• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

A. Landasan Teori

2. Corak Ilmi dan Indikatornya

Ilmi berasal dari kata ilmu dari kata ‘ulum yang artinya adalah pengetahuan.12 Tafsir ilmi adalah sebuah upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung isyarat ilmiah dari perspektif ilmu pengetahuan modern. Menurut Husain az-Zahabi, Tafsir ini membahas istilah-istilah ilmu pengetahuan dalam penuturan Ayat-ayat al-Qur’an, serta berusaha menggali dimensi keilmuan dan menyingkap rahasia kemukjizatannya terkait informasi-informasi sains yang mungkin belum dikenal manusia pada masa turunnya sehingga menjadi bukti kebenaran bahwa al-Qur’an bukan karangan manusia, namun wahyu Allah Swt. Alasan yang mendorong para mufassir menulis Tafsirnya dengan corak ini adalah di samping banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang secara eksplisit maupun implisit memerintah untuk menggali ilmu.

Hamka adalah seorang mufassir yang memiliki wawasan keilmuan yang lumayan luas, sebagaimana tercermin dalam karya-karyanya. Dalam menjelaskan fenomena alamiah dan uraian-uraian saintifik terkait penafsiran corak ilmiah terhadap ayat-ayat al-Qur’an, Hamka berupaya menjelaskannya melalui ungkapan-ungkapan yang sederhana, sesuai dengan gaya pemaparan tulisannya yang bernada dakwah. Di sini, ayat-ayat al-Qur’an juga dijelaskan makna dan kaitannya melalui analogi teknologi sederhana yang dipahaminya.

Dengan begitu, ulasan Tafsirnya bisa dipahami banyak lapisan kalangan yang memang membutuhkan bahan-bahan bacaan, utamanya buku-buku Tafsir, yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

12 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab Indonesia, (Surabaya:

Pustaka Progressif, Cet. Ke-14, 1997), hlm.966.

17

Dalam upaya menjaga kesucian al-Qur’an para ulama merumuskan beberapa prinsip dasar yang sepatutnya diperhatikan dalam menyusun sebuah Tafsir ilmi, antara lain:

1. Memperhatikan arti dan kaidah-kaidah kebahasaan. Tidak sepatutnya kata tayran dalam surah al-Fiil (105): 3

َليِباَبَأ اًرْ يَط ْمِهْيَلَع َلَسْرَأَو

“Dan Dia turunkan kepada mereka burung Ababil”

Kata tersebut diTafsirkan sebagai kuman seperti dikemukakan oleh Muhammad ‘Abduh dalam Tafsir Juz ‘Amma-nya. Secara bahasa itu tidak dimungkinkan, dan maknanya menjadi tidak tepat.

2. Memperhatikan konteks ayat yang di Tafsirkan, sebab ayat-ayat dan surah al-Qur’an, bahkan kata dan kalimatnya saling berkorelasi. Memahami ayat-ayat al-Qur’an harus dilakukan secara komprehensif dan tidak parsial.

3. Memperhatikan hasil-hasil penafsiran dari Rasulullah saw.

Selaku pemegang otoritas teringgi para sahabat, tabi’in dan para ulama Tafsir, terutama yang menyangkut ayat yang akan dipahaminya. Selain itu, penting juga memahami ilmu-ilmu al-Qur’an lainnya seperti nasikh-mansukh, asbabun nuzul, dan sebagainya.

4. Tidak menggunakan ayat-ayat yang mengandung isyarat ilmiah untuk menghukumi benar atau salahnya sebuah hasil penemuan ilmiah. al-Qur’an mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dari sekadar membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah.

5. Memperhatikan kemungkinan satu kata atau ungkapan mengandung sekian makna, walaupun kemungkinan makna itu sedikit jauh (lemah), seperti dikemukakan pakar bahasa Arab, Ibnu Jinni, dalam al-Khasais (2/488). Al-Gamrawi, seorang pakar Tafsir ilmiah Qur’an Mesir, mengatakan, “Penafsiran al-Qur’an hendaknya tidak terpaku pada satu makna. Selama

18

ungkapan itu mengandung berbagai kemungkinan dan dibenarkan secara bahasa, maka boleh jadi itulah yang dimaksud Tuhan”.

6. Untuk bisa memahami isyarat-isyarat ilmiah hendaknya memahami betul segala sesuatu yang menyangkut objek bahasan ayat, termasuk penemuan-penemuan ilmiah yang berkaitan dengannya. M. Quraish Shihab mengatakan, “...sebab-sebab kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa serta kedangkalan pengetahuan menyangkut objek bahasan ayat”.

7. Sebagian ulama menyarankan agar tidak menggunakan penemuan-penemuan ilmiah yang masih bersifat teori dan hipotesis, sehingga dapat berubah. Itu karena teori tidak lain adalah hasil sebuah “pukul rata” terhadap gejala alam yang terjadi. Begitu pula hipotesis, masih dalam taraf uji coba kebenarannya. Yang digunakan hanyalah yang telah mencapai tingkat hakikat kebenaran ilmiah yang tidak bisa ditolak lagi oleh akal manusia. Sebagian lain mengatakan, sebagai sebuah penafsiran yang dilakukan berdasar kemampuan manusia, teori dan hipotesis bisa saja digunakan di dalamnya, tetapi dengan keyakinan kebenaran al-Qur’an bersifat mutlak, sedangkan penafsiran itu relatif, bisa benar dan bisa salah.13

Kajian Tafsir ilmi tidak dalam kerangaka menjustifikasi kebenaran temuan ilmiah dengan ayat-ayat al-Qur’an Hingga seolah-olah berkesesuaian dengan temuan ilmu pengetahuan. Tafsir ilmi berprinsip bahwa al-Qur’an mendahului ilmu pengetahuan modern, sehingga mustahil al-Qur’an bertentangan dengan sains modern. Kajian Tafsir ilmi berasal dari kesadaran bahwa al-Qur’an bersifat mutlak.

13 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Waktu Dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains, (Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2013), hlm. xxv

19

Sedangkan penafsirannya, baik dalam perspektif Tafsir maupun ilmu pengetahuan, bersifat relatif.

3. Corak Adabi dan Indikatornya

Secara etimologi, adabi berarti kesusasteraan yang merupakan bagian dari kajian ilmu gramatika bahasa arab, seperti nahwu, sharaf, luqhah, dan balaghah. Dengan demikian, adaby berkaitan dengan keindahan bahasa yang digunakan oleh seorang penafsir. Sedangkan pengertian ijtima’i adalah sosial kemasyarakatan. Kedua terma itu kemudian menjadi hakikat ‘urfiyyah dikalangan ulama Tafsir dan memiliki makna tersendiri yang mengacu kepada suatu karateristik dalam penafsiran al-Qur’an. Adapun kata ijtimaiy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan.

Jadi secara etimologis tafsir corak adaby adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural14

Maka dapatlah dikatakan corak tafsir adaby adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.15

Menurut Manna’ Khalil al-Qattan, adaby adalah corak tafsir yang diperkaya dengan riwayat dari salaf dan dengan uraian tentang sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan sosial, menguraikan gaya ungkapan al-Qur’an yang musykil dengan menyingkapkan maknanya, dengan ibarat-ibarat yang mudah, serta berusaha menerangkan masalah-masalah yang musykil, dengan maksud untuk mengembalikan

14 M. Karman Supiana, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), hlm.

316-317

15 Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), hlm.

108

Dokumen terkait