• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Locus of Control

dilema etis. Sedangkan Muawanah dan Indriantoro (2001) menyimpulkan

bahwa interaksi locus of control dan kesadaran etis mempengaruhi perilaku

auditor dalam konflik audit, pengaruh locus of control terhadap respon auditor

dalam situasi konflik audit adalah nonmonotonic sepanjang kisaran kesadaran

etis dan ada simetris yang diharapkan.

Rotter (1966) dalam Asih (2006) mengatakan bahwa manusia pada

dasarnya memiliki dua locus of control, yaitu internal dan external locus of

control. Perbedaan antara locus of control internal dan locus of control eksternal adalah pada pengendalian diri meraka masing-masing. Sebagai

contoh seorang auditor yang memiliki locus of control external lebih

cenderung akan menerima tekanan dari klien dibandingkan dengan auditor

yang memiliki locus of control internal. Semakin tinggi tingkat kesadaran etis

4

sehingga perilakunya akan semakin etis, sedangkan semakin rendah tingkat

kesadaran etis yang dimiliki oleh auditor maka locus of control yang dimiliki

semakin eksternal sehingga perilakunya kurang etis (Wati, 2009).

Dalam penugasan yang dilakukan atas klien, akuntan publik seringkali

dihadapkan pada dilema etis yang menyebabkan terjadinya konflik audit. Locus

of control membantu akuntan publik untuk menghadapi lingkungan kerja dan menyelesaikan suatu pekerjaan (Millet, 2005) dalam Intiyas, dkk (2007).

Dalam literatur akuntansi, locus of control adalah cara pandang seseorang

terhadap suatuperistiwa apakah dia dapat atau tidak dapat mengendalikan

(control) peristiwa yang terjadi pada dirinya Rotter (1966) dalam Muawanah dan Indriantoro (2001).

Dalam literatur psikologi dan auditing menunjukkan bahwa efek dilusi dalam auditing bisa berkurang oleh auditor yang berpengalaman karena struktur pengetahuan yang baik dari auditor yang berpengalaman menyebabkan mereka mengabaikan informasi yang tidak relevan Sandra (1999) dalam Herliansyah dan Ilyas (2006). Dengan kata lain kompleksitas tugas yang dihadapi sebelumnya oleh seorang auditor akan menambah pengalaman serta pengetahuannya. Pendapat ini didukung oleh Abdolmohammadi dan Wright (1987) dalam Herliansyah dan Ilyas (2006) yang menunjukkan bahwa auditor yang tidak berpengalaman mempunyai tingkat kesalahan yang lebih signifikan dibandingkan dengan auditor yang lebih berpengalaman.

Pengalaman yang lebih akan menghasilkan pengetahuan yang lebih. Seseorang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki

5

akan memberikan hasil yang lebih baik daripada mereka yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup dalam tugasnya. Auditor yang

berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih baik dalam

tugas-tugas profesionalnya, daripada auditor yang kurang berpengalaman (Gusti dan Syahril (2008). Auditor yang berpengalaman akan cenderung lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan sehingga keputusan tersebut tidak membuahkan hasil yang keliru. Pengalaman langsung masa lalu akan menentukan dan mengarahkan seseorang dalam tiap perilakunya.

Boner dan Walker (1994) dalam Herliansyah dan Ilyas (2006), mengatakan bahwa peningkatan pengetahuan yang muncul dari pelatihan formal sama bagusnya dengan yang didapat dari pengalaman khusus. Pengalaman akuntan publik akan membantu akuntan publik dalam menghadapi masalah yang ada. Oleh karena itu pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja akuntan publik, sehingga pengalaman dimasukkan sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh ijin menjadi akuntan publik.

Komitmen profesional digunakan sebagai panduan pemahaman nilai-nilai dan norma untuk mengevaluasi sikap akuntan publik dalam menghadapi suatu pekerjaan. Pengalaman audit membantu akuntan publik dalam menyadari kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Kesadaran etis membantu akuntan publik untuk bertanggung jawab dan memihak pada kepentingan masyarakat. Faktor-faktor tersebut membantu akuntan publik dalam menghadapi konflik audit.

6

Profesi akuntan publik bisa dikatakan merupakan salah satu profesi

kunci di era globalisasi untuk mewujudkan era tranpanrasi bisnis yang fair,

oleh karena itu kesiapan yang menyangkut profesionalisme mutlak diperlukan. Profesionalisme mensyaratkan tiga hal utama yang harus dipunyai oleh setiap anggota profesi, yaitu keahlian, berpengetahuan dan berkarakter. Karakter

menunjukkan personality seorang profesional yang diantaranya diwujudkan

dalam sikap dan tindakan etisnya. Sikap dan tindakan etis akuntan publik, akan sangat menentukan posisinya di masyarakat pemakai jasa profesionalnya.

Profesionalisme juga menjadi syarat utama bagi seseorang yang ingin menjadi seorang auditor eksternal. Sebab dengan profesionalisme yang tinggi kebebasan auditor akan semakin terjamin. Untuk menjalankan perannya yang menuntut tanggung jawab yang semakin luas, auditor eksternal harus memiliki wawasan yang luas tentang kompleksitas organisasi modern. Komitmen profesional yang tinggi pada diri seorang auditor dalam melaksanakan tugasnya, maka dapat mendorong adanya iklim kerja yang mendukung auditor untuk mencapai prestasi yang nantinya dapat menciptakan kepuasan kerja auditor itu sendiri (Wijayanti 2007).

Menurut Intiyas, dkk (2007) untuk mengetahui perilaku akuntan publik dalam menghadapi situasi konflik audit, perlu pemahaman beberapa

faktor diantaranya locus of control, komitmen profesional dan kesadaran etis.

Interaksi antara locus of control, komitmen profesional dan kesadaran etis akan

menunjukkan pengaruhnya terhadap akuntan publik dalam situasi konflik audit.

7

Salah satu hal penting dalam mewujudkan profesionalisme adalah kepribadian. Penelitian ini didesain untuk memahami hubungan kepribadian dengan respon auditor terhadap dilema etika. Ponemon dan Gabhart (1990) dalam Purnamasari (2006) menemukan bahwa proses kognitif etika auditor akan mempengaruhi independensi auditor. Independensi merupakan isu yang menarik karena dalam menghadapi konflik independensi auditor perlu untuk mempertimbangkan aturan yang eksplisit, standar audit dan kode etik profesional. Literatur psikologi memberikan pemahaman cara seorang individu

memproses aturan-aturan tersebut dalam membuat judgement.

Richmond (2003) dalam Purnamasari (2006) menemukan bukti bahwa kepribadian individu mempengaruhi perilaku etis. Richmond mengivestigasi hubungan paham Machiavellianisme yang membentuk suatu tipe kepribadian yang disebut sifat Machiavellian serta pertimbangan etis dengan kecenderungan perilaku individu dalam menghadapi dilema-dilema etika (perilaku etis). Hasil penelitian ini, pertama menunjukkan bahwa semakin tinggi kecenderungan sifat Machiavellian seseorang maka semakin mungkin untuk berperilaku tidak etis. Kedua, semakin tinggi level pertimbangan etis seseorang, maka dia akan semakin berperilaku etis.

Pertimbangan etis dan sifat Machiavellian ini juga diindikasikan berpengaruh secara langsung terhadap independensi auditor. Individu dengan sifat Machiavellian tinggi cenderung memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan lebih memiliki keinginan untuk tidak taat pada aturan Ghosh dan Crain (1996) dalam Purnamasari (2006). Seorang auditor harus taat

8

pada aturan etika yang mengharuskannya bersikap independen, maka ketika seorang auditor memiliki kecenderungan sifat Machiavellian tinggi semakin mungkin untuk bertindak tidak independen. Level pertimbangan etis juga berpengaruh terhadap independensi.

Beberapa peneliti telah menemukan bahwa perilaku etis dipengaruhi oleh pihak lain yang dihadapi oleh seorang individu dalam lingkungan profesinya tanpa memperhatikan kesesuaian perilakunya dengan kode etik profesinya. Tingkat pengaruh itu mungkin disebabkan oleh jauh dekatnya hubungan antara organisasi dan pihak lain yang berkaitan serta pihak yang berkuasa baik dari dalam maupun dari luar organisasi. Misalnya pemerintah, kantor akuntan lain, dan sebagainya.

