• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODOLOGI PENELITIAN

4.3. KARAKTERISTIK MI SORGUM

4.3.1. Cooking loss

Cooking loss dapat diartikan sebagai jumlah padatan mi yang terlarut ke dalam air rebusan selama proses pemasakan. Pengukuran ini mengindikasikan kemampuan mi untuk mempertahankan integritas strukturalnya selama proses pemasakan (Liu 2009). Analisis ini dilakukan dengan merebus sebanyak 5 gram mi dengan panjang sekitar 10 cm dalam 150 ml air mendidih di dalam gelas piala. Panjang untaian mi memiliki pengaruh terhadap besar kecilnya nilai cooking loss. Panjang mi yang terlalu pendek akan menyebabkan luas permukaan mi yang terekspos oleh air saat dimasak menjadi lebih besar sehingga semakin banyak partikel yang akan larut dan nilai cooking loss-nya akan semakin besar. Waktu masak dihitung mulai dari saat memasukkan mi ke dalam air yang sudah mendidih sampai meniriskan mi. Seiring dengan berjalannya waktu, air rebusan mi akan mulai berwarna kuning keruh akibat adanya padatan terlarut yang terlepas dari struktur mi. Hasil analisis cooking loss dapat dilihat pada Tabel 10.

Saat mi diangkat, mi akan terasa lengket dan saling menempel satu sama lain. Pencucian mi dengan air akan membuat mi menjadi lebih licin dan saling terpisah antar helai. Berdasarkan data pada Tabel 8, nilai cooking loss dari 16 sampel mi beragam dan umumnya sedang (>10%). Hal ini menunjukkan jumlah padatan yang terlarut saat dimasak cukup banyak, terutama pada mi dengan perlakuan suhu 80oC dan kecepatan ulir 74 rpm. Pada variasi tersebut, nilai cooking loss mencapai 24.09% yang menunjukkan bahwa sebanyak 24.09% dari total padatan yang berada di dalam mi larut ke dalam air rebusan mi selama proses pemasakan. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah nilai yang minimal untuk mendapatkan mi dengan tekstur matang yang tidak jauh berbeda dari saat keringnya.

Hasil analisis ANOVA pada respon cooking loss menyatakan bahwa model yang mampu memenuhi tiga kriteria yang telah disebutkan adalah Linear Manual. Model memiliki nilai p-value (Prob>F) lebih kecil dari 0.05 (0.0066) sehingga model tersebut memiliki signifikansi yang kuat sebagai model respon cooking loss. Nilai Lack of Fit yang lebih dari 0.10 (0.1550) menunjukkan bahwa model polinimial sudah sesuai dengan semua desain secara baik. Apabila Lack of Fit masih signifikan, maka model polinimial dapat dinaikkan atau dilakukan transformasi model (Anonim 2005).

Pengecekan kesesuaian model dapat dilihat dengan membandingkan nilai cooking loss dari data penelitian dengan prediksi RSM. Misalnya, pada suhu ekstruder 80oC dan kecepatan ulir 52 rpm, data penelitian menunjukkan nilai cooking loss mi sorgum sebesar 15.30%, sedangkan prediksi RSM sebesar 17.90%. Pada titik lain, nilai cooking loss pada suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm dari data penelitian adalah 7.68%, sedangkan prediksi RSM sebesar 8.56%. Perbedaan nilai dari dua data tersebut cukup kecil (sekitar 2%) sehingga masih dapat ditoleransi. Penggunaan RSM pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui model respon cooking loss pada pembuatan mi sorgum berdasarkan data penelitian yang sudah ada dan menentukan prediksi respon dari penggunaan suhu ekstruder dan kecepatan ulir yang berbeda. Dengan kata lain, pemilihan model akan disesuaikan dengan kecenderungan dari data penelitian yang sudah ada untuk menggambarkan pengaruh suhu dan kecepatan ulir terhadap cooking loss mi sorgum. Nilai prediksi mungkin akan berbeda jika model yang digunakan juga berbeda, sehingga pemilihan model diusahakan dapat menggambarkan respon yang mendekati nilai yang sebenarnya.

Tabel 9. Hasil analisis cooking loss (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan Run Suhu (oC) Kecepatan Ulir (rpm) Cooking loss (%bk)

1 80 52-a 15.47 2 80 52-b 15.12 3 80 74 24.09 4 80 125-a 11.63 5 80 125-b 12.72 6 84 50 15.27 7 84 106 17.31 8 88 93 13.64 9 89 125 12.98 10 90 54 15.41 11 95 50-a 12.58 12 95 50-b 8.65 13 95 88-a 8.90 14 95 88-b 12.01 15 95 125-a 5.33 16 95 125-b 10.02

Nilai R2 dari model respon cooking loss adalah 0.5383 yang berarti 53.83% dari data yang ada dapat dijelaskan oleh model yang dipilih, yaitu linear. Model tersebut dapat memenuhi tiga kriteria yang harus dipenuhi serta memiliki nilai R2 yang paling tinggi dibandingkan model lainnya. Nilai Adj R2dan Pred R2 dari respon cooking loss tergolong rendah, yaitu 0.4672 dan 0.2913. Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut hanya mampu menggambarkan 46.72% dari nilai aktual dan 29.13% dari nilai prediksi. Kedua nilai R2 ini sebaiknya lebih dari 0.60, tetapi hal ini tidak menjadi suatu keharusan. Apabila desain ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor proses yang signifikan, maka nilai dari kedua R2 tersebut tidak terlalu berpengaruh. Faktor yang signifikan tetap merupakan faktor yang benar-benar signifikan meskipun model polinimialnya tidak sempurna (Anonim 2005). Hal yang paling utama adalah nilai Adj R2dan Pred R2 memiliki reasonable agreement atau pernyataan yang beralasan sehingga model linear yang dipilih sudah cukup baik untuk menggambarkan respon cooking loss dari mi sorgum.

Berdasarkan persamaan aktual hubungan antara cooking loss, suhu, dan kecepatan ulir ekstruder, baik suhu maupun kecepatan ulir merupakan dua faktor yang secara signifikan mempengaruhi nilai cooking loss mi sorgum. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Charutigon et al. (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu barrel dari 70oC ke 90oC dapat menurunkan cooking loss mi beras sebanyak 7% (dari 14.2% menjadi 7.2%). Wang et al. (2012) juga menyatakan peningkatan suhu barrel mengurangi cooking loss. Oleh karena itu, semakin tinggi suhu ekstruder, maka akan semakin rendah nilai cooking loss dari produk mi sorgum. Hal ini disebabkan suhu yang lebih tinggi dapat menggelatinisasi adonan dengan lebih baik dibandingkan suhu rendah.

Faktor yang paling mempengaruhi cooking loss adalah adanya pati tergelatinisasi yang ikatannya lemah di permukaan mi sehingga saat mi dimasak, pati tersebut larut ke dalam air rebusan (Charutigon et al. 2007). Penggunaan suhu yang tinggi akan meningkatkan derajat gelatinisasi

sehingga mengurangi jumlah padatan terlarut saat pemasakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Chiang (1975) yang menyatakan derajat gelatinisasi meningkat tajam dengan peningkatan suhu, saat kadar air bahan 24-27%, tetapi meningkat lebih lambat saat kadar air bahan 18-21%.

Berdasarkan penampang tiga dimensi pada Gambar 7, warna merah menunjukkan nilai cooking loss yang tinggi sedangkan warna biru menunjukkan nilai cooking loss yang rendah. Penampang tiga dimensi dari respon cooking loss menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan kecepatan ulir ekstruder akan menghasilkan mi dengan nilai cooking loss yang semakin rendah. Di sisi lain, suhu ekstruder yang rendah dan kecepatan ekstruder yang tinggi akan menghasilkan mi dengan nilai cooking loss yang lebih besar.

Gambar 7. Penampang tiga dimensi respon cooking loss

Kecepatan ulir secara signifikan mempengaruhi gelatinisasi pati. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Wang et al. (2012) yang menyatakan bahwa peningkatan kecepatan ulir dapat meningkatkan nilai b (warna kuning), rasio ekspansi, persentase pati tergelatinisasi, pati resisten, kekompakan dan kelengketan permukaan, waktu masak, dan menurunkan nilai a dan bobot masak. Lampiran 24 menunjukkan sebaran data cooking loss mi sorgum.

Dokumen terkait