• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumaryanto. Bentuk Drama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sumaryanto. Bentuk Drama"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

Memahami Karya

Memahami Karya Sastra

Sastra

Bentuk Drama

(2)

Oleh : Sumaryanto Editor : Sulistiono

Lay out : Ferry Andriyan August

Perwajahan & Ilustrator: Ferry Andriyan August Sampul : Gatot Supriyatin

ISBN : 978-979-053-114-7 Tahun Terbit: 2009

Buku ini diset dan dilay out menggunakan Adobe PageMaker 7.0, Photoshop CS, dengan font Georgia12pt.

Penerbit:

CV. PAMULARSIH

JL Srengseng Raya No. 126 Kembangan - Jakarta Barat Telp/Fax. (021) 5842613

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Memahami Karya Sastra

(3)

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha kuasa. Dengan segala rahmat, petunjuk, dan karunia-Nya, akhirnya buku ini dapat penulis hadirkan sebagai pendamping dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Salah satu pokok pembahasan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah mempelajari kesusastraan karya pengarang-pengarang Indonesia. Adapun tujuan pembelajaran kesusastraan di antaranya untuk membimbing siswa agar mampu memahami, menikmati, dan menulis karya sastra yang diajarkan di sekolah. Bertolak dari alasan tersebut, maka penulis menyusun buku ini sebagai alternatif untuk memandu siswa memahami karya sastra, khususnya bentuk drama.

Buku Memahami Karya Sastra Bentuk Drama ini disusun untuk mendukung proses pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Materi pembahasan dalam buku ini pun disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Demikian pula, pembahasannya pun diupayakan secara ringkas dan sederhana sesuai dengan bahan yang diperlukan siswa. Dengan mempelajari buku ini diharapkan siswa dapat mengembangkan kretivitasnya dalam mengapresiasi dan membuat karya sastra sederhana. Penulis berharap buku ini dapat membantu siswa dalam memahami karya sastra bentuk drama. Semoga kehadiran buku ini dapat bermanfaat.

Kata

(4)

Kata Pengantar _____ iii Daftar Isi _____ iv Bagian Satu Mengenal Drama _____ 1 A. Pengertian Drama _____ 1 B. Jenis Drama _____ 5 Bagian Dua

Unsur-Unsur Teks Drama _____ 10

Bagian Tiga

Unsur-Unsur Pementasan Drama _____ 17

Bagian Empat Fasilitas Pementasan _____ 26 A. Panggung _____ 26 B. Kontrol Cahaya _____ 29 C. Kontrol Suara _____ 29 D. Ruang Gantung _____ 30 E. Sistem Akustik _____ 30 Bagian Lima

Pelatihan Pemain Drama _____ 31 A. Latihan Dasar _____ 31 B. Pelatihan Aktor _____ 34

Bagian Enam

Contoh Naskah Drama _____ 37

Daftar Pustaka _____ 52

Daftar

Isi

(5)

Mengenal Drama

A. Pengertian Drama

Drama merupakan salah satu genre sastra, selain prosa dan puisi. Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda dengan lakuan serta dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Drama dapat dipandang sebagai seni sastra dan seni tersendiri, yaitu seni drama. Drama sebagai seni sastra dapat terlihat dari naskah drama yang ditulis oleh pengarang. Drama merupakan karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya. Oleh karena itu, drama sebagai karya sastra hanya bersifat sementara, sebab drama ditulis untuk dipentaskan. Meskipun demikian, naskah drama sebagai karya sastra tetap memiliki nilai-nilai estetika meskipun belum dipentaskan.

Selain percakapan para pelaku, naskah drama juga berisi penjelasan mengenai gerak-gerik dan tindakan yang dilaksanakan pelaku. Penjelasan gerak-gerik dan tindakan pelaku ini ditulis di antara tanda kurung untuk

1

(6)

membedakannya dengan percakapan atau penjelasan lain. Selain itu, naskah drama juga berisi penjelasan tentang panggung dan peralatan yang dibutuhkan serta penataannya, musik pengiring, dan lain-lain. Pendek kata, naskah drama itu berisi percakapan dan penjelasan lengkap tentang cara memeragakan percakapan itu. Dengan demikian, para peraga yang akan memeragakan cerita harus menghafalkan percakapan dan gerak-gerik yang tertulis dalam naskah. Setelah itu, para peraga (aktor) perlu berlatih berulang-ulang supaya percakapan (dialog) dan gerak-geriknya (akting) sesuai dengan yang dikehendaki naskah. Jadi, percakapan dan gerak-gerik pelaku itu merupakan perwujudan dari naskah drama.

Agar lebih jelas, berikut ini ditampilkan kutipan naskah drama. Naskah drama ini berjudul Bapak karya B. Soelarto

Bapak

(Dan dalam rumah terdengar suara-suara isyarat pesawat pemancar isyarat . Bapak tersentak keheranan. Dan dengan penuh curiga si Bapak melangkah ke dalam. Si Bungsu muncul dengan mencangklong tas penuh berisi bungkusan makanan dan sayur mayur.)

Bungsu : Ee, ke mana semuanya ini .... ?

(Di luar terdengar orang mengetuk-ngetuk pintu)

Bungsu : Oo, Mas. Mari Mas silakan masuk.

(Perwira muncul beriringan bersambut senyum si Bungsu)

Perwira : Maafkan, aku tadi tidak sempat menemui ....

Bungsu : Lupakanlah. Yang penting, sekarang Mas sudah berada di sini Perwira : Di mana abangmu, Dik? Tentulah ia amat jengkel padaku, bukan? Karena sejak kedatangannya di sini, ia tadak selalu berhasil dalam usahanya mengenalku. Ya aku pun sangat ingin mengenalnya. Dapatkah kini aku yang memperkenalkan diri? Bungsu : Tentu, dan itu sudah kewajibanmu, Mas.

(Mendadak dari dalam terdengar suara tembakan pistol beberapa kali. Si Bungsu dan Perwira tersentak kaget.)

(7)

Bungsu : Kau dengar, Mas? Perwira : Tembakan pistol! Bungsu : Dari dalam rumah....

Perwira : Pasti ada sesuatu yang tidak beres di dalam sana. Adakah Bapak memiliki senjata api itu, Dik? Bungsu : Setahuku, tidak.

Perwira : Abangmu, barangkali?

(Si Bapak mendadak muncul dengan pistol di tangan kanan dan sebuah map tebal di tangan kiri. Mereka saling menatap dengan heran tegang. Si Bapak meletakkan map di atas meja, pistol diletakkan di atasnya.)

Bapak : Pistol ini milik putra sulungku.... Bungsu : Bapak, apa saja yang terjadi?

Bapak : Aku... aku telah menembak mati abangmu, anak kandungku sendiri.

(Si Bungsu menjerit.)

Bungsu : Tapi ... tapi bagaimana mungkin Bapak bertindak begitu.... Bapak : Bagaimanapun juga, aku telah melakukannya dengan penuh

kesadaran.

Bungsu : Apa... apa dosa abangku seorang!

(Si Bapak tenang duduk, berusaha menguasai diri. Lalu menatap ke arah Perwira yang masih terpaku keheranan.)

Bapak : Nak, lihatlah! Ada alat-alat apa saja di kamar dalam sana? Bungsu : Bapak, jawablah tanyaku tadi. Katakanlah apa dosa, apa salah

Abang!

(Si Bapak terdiam. Si Bungsu terisak pilu. Perwira cepat pergi ke dalam. Sejenak sepi selain sedu sedan si Bungsu. Kemudian, Perwira muncul pula dengan wajah memucat, tangan kanan mencangklong alat peneropong. Tangan kiri mengepit lipatan peta militer dan pistol isyarat.)

Bapak : Apa saja yang kau temukan di sana...?

Perwira : Sebuah alat pesawat pemancar isyarat radio dan yang kubawa ini....

(8)

(Barang-barang diletakkan ke atas meja.)

Perwira : Pistol isyarat. Peta militer yang secara terperinci menggambarkan denah kota ini, lengkap dengan tempat-tempat instalasi-instalasi militer, kubu-kubu pertahanan kita di sini.

(Si Bapak menoleh ke arah si Bungsu yang masih tersedu.)

Bapak : Kau dengar sendiri, Nak? Abangmu, seorang pengkhianat. (Si Bapak gemetar tubuhnya, dan suaranya menggemetarlah.)

... (“Bapak” karya B. Soelarto) Naskah drama yang termasuk seni sastra akan menjadi seni drama jika dipentaskan. Tontonan drama memang menonjolkan percakapan (dia-log) dan gerak-gerik para pemain (akting) di panggung. Percakapan dan gerak-gerik itu memeragakan cerita yang tertulis dalam naskah.

Drama sering disebut sandiwara atau teater. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa: sandi yang berarti rahasia dan warah yang berarti ajaran. Sandiwara berarti ajaran yang disampaikan secara rahasia atau tidak terang-terangan. Lakon drama sebenarnya mengandung pesan/ ajaran (terutama ajaran moral) bagi penontonnya. Penonton menemukan ajaran itu secara tersirat dalam lakon drama. Misalnya, orang yang menebar kejahatan akan menuai kehancuran.

Dalam perkembangannya drama di masyarakat kita mempunyai dua arti, yaitu drama dalam arti luas dan drama dalam arti sempit. Dalam arti luas, drama adalah semua bentuk tontonan yang mengandung cerita yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dalam arti sempit, drama adalah kisah hidup manusia dalam masyarakat yang diproyeksikan ke atas panggung, disajikan dalam bentuk dialog dan gerak berdasarkan naskah, didukung tata panggung, tata lampu, tata musik, tata rias, dan tata busana. Dengan kata lain, drama dalam arti luas mencakup teater tradisional dan teater modern, sedangkan drama dalam arti sempit mengacu pada drama modern saja.