Forsyth (1980) dalam Aziza dan Andi (2008) berpendapat bahwa orientasi etika digerakkan oleh dua karakteristik yaitu idealisme dan relativisme. Idealisme berhubungan dengan tingkat dimana individual percaya bahwa konsekuensi yang diinginkan (konsekuensi positif) tanpa melanggar kaidah moral. Sikap idealis juga diartikan sebagai sikap tidak memihak dan terhindar dari berbagai kepentingan. Seorang akuntan yang tidak bersikap

idealis hanya mementingkan dirinya sendiri agar mendapat fee yang tinggi

dengan meninggalkan sikap independensi.

Dalam menjalankan profesinya sebagai auditor, seorang akuntan diatur oleh suatu Kode Etik Akuntan (IAPI, 2010). Dimana dalam pasal 1 ayat (2) Kode Etik Akuntan Indonesia mengamanatkan bahwa setiap anggota harus mempertahankan integritas dan obyektivitas dalam menjalankan tugasnya.

9

Mempertahankan integritas, ia akan bertindak jujur, tegas, dan tanpa pretensi, sedangkan dengan mempertahankan obyektivitas, ia akan bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadinya. Dengan mempertahankan integritas dan obyektivitas, ia akan bertindak adil, tanpa dipengaruhi oleh tekanan atau permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadinya. Sehingga dengan adanya kode etik, masyarakat akan dapat menilai sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya.

Penelitian ini merupakan perkembangan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Intiyas, dkk (2007). Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terdapat pada variabel independent. Penelitian saat ini menambahkan variabel etika profesional dengan objeknya adalah kantor akuntan publik yang berada di Jakarta.

Oleh karena itu, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian ini karena cukup penting untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku auditor dalam situasi konflik audit. Selain itu juga, peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen mempengaruhi variabel dependen. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti

melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Locus of Control,

Pengalaman Auditor, Komitmen Profesional dan Etika Profesional terhadap Perilaku Auditor dalam Situasi Konflik Audit”.

10 B. Perumusan Masalah

Masalah yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah locus of control berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku

auditor dalam situasi konflik audit?

2. Apakah pengalaman auditor berpengaruh secara signifikan terhadap

perilaku auditor pada situasi konflik audit?

3. Apakah komitmen profesional berpengaruh secara signifikan terhadap

perilaku auditor dalam situasi konflik audit?

4. Apakah etika profesional berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku

auditor dalam situasi konflik audit?

5. Apakah locus of control, pengalaman, komitmen profesional dan etika

profesional berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap perilaku auditor dalam situasi konflik audit?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menemukan bukti empiris atas hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis pengaruh locus of control terhadap perilaku auditor

dalam situasi konflik audit.

2. Untuk menganalisis pengaruh pengalaman terhadap perilaku auditor dalam

situasi konflik audit.

3. Untuk menganalisis pengaruh komitmen profesional terhadap perilaku

11

4. Untuk menganalisis pengaruh etika profesional terhadap perilaku auditor

dalam situasi konflik audit.

5. Untuk menganalisis pengaruh locus of control, pengalaman, komitmen

profesional dan etika profesional secara simultan terhadap perilaku auditor dalam situasi konflik audit.

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Auditor dan Kantor Akuntan Publik (KAP), sebagai pertimbangan bagi

auditor eksternal untuk dapat bersikap dan menjadi referensi auditor dalam mengambil keputusan pada saat situasi konflik audit.

2. Akademisi, diharapkan sebagai acuan dalam pembentukan calon akuntan

dalam situasi konflik audit, pengendalian diri, serta etika professional yang kelak akan dihadapi di masa yang akan datang.

3. Pengguna jasa audit, agar dapat memahami perilaku profesional dan etika

berprofesi auditor, terutama yang akan berkaitan dengan proses pengambilan keputusan dalam situasi konflik audit, serta dapat mengetahui komitmen dan etika profesional dalam menghadapi situasi konflik audit.

