak menjadi masalah.