(9)

Seni drama diwujudkan dari berbagai bahan dasar karena dalam seni drama terkandung seni-seni yang lain. Seni drama sebagai tontonan merupakan perpaduan sejumlah cabang seni, yaitu: (1) seni sastra (naskah cerita), (2) seni lukis (tata rias dan tata panggung), (3) seni musik (musik pengiring), (4) seni tari (gerak-gerik pemain), dan (5) seni peran (pemeranan tokoh).

Karena banyaknya cabang seni yang terlibat, agaknya tak mungkin suatu pementasan drama merupakan hasil karya seorang seniman. Gedung pementasan drama adalah tempat bertemunya para seniman, seperti sastrawan, aktor, komponis, dan pelukis. Para seniman itu bekerja sama (sesuai dengan bidangnya masing-masing) mewujudkan seni drama yang akan dinikmati keindahannya oleh penonton.

B. Jenis Drama

Ada beberapa jenis drama tergantung dasar yang digunakannya. Dasar yang digunakan pun bermacam-macam. Dalam pembahasan berikut hanya digunakan tiga dasar, yaitu berdasarkan penyajian lakon, berdasarkan sarana, dan berdasarkan keberadaan naskah.

Didalam seni drama terdapat perpaduan berbagai cabang seni.

(10)

1. Berdasarkan Penyajian Lakon

Berdasarkan penyajian lakon, sedikitnya drama dapat dibedakan menjadi delapan jenis, yaitu tragedi, komedi, tragekomedi, opera, melo-drama, farce, tablo, dan sendratari.

(a) Tragedi

Tragedi atau duka cerita adalah drama yang penuh kesedihan. Pelaku utama dari awal sampai akhir pertunjukan selalu sia-sia (gagal) dalam memperjuangkan nasibnya yang jelek. Ujung cerita berakhir dengan kedukaan yang mendalam karena maut menjemput tokoh utama.

(b) Komedi

Komedi atau suka cerita adalah drama penggeli hati. Drama ini penuh kelucuan yang menimbulkan tawa penonton. Meskipun demikian, sama sekali komedi bukan lawak. Komedi tetap menuntut nilai-nilai drama. Gelak tawa penonton dibangkitkan lewat kata-kata. Kekuatan kata-kata yang dipilih itulah yang membangkitkan kelucuan. Kelucuan itu sering mengandung sindiran dan kritik kepada anggota masyarakat tertentu.

(c) Tragekomedi

Tragekomedi adalah perpaduan antara drama tragedi dan komedi. Isi lakonnya penuh kesedihan, tetapi juga mengandung hal-hal yang menggembirakan dan menggelikan hati. Sedih dan gembira silih berganti. Kadang-kadang penonton larut dalam kesedihan, kadang-kadang tertawa terbahak-bahak sebagai wujud rasa geli dan gembira.

(d) Opera

Opera adalah drama yang dialognya dinyanyikan dengan diiringi musik. Lagu yang dinyanyikan pemain satu berbeda dengan lagu yang dinyanyikan pemain lain. Demikian pula irama musik pengiringnya. Drama jenis ini memang mengutamakan nyanyian dan musik, sedangkan lakonnya hanya sebagai sarana. Opera yang pendek namanya operet.

(11)

(e) Melodrama

Melodrama adalah drama yang dialognya diucapkan dengan iringan melodi/musik. Tentu saja cara mengucapkannya sesuai dengan musik pengiringnya. Bahkan kadang-kadang pemain tidak bicara apa-apa. Pengungkapan perasaannya diwujudkan dengan ekspresi wajah dan gerak-gerik tubuh yang diiringi musik.

(f) Farce

Farce adalah drama yang menyerupai dagelan, tetapi tidak sepenuhnya dagelan. Ceritanya berpola komedi. Gelak tawa dimunculkan lewat kata dan perbuatan. Yang ditonjolkan dalam drama ini adalah kelucuan yang mengundang gelak tawa agar penonton merasa senang.

(g) Tablo

Tablo adalah jenis drama yang mengutamakan gerak. Para pemainnya tidak mengucapkan dialog, tetapi hanya melakukan gerakan-gerakan. Jalan cerita dapat diketahui lewat gerakan-gerakan itu. Bunyi-bunyian pengiring (bukan musik) untuk memperkuat kesan gerakan-gerakan yang dilakukan pemain. Jadi, yang ditonjolkan dalam drama jenis ini kekuatan akting para pemainnya.

(h) Sendratari

Sendratari adalah gabungan antara seni drama dan seni tari. Para pemain adalah penari-penari berbakat. Rangkaian peristiwanya diwujudkan dalam bentuk tari yang bercerita, kadang-kadang dua orang pemain yang bercakap berbalas-balasan.

2. Berdasarkan Sarana

Berdasarkan sarana/alat yang digunakan untuk me-nyampaikan kepada penikmat (penonton, pemirsa, atau pendengar), drama dapat dibedakan menjadi drama panggung, drama radio, drama televisi, drama film, drama wayang, dan drama boneka.

(12)

(a) Drama Panggung

Drama panggung dimainkan oleh para aktor di panggung pertunjukan. Penonton berada di sekitar panggung dan dapat menikmati secara langsung dengan cara melihat perbuatan para aktor, mendengarkan dialog, bahkan dapat meraba kalau mau dan boleh.

(b) Drama Radio

Drama radio tidak bisa dilihat dan diraba, tetapi hanya bisa didengarkan oleh penikmat. Berbeda dengan drama panggung yang bisa ditonton saat dimainkan, drama radio dapat disiarkan langsung dan dapat pula direkam dulu lalu disiarkan pada waktu yang dikehendaki.

(c) Drama Televisi

Drama televisi dapat didengar dan dilihat (meskipun hanya gambar). Hampir sama dengan drama panggung, hanya bedanya, drama televisi tak dapat diraba. Drama televisi dapat ditayangkan langsung, dapat pula direkam dulu lalu ditayangkan kapan saja sesuai dengan program mata acara televisi.

(d) Drama Film

Drama film hampir sama dengan drama televisi. Bedanya, drama film menggunakan layar lebar dan biasanya dipertunjukkan di bioskop dan penontonnya berduyun-duyun pergi ke bioskop. Namun, drama film dapat pula ditayangkan dari studio televisi sehingga penonton dapat menikmati di rumah masing-masing.

(e) Drama Wayang

Ciri khas tontonan drama adalah ada cerita dan dialog. Karena itu, semua bentuk tontonan yang mengandung cerita disebut juga drama, termasuk tontonan wayang kulit (Jawa) atau wayang golek (Sunda). Para tokoh digambarkan dengan wayang atau golek (boneka kecil) yang dimainkan oleh dalang.

(13)

(f) Drama Boneka

Drama boneka hampir sama dengan wayang. Bedanya, dalam drama boneka para tokoh digambarkan dengan boneka yang dimainkan oleh beberapa orang. Bahkan, kalau bonekanya besar (di dalamnya ada orang) boneka itu dapat bermain sendiri tanpa dimainkan dalang.

3. Berdasarkan Ada atau Tidaknya Naskah

Berdasarkan ada atau tidaknya naskah yang digunakan, drama dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu drama tradisional dan drama modern.

(a) Drama Tradisional

Drama tradisional adalah tontonan drama yang tidak menggunakan naskah. Jika ada naskah, naskah itu hanya berupa kerangka cerita dan beberapa catatan yang berkaitan dengan permainan drama. Watak tokoh, dialog, dan gerak-geriknya diserahkan sepenuhnya kepada pemain. Dengan cara seperti ini risiko gagal tentu saja sangat besar. Risiko gagal itu menjadi kecil kalau para pemainnya sudah banyak pengalaman. Ketoprak (Jawa Tengah), ludruk (Jawa Timur), dan lenong (Betawi) adalah contoh drama tradisional.

(b) Drama Modern

Drama modern menggunakan naskah. Naskah yang berisi dialog dan perbuatan para pemain itu benar-benar diterapkan. Artinya, pemain menghafalkan dialog dan berbuat atau melakukan gerak-gerik seperti yang tertulis dalam naskah. Dialog yang sudah dihafalkan itu lalu dicobakan dalam praktik, disertai gerak-gerik seperti yang dikehendaki naskah. Para pemain berlatih berulang-ulang sampai benar-benar bisa memerankan dengan penuh penjiwaan tokoh yang diperaninya.

(14)

Unsur-Unsur Teks

Drama

Selain harus banyak pengalaman dan mendalami watak-watak manusia, penulis drama harus mengetahui pula unsur-unsur teks drama. Paling tidak, ada delapan unsur teks drama, yaitu tema, amanat, alur, tokoh, dialog, latar, bahasa, dan interpretasi.

1. Tema

Tema adalah pikiran pokok yang mendasari lakon drama. Pikiran pokok ini dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang menarik. Jadi, seorang penulis harus menentukan lebih dulu tema yang akan dikembangkannya.

2. Amanat

Amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca naskah atau penonton drama. Pesan itu tentu saja tidak disampaikan secara langsung, tetapi lewat lakon naskah drama yang

2

(15)

ditulisnya. Artinya, pembaca atau penonton dapat menyimpulkan, pelajaran moral apa yang diperoleh dari membaca atau menonton drama itu.

3. Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa dan konflik yang dijalin dengan saksama dan menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian. Paling tidak, ada jenis plot atau alur yang biasa dipergunakan dalam pementasan drama, yaitu alur maju, alur mundur, dan alur campuran. a. Alur maju yaitu penceritaan rangkaian peristiwa mulai dari peristiwa

paling awal sampai peristiwa terakhir.

b. Alur mundur, yaitu penceritaan rangkaian peristiwa yang paling akhir kemudian berbalik ke peristiwa awal.

c. Alur campuran, yaitu perpaduan antara alur maju dan alur mundur di dalam suatu cerita.

Lakon drama yang baik selalu mengandung konflik. Sebab, roh drama adalah konflik. Drama memang selalu menggambarkan konflik atau pertentangan. Pertentangan yang terjadi adalah antara pemain dan pemain, pemain dan lingkungan, pemain dan kemauannya, atau antara pemain dan nasibnya. Pertentangan yang umum adalah pertentangan antara kebaikan (diperankan oleh tokoh pahlawan) dan kejahatan (diperankan oleh tokoh penjahat). Pertentangan-pertentangan itu menjadi bahan lakon drama. Adanya pertentangan akan menimbulkan peristiwa. Muncul suatu peristiwa disusul dengan peristiwa-peristiwa lain sehingga menjadi rangkaian peristiwa. Rangkaian peristiwa inilah yang membentuk alur drama (jalan cerita drama).

Secara rinci, perkembangan plot drama ada enam tahap, yaitu eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan keputusan.

(a) Eksposisi

Tahap ini disebut pula tahap perkenalan, karena penonton mulai diperkenalkan dengan lakon drama yang akan ditontonnya meskipun

(16)

hanya dengan gambaran selintas. Wujud perkenalan ini berupa penjelasan untuk mengantarkan penonton pada situasi awal lakon drama.

(b) Konflik

Pemain drama sudah terlibat dalam persoalan pokok. Dalam tahap ini mulai ada insiden (kejadian). Insiden pertama inilah yang memulai plot drama sebenarnya, karena insiden merupakan konflik yang menjadi dasar sebuah drama.

(c) Insiden

Insiden kemudian berkembang dan menimbulkan konflik-konflik yang semakin banyak dan ruwet. Banyak persoalan yang kait-mengait, tetapi semuanya masih menimbulkan tanda tanya.

(d) Krisis

Dalam tahap ini berbagai konflik sampai pada puncaknya (klimaks). Bila dilihat dari sudut penonton, bagian ini merupakan puncak ketegangan. Namun, bila dilihat dari sudut konflik, klimaks berarti titik pertikaian pal-ing ujung yang dicapai pemain protagonis (pemeran kebaikan) dan pemain antagonis (pemeran kejahatan).

(e) Resolusi

Dalam tahap ini dilakukan penyelesaian konflik. Jalan keluar penyelesaian konflik-konflik yang terjadi sudah mulai tampak jelas.

(f) Keputusan

Dalam tahap terakhir ini semua konflik berakhir dan sebentar lagi cerita selesai. Dengan selesainya cerita, maka tontonan drama sudah usai (bubar).

4. Tokoh

Karakter atau perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh dalam lakon drama. Seorang tokoh bisa saja berwatak sabar, ramah,

(17)

dan suka menolong. Sebaliknya, bisa saja tokoh lain berwatak pemberang, suka marah, dan sangat keji.

Tokoh adalah orang-orang yang berperan dalam suatu drama. Berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita, tokoh bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu tokoh protagonis, antagonis, dan tritagonis.

a. Tokoh protagonis yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita.

b. Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanta ada seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita.

c. Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis.

Karakter ini diciptakan penulis lakon untuk diwujudkan oleh pemain (aktor) yang memerankan tokoh itu. Agar dapat mewujudkannya, pemain harus memahami benar karakter yang dikehendaki penulis lakon drama. Untuk itu, dia perlu menafsirkan, membanding-bandingkan, dan menyimpulkan watak tokoh yang akan diperankan, lalu mencoba-coba memerankannya. Hal ini harus dilakukan supaya penampilannya benar-benar seperti tokoh yang diperankan, persis seperti tokoh sesungguhnya.

Dalam meleburkan diri menjadi tokoh yang diperankannya pemain dibantu oleh penata rias, penata busana, dan akting. Misalnya, bila tokoh yang diperankannya orang tua yang sabar, wajahnya dirias dengan garis-garis hitam yang mengesankan keriput, rambutnya ditebari bedak hingga tampak memutih.

Unsur-unsur pendukung itu (tata rias, tata busana, dan akting) satu dan lain tidak bisa dipisahkan. Semuanya saling mendukung untuk membantu mewujudkan karakter tokoh seperti yang dikehendaki oleh penulis lakon drama.

(18)

5. Dialog

Jalan cerita lakon drama diwujudkan melalui dialog (dan gerak) yang dilakukan para pemain. Dialog-dialog yang dilakukan harus mendukung karakter tokoh yang diperankan dan dapat menunjukkan plot lakon drama. Melaui dialog-dialog antarpemain inilah penonton dapat mengikuti cerita drama yang disaksikan. Bahkan bukan hanya itu, melalui dialog itu penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat di balik dialog para pemain.

Dua tuntutan yang harus dipenuhi dalam percakapan atau dialog. a. Dialog harus turut menunjang gerak laku tokohnya. Dialog harus

dipergunakan untuk mencerminkan sesuatu yang telah terjadi sebelum cerita itu dimainkan, sesuatu yang sedang terjadi di luar panggung selama cerita itu berlangsung; dan harus pula dapat mengungkapkan pikiran-pikiran serta perasaan-perasaan para tokoh yang turut berperan di atas pentas.

b. Dialog yang diucapkan di atas pentas lebih tajam dan tertib daripada ujaran sehari-hari. Tidak ada kata yang harus terbuang begitu saja; para tokoh harus berbicara jelas dan tepat sasaran. Dialog itu disampaikan secara wajar dan alamiah.

6. Latar

Setting adalah keterangan tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu adegan.

a. Latar tempat, yaitu penggambaran tempat kejadian di dalam naskah drama, seperti di Bandung, Surabaya, dan sebagainya.

b. Latar waktu, yaitu penggambaran waktu kejadian di dalam naskah drama, seperti pagi hari pada tangal 17 Agustus 1945.

c. Latar suasana/budaya, yaitu penggambaran suasana ataupun budaya yang melatarbelakangi terjadinya adegan atau peristiwa dalam drama misalnya dalam budaya masyarakat Betawi, Melayu, dan Sunda.

(19)

Karena semua adegan dilaksanakan di panggung, maka panggung harus bisa menggambarkan setting yang dikehendaki. Panggung harus bisa menggambarkan tempat adegan itu terjadi: di ruang tamu, di singgasana raja, di tepi sungai, atau tempat sesuai dengan yang tercatat dalam naskah. Penataan panggung harus mengesankan waktu: zaman dahulu, zaman sekarang, tengah hari, atau dini hari.

Demikian pula unsur panggung harus diupayakan bisa menggambarkan suasana: gembira, berkabung, hiruk pikuk, sepi mencekam, atau suasana-suasana lain. Semua itu diwujudkan dengan penataan panggung dan peralatan yang ada.

7. Bahasa

Naskah drama diwujudkan dari bahan dasar bahasa. Dengan demikian, penulis lakon drama sebenarnya menggunakan bahasa. Dalam wujudnya yang nyata, menggunakan bahasa itu menyampaikan kalimat-kalimat. Kalimat terdiri dari kata-kata. Kata-kata inilah yang mengungkapkan pikiran dan perasaan karena kata mewakili makna. Karena itu, penulis lakon drama harus pandai memilih kata yang tepat sesuai dengan makna yang ingin disampaikannya dan pandai merangkai-kannya menjadi kalimat yang komunikatif dan efektif.

Bahasa sebagai bahan dasar diolah untuk menghasilkan lakon drama. Karena itu, penulis lakon harus mengetahui berbagai hal berkaitan dengan

Latar suasana (budaya) Jawa tampak

melatarbelakangi pementasan drama.

Sumber: fathoni.

(20)

bahasa, misalnya ragam lisan dan ragam tulis, ragam resmi dan ragam tak resmi. Pengetahuan tentang hal itu sangat penting untuk menulis dialog. Dialog harus ditulis dengan ragam bahasa yang tepat sesuai dengan siapa yang berbicara, tempat pembicaraan itu ber-langsung, dan masalah yang dibicarakan. Semua itu menentukan ragam bahasa apa yang dipakai. Juga, penulis perlu mengetahui dialek dan majas. Pengetahuan tentang bahasa dan keterampilan menggunakannya menjadi syarat utama bagi penulis lakon drama.

8. Interpretasi

Penulis lakon selalu memanfaatkan kehidupan masyarakat sebagai sumber gagasan dalam menulis cerita. Apa yang ada dalam masyarakat itu diolahr mungkin ditambah konfliknya, dipindahkan tempatnya, digabung-gabungkan, dikurangi, dilebih-lebihkan, dan sebagainya. Dengan begitu, lakon drama sebenarnya adalah bagian kehidupan masyarakat yang di-angkat ke panggung oleh para seniman. Karena itu, apa yang ditampilkan di panggung harus bisa dipertanggungjawabkan, terutama secara nalar.

(21)

Unsur-Unsur

Pementasan Drama

Pementasan drama merupakan kesenian yang sangat kompleks. Di dalamnya terdapat para seniman yang berkaitan dengan naskah drama, tata rias, tata panggung, tata musik, seni tari, dan seni peran. Seni drama bukan saja melibatkan banyak seniman, melainkan juga mengandung banyak unsur. Unsur-unsur itu saling mendukung dan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari keutuhan pementasan drama. Karena itu, semua unsur pementasan drama harus ada dan harus digarap dengan baik. Bila salah satu unsur digarap acak-acakan, maka pementasan drama tak akan berhasil. Sedikitnya ada sembilan unsur, yaitu naskah, pemain, sutradara, tata rias, tata busana, tata panggung, tata lampu, tata suara, dan penonton.

1. Naskah Drama

Pertunjukan drama dimainkan berdasarkan naskah. Naskah drama tidak hanya menonjolkan seni peran, tetapi juga sarat akan pesan. Idenya

3

(22)

murni pemikiran sang penulis naskah. Namun demikian, dapat pula diambil dari naskah orang lain maupun dari kisah-kisah klasik. Biasanya penulis menafsirkan ulang kisah tersebut sehingga banyak terjadi perubahan, baik itu dalam hal sudut pandang, tokoh, ataupun setingnya.