4. Masyarakat, sebagai sarana informasi tentang perilaku auditor eksternal

serta dapat menambah wawasan pada bidang akuntansi khususnya memahami perilaku auditor dalam menghadapi situasi konflik audit..

12

5. Peneliti, yaitu guna memperluas wawasan dan menambah ilmu serta

referensi mengenai auditor serta memperoleh dan menjalankan ilmu yang didapatkan di masa yang akan datang.

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Locus of Control

Konsep locus of control pertama kali ditemukan oleh rotter (1966),

seorang ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control didefinisikan

MacDonald dalam Intyas, dkk (2007) sejauh mana seseorang merasakan hubungan kontijensi antara tindakan dan hasil yang mereka peroleh. Konsep

locus of control terutama didasarkan pada teori pembelajaran sosial (social learning theory) (Reiss dan Mitra, 1998) dalam Intiyas, dkk (2007), teori tersebut menyatakan bahwa pilihan dibuat oleh individu dari berbagai macam perilaku potensial yang tersedia untuk mereka. Rotter, (1996) dalam Intiyas, dkk (2007) menyatakan perilaku auditor dalam situasi konflik akan

dipengaruhi oleh karakter locus of control-nya.

Locus of control menurut Hjele dan Ziegler, 1981; Baron dan Byrne, (1994) dalam Wati (2009) diartikan sebagai persepsi seseorang tentang sebab-sebab keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan pekerjaannya. Seseorang yang percaya bahwa mereka memiliki pengendalian atas takdir mereka disebut internal yang percaya bahwa pengendalian terletak dalam diri

mereka sendiri. Menurut Rotter (1966) dalam Wati (2009) locus of control

merupakan suatu keyakinan dalam diri individu yang merupakan pusat kendali dan pusat pengarahan dari semua perilaku dalam semua dimensinya yang secara kontinum bergerak dalam dirinya kearah luar dirinya.

14

Perilaku auditor sangat dipengaruhi oleh karakteristik locus of

controlnya. Menurut Wati (2009) locus of control merupakan suatu kontinum, karena itu kontrol terletak pada suatu titik sepanjang kontinum itu. Oleh karena itu, maka seseorang hanya dapat dikatakan cenderung internal atau eksternal. Seseorang yang cenderung internal tetap memiliki eksternal, hanya saja kecenderungan internalnya lebih besar dari pada kecenderungan eksternal

begitu pula sebaliknya. Dalam literature akuntansi, locus of control adalah cara

pandang seseorang terhadap suatu peristiwa apakah dia dapat atau tidak dapat

mengendalikan (control) peristiwa yang terjadi pada dirinya. Rotter (1966)

dalam Muawanah dan Indriantoro (2001).

Locus of control adalah sesuatu yang ada pada diri manusia yang dapat dikendalikan oleh manusia untuk menentukan segala keputusan dan

pemikiran. Jadi locus of control merupakan bagian psikologis dari manusia

yang tumbuh dan berkembang menumbuhkan pemikiran sejauh apa yang mereka kerjakan dan mereka peroleh hasilnya.

Reiss dan Mitra (1998) dalam Intiyas, dkk (2007) membagi locus of

control menjadi dua, yaitu internal locus of control adalah cara pandang bahwa segala hasil yang didapat, baik atau buruk adalah karena tindakan, kapasitas

dan faktor-faktor dari dalam diri mereka sendiri serta external locus of control

adalah cara pandang dimana segala hasil yang didapat, baik atau buruk berada diluar kontrol diri mereka tetapi karena faktor luar seperti keberuntungan, kesempatan, dan takdir. Manusia dalam melaksanakan berbagai kegiatan dalam hidupnya selalu berupaya memberi respon terhadap faktor-faktor internal dan

15

eksternal yang ada di dalam diri dan di lingkungan sekitar manusia (Sarita dan

Agustia 2009). Dari pembagian locus of control di atas seorang auditor yang

memliki internal locus of control dapat merespon segala kejadian dengan baik

sehingga lebih dapat mengendalikan diri dalam situasi konflik audit.

