• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Corporate Governance

Perhatian investor dan perusahaan Indonesia tentang pentingnya

penerapan corporate governance semakin meningkat sejak tahun terjadinya

krisis ekonomi pada tahun 1997. Sejak saat itu dalam menjalankan sebuah

perusahaan diperlukan adanya corporate governance yang baik agar

perusahaan tetap survive dalam menjalankan aktivitasnya. Agency theory

memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai agen bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang bijaksana dan adil terhadap pemegang saham (Kalihatu, 2006). Adanya perbedaan kepentingan antara pemilik dan pengelola perusahaan ini dapat menimbulkan konflik

yang biasa dinamakan agency conflict, sehingga diperlukan cara untuk

mengatasi masalah ketidakselarasan kepentingan tersebut yaitu melalui pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Terdapat beberapa definisi mengenai corporate governance, antara lain:

commit to user

Cadburry commite pada tahun 1992, seperti dikutip oleh Daniri (2005: 31) mendefinisikan :

“Corporate governance sebagai prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan dalam pertanggungjawabannya kepada shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya.”

Pelaksanaan corporate governance yang baik diperkirakan dapat

meningkatkan nilai perusahaan dengan meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh manajer dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri, dan umumnya GCG

dapat meningkatkan kepercayaan investor(Veronica dan Utama, 2006)

Nasution dan Setiawan (2007: 2) mendefinisikan bahwa:

“Corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntanbilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan kerangka peraturan.

Konsep corporate governance diajukan demi tercapainya pengelolaan

perusahaan yang lebih transparan bagi semua pengguna laporan keuangan.

Corporate governance juga membantu menciptakan lingkungan kondusif

demi terciptanya pertumbuhan yang efektif dan efisiendi sektor korporat.

Menurut Boediono (2005), mekanisme corporate governance

merupakan suatu sistem yang mampu mengendalikan dan mengarahkan

kegiatan operasional perusahaan serta pihak-pihak yang terlibatdidalamnya,

sehingga dapat digunakan untuk menekan terjadinya masalah keagenan.

Corporate governance merupakan serangkaian mekanisme yang dapat melindungi pihak-pihak minoritas dari ekspropriasi yang dilakukan oleh

commit to user

para manajer dan pemegang saham pengendali dengan penekanan pada

mekanisme legal. Ekspropriasi merupakan pencabutan hak milik

perseorangan untuk kepentingan umum yang disertai pemberian ganti rugi (Shleiver dan Vishay, 1997 dalam Sam’ani, 2008).

Corporate governance merupakan suatu mekanisme yang

mengendalikan dan mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta

melindungi hak-hak pemegang saham seperti shareholders dan bondholders,

dalam memperoleh tingkat pengembalian dari kegiatan perusahaan yang dijalankan oleh manajer, atau dengan kata lain bagaimana para pemegang

saham keuangan perusahaan melakukan control terhadap kegiatan yang

dilakukan oleh manajer (Susanti, Rahmawati dan Aryani, 2010).

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) merumuskan tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah

bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Corporate

governance mengandung empat unsur penting yaitu keadilan (fairness),

transparansi (transparency), pertanggungjawaban (responsibility) dan

akuntabilitas (accountability) yang diharapkan dapat menjadi suatu jalan dalam mengurangi konflik keagenan. Jika perusahaan benar-benar

melakukan penerapan prinsip-prinsip corporate governance tersebut maka,

investor akan lebih percaya terhadap perusahaan. Karena, efektifitas mekanisme pengurang masalah agensi umumnya merupakan komitmen manajer terhadap perusahaan (Arifin dan Rachmawati, 2006).

commit to user

Dalam penelitian ini, corporate governance direpresentasikan menjadi :

2.1 Kepemilikan Manajerial

Terdapat pengertian yang sama mengenai kepemilikan manajerial, diantaranya adalah Sujoko dan Soebiantoro (2007) serta Rahmawati dan Triatmoko (2007) yang mendefinisikan bahwa kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan. Sedangkan Putra (2011: 112) mendefinisikan bahwa:

“Kepemilikan manajerial adalah prosentase jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar.”

