• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Naskah Drama

Dalam dokumen Sumaryanto. Bentuk Drama (Halaman 41-56)

Untuk memahami drama, berikut ini ditampilkan petikan naskah drama berjudul Gempa karya B. Soelarto berikut.

GEMPA

Lakon dua babak -PARA PELAKU:

Letnan : Wanita usia 27 tahun,

Komandan kompi “BANTENG”

Mayor : Pria usia 35 tahun, Komandan Batalyon 013 “LASKAR GABUNGAN”

Kapten : Pria usia 30 tahun,

Komandan kompi “GARUDA HITAM” Kopral : Pria usia 29 tahuo,

Ajudan komandan kompi “BANTENG”

“Sebuah drama skets revolusi yang sangat berhasil. Karya E. Nobles MONSERRAT menemukan tandingannya dalam karya B. Soelarto ini.” IWAN SIMATUPANG (alm.) Sastrawan, kritikus.

6

Babak Satu

SUATU WAKTU

SEMASA BABAK REVOLUSI BERSENJATA TENGAH MENGGELORA

Waktu pagi cerah. Dalam ruang pertemuan yang didirikan secara darurat. Ruang yang sangat sederhana itu berisikan sebuah meja, dua buah kursi sederhana.

Masuklah Mayor. Wajahnya gagah diserami rambut gondrong dan kumis-jenggot melebat. Pada ikat pinggangnya tergantung sepucuk vickers, dan sebilah belati menghias pada sisi lain. la diiringi Kopral, yang dengan sikap hormat menyilakan duduk. Kopral berpakaian seragam kumal, bersenjatakan sebilah bayonet

Mayor : Berapa lama lagi aku mesti tunggu. Kopral : Sabarlah sedikit, Pak...

Mayor : Jangan ditawarkan lagi. Kopral : Apanya, Pak.

Mayor : Kesabarannya! Sabar itu prinsip. Tidak bisa ditawar-tawar, ngerti?

Kopral : Kalau begitu kuralat ucapan tadi. Sabarlah, titik habis. Mayor : Ya. Tapi pertanyaanku belum Bung jawab.

Kopral : Setepat hitungan ilmu pasti tentu tidak dapat, Pak. Jadi sabarlah. (Seraya mau pergi).

Mayor : He, tunggu dulu! Bung jadi ajudannya sudah berapa lama? Kopral : Sejak dia diangkat jadi komandan kompi Banteng.

Mayor : Hmm. Siapa yang mengusulkan pada markas Besar Tentara untuk mengangkatnya jadi komandan dengan pangkat letnan? Kopral : Kami sendiri, seluruh anak buah kesatuan.

Mayor : Kalian? Astaga, kalian jantan-jantan yang berotot banteng mengusulkan seorang bctina untuk menjadi komandan kesatuan kalian. Lucu sekali! (Ledak tawanya).

Kopral sesaat nampak jengkel, tapi mendadak pula ledak tawanya, hingga Mayor cepat menghentikan tawanya. Dan dengan kurang mengerti, menatap Kopral.

Mayor : He, apa yang Bung tertawakan, ha? Kopral : Lelucon itu.

Kopral : Justru karena saya merasa sekali. Mayor : Apa yang Bung rasakan, ha? Kopral : Kelucuan Bapak.

Mayor : Apanya yang lucu?

Kopral : Bapak menertawakan persoalan yang tidak Bapak mengerti. Itu sama saja dengan menertawakan diri Bapak sendiri.

Mayor : Tolol! Yang badut itu Bung!

Kopral : Itulah! Bapak anggap badut itu justru menganggap bahwa yang badut adalah Bapak.

Mayor menghentakkan kaki kanan tanda marah.

Kopral : Sabarlah, Pak. (Terus cepat-cepat keluar). Mayor : Setan! Jika saja kau bawahanku, rasakan!

Mayot menghantam tinjunya ke meja. Dengan sikap dongkol ia terus duduk di tepi meja. Tangannya merogoh saku celana. Dikeluarkannya selembar kertas terlipat. Sesaat dibaca, lalu diremas-remasnya dalam genggaman, sambil menggerutu gemas.

Mayor : Tidak bisa, ini tidak bisa terjadi! Dengan alasan apa pun juga aku tidak bisa menerima pengangkatan seorang betina menjadi komandan kompi. Terlebih pula dengan jabatan komandan sektor. Aku komandan sektor, tidak bisa terima penghinaan total ini!

Kopral muncul lagi diiringi Kapten Komandan Kompi “Garuda Hitam”. Kapten yang berwajah cakap dengan kumis manis itu, senyum-senyum, sambil mengelus rambutnya yang sudah licin tersisir rapi. Pakaian seragamnya nampak masih baru bersih. Pada dada kiri tersemat lencana bergambar garuda warna hitam. Dan sehelai sapu tangan hitam polos, nampak teratur terkalung pada lehernya. Pada ikat pinggangnya yang dihiasi rantaian peluru pistol, sepucuk Volt Smith, tergantung manis dengan gaya koboi. Melihat kedatangan mereka itu, Mayor nampak tambah dongkol. Cepat ia bangkit bertolak pinggang. Matanya menyorot kemarahan pada Kopral.

Mayor : Jangan main-main, ya! Bukan dia yang kunantikan.

Kopral : Sabarlah, Pak. Memang bukan beliau, eh. bukan Bapak kapten ini. Beliau seperti Bapak juga keperluannya.

Mayor : Aku mau ketemu dan bicara dengan komandan Bung, berempat mata saja, tahu! Bergiliran.

Kopral : Tentu Pak, tentu. Saya jamin pasti berempat mata saja. Eh, bergilir dengan Bapak kapten ini. Bapak giliran pertama.

Mayor : Jadi, apa perlunya Bung kapten ini dibawa masuk.

Kopral : Tentu saja nanti Bapak kapten akan keluar bila Bapak sedang berunding dengan komandan kami.

Mayor mau bicara lagi, tapi berhenti karena perhatiannya mendadak tertuju kepada Kapten yang menyela tepat pada waktunya dengan dehem-dehem. Kapten menghormat dengan sedikit membungkukkan badan, sambil senyum ramah.

Kopral : Dan beliau, Kapten. Komandan kompi “Garuda Hitam”.

Kapten : Satu kehormatan bisa berkenalan dengan Mayor komandan batalyon yang begitu kenamaan. Secara pribadi, saya merasa mendapat kehormatan besar untuk bisa berkenalan dengan pribadi Bapak, ya dikelilingi cerita dan warta tentarig kepahlawanan Bapak yang mengagungkan.

Mayor : Hmm. Kapten dan kesatuan Bung juga sudah banyak kukenal dalam berita.

Kopral : Nah, selamat berkenalan.

Kopral terus keluar. Kapten merogoh saku mengeluarkan sebungkus rokok, ramah menawarkan pada Mayor, yang menerimanya dengan menarik sebatang, sambil mengamati rokok yang sudah terselip antara jari- jarinya.

Mayor : Terus terang saja Bung ya, aku sudah sering kali dengar cerita tentang kesatuan Bung. Cerita yang sangat tidak baik.

Kapten : Bahwa kesatuanku lebih cenderung sebagai kesatuan gerombolan liar, geiombolan pengacau. Demikian?

Mayor : Ya.

Kapten : Bahwa kesatuanku bertindak sebagai penguasa bersenjata yang merupakan satu-satunya penguasa di sektor ini. Dan mahkota yang berpraktik sebagai diktator-militer atas sektor, yang begini strategis lagi kondang subur lohjinawi. Demikian?

Mayor : Begitulah.

Kapten ketawa kecil sambil mengembuskan asap rokok dengan

sikap kebangsawanan. Lalu suaranya meluncur lancar.

Kapten : Ya, begitulah fitnah orang yang menaruh iri-dengki. Betapa tidak, sejak kesatuanku berhasil menguasai sektor ini, adalah satu kenyataan bahwa tentara musuh tidak lagi berani coba-coba merebut wilayah ini. Sedang sebelum itu, tak pernah ada satu kesatuan laskar pejuang, bahkan kesatuan tentara resmi yang berhasil menghalau tentara penduduk dari sektor ini. Sekarang

sebagaimana yang mungkin telah Bapak dengar sendiri, saya telah berhasil mengoordinasi sedemikian rupa, bila banyak or-ang yor-ang menaruh iri dengki atas hasil yor-ang saya capai. Dan adalah sangat wajar pula, bila mereka yang iri dengki berusaha memfitnah dengan menyiarkan warta berita dusta.

Mayor : Hmm, itu yang akan kuselidiki. Dusta dan kebenarannya. Itulah salah satu alasanku untuk menggerakkan batalyonku ke sini. Kapten : Satu tindakan yang tepat lagi bijaksana dari bapak. Namun pada

kesempatan ini pula saya berikan satu bukti lagi. Bukti betapa dustanya fitnah yang dilancarkan orang terhadap diriku. Sekiranya saja apa yang dikatakan orang mengenai diriku itu benar, maka pastilah...

Kapten cepat cekatan mencabut Coltnya. Cekatan pula membuka kunci dan ditodongkan ke arah dada Mayor yang tersentak kaget.

Kapten : Dalam beberapa detik lagi, Bapak sudah mati sebelum Bapak sempat mencabut Vickers dan meneriakkan pertolongan.

Lalu dengan lincahnya Kapten memainkan pistol di tangan, mengunci kembali. Dan sambil tersenyum dengan gerakan enak memasukkan senjata ke tempat semula. Tenang pula membuang dan menginjak api puntung. Mayor yang masih nampak kaget mengembuskan napas panjang.

Kapten : Dan apa kenyataan yang Bapak saksikan?

Mayor berusaha menguasai rasa kagetnya, ketawa ringan sambil mengangguk-angguk.

Mayor : Ya, ya. Ternyata Bung tidak tembak aku. Dan itu mendorong sikapku untuk tidak terlalu mempercayai segala cerita buruk tentang diri Bung.

Kapten : Saya jadi tambah kagum akan kebijaksanaan Bapak. Dan untuk tidak mengurangi kebijaksanaan Bapak yang kini cenderung untuk mempercayai saya, maka saya akan mengimbangi dengan segala kemampuan yang ada, memberikan bantuan sebesar-besarnya kepada Bapak. Kami yakin bahwa kehadiran batalyon Bapak akan lebih memantapkan posisi kami dalam menghadapi tentara musuh.

Mayor : Bagus! Bantuan Bung pasti sangat kuhargai. Bung harus tahu, tujuan utama gerakan batalyonku ke sektor sini adalah menjadikan wilayah ini sebagai pusat pertahanan kami, untuk kemudian melancarkan serangan umum terhadap musuh yang masih bercokol di perbatasan sana.

Kapten : Kami pasti akan merasa bangga bernaung di bawah panji-panji batalyon Bapak. Selain itu Pak, rasanya kita akan dapat lebih mengakrabkan kerja sama kita. Dalam menghadapi perintah-perintah markas besar tentara, yang kulihat masih teremas dalam genggaman Bapak itu.

Mayor sesaat memperhatikan remasan kertas yang masih belum terlepas dalam genggamannya.

Kapten : Khusus untuk menghadapi perintah-perintah yang tertulis pada kertas itulah, saya kemari.

Mayor : Maksud Bung, menolaknya?

Kapten : Setepat dugaan Bapak. Dan saya kemari ini adalah secara resmi, tegas-tegas menolaknya. Menolak untuk menggabungkan diri pada tentara nasional. Konsekuensinya, menolak kedudukan selaku komandan sektor atas wilayah ini yang oleh markas besar tentara sudah dipercayakan pada letnan wanita itu, dengan segala wewenangnya.