Bila kita akan mengadakan pertunjukan drama, yang kita butuhkan pertama-tama adalah naskah drama. Naskah drama adalah karangan yang berisi cerita atau lakon. Dalam naskah tersebut termuat nama-nama tokoh dalam cerita, dialog yang diucapkan para tokoh, dan keadaan panggung yang diperlukan. Bahkan kadang-kadang juga dilengkap penjelasan tentang tata busana, tata lampu, dan tata suara (musik pengiring).

Naskah drama tidak mengisahkan cerita secara langsung. Penuturan ceritanya diganti dengan dialog para tokoh. Jadi, naskah drama itu mengutamakan ucapan-ucapan atau pembicaraan para tokoh. Dari pembicaraan para tokoh itu penonton dapat menangkap dan mengerti seluruh ceritanya.

Permainan drama dibagi dalam babak demi babak. Setiap babak mengisahkan peristiwa tertentu. Peristiwa itu terjadi di tempat tertentu, dalam waktu tertentu, dan suasana tertentu pula. Tiap-tiap babak menggambarkan peristiwa yang berbeda. Begitu pula tempat, waktu, dan suasananya pun berbeda. Dengan pembagian seperti itu, penonton memperoleh gambaran yang jelas bahwa setiap peristiwa berlangsung di tempat, waktu, dan suasana yang berbeda.

Untuk memudahkan para pemain drama, naskah drama ditulis selengkap-lengkapnya, bukan saja berisi percakapan, melainkan juga disertai keterangan atau petunjuk. Petunjuk itu, misalnya gerakan-gerakan yang dilakukan pemain, tempat terjadinya peristiwa, benda-benda peralatan yang diperlukan setiap babak, dan keadaan panggung setiap babak. Juga tentang bagaimana dialog diucapkan, apakah dengan suara lantang, lemah, atau dengan berbisik.

2. Pemain

Pemain drama disebut juga aktor atau aktris. Pemain mendapatkan

(23)

mengikuti casting (pemilihan peran) dan dari situlah sutradara memilih yang terbaik dari mereka. Saat casting, selalu dipilih dua orang sekaligus untuk satu peran. Salah satu dari mereka sebagai pemain utama, dan yang lain sebagai cadangan. Setelah menerima peran, mereka menghafal naskah. Mereka juga melakukan diskusi dengan lawan main. Takjarang mereka melakukan observasi mengenai peran yang akan dimainkannya.

Pemain adalah orang yang memeragakan cerita. Berapa pemain yang dibutuhkan, tergantung berapa banyak tokoh yang ada dalam naskah drama yang akan dipentaskan itu. Sebab, setiap tokoh akan diperankan seorang pemain. Seorang pemain harus benar-benar bisa seperti tokoh yang diperankan. Untuk itu, ia harus menguasai dan mampu memerankan watak, tingkah, dan busana atau yang lain yang mendukung peranannya.

Sering drama dimainkan remaja semua, misalnya oleh pelajar. Yang akan memerankan tokoh ayah atau ibu, bahkan mungkin ada tokoh kakek atau nenek, semuanya remaja. Nah, menentukan pemain seperti ini agak sulit. Sebab, dari penampilan fisik jauh dari tokoh yang akan diperankannya. Namun, kekurangan itu dapat diatasi dengan cara-cara tertentu agar pemain tetap dapat memerankan tokoh dengan baik, misalnya bantuan tata rias.

Adegan drama yang dipentaskan para remaja.

(24)

3. Sutradara

Sutradara adalah pemimpin dalam pementasan drama. Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab terhadap kesuksesan pementasan drama, ia tentu harus membuat perencanaan dan melaksanakannya. Sutradara yang baik haruslah seorang aktor yang baik. Dengan demikian, dia tidak hanya pandai mengarahkan, tetapi juga piawai melakukannya. Tugas sutradara sangat banyak dan beban tanggung jawabnya cukup berat. Sutradara harus memilih naskah, menentukan pokok-pokok penafsiran naskah, memilih pemain, melatih pemain, bekerja dengan staf, dan mengkoordinasikan setiap bagian. Semua itu harus dilakukan dengan cermat. Bila pementasan drama berjalan lancar, menarik, dan memuaskan penonton, sutradara menjadi orang pertama yang berhak mendapat acungan jempol. Sebaliknya, bila terjadi ketidaklancaran yang menyebabkan ketidakpuasan penonton, sutradara pasti menjadi sasaran makian.

Bagi seorang sutradara, yang mula-mula dilakukan adalah memilih naskah. Selanjutnya, sutradara memilih para pemain. Dasar per-timbangannya, pemain itu diperkirakan cocok dengan tokoh dalam cerita baik postur, watak, maupun kemampuannya berakting.

Tugas sutradara selanjutnya adalah melatih, membimbing, dan mengarahkan para pemain agar dapat memerankan tokoh-tokoh dalam cerita. Sutradara harus mampu menafsirkan watak dan lagak tokoh cerita secara tepat kemudian memindahkan watak dan lagak itu kepada pemain yang dipilihnya. Caranya tentu saja dengan melatih, membimbing, dan mengarahkannya.

Sutradara juga menunjuk petugas khusus, yaitu penata rias, penata busana, penata panggung, penata lampu, dan penata suara. Selain itu, sutradara juga mengkoordinasikan kerja para petugas agar semuanya berjalan lancar dan serasi. Semua itu memang menjadi tanggung jawab sutradara. Dari penjelasan itu dapat kita ketahui bahwa peran sutradara amat penting. Tugas sutradara amat banyak dan beban tanggung jawabnya amat berat.

(25)

4. Tata Rias

Tata rias adalah cara merias atau mendandani pemain. Orang yang mengerjakan tata rias disebut penata rias. Tugasnya merias wajah pemain. Riasan wajah bisa memperkuat karakter yang dimainkan seorang aktor atau aktris. Tata rias dapat membedakan tampilan muka seorang pemain antara tokoh yang berperan jahat dengan yang baik. Karakter, kostum, cahaya, dan lain-lain merupakan faktor yang sangat diperhitungkan penata rias dalam merias wajah para pemain.

Seorang penata rias harus memiliki rasa seni yang tinggi. Karena tugasnya merias wajah, ia harus tahu apakah hasil riasannya sudah cukup bagus. Apa sudah sesuai dengan tokoh yang akan diperankan? Misalnya, merias pemain yang akan memerankan nenek tua.

Selain harus mempunyai rasa seni, penata rias harus terampil dan cekatan. Pemain yang harus dirias adakalanya cukup banyak. Kalau kerja penata rias lambat, bisa jadi pementasan drama akan terlambat. Apalagi kalau terlambatnya cukup lama, bisa merusak keseluruhan rencana pementasan drama. Karena itu, penata rias harus terampil, cekatan, dan mampu mengatur waktu sehingga setiap pemain yang akan naik panggung sudah dirias dengan baik.

5. Tata Busana

Tata busana adalah pengaturan pakaian pemain baik bahan, model, maupun cara mengenakannya. Tata busana sebenarnya mempunyai hubungan yang erat sekali dengan tata rias. Karena itu, tugas mengatur pakaian pemain sering dirangkap penata rias. Hal ini dilakukan karena untuk menampakkan rupa dan postur tokoh yang diperankan, pemain harus dirias dengan pakaian yang cocok. Dengan kata lain, tata rias dan tata busana merupakan dua hal yang saling berhubungan dan saling mendukung.

Penata busana menerjemahkan karakter suatu peran ke dalam rancangan busananya. Busana yang dibuat haruslah sesuai dan mendukung

(26)

naskah cerita. Jika perlu seorang penata busana melakukan pengamatan satu per satu terhadap peranan pemain. Gerakan-gerakan yang dilakukan pemain menjadi pertimbangan dalam pemilihan bahan dan model busana (kostum).

Untuk menggambarkan seorang nenek melarat, pemain harus perempuan. Rambutnya ditaburi bedak agar tampak putih lalu digelung kecil di bagian atas kepala. Wajahnya dibuat keriput dengan cara diberi coretan-coretan di kening, pipi kanan, dan pipi

kiri dengan menggunakan pensil alis. Bibir tak perlu dimerahi. Beberapa gigi dibuat ompong. Caranya, gigi-gigi itu dihitamkan dengan bubuk arang. Alis dibuat keputih-putihan agar tampak seperti nenek tua. Kebaya yang dikenakannya warna dasar hitam kusam dengan garis-garis putih, dengan potongan model lengan sampai siku. Kebaya itu harus tampak kumal. Kain bawahannya juga harus kumal.

6. Tata Panggung

Tata panggung adalah keadaan panggung yang dibutuhkan untuk permainan drama. Misalnya, panggung harus menggambarkan keadaan ruang tamu. Supaya panggung seperti ruang tamu, tentu panggung diisi peralatan seperti meja kursi, hiasan dinding, dan lain-lain. Semua peralatan itu diatur sedemikian rupa sehingga seperti ruang tamu. Petugas yang mengatur itu disebut penata panggung. Penata panggung biasanya terdiri dari beberapa orang (tim) supaya dapat mengubah keadaan panggung dengan cepat.

Panggung menggambarkan tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Peristiwa yang terjadi dalam suatu babak berada dalam tempat, waktu, dan suasana yang berbeda dengan peristiwa dalam babak

Busana yang dikenakan pemain drama hendaknya mendukung karakternya.

(27)

yang lain. Perbedaan ini menuntut perubahan keadaan panggung. Artinya, keadaan panggung harus diubah dengan cepat oleh penata panggung. Misalnya, dalam babak pertama panggung menggambarkan ruang singgasana raja, bisa saja dalam babak kedua panggung menggambarkan tempat tahanan di bawah tanah. Perubahan panggung yang menggambarkan perubahan tempat itu sesuai dengan naskah cerita.

Penata panggung tugasnya hanya menuruti apa yang diminta naskah. Meskipun demikian, secara kreatif ia boleh menambah, mengurangi, atau mengubah letak perabot asal perubahan itu menambah baiknya keadaan panggung.