Haruman (2008) mengatakan bahwa kepemilikan manajerial adalah tingkat kepemilikan saham pihak manajemen yang secara aktif ikut berperan aktif dalam pengambilan keputusan perusahaan. Kepemilikan saham bagi manajemen perusahaan termasuk dalam program kebijakan yang dapat diterapkan oleh perusahaan untuk mengurangi masalah keagenan antara pemegang saham dengan manajer perusahaan.

Kepemilikan saham oleh manajerial yang semakin meningkat akan

menjadikan manajemen perusahaan semakin terikat dengan

keberlangsungan dan pertumbuhan perusahaan, sehingga secara otomatis akan mendorong mereka untuk berusaha lebih giat dan disiplin dalam menjalankan fungsinya dalam perusahaan untuk meningkatkan nilai perusahaan, yang direfleksikan melalui peningkatan harga saham

commit to user

menjadikan keselarasan (alignment) antara kepentingan manajer dengan

kepentingan pemilik perusahaan. Ini berakibat kinerja organisasi atau perusahaan meningkat. Di samping itu, kepemilikan perusahaan oleh manajer akan mengarahkan kinerja manajer pada proses yang konsisten, sesuai dengan kepentingan pemilik perusahaan sehingga nilai perusahaan secara keseluruhan akan meningkat (Syafrudin, 2006 dan Nasser, 2008).

Manajer yang diberikan insentif saham sebagai karyawan berprestasi diharapkan akan mengurangi masalah keagenan karena mereka juga merupakan pemegang saham/ pemilik perusahaan. Apabila manajer ikut memiliki perusahaan atau apabila pendapatan dan kompensasi manajer dikaitkan secara langsung sesuai dengan kekayaan pemilik perusahaan, maka manajer akan bertindak sebagaimana pemilik (Slamet, 2005). Dengan demikian, pada akhirnya perusahaan akan mampu memberikan kemakmuran kepada pemegang sahamnya termasuk diri mereka sendiri. Kepemilikan manajerial akan mendorong manajemen untuk meningkatkan kinerja perusahaan, karena mereka juga memiliki perusahaan. Kinerja perusahaan yang meningkat akan meningkatkan nilai perusahaan (Sujoko dan Soebiantoro, 2005).

2.2 Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional mempunyai arti penting dalam memonitor manajemen dalam pengelolaan perusahaan. Haruman (2008: 156) mengatakan bahwa :

commit to user

“Kepemilikan institusional adalah tingkat kepemilikan saham institusional dalam sebuah perusahaan. Institusi yang dimaksud seperti asuransi, bank dan perseroan terbatas yang memiliki proporsi saham cukup besar dalam perusahaan.”

Dalam hubungannya dengan fungsi monitor, investor institusional diyakini memiliki kemampuan untuk memonitor tindakan manajemen lebih baik dibandingkan investor individual. Investor institusional dalam melakukan investasi didasarkan pada analisis yang bersifat mendasar atau yang berkaitan dengan informasi keuangan perusahaan (Mursalim, 2009). Rachmawati dan Triatmoko (2007: 8) mengatakan bahwa :

“Investor institusional adalah investor yang berpengalaman (sophisticated) sehingga investor lebih berfokus pada laba masa datang (future earnings) yang lebih besar relatif dari laba sekarang.”

Masalah yang sering ditimbulkan dari struktur kepemilikan ini adalah agency conflict, dimana terdapat perbedaan kepentingan antara

manajemen perusahaan sebagai pengambil decision maker dan para

pemegang saham sebagai owners dari perusahaan. Tentunya perbedaan

kepentingan ini akan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Kepemilikan institusional merupakan salah satu alat yang dapat

digunakan untuk mengurangi agency conflict. Dengan kata lain,

semakin tinggi tingkat kepemilikan institusional maka semakin kuat tingkat pengendalian yang dilakukan oleh pihak eksternal terhadap

commit to user

semakin berkurang dan nilai perusahaan akan semakin meningkat (Shinta dan Ahmar, 2011).

Adanya kepemilