1. Latar Belakang CITES
CITES ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973 di Washington D.C. yang ketika itu penandatangan konvensi ini berjumlah 21 negara. Melalui konvensi ini, setiap negara peserta wajib menjalankan ketentuan-ketentuan di dalamnya yang akan diaplikasikan melalui Peraturan Nasional. CITES merupakan suatu konvensi yang mengatur perdagangan Internasional dan sebagai media konservasi terhadap flora dan fauna yang terancam punah. Hal ini dilakukan untuk melindungi spesies-spesies yang dilindungi dan memaksimalkan kegunaannya bagi manusia di masa sekarang dan masa yang akan datang. Konvensi yang sudah telah diratifikasi oleh 173 negara75
75
Parties of the Convention , <http://www.cites.org/eng/disc/parties/chronolo.shtml>, diakses pada tanggal 26 November 2010.
, sejak Oman meratifikasinya pada tanggal 13 Maret 2008, dianggap sebagai Magna Charta for Wildlife. Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk mencegah dan membatasi perdagangan komersial internasional terhadap spesies-spesies yang terancam punah atau produk-produk lain yang dihasilkannya. Konvensi tersebut tidak hanya melindungi flora, namun juga fauna yang terancam
xlix kepunahan.Spesies-spesies yang memiliki kemungkin terancam terhadap kepunahan diklasifikasikan kedalam salah satu dari tiga appendiks yang terdapat di dalam CITES 80,dan spesies tersebut menjadi subjek dari sistem perijinan impor dan ekspor76
Terbentuknya konvensi ini didasari oleh pertimbangan dari peserta konvensi yang menyadari bahwa berbagai variasi satwa dan tumbuhan liar yang ada merupakan bagian dari sistem ekosistem bumi yang tidak terpisahkan. Hal tersebutlah yang membuat mereka harus dilindungi untuk generasi sekarang dan yang akan datang
.
77
. Spesies-spesies tersebut memiliki nilai penting dalam estetika, ilmu pengetahuan, budaya, rekreasi, dan ekonomi78. Untuk mewujudkan hal ini maka kerjasama internasional menjadi sebuah faktor yang penting dan mendasar untuk menciptakan perlindungan bagi spesies yang terancam punah tersebut dari eksploitasi berlebihan yang diakibatkan oleh perdagangan Internasional79 dan sejak berlaku pada tahun 1975, tak ada lagi seekor spesies pun yang mengalami kepunahan80
76
William C. Burns, “CITES and the Regulation of International Trade in Endangered Species of Flora: A Critical Appraisal”, 8 Dick. J. Int'l L. 203, 208-10 (1990).
77
Laura H. Kosloff and Mark C. Trexler, “The Convention on International Trade in Endangered Species: Enforcement Theory and Practice in the United States”, 5 B.U. Int'l L.J.327 (1987).
78
Butir 1 Konsiderans CITES
79
Butir 2 Konsiderans CITES
80
Butir 4 Konsiderans CITES
l 2. Prinsip-prinsip hukum Lingkungan Internasional
a. Prinsip Biodiversity
Pada dasarnya pelestarian keanekaragaman hayati, khususnya spesies liar, merupakan tanggung jawab setiap Negara dan masyarakatnya. Oleh karena itu setiap Negara harus menjalin kerjasama secara internasional guna melindungi dan mencegah terjadinya kepunahan spesies akibat over exploitation81
Tujuan konvensi ini adalah melakukan pengendalian perdagangan flora dan fauna, serta segala macam produknya (gading, kulit dan lain sebagainya), yang dilakukan dalam konteks perdagangan Internasional. Pengendalian tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa eksploitasi komersial secara tak terbatas terhadap
. Prinsip Biodiversity menekankan pentingnya usaha melestarikan keanekaragaman hayati spesies baik yang tersebar baik di darat, udara , maupun di laut. Salah satu ancaman terhadap usaha pelestarian keanekaragaman hayati, terutama spesies liar, adalah diakibatkan oleh perdagangan internasional. Apabila tidak terdapat suatu mekanisme kontrol atas perdagangan internasional tersebut, maka dikhawatirkan perdagangan internasional akan menjadi penyebab punahnya salah satu sumber daya alam di dunia.
81
li suatu sumber daya alam merupakan salah satu ancaman terhadap keberadaan spesies-spesies tersebut dan dapat menyebabkan kepunahan.
b. Prinsip Precautionary
Dalam preamble CITES dikatakan bahwa setiap negara harus melakukan pertimbangan dalam mengatur perdagangan spesies-spesies tersebut sehingga spesies-spesies tersebut tidak terancam oleh pemanfaatan yang berlebihan. Di dalam CoP yang pertama untuk mengeluarkan salah satu spesies dari appendiks pertama diharuskan adanya " positive scientific evidence that the plant or animal can
withstand the exploitation .... "82
Pada dasarnya segala kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang membawa pengaruh terhadap lingkungan tidak selalu dapat diprediksi akibatnya. Oleh karena itulah segala tindakanmanusia sebaiknya tidak dilakukan jika tindakan tersebut tidak atau belum diketahui resikonya. Prinsip ini mengharuskan adanya pertimbangan sebelum sebuah tindakan dilakukan dan membuktikan bahwa . hal tersebut menunjukan bahwa adanya prinsip precautionary di dalam CITES.
82
lii tindakan tersbut tidak akan mengakibatkan kerusakan pada lingkungan83
c. Prinsip Sustainable Use
.
Pemanfaatan spesies bagi kehidupan manusia sebenarnya bukanlah hal yang terlarang, namun perlu diperhatikan bahwa kegiatan pemanfaatan spesies harus dengan menjamin keberadaan nya untuk saat ini dan di masa yang akan datang. Perdagangan internasional yang mengancam eksistensi spesies liar harus dibatasi. Prinsip ini secara nyata dituangkan di dalam konsiderans CITES, butir 1: “….an irreplaceable part of the natural system of the earth which must be protected for this and generation to come.” Tujuan dari CITES adalah mengatur perdagangan Internasional dari spesies satwa dan tumbuhan liar tertentu agar terlindungi dari kegiatan eksploitasi yang berlebihan84. CITES merupakan suatu “border guard” dimana ketentuan perdagangan berlaku bagi spesies satwa dan tumbuhan dalam apendiksnya, termasuk bagian-bagian dan turunannya, yang kegiatannya melintas batas negara85
83
David S. Favre, “A Precautionary Tale 6 “, (Environmental Law Review), 18 September 1993
84
Butir 4 konsiderans CITES
85
CITES tidak mengatur pelrindungan spesies yang terancam dalam wilayah suatu Negara (konservasi habitat) atau hal lain yang mengancam kelangsungan hidup spesies tersebut yang tidak disebabkan oleh kegiatan perdagangan (misalnya polusi atau kegiatan pembangunan). David hunter, James Salzman, dan Dorwoor Zaelke,,”International Environmental Law and Policy”.(New York foundation press :1998).
liii Lima hal pokok yang menjadi dasar diadakannya konvensi tersebut, yaitu86
1. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap flora dan satwa liar; :
2. Meningkatnnya nilai margasatwa liar bagi manusia;
3. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan Flora dan Fauna;
4. Makin mendesaknya kebutuhan untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari over-exploitation secara internasional;
5. Makin mendesaknya kebutuhan akan tindakan-tindakan mengenai hal-hal di atas.