7. Tata Lampu

Tata lampu adalah pengaturan cahaya di panggung. Karena itu, tata lampu erat hubungannya dengan tata panggung. Kalau panggung menggambarkan ruang rumah orang miskin di daerah terpencil, berdinding anyaman bambu dan di situ tertempel lampu minyak.

Pengaturan cahaya di panggung memang harus disesuaikan dengan keadaan panggung yang digambarkan. Di rumah orang miskin, di rumah orang kaya, semuanya memerlukan penyesuaian. Demikian pula dengan waktu terjadinya, apakah pagi, siang, atau malam. Cahaya waktu pagi tentu tak seterang siang hari.

Yang mengatur seluk-beluk pencahayaan di panggung ialah penata lampu. Penata lampu biasanya menggunakan alat yang disebut spot light, yaitu semacam kotak besar berlensa yang berisi lampu ratusan watt. Bila dinyalakan, sinarnya terang sekali memancar ke satu arah. Penata lampu lalu menyorotkan dari jauh (biasanya dari belakang penonton) ke panggung. Lensa dapat diatur untuk menerangi seluruh panggung atau sebagian panggung. Bila dikehendaki, cahaya dapat dibuat menjadi redup. Warna cahaya juga dapat diubah sesuai kebutuhan.

(28)

8. Tata Suara

Tata suara bukan hanya pengaturan pengeras suara (sound system), melainkan juga musik pengiring. Musik pengiring diperlukan agar suasana yang digambarkan terasa lebih meyakinkan dan lebih mantap bagi para penonton. Sebagai contoh, adegan ketika seorang anak sedang sedih, kalau diiringi musik yang sesuai, tentu kesedihan itu akan lebih terasa dan lebih mengharukan. Untuk adegan sedih musiknya berirama lembut. Alat musik yang digunakan mungkin hanya seruling yang ditiup mendayu-dayu menyayat hati. Demikian pula dalam adegan per-tengkaran. Suasana panas akan lebih terasa bila diiringi musik berirarna cepat dan keras.

Iringan musik itu tidak dijelaskan secara rinci dalam naskah. Penjelasannya hanya secara umum, misalnya diiringi musik pelan, musik sendu, atau musik sedih. Kadang-kadang malah tidak ada penjelasan sama sekali. Agaknya urusan musik pengiring ini diserahkan sepenuhnya kepada penata suara atau penata musik pengiring.

Musik pengiring dimainkan di balik layar agar tak terlihat penonton. Kalau terlihat, permainan drama-kurang baik, karena ada semacam persaingan antara pemain musik dan pemain drama di panggung. Misalnya, musik pengiring berupa bunyi biola, maka penggesek biola itu sebaiknya berada di belakang atau samping panggung yang tak terlihat penonton.

Akan tetapi, kekerasan suara itu harus diatur. Kalau terlalu keras, bisa menutup suara dialog yang diucapkan para pemain. Akibatnya, penonton tidak bisa mendengarkan dialog dengan baik sehingga tak akan mengerti lakon drama yang ditontonnya. Sebaliknya, bila suara musik pengiring terlalu lemah dan suara dialog terlalu keras, musik pengiring itu akan tenggelam.

9. Penonton

Penonton termasuk unsur penting dalam pementasan drama. Bagaimanapun sempurnanya persiapan, kalau tak ada penonton rasanya drama tak akan dimainkan. Jadi, segala unsur drama yang telah disebutkan sebelumnya pada akhirnya semuanya untuk penonton.

(29)

Pertunjukan drama, kesuksesannya bisa diukur dari banyak-sedikitnya penonton. Kalau penontonnya banyak (dan kebanyakan merasa puas), pertunjukan drama itu dapat dikatakan sukses besar.

Penonton adalah orang-orang yang mau datang ke tempat pertunjukan. Biasanya mereka mau meninggalkan rumah dan kesibukannya untuk menonton drama karena merasa yakin bahwa lakon dan pemainnya bagus.

Penonton drama terdiri dari berbagai macam latar belakang, baik pendidikan, ekonomi, kemampuan mengapresiasi, maupun motivasi. Dilihat dari segi motivasinya, sedikitnya ada tiga ragam penonton, yaitu penonton peminat, penonton iseng, dan penonton penasaran.

Penonton peminat adalah penonton intelektual yang mampu mengapresiasi seni, terutama seni drama. Mereka mempunyai pengalaman sastra sangat banyak karena sering membaca karya sastra, termasuk novel dan drama. Drama telah menjadi salah satu sarana untuk mencapai kepuasan hidup mereka. Penonton iseng sebenarnya penonton yang tak punya perhatian khusus pada drama, tetapi mungkin menyukai seni lain, terutama seni musik. Mereka pernah mengerti drama, tetapi kurang tertarik pada drama. Suatu ketika mereka diajak menonton drama. Karena tak ada kesibukan lain, mereka mau datang juga. Penonton ini berhasrat menonton karena penasaran, yaitu ingin tahu apa sebenarnya tontonan drama itu. Mungkin mereka penasaran pada lakonnya atau mungkin pada pemainnya. Sebelumnya mereka mungkin pernah mendengar/membaca tentang kehebatan sebuah lakon dan pemain-pemain terkenal.

(30)

Fasilitas Pementasan

Fasilitas pementasan adalah beberapa fasilitas untuk mendukung pementasan drama agar berjalan dengan sukses. Fasilitas-fasilitas pementasan itu, diantaranya adalah panggung, kontrol cahaya, kontrol suara, ruang gantung, dan sistem akustik.

A. Panggung

Panggung adalah tempat para aktor memeragakan lakon drama. Sebagai arena pertunjukan, biasanya panggung dibuat sedikit lebih tinggi daripada lantai. Sering pula lebih tinggi daripada tempat duduk penonton kalau gedung pertunjukan memuat ratusan penonton. Bahkan, kalau pertunjukan dilaksanakan di tanah lapang yang penontonnya berdiri, panggung dibuat lebih tinggi lagi. Semua itu bertujuan agar penonton yang paling jauh masih bisa menyaksikan dengan jelas apa yang terjadi di panggung.

Pada mulanya panggung berbentuk arena seperti ring tinju. Penonton berada di sekeliling panggung. Namun, dalam perkembangan berikutnya terdapat panggung model pigura. Yang dimaksud pigura adalah

4

(31)

bingkai (kerangka kayu) bagian luar gambar atau foto. Panggung yang menurut penglihatan penonton seperti gambar yang hidup dalam sebuah pigura besar dinamakan panggung pigura. Kalau panggung model arena penontonnya berada di sekeliling panggung, maka panggung model pigura semua penontonnya berada di depan panggung.

1. Model Panggung

Dalam perkembangan lebih lanjut, model panggung menjadi beraneka macam, antara lain model lingkaran beroda, setengah lingkaran, segi empat, panggung terbuka.

a. Model Lingkaran Beroda

Panggung dibuat dari kayu, dilapisi kain atau karpet berwarna. Modelnya berbentuk lingkaran seperti mata uang logam. Di bagian bawahnya diberi roda besi sedikitnya empat buah. Sebagai landasan roda, rel besi tunggal dipasang melingkar di lantai gedung pertunjukan. Dengan adanya roda dan rel ini panggung dapat diputar menghadap ke samping kiri, kanan, atau bahkan ke belakang dengan cara didorong atau digerakkan memakai tenaga listrik. Antara bagian depan dan bagian belakang diberi papan pembatas sehingga pada saat bagian depan digunakan untuk memeragakan suatu adegan, bagian belakang dapat dipakai untuk mempersiapkan adegan berikutnya. Nah, bila pemeragaan di bagian depan sudah selesai, panggung diputar 180 derajat dan adegan berikutnya langsung tampak. Panggung bagian depan sekarang sudah berada di bagian belakang sehingga dapat dipakai untuk mempersiapkan adegan berikutnya lagi.

Dengan demikian, pergantian adegan satu dengan adegan berikutnya berlangsung cepat sehingga selama pertunjukan berlangsung panggung tidak pernah kosong.

b. Model Setengah lingkaran

Bentuk kedua, panggung berbentuk sepatu kuda atau setengah lingkaran. Bila dibuat di alam terbuka, misalnya di sudut tempat wisata,

(32)

biasanya menggunakan bahan batu/ bata dan adukan semen pasir supaya kuat dan awet. Bila di dalam gedung pertunjukan, panggung bisa dibuat permanen dengan bahan bata dan adukan semen pasir atau dengan bahan kayu yang bisa dibongkar pasang.

Di bagian belakang panggung dibangun tembok atau dinding sebagai latar belakang panggung dan sekaligus untuk menutup bagian belakang panggung tempat pemain memper-siapkan diri. Tempat pemain mempersiapkan diri ini bisa juga di samping kiri atau kanan panggung. Karena itu, bagian samping kiri dan kanan panggung diberi tembok/dinding pembatas ruang dalam agar penonton tak melihat persiapan para pemain. Jalan keluar masuk pemain berada di antara dinding samping dan dinding belakang.

c. Model Segi Empat

Model segi empat sangat lazim digunakan untuk pementasan drama. Biasanya, panggung model ini dibuat permanen di dalam gedung pertunjukan dengan bahan bata dan adukan semen pasir. Di samping kiri kanan diberi dinding-dinding pembatas dari papan kayu atau tripleks yang dicat dan dilukis. Di antara dinding-dinding ini dipakai untuk jalan keluar masuk pemain. Selain itu, fungsi dinding-dinding samping ini untuk penutup ruang dalam tempat pemain mempersiapkan diri atau

menunggu giliran tampil di panggung. Di bagian belakang ada layar dari kain yang dilukis sebagai latar belakang. Layar ini biasanya banyak dan bermacam-macam lukisannya serta dapat dinaikturunkan sesuai kebutuhan. Misalnya adegan di tepi jalan, layar yang diturunkan bergambar pemandangan alam terbuka yang menampakkan pepohonan, sawah, gunung, dan

mega. Ganggung model segi empat lazim digunakanuntuk pementasan drama.