Mayor : Kalau begitu kita sejalan.

Mayor dengan gemas merobek-robek remasan kertas, dilemparkan ke

bawah dan diinjaknya.

Mayor : Aku akan pertahankan kedudukan batalyonku sebagai kesatuan laskar pejuang yang bebas. Persetan dengan segala perintah Markas Besar Tentara! Dan khusus terhadap komandan betina itu. Akan kutunjukkan padanya nanti, bahwa dialah yang mesti mengakui aku sebagai komandan sektor ini.

Kapten : Jadi Bapak selain mempersetankan segala perintah Markas Besar Tentara itu, juga bermaksud hendak menguasai sektor ini? Mayor : Ya. Bagaimana pendapat Bung?

Kapten : Ooo, tentu saya dukung, baik secara resmi maupun secara pribadi. Untuk lebih menguatkan dukungan itu, selain pernyataan-pernyataan saya tadi, dengan ini pula saya selaku komandan Kompi “Garuda Hitam” menyatakan kesetiaan kami terhadap Bapak. Kami serahkan segala wewenang serta tanggung jawab wilayah ini kepada Bapak selaku komandan Batalyon 013. Mayor : Bagus-bagus!

Kapten : Cuma saja yang menjadi pemikiran saya sekarang ini, adalah konsekuensi pembangkangan kesatuanku terhadap letnan wanita yang telah diberi wewenang dan kedudukan selaku komandan sektor.

tanggung jawabnya. Tapi Bung, terus terang saja aku sendiri merasa dihadapkan kesulitan untuk bertindak secara militer terhadap wanita itu. Sebab dia, perempuan. Dan perempuan adalah perempuan. Dan perempuan itu, eh...

Kapten : Kabarnya, lumayan juga. Mayor : Ha! Apa?!

Kapten : Ah kita kan lelaki, Pak.

Mayor ketawa ringan, disambut senyum Kapten.

Mayor : Wah, aku sudah terlanjur bicara terus terang sama Bung. Jadi apa boleh buat, aku akan selalu bicara begitu, khususnya mengenai dia. Eh, perempuan itu. Dia sudah kukenal lama Bung. Jadi Bung tentu tahu kenapa aku sulit untuk bertindak tegas secara militer terhadap dia.

Kapten : Oo, begitu?

Mayor : Ya. Soalnya antara aku dan dia ada sejarahnya. Kapten : Sejarah pribadi, bukan begitu, Pak?

Mayor : Ya, tentu. Tentu saja bukan sejarah militer. Aku kenal dengan dia sejak di kesatuan laskar. Dan dia mengenai aku, sejak dia masih jadi oh, masih perawan tentu saja. Masih kembang yang tengah mekar wangi dan jadi rebutan antara kami, jantan-jantan yang mengelilinginya. Dan eh, aku sendiri termasuk di antara mereka yang ingin mempersuntingnya....

Kapten bersiul panjang.

Mayor : Nada suara Bapak mulai romantis iramanya. Mayor : Apa itu tadi bilang?

Kapten : Romantis. Ah semacam ungkapan pernyataan yang serba manis, indah lembut mewangi, yang senantiasa lestari membarai rasa hati insani yang tengah kasmaran dibius kasih birahi.

Mayor : Wah, enak didengar itu. Dengan kata lain Bung menyatakan bahwa aku ada rasa tertentu terhadap dia ya.

Kapten : Itu kan tafsiran Bapak. Soalnya Bapak sendiri bagaimana. Ada atau tidak?

Mayor : Kalau pun ada, itu urusanku pribadi.

Kapten : Maaf Pak, sama sekali saya tidak ingin campuri urusan pribadi Bapak. Cuma saja sekiranya Bapak benar menyimpan rasa tertentu padanya, dan karena kalian telah lama saling mengenal, rasanya itu akan dapat merentangkan jalan sutra yang memberikan kemungkinan serba baik, lagi manis dalam penye-lesaian masalah yang Bapak hadapi sekarang. Rasanya secara

pribadi saja, Bapak akan dapat meyakinkan padanya, bahwa dia sebaiknya menarik kompinya dari wilayah ini. Dan tidak layak untuk menjadi komandan sektor.

Mayor mengangguk-angguk, lalu mondar-mandir sesaat dengan wajah serius. Dan sebuah senyum pada bibirnya cepat mengubah sikap wajahnya. la menghampiri Kapten yang menyambut dengan senyum. Di tepuk-tepuk pundak Kapten dengan sikap akrab.

Mayor : Aku dapat ilham. Untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa menggunakan prinsip kekerasan.

Kapten : Tanpa mengurangi kepercayaan saya terhadap kebijaksanaan Bapak. Namun, Bapak akan dihadapkan alternatif yang sangat gawat bila nanti sikap Bapak yang begitu simpatik ternyata ditolak olehnya.

Mayor : Hmm, ya. Tapi kemungkinan kegagalan ajakanku secara baik-baik itu memang sudah termasuk perhitungan. Nah, bila kemungkinan itu jadi kenyataan, apa boleh buat aku bikin perhitungan sendiri terhadapnya. Akan kutunjukkan segala kewibawaanku dan kekuatanku serta kekuasaanku selaku komandan batalyon. Sedemikian rupa, sehingga paling sedikit ia akan mengakui bahwa segala wewenang yang diberikan oleh atasannya, hanya berlaku di atas kertas saja. Dan apa yang akan manipu diperbuatnya, bila kompinya yang kerdil itu kulucuti, ha ...

Kapten : Satu taktik yang mengagumkan dari Bapak.

Mayor : Jadi, Bung tidak perlu pusing-pusing lagi terhadap dia.

Kapten : Benar Pak. Seluruhnya saya percayakan pada Bapak. Izinkan saya kembali ke pasukan, untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan penyerahan kekuasaan militer sektor ini, ke tangan Bapak. Dan persiapan penggabungan pasukan ke dalam batalyon Bapak.

Mayor : Bagus. Tunggu sebentar. Eh, sudah terpikir olehku untuk mempertimbangkan Bung menjadi pembantuku yang penting dalam staf komando batalyon.

Kapten : Terima kasih untuk kehormatan yang Bapak anugerahkan.

Kapten memberi hormat secara militer. Mayor membalas dengan anggukan penuh kebanggaan. Selepas Kapten pergi. Mayor ketawa kecil sambil bertolak pinggang angkuh.

Mayor : Sepantasnya sudah bila sekarang pangkatku kunaikkan lagi dari Mayor ke letnan kolonel.

Tawa Mayor terhenti dengan masuknya Kopral diiringi Letnan. Wanita itu berpakaian seragam. Pada ikat pinggangnya tergantung jenis Volt. Pandangan Letnan langsung tertuju ke wajah Mayor yang menyambut dengan senyum lebar. Tapi Letnan bersikap dingin. Melihat sikap Letnan, mata Mayor mengalihkan pandangannya ke arah Kapten yang nampak agak kaget karena telah tiada.

Mayor : Bung tidak perlu cari dia. Kami barusan berunding, segala persoalan sudah diserahkan padaku semua. Dia tidak merasa perlu lagi ketemu komandan Bung ini.

Kopral : O ya, kenalkan...

Mayor : Tidak perlu pakai upacara perkenalan lagi. Bukan begitu Nyonya?

Letnan tidak membalas, ia memberi isyarat kepada ajudannya, dan keluarlah Kopral. Begitu Kopral pergi, Mayor hidangkan senyumnya lagi. Tajam pandangannya meneliti Letnan yang masih tegak, mulai dari sepatu sampai ke kepala. Mayor maju dua langkah, sambil terus senyum-senyum.

Mayor : Senang ketemu kau kembali, setelah bertahun aku tidak pernah beroleh kesempatan untuk menikmati wajahmu. Hmm, wajahmu begitu awet muda. Masih seperti dulu saja...

Tanpa menjawab sepatah kata pun Letnan menghindar menuju ke balik meja, pandangannya dingin saja. Melihat sikap Letnan, cepat Mayor mengubah sikapnya pula.

Mayor : Maafkan, seharusnya aku lebih dahulu menyampaikan belasungkawa dengan gugurnya suamimu dalam menjalankan tugas.

Letnan hanya membalas dengan sedikit menganggukkan kepala.

Mayor : O ya, apakah sudah diperoleh kepastian sebab-sebab tewasnya suamimu, bersama anak buahnya, menurut berita, sedang bertugas melakukan ekspedisi ke sektor ini.

Letnan : Kebetulan aku ditugaskan kemari, kelak akan dapat kuselidiki siapa yang telah menewaskan almarhum bersama anak buahnya. Mungkin ditewaskan patroli musuh, mungkin juga oleh kesatuan lain yang banyak berkeliaran di sektor ini. Tapi Mayor, lepas dari itu semua, jika diizinkan aku bertanya apa maksud Mayor kemari.

Mayor : Sebab aku memang bermaksud kemari. Siapa yang akan menghalangi keinginanku bila aku memang bermaksud kemari.

Letnan : Memang tidak ada. Tapi dari edaran pengumuman Markas Besar Tentara, aku yakin Mayor selaku komandan Batalyon 013, tentu sudah mengetahui bahwa sektor ini sekarang sudah resmi berada di bawah pengawasan kekuasaan tentara nasional. Semua kesatuan laskar yang berada di daerah operasi ini, wajib menggabungkan dan meleburkan diri. Atau bila enggan, wajib menarik diri dari sektor ini. Dan tidak boleh ada kesatuan laskar manapun juga, memasuki teritorial ini tanpa seizin kami yang telah mendapat wewenang selaku komandan sektor.

Mayor : Yaa, yaa. Itu aku sudah tahu. Tapi harus juga kau ketahui bahwa gerakan batalyonku kemari adalah sudah menjadi program kami sendiri. Kami akan bersihkan sektor ini dari gerombolan bersenjata yang bertindak semaunya sendiri, demi nama baik laskar pejuang. Kemudian kami akan menduduki sektor ini, untuk sementara, guna menyiapkan serangan umum terhadap satuan-satuan musuh yang masih bercokol di perbatasan sana. Jadi jangan salah paham, sama sekali bukan maksud kami menjadikan sektor ini wilayah kekuasaan kami untuk selamanya. Jika kelak kami sudah bersihkan sektor ini dari gerombolan pengacau, kami akan berangkat menghantam musuh, silakan Nyonya jadi komandan sektor.

Letnan : Secara pribadi, aku dapat mengerti dan menghargai Mayor, tapi Mayor agak terlambat. Sektor ini sekarang sudah kami... Mayor : Tadi aku sudah bilang, aku sudah tahu. Tapi sadarlah, siapa

nyatanya yang sekarang ini menguasai wilayah ini. Kompimu? Atau batalyonku? Dan ingat, batalyonku sejak dilahirkan dari kawah revoiusi hingga sekarang senantiasa berdiri sendiri. Tidak pernah kami tunduk pada perintah panglima teritorium manapun juga yang diangkat oleh tentara nasional. Juga sekarang ini. Akulah komandan batalyon, aku pulalah yang menentukan, bukan perintah-perintah dari markas besar tentara. Karenanya dengan sangat menyesal mesti kukatakan padamu, bahwa sekarang pada kenyataannya batalyonkulah yang menguasai sektor ini. Maka aku tidak peduli, kau bilang sudah agak terlambat, atau sudah terlambat. Kenyataannya akulah yang saat ini jadi komandan sektor, sampai atas kemauanku sendiri, aku tinggalkan wilayah ini. Baru kau boleh praktikkan jabatan dan segala wewenang seperti yang tercantum di atas kertas pengangkatan atasanmu.