Pada Muawanah dan Indriantoro (2001) individu dengan internal

locus of control akan lebih mungkin berperilaku etis dalam situasi konflik audit

dibandingkan dengan individu dengan eksternal locus of control. Individu

dengan eksternal locus of control merasa kurang puas dengan jabatan mereka,

sebaliknya individu dengan internal locus of control menganggap hasil-hasil

organisasi berasal dari tindakan mereka sendiri. Dalam Intiyas, dkk (2007)

perasaan tidak puas individu dengan externallocus of control dapat disebabkan

karena menganggap dirinya memiliki sedikit control atas hasil-hasil organisasi

daripada individu internal, dedangkan individu internal locus of control

menganggap hasil-hasil organisasi berasal dari tindakannya, karena merasa aktif mencari informasi sebelum mengambil keputusan lebih termotivasi dalam berprestasi dan melakukan usaha lebih besar dalam mengendalikan lingkungan mereka. Kustini dan Fendy (2004) orang-orang yang mempunyai dan termasuk

dalam internal locus of control mempunyai persepsi bahwa apa yang terjadi

pada diri mereka bergantung pada apa yang telah dilakukan oleh diri mereka sendiri.

Zaroh (2000) dalam Wati (2009) Seseorang yang memiliki internal

locus of control memiliki sifat mandiri, tekun, kuat serta punya daya yang kuat

16

mempunyai sifat mudah cemas, depresi dan neurosis, besar kemungkinannya

mengalami frustasi karena mudah tertekan dan kurang berhasil. Teori locus of

control menggolongkan individu apakah termasuk dalam locus internal atau eksternal. Rotter (1990) dalam ( Kartika dan Provita , 2007) menyatakan

bahwa locus of control baik internal maupun eksternal merupakan tingkatan

dimana seorang individu berharap bahwa reinfocement atau hasil dari perilaku

mereka tergantung pada perilaku mereka sendiri atau karakteristik personal mereka. Mereka yang yakin dapat mengendalikan tujuan mereka dikatakan

memiliki internal locus of control, sedangkan yang memandang hidup mereka

dikendalikan oleh kekuatan pihak luar disebut memiliki external locus of

control (Robbins, 1996) dalam (Kartika dan Provita, 2007).

Aktivitas individu sebagai respon terhadap faktor-faktor internal dan

eksternal tersebut dikontrol oleh faktor locus of control. Locus of control baik

internal maupun eksternal bukanlah merupakan suatu konsep tipologi, melainkan merupakan pengaruh atau sumbangan berbagai faktor lingkungan.

Artinya locus of control bukan berasal sejak lahir melainkan timbul dalam

proses pembentukannya yang berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan, sehingga tidak ada orang yang hanya memiliki kontrol internal saja ataupun kontrol eksternal saja (Sarita, Agustia 2009).

Menurut Yuke, dkk (2005) dalam konteks audit, manipulasi atau ketidakjujuran pada akhirnya akan menimbulkan penyimpangan perilaku dalan audit. Hasil dari perilaku ini adalah penurunan kualitas audit yang dapat dilihat sebagai hal yang perlu dikorbankan oleh individu untuk bertahan dalam

17

lingkungan kerja audit. Hal ini menghasilkan dugaan bahwa makin tinggi lokus kendali eksternal individu, semakin mungkin mereka menerima penyimpangan perilaku dalam audit.

Locus of control berperan dalam motivasi, locus of control yang berbeda bias mencerminkan motivasi yang berbeda dan kinerja yang berbeda. Internal akan cenderung lebih sukses dalam karier dari pada eksternal, mereka cenderung mempunyai level kerja yang lebih tinggi, promosi yang lebih cepat dan mendapatkan uang yang lebih. Sebagai tambahan, internal dilaporkan memiliki kepuasan yang lebih tinggi dengan pekerjaan mereka dan terlihat lebih mampu menahan stres daripada eksternal (Baron & Greenberg, 1990 dalam Kartika dan Provita, 2007).

Dokumen terkait