(33)

d. Model Panggung Terbuka

Sesuai dengan namanya, panggung ini dibangun tanpa atap di alam terbuka. Bangunannya kokoh permanen, dibuat dari batu, bata, besi, dan adukan semen pasir. Ukurannya cukup luas karena biasanya untuk pertunjukan massal yang melibatkan banyak pemain. Biasanya, panggung terbuka dibangun di tempat wisata atau tempat hiburan.

Bentuk lantai segi empat. Di bagian belakang terdapat tembok kukuh berfungsi sebagai latar belakang panggung paling belakang. Dikatakan pal-ing belakang, sebab di depannya masih ada tembok lagi yang diberi gerbang di tengahnya untuk jalan keluar-masuk pemain dari belakang. Gerbang itu biasanya diberi hiasan permanen. Selain dari belakang tengah, pemain juga bisa lewat jalan masuk belakang kiri dan kanan panggung. Bahkan para pemain tambahan (figuran) bisa keluar-masuk lewat tangga luar.

B. Kontrol Cahaya

Pencahayaan panggung dilakukan oleh penata cahaya. Ia mendapat skrip naskah yang menyertakan keterangan cahaya adegan per adegan. Dari naskah itulah ia mengetahui kapan lampu harus menyala atau padam. Pengoperasian tata cahaya dapat pula menggunakan sistem komputerisasi. Dengan bantuan alat status cue, penata cahaya memprogram data cahaya ke sebuah file. Dengan alat ini, saat pertunjukan berlangsung, seorang pengatur cahaya tinggal mengklik tombol yang ada pada layar komputer.

C. Kontrol Suara

Dalam pementasan, suara yang keluar dari atas panggung tidak langsung terdengar oleh penonton, ditangkap oleh alat penerima gelombang atau receiver. Dari receiver, suara dikirim ke alat penyeimbang suara, yaitu mixer. Alat penyeimbang tersebut berguna supaya tak ada suara yang terlalu keras atau terlalu lemah, sehingga penonton dapat menikmati isi teater dengan nyaman. Setelah diolah, mixer mengirim suara-suara

(34)

tersebut kepada penonton melalui speaker atau pengeras suara. Proses menangkap, mengolah, dan mengirim suara tersebut berlangsung dalam bilangan sepersekian detik saja sehingga mimik muka dan suara bisa diterima oleh pancaindra penonton pada saat yang bersamaan.

D. Ruang Gantung

Layar pada panggung memang bisa diganti-ganti sesuai dengan tuntutan cerita. Layar-layar itu tergantung di atas panggung. Ruang gantung tempat menyimpan set dekor ini disebut flybar. Cara kerjanya manual, yaitu dengan sistem katrol. Tak hanya dari arah atas ke bawah saja, flybar juga memiliki fasilitas sling, yang menggerakkan benda dari kiri ke kanan.

Untuk meringankan beban, pada pengait yang lain diberi pemberat sebagai penyeimbang. Istilahnya counter weight. Set dekor yang tergantung di atas tidak hanya layar yang berbahan kain atau kertas saja namun bisa juga potongan dinding.

E. Sistem Akustik

Ada banyak teknologi yang bisa dipakai untuk sebuah gedung pertunjukan, tapi ada satu hal yang wajib dimiliki, yaitu akustik yang baik. Gedung pertunjukan selayaknya mempunyai kekedapan suara yang tinggi. Fungsinya, agar suara-suara dari luar tidak masuk ke dalam. Misalnya, bunyi hujan, deru kendaraan, dan lain-lain tidak seharusnya terdengar dari ruangan. Hal ini akan mengganggu pementasan.

Gedung Kesenian Jakarta yang dibangun tahun 1883 adalah salah satu gedung yang mempunyai sistem akustik terbagus. Sekeliling dinding ruangan terdapat peredam. Suara yang 'lari' ke atas diredam dan dipantulkan kembali ke arah penonton. Sedemikian bagusnya akustik, sampai-sampai, bunyi gemerisik bungkus permen pun bisa terdengar. Itulah sebabnya pada saat pertunjukan berlangsung, tidak diperkenankan untuk makan, minum, dan memotret.

(35)

Pelatihan Pemain Drama

Apa yang diperagakan oleh pemain drama atau aktor, itulah yang dinikmati penonton. Karena itu, kesuksesan suatu pertunjukan drama sangat ditentukan oleh kepiawaian aktor. Memang benar bahwa yang pal-ing bertanggung jawab dalam pertunjukan drama adalah sutradara. Karena tanggung jawab itu, sutradara mengarahkan dan melatih aktor sebelum naik panggung.

Akan tetapi, setelah aktor berada di panggung, semua tergantung aktor karena aktorlah yang membawa penonton berpikir dan merasakan. Bila sudah berada di panggung, dia mengeluar-kan seluruh kemampuan seninya agar mampu memperagakan tokoh yang diperankan.

Dalam memperagakan cerita itu aktor melakukan perbuatan aktif yang disebut akting. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hasil karya aktor adalah akting.

A. Latihan Dasar

Karya seni sang aktor diciptakan melalui tubuhnya sendiri, suaranya sendiri, dan jiwanya sendiri. Hasilnya berupa peragaan cerita yang

5

(36)

ditampilkan di depan penonton. Karena itu, seorang aktor yang baik adalah seorang seniman yang mampu memanfaatkan potensi dirinya. Potensi diri itu dapat dirinci menjadi: potensi tubuh, potensi driya, potensi akal, potensi hati, potensi imajinasi, potensi vokal, dan potensi jiwa. Kemampuan memanfaatkan potensi diri itu tentu tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dengan giat berlatih. Pelatihan dasar berikut ini dapat dilakukan oleh calon aktor.

1. Potensi Tubuh

Tubuh harus bagus dan menarik. Arti bagus dan menarik adalah tubuh harus lentur, sanggup memainkan semua peran, dan mudah diarahkan. Tidak kaku. Latihan dasar untuk melenturkan tubuh antara lain sebagai berikut.

(a) Latihan tari supaya aktor mengenal gerak berirama dan dapat mengatur waktu.

(b) Latihan samadi supaya aktor mengenal lebih dalam artinya diam, merenung secara insani.

(c) Latihan silat supaya aktor mengenal diri dan percaya diri. (d) Latihan renang agar aktor mengenal pengaturan napas.

2. Potensi Driya

Potensi driya adalah potensi pada semua pancaindra yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan pengecap. Semua perlu dilatih satu per satu supaya peka. Cara melatihnya, melalui driya ganda. Artinya, suatu pengindraan disertai pengindraan yang lain. Misalnya, melihat sambil mendengarkan.

3. Potensi Akal

Seorang aktor harus cerdik dan tangkas. Kecerdikan dan ketangkasan itu bisa dipunyai kalau ia terbiasa menggunakan akal, antara lain dengan kegiatan membaca dan berolahraga. Tentu saja olahraga yang dimaksud

(37)

adalah olahraga yang berhubungan dengan pikiran seperti catur, halma, bridge, atau teka-teki silang.

4. Potensi Hati

Hati merupakan landasan perasaan. Perasaan manusia amat beragam dan silih berganti. Kadang-kadang senang dan ter-tawa, kadang-kadang sedih dan meratap. Semua berurusan dengan hati. Karena itu, melatih hati sebenarnya melatih kepekaan perasaan. Jika perasaan seseorang peka, ia dapat merasakan apa yang datang dalam suasana batinnya dengan cepat dan dengan cepat pula ia dapat memberikan reaksi.

5. Potensi Imajinasi

Akting baru mungkin terjadi apabila dalam hati ada kehendak. Kehendak (niat) itu harus dilengkapi imajinasi (membayangkan sesuatu). Untuk menyuburkan imajinasi dalam diri dapat dilakukan dengan sering mengapresiasi puisi dan mengapresiasi lukisan.

6. Potensi Vokal

Aktor mengucapkan kata-kata yang dirakit menjadi kalimat-kalimat untuk mengutarakan perasaan dan pikirannya. Kata-kata diucapkan dengan mulut. Jadi, mulut menghasilkan suara. Suara dari mulut yang membunyikan kata-kata itu disebut vokal. Aktor harus mempunyai vokal kuat agar kata-kata yang diucapkan jelas. Latihan dasar untuk menguatkan vokal antara lain dengan deklamasi dan menyanyi.

7. Potensi Jiwa

Seorang aktor harus mampu memerankan tokoh dengan penjiwaan. Artinya, ia harus berusaha agar jiwanya melebur dalam tokoh yang diperankan. Penjiwaan ini dapat dibangkitkan lewat pengalaman dan pengamatan. Misalnya, seorang tokoh bisa memerankan tokoh sedih dan menangis tersedu-sedu dengan penuh penghayatan karena dia

(38)

berpengalaman merasakan sedih atau pernah mengamati orang bersedih. Karena itu, sebaiknya aktor banyak melakukan pengamatan masalah kehidupan untuk menambah pengalaman.

B. Pelatihan Aktor

Akting termasuk salah satu jenis keterampilan yang harus dilatih. Semua orang normal sebenarnya bisa menjadi aktor. Syaratnya, berniat sungguh-sungguh dan mau berlatih. Namun, harus diingat bahwa keterampilan bermain drama, itu tidak dapat diperoleh dalam waktu sekejap. Sang aktor harus rajin belajar dan berlatih terus-menerus dalam waktu yang cukup lama agar terampil bermain drama.

1. Membaca Puisi

Calon aktor perlu membaca puisi dengan suara lantang di depan teman-temannya. Manfaatnya, untuk melatih vokal supaya terbiasa melakukan perubahan nada suara sebagai akibat adanya perubahan perasaan dalam berbagai situasi. Dengan cara begitu, calon aktor dapat mengekspresikan perasaan aktor yang akan dimainkannya melalui suara, ekspresi wajah, dan gerak-gerik tubuh dengan penuh penghayatan.

2. Menirukan Gerak Binatang

Kalau membaca puisi mengutamakan latihan olah vokal, maka menirukan binatang ini sasaran utamanya olah gerak. Berbagai anggota tubuh terutama kaki, tangan, dan kepala banyak digerak-gerakkan menirukan berbagai binatang. Bila dilakukan berulang-ulang, lambat laun tubuhnya menjadi lentur, mudah digerak-gerakkan, tidak kaku. Kelenturan tubuh ini tentu sangat bermanfaat bagi aktor untuk melakukan gerak-gerik (akting) di panggung memerankan tokoh yang dipercayakan kepadanya.

(39)

3. Menirukan Orang

Calon aktor mencoba menirukan orang yang sudah dikenalnya. Lebih baik lagi kalau orang yang ditirukan itu juga sudah dikenal oleh teman-temannya. Dengan demikian, temannya bisa menebak siapa orang yang ditirukannya itu. Orang yang ditirukan bisa guru, teman, orang yang sering dilihat di televisi (pelawak, politikus, penyiar), dan lain-lain. Kemampuan menirukan ini amat penting. Sebab, apa yang dilakukan aktor di panggung sebenarnya menirukan tokoh yang diperaninya.

4. Tertawa dan Menangis

Calon aktor mencoba tertawa terus-menerus sampai benar-benar bisa tertawa kalau ia ingin tertawa. Demikian pula calon aktor perlu mencoba menangis seolah-olah dia sedang mengalami hal yang menyedihkan. Demikian pula calon aktor perlu mencoba seolah-olah sedang marah, putus asa, menyerah, atau yang lain. Dengan latihan seperti ini, diharapkan kelak dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh yang sedang bersedih, marah, dan lain-lain.

Kalau perlu, berlatih di depan cermin besar agar calon aktor dapat melihat seluruh tubuhnya saat berlatih tertawa atau menangis. Dengan berlatih terus-menerus, lambat laun calon aktor mampu melakukan perubahan cepat dari menangis langsung tertawa kalau naskah menghendakinya.

5. Berdialog

Calon aktor mencoba berdialog. Mula-mula, dialognya bebas tanpa naskah, seolah-olah sedang memerankan tokoh tertentu dalam drama. Hal ini dapat disamakan dengan pemeranan drama tradisional semacam ketoprak. Dalam ketoprak, aktor memang tidak menghafalkan naskah.

Calon aktor perlu bermain ketoprak-ketoprakan, berdialog tanpa naskah. Pada awalnya mungkin tak karuan, tapi tak apa-apa. Sebab latihan ini hanya untuk melancarkan perbuatan bercakap-cakap (berdialog). Nah, kalau sudah lancar, calon aktor mencoba berdialog dengan membaca

(40)

naskah. Naskah drama harus dibaca berulang-ulang silih berganti dengan lawan mainnya. Kemudian, naskah itu dihafalkan.

Dalam drama modern sang aktor memang harus menghafalkan naskah, tidak seperti drama tradisional. Bila sudah hafal, mencoba mempraktikkan berdialog tanpa naskah. Pada awalnya, dialog itu diperagakan tanpa gerakan. Setelah lancar, baru disertai gerakan-gerakan ekspresi wajah dan anggota tubuh. Hasilnya didiskusikan, mana yang sudah baik dan mana yang perlu diperbaiki.

6. Gerak Kerja Panggung

Dapat dikatakan bahwa segala perbuatan aktor di panggung termasuk gerak-geriknya, merupakan hasil kerjanya. Gerak kerja panggung ini harus dipelajari dan dilatih berulang-ulang. Misalnya, makan dengan tangan (tanpa sendok dan garpu) sambil duduk bersila dan mengobrol santai, makan dengan garpu dan pisau, minum langsung dari botol, dan lain-lain. Calon aktor juga harus berlatih berjalan terpincang-pincang karena kakinya sakit, berjalan terhuyung-huyung karena mabuk, berjalan mengendap-endap karena takut ketahuan.

Latihan seperti ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh supaya calon aktor dapat melakukannya dengan sempurna seperti yang dikehendaki naskah. Sebab, kalau sudah dipraktikkan di panggung tak dapat diulang atau diperbaiki. Memang, gerakan salah atau kurang sempurna dapat diulang kalau drama itu dipentaskan di depan kamera untuk tayangan televisi atau film. Akan tetapi, pengulangan demi pengulangan tentu saja berarti pemborosan waktu, tenaga, dan terutama biaya.

(41)

Contoh Naskah Drama

Untuk memahami drama, berikut ini ditampilkan petikan naskah drama berjudul Gempa karya B. Soelarto berikut.

GEMPA

Lakon dua babak -PARA PELAKU:

Letnan : Wanita usia 27 tahun,

Komandan kompi “BANTENG”

Mayor : Pria usia 35 tahun, Komandan Batalyon 013 “LASKAR GABUNGAN”

Kapten : Pria usia 30 tahun,

Komandan kompi “GARUDA HITAM” Kopral : Pria usia 29 tahuo,

Ajudan komandan kompi “BANTENG”

“Sebuah drama skets revolusi yang sangat berhasil. Karya E. Nobles MONSERRAT menemukan tandingannya dalam karya B. Soelarto ini.” IWAN SIMATUPANG (alm.) Sastrawan, kritikus.

6

(42)

Babak Satu

SUATU WAKTU

SEMASA BABAK REVOLUSI BERSENJATA TENGAH MENGGELORA

Waktu pagi cerah. Dalam ruang pertemuan yang didirikan secara darurat. Ruang yang sangat sederhana itu berisikan sebuah meja, dua buah kursi sederhana.

Masuklah Mayor. Wajahnya gagah diserami rambut gondrong dan kumis-jenggot melebat. Pada ikat pinggangnya tergantung sepucuk vickers, dan sebilah belati menghias pada sisi lain. la diiringi Kopral, yang dengan sikap hormat menyilakan duduk. Kopral berpakaian seragam kumal, bersenjatakan sebilah bayonet

Mayor : Berapa lama lagi aku mesti tunggu. Kopral : Sabarlah sedikit, Pak...

Mayor : Jangan ditawarkan lagi. Kopral : Apanya, Pak.

Mayor : Kesabarannya! Sabar itu prinsip. Tidak bisa ditawar-tawar, ngerti?

Kopral : Kalau begitu kuralat ucapan tadi. Sabarlah, titik habis. Mayor : Ya. Tapi pertanyaanku belum Bung jawab.

Kopral : Setepat hitungan ilmu pasti tentu tidak dapat, Pak. Jadi sabarlah. (Seraya mau pergi).

Mayor : He, tunggu dulu! Bung jadi ajudannya sudah berapa lama? Kopral : Sejak dia diangkat jadi komandan kompi Banteng.

Mayor : Hmm. Siapa yang mengusulkan pada markas Besar Tentara untuk mengangkatnya jadi komandan dengan pangkat letnan? Kopral : Kami sendiri, seluruh anak buah kesatuan.

Mayor : Kalian? Astaga, kalian jantan-jantan yang berotot banteng mengusulkan seorang bctina untuk menjadi komandan kesatuan kalian. Lucu sekali! (Ledak tawanya).

Kopral sesaat nampak jengkel, tapi mendadak pula ledak tawanya, hingga Mayor cepat menghentikan tawanya. Dan dengan kurang mengerti, menatap Kopral.

Mayor : He, apa yang Bung tertawakan, ha? Kopral : Lelucon itu.

(43)

Kopral : Justru karena saya merasa sekali. Mayor : Apa yang Bung rasakan, ha? Kopral : Kelucuan Bapak.

Mayor : Apanya yang lucu?

Kopral : Bapak menertawakan persoalan yang tidak Bapak mengerti. Itu sama saja dengan menertawakan diri Bapak sendiri.

Mayor : Tolol! Yang badut itu Bung!

Kopral : Itulah! Bapak anggap badut itu justru menganggap bahwa yang badut adalah Bapak.

Mayor menghentakkan kaki kanan tanda marah.

Kopral : Sabarlah, Pak. (Terus cepat-cepat keluar). Mayor : Setan! Jika saja kau bawahanku, rasakan!

Mayot menghantam tinjunya ke meja. Dengan sikap dongkol ia terus duduk di tepi meja. Tangannya merogoh saku celana. Dikeluarkannya selembar kertas terlipat. Sesaat dibaca, lalu diremas-remasnya dalam genggaman, sambil menggerutu gemas.

Mayor : Tidak bisa, ini tidak bisa terjadi! Dengan alasan apa pun juga aku tidak bisa menerima pengangkatan seorang betina menjadi komandan kompi. Terlebih pula dengan jabatan komandan sektor. Aku komandan sektor, tidak bisa terima penghinaan total ini!

Kopral muncul lagi diiringi Kapten Komandan Kompi “Garuda Hitam”. Kapten yang berwajah cakap dengan kumis manis itu, senyum-senyum, sambil mengelus rambutnya yang sudah licin tersisir rapi. Pakaian seragamnya nampak masih baru bersih. Pada dada kiri tersemat lencana bergambar garuda warna hitam. Dan sehelai sapu tangan hitam polos, nampak teratur terkalung pada lehernya. Pada ikat pinggangnya yang dihiasi rantaian peluru pistol, sepucuk Volt Smith, tergantung manis dengan gaya koboi. Melihat kedatangan mereka itu, Mayor nampak tambah dongkol. Cepat ia bangkit bertolak pinggang. Matanya menyorot kemarahan pada Kopral.

Mayor : Jangan main-main, ya! Bukan dia yang kunantikan.

Kopral : Sabarlah, Pak. Memang bukan beliau, eh. bukan Bapak kapten ini. Beliau seperti Bapak juga keperluannya.

Mayor : Aku mau ketemu dan bicara dengan komandan Bung, berempat mata saja, tahu! Bergiliran.

Kopral : Tentu Pak, tentu. Saya jamin pasti berempat mata saja. Eh, bergilir dengan Bapak kapten ini. Bapak giliran pertama.

(44)

Mayor : Jadi, apa perlunya Bung kapten ini dibawa masuk.

Kopral : Tentu saja nanti Bapak kapten akan keluar bila Bapak sedang berunding dengan komandan kami.

Mayor mau bicara lagi, tapi berhenti karena perhatiannya mendadak tertuju kepada Kapten yang menyela tepat pada waktunya dengan dehem-dehem. Kapten menghormat dengan sedikit membungkukkan badan, sambil senyum ramah.

Kopral : Dan beliau, Kapten. Komandan kompi “Garuda Hitam”.

Kapten : Satu kehormatan bisa berkenalan dengan Mayor komandan batalyon yang begitu kenamaan. Secara pribadi, saya merasa mendapat kehormatan besar untuk bisa berkenalan dengan pribadi Bapak, ya dikelilingi cerita dan warta tentarig kepahlawanan Bapak yang mengagungkan.

Mayor : Hmm. Kapten dan kesatuan Bung juga sudah banyak kukenal dalam berita.

Kopral : Nah, selamat berkenalan.

Kopral terus keluar. Kapten merogoh saku mengeluarkan sebungkus rokok, ramah menawarkan pada Mayor, yang menerimanya dengan menarik sebatang, sambil mengamati rokok yang sudah terselip antara jari- jarinya.

Mayor : Terus terang saja Bung ya, aku sudah sering kali dengar cerita tentang kesatuan Bung. Cerita yang sangat tidak baik.

Kapten : Bahwa kesatuanku lebih cenderung sebagai kesatuan gerombolan liar, geiombolan pengacau. Demikian?

Mayor : Ya.

Kapten : Bahwa kesatuanku bertindak sebagai penguasa bersenjata yang merupakan satu-satunya penguasa di sektor ini. Dan mahkota yang berpraktik sebagai diktator-militer atas sektor, yang begini strategis lagi kondang subur lohjinawi. Demikian?

Mayor : Begitulah.

Kapten ketawa kecil sambil mengembuskan asap rokok dengan

sikap kebangsawanan. Lalu suaranya meluncur lancar.

Kapten : Ya, begitulah fitnah orang yang menaruh iri-dengki. Betapa tidak, sejak kesatuanku berhasil menguasai sektor ini, adalah satu kenyataan bahwa tentara musuh tidak lagi berani coba-coba merebut wilayah ini. Sedang sebelum itu, tak pernah ada satu kesatuan laskar pejuang, bahkan kesatuan tentara resmi yang berhasil menghalau tentara penduduk dari sektor ini. Sekarang

(45)

sebagaimana yang mungkin telah Bapak dengar sendiri, saya telah berhasil mengoordinasi sedemikian rupa, bila banyak or-ang yor-ang menaruh iri dengki atas hasil yor-ang saya capai. Dan adalah sangat wajar pula, bila mereka yang iri dengki berusaha memfitnah dengan menyiarkan warta berita dusta.

Mayor : Hmm, itu yang akan kuselidiki. Dusta dan kebenarannya. Itulah salah satu alasanku untuk menggerakkan batalyonku ke sini. Kapten : Satu tindakan yang tepat lagi bijaksana dari bapak. Namun pada

kesempatan ini pula saya berikan satu bukti lagi. Bukti betapa dustanya fitnah yang dilancarkan orang terhadap diriku. Sekiranya saja apa yang dikatakan orang mengenai diriku itu benar, maka pastilah...

Kapten cepat cekatan mencabut Coltnya. Cekatan pula membuka kunci dan ditodongkan ke arah dada Mayor yang tersentak kaget.

Kapten : Dalam beberapa detik lagi, Bapak sudah mati sebelum Bapak sempat mencabut Vickers dan meneriakkan pertolongan.

Lalu dengan lincahnya Kapten memainkan pistol di tangan, mengunci kembali. Dan sambil tersenyum dengan gerakan enak memasukkan senjata ke tempat semula. Tenang pula membuang dan menginjak api puntung. Mayor yang masih nampak kaget mengembuskan napas panjang.

Kapten : Dan apa kenyataan yang Bapak saksikan?

Mayor berusaha menguasai rasa kagetnya, ketawa ringan sambil mengangguk-angguk.

Mayor : Ya, ya. Ternyata Bung tidak tembak aku. Dan itu mendorong sikapku untuk tidak terlalu mempercayai segala cerita buruk tentang diri Bung.

Kapten : Saya jadi tambah kagum akan kebijaksanaan Bapak. Dan untuk tidak mengurangi kebijaksanaan Bapak yang kini cenderung untuk mempercayai saya, maka saya akan mengimbangi dengan segala kemampuan yang ada, memberikan bantuan sebesar-besarnya kepada Bapak. Kami yakin bahwa kehadiran batalyon Bapak akan lebih memantapkan posisi kami dalam menghadapi tentara musuh.

Mayor : Bagus! Bantuan Bung pasti sangat kuhargai. Bung harus tahu, tujuan utama gerakan batalyonku ke sektor sini adalah menjadikan wilayah ini sebagai pusat pertahanan kami, untuk kemudian melancarkan serangan umum terhadap musuh yang masih bercokol di perbatasan sana.

(46)

Kapten : Kami pasti akan merasa bangga bernaung di bawah panji-panji batalyon Bapak. Selain itu Pak, rasanya kita akan dapat lebih mengakrabkan kerja sama kita. Dalam menghadapi perintah-perintah markas besar tentara, yang kulihat masih teremas dalam genggaman Bapak itu.

Mayor sesaat memperhatikan remasan kertas yang masih belum terlepas dalam genggamannya.

Kapten : Khusus untuk menghadapi perintah-perintah yang tertulis pada kertas itulah, saya kemari.

Mayor : Maksud Bung, menolaknya?

Kapten : Setepat dugaan Bapak. Dan saya kemari ini adalah secara resmi, tegas-tegas menolaknya. Menolak untuk menggabungkan diri pada tentara nasional. Konsekuensinya, menolak kedudukan selaku komandan sektor atas wilayah ini yang oleh markas besar tentara sudah dipercayakan pada letnan wanita itu, dengan segala wewenangnya.

Mayor : Kalau begitu kita sejalan.

Mayor dengan gemas merobek-robek remasan kertas, dilemparkan ke

bawah dan diinjaknya.

Mayor : Aku akan pertahankan kedudukan batalyonku sebagai kesatuan laskar pejuang yang bebas. Persetan dengan segala perintah Markas Besar Tentara! Dan khusus terhadap komandan betina itu. Akan kutunjukkan padanya nanti, bahwa dialah yang mesti mengakui aku sebagai komandan sektor ini.

Kapten : Jadi Bapak selain mempersetankan segala perintah Markas Besar Tentara itu, juga bermaksud hendak menguasai sektor ini? Mayor : Ya. Bagaimana pendapat Bung?

Kapten : Ooo, tentu saya dukung, baik secara resmi maupun secara pribadi. Untuk lebih menguatkan dukungan itu, selain pernyataan-pernyataan saya tadi, dengan ini pula saya selaku komandan Kompi “Garuda Hitam” menyatakan kesetiaan kami terhadap Bapak. Kami serahkan segala wewenang serta tanggung jawab wilayah ini kepada Bapak selaku komandan Batalyon 013. Mayor : Bagus-bagus!

Kapten : Cuma saja yang menjadi pemikiran saya sekarang ini, adalah konsekuensi pembangkangan kesatuanku terhadap letnan wanita yang telah diberi wewenang dan kedudukan selaku komandan sektor.

(47)

tanggung jawabnya. Tapi Bung, terus terang saja aku sendiri merasa dihadapkan kesulitan untuk bertindak secara militer terhadap wanita itu. Sebab dia, perempuan. Dan perempuan adalah perempuan. Dan perempuan itu, eh...

Kapten : Kabarnya, lumayan juga. Mayor : Ha! Apa?!

Kapten : Ah kita kan lelaki, Pak.

Mayor ketawa ringan, disambut senyum Kapten.

Mayor : Wah, aku sudah terlanjur bicara terus terang sama Bung. Jadi apa boleh buat, aku akan selalu bicara begitu, khususnya mengenai dia. Eh, perempuan itu. Dia sudah kukenal lama Bung. Jadi Bung tentu tahu kenapa aku sulit untuk bertindak tegas secara militer terhadap dia.

Kapten : Oo, begitu?

Mayor : Ya. Soalnya antara aku dan dia ada sejarahnya. Kapten : Sejarah pribadi, bukan begitu, Pak?

Mayor : Ya, tentu. Tentu saja bukan sejarah militer. Aku kenal dengan dia sejak di kesatuan laskar. Dan dia mengenai aku, sejak dia masih jadi oh, masih perawan tentu saja. Masih kembang yang tengah mekar wangi dan jadi rebutan antara kami, jantan-jantan yang mengelilinginya. Dan eh, aku sendiri termasuk di antara mereka yang ingin mempersuntingnya....

Kapten bersiul panjang.

Mayor : Nada suara Bapak mulai romantis iramanya. Mayor : Apa itu tadi bilang?

Kapten : Romantis. Ah semacam ungkapan pernyataan yang serba manis, indah lembut mewangi, yang senantiasa lestari membarai rasa hati insani yang tengah kasmaran dibius kasih birahi.

Mayor : Wah, enak didengar itu. Dengan kata lain Bung menyatakan bahwa aku ada rasa tertentu terhadap dia ya.

Kapten : Itu kan tafsiran Bapak. Soalnya Bapak sendiri bagaimana. Ada atau tidak?

Mayor : Kalau pun ada, itu urusanku pribadi.

Kapten : Maaf Pak, sama sekali saya tidak ingin campuri urusan pribadi Bapak. Cuma saja sekiranya Bapak benar menyimpan rasa tertentu padanya, dan karena kalian telah lama saling mengenal, rasanya itu akan dapat merentangkan jalan sutra yang memberikan kemungkinan serba baik, lagi manis dalam penye-lesaian masalah yang Bapak hadapi sekarang. Rasanya secara

Referensi

Dokumen terkait