Mayor : Ya, itulah pernyataanku yang resmi. Letnan : Ada yang tidak bersifat resmi? Mayor : Bersifat pribadi.

Letnan : Persoalan perjuangan bukan persoalan pribadi.

Mayor : Tentu, itu aku sudah tahu. Tapi kau pun tahu, bahwa banyak masalah dan kesulitan perjuangan yang bisa diatasi dengan memperoleh saling pengertian lewat membicaraan-pembicaraan pribadi.

Letnan menundukkan muka, dengan penuh pemikiran ia berjalan beberapa langkah.

Mayor : Bagaimana dengan usulku untuk mencari pendekatan pengertian?

Letnan : Silakan.

Letnan duduk, Mayor senyum dengan sebuah harapan yang membias pada wajahnya.

Mayor : Tentu kau sudah mengenal siapa aku, sejak kau masih pegang barisan Srikandi dulu. Tentu pula kau masih ingat betapa aku... Letnan : Ah, jangan begitu sentimental.

Mayor : Sentimentil? Bukankah sifat itu yang justru menentukan berhasil dan tidaknya suatu urusan pribadi. Terlebih buat seorang lelaki yang berusaha menyentuh hati wanita.

Letnan : Ini bukan perundingan cinta.

Mayor : Tapi, dari dulu sikapku padamu selalu bertolak dari itu.

Letnan : Dulu aku menolak. Sekarang aku tetap pada pendirianku. Mari, kumohon Bung jangan menyakiti hatiku lagi.

Letnan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Mayor : Wanita tetap wanita. Betapa pun perkasamu menghadapi peluru bertanding maut. Tak kuasa hatimu tegak disentuh kenangan kasih.

Letnan membuka wajahnya dengan mata terkaca-kaca, namun ia tabah menatap Mayor.

Letnan : Jangan salah tafsir.

Mayor : Kurasa tidak. Aku tahu rawan hatimu yang ditandai alamat pada kedua matamu itu, tertuju pada kenangan almarhum suamimu. la dengan segala keagungan kasihnya, lestari membungai kenangan mewangi sepanjang hidupmu. Namun, kau pun sadar, kini ia cuma satu khayali yang membekas hati. Betapa pun indah

dan nikmatnya suatu khayalitakkan kuasa terus-menerus menahan tuntutan kenyataan ini? Bahwa masih ada pria yang sanggup menggantikan almarhum...

Letnan : Bila saja izinkan aku menyatakan. Pastilah setulus hatiku, kunyatakan rasa hormat dan penghargaanku terhadap simpatimu padaku. Berbarengan dengan itu pula kunyatakan penyesalanku, bila sikapku tetap seperti dulu. Ketahuilah, dia bagiku adalah yang pertama sekaligus yang terakhir kali.

Wajah Mayor berubah membiaskan keruntuhan harapannya, yang dicobanya menyembunyikan dengan sebuah senyuman yang tertahan.

Mayor : Luar biasa keteguhan sikapmu yang tidak pernah berubah sejak dulu hingga detik ini. Hatimu seteguh granit memang...

Letnan : Bung untuk tidak lebih menyiksa batinku, batinmu, aku menolak pembicaraan-pembicaraan pribadi ini. Tidak pada tempatnya dalam suasana perjuangan mati-hidup melawan musuh-musuh revolusi, kita mengedepankan urusan dan kepentingan pribadi dengan segala sentimennya. Jika Bung benar-benar berjuang untuk pengabdian cita revolusi, janganlah itu diiringi pamrih-pamrih pribadi yang tersembunyi. Dan jika Bung hendak selesaikan persoalan ini, janganlah itu diselewengkan untuk

Dalam dokumen Sumaryanto. Bentuk Drama (Halaman 41-56)

Dokumen terkait