Bab 5 : Pewaris
B. Syarat Muwarrits
2. Sudah Meninggal
Agar harta bisa dibagi waris, maka syarat mutlak dalam pembagian waris adalah al-muwarrits harus meninggal lebih dulu dari ahli waris. Bila muwarrits masih hidup, pada hakikatnya tidak ada pembagian harta warisan.
Dan inilah bentuk kesalahan fatal yang paling sering terjadi di tengah masyarakat kita. Entah karena tidak tahu atau tidak mau tahu, nyaris hampir rata-rata orang tua sudah mulai mengatur membagi-bagi harta miliknya kepada para calon ahli warisnya, padahal dirinya masih segar bugar.
Mungkin alasannya masuk akal, misalnya agar nanti para ahli warisnya sepeninggalnya tidak rebutan atas harta. Alasan itu benar dan masuk akal. Yang tidak benar adalah menyebut pembagian itu sebagai pembagian warisan.
Mengapa tidak benar?
Karena kalau kita namanya pembagian warisan, syaratnya yang paling penting adalah pemilik harta itu harus meninggal terlebih dahulu. Tidak ada kamusnya orang yang masih hidup sudah mulai membagi-bagi hartanya sebagai warisan.
Lalu kalau memang tidak boleh membagi hartanya sebagai harta warisan, apa yang bisa dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari sepeninggal pemilik harta?
Jawabnya sederhana saja, yaitu dengan cara hibah dan bukan dengan cara waris. Seorang ayah berhak 100% untuk membagi-bagi hartanya kepada anak-anaknya semasa dirinya masih hidup segar bugar. Hanya namanya bukan pembagian waris melainkan pembagian harta hibah. Silahkan merujuk ke Bab Kedua dari buku ini, pada sub pembahasan
tentang waris, hibah dan wasiat.
Jadi kesimpulannya, kalau pemilik harta masih hidup dan membagi-bagi hartanya kepada para calon ahli warisnya, kita tidak menyebutnya sebagai pembagian warisan, sehingga tidak perlu mengacu kepada hukum dan ketentuan waris. Kita menyebutnya sebagai pembagian hibah.
Dalam pandangan syariah Islam, ada dua macam meninggal yang dikenal, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal secara hukum.
a. Meninggal Secara Hakiki
Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
Ini adalah bentuk meninggal yang normal, dimana seorang dokter atau pihak rumah sakit biasanya akan membuat surat kematian, setelah memastikan seorang pasien sudah tidak lagi bernyawa alias meninggal dunia.
Kematian seperti ini adalah kematian yang umumnya kita kenal, yaitu kematian yang secara hakiki memang terbukti dengan adanya jasad dari orang yang meninggal itu. b. Meninggal Secara Hukum
Selain kematian yang hakiki, ada juga kematian secaa hukum. Kematian atau meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan.
Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia.
Bagi Waris Sebelum Meninggal
yaitu membagi-bagi harta waris sebelum muwarritsnya meninggal dunia. Malah lebih konyol lagi, justru si muwarrits itulah yang membagi-bagi.
Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta warisan, manakala seorang muwarrits belum lagi meninggal dunia. Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya, pada saat dia masih hidup segar bugar.
Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah (pemberian), bukan warisan. Dan hibah itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya. Dan siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.
Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan. Bila seseorang telah menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada hakikatnya dia sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan bila kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak berhak melalukan perubahan surat kepemilikannya.
Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak untuk mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu, begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya, berhubung si anak telah menjadi pemilik sepenuhnya tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada pihak lain. Meski si ayah masih hidup.
Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir untuk memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya
kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu namanya wasiyat.
Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak tidak boleh menerima wasiat berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab Rasulullah SAW bersabda bahwa tidak ada wasiat bukan ahli waris.
ِﺇﱠﻥ
َﷲﺍ
ﹶﻗ
ﺪ
ﹶﺃﻋ
ﹶﻄ
ﻰ
ﹸﻛ
ﱠﻞ
ِﺫ
ﻱ
ﺣ
ٍّﻖ
ﺣ
ﱠﻘﻪ
ﹶﺃ
ﻵ
ﹶﻻ
ﻭ
ِﺻ
ﻴﹶﺔ
ِﻟ
ﻮ
ِﺭﺍ
ٍﺙ
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada semua pihak haknya masing-masing. Dan janganlah boleh diberikan wasiat kepada ahli waris. (HR. Ibnu Majah)7
Maka bila hal itu dilakukan juga, hukumnya haram. Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya hibah. Atau diberikan setelah dia meninggal dan namanya warisan. Dan ketika dibagi secara warisan, aturan pembagiannya telah baku sesuai dengan nash Al-Quran dan As-Sunnah.
Maksudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta warisan untuk para ahli warisnya. Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah dia meninggal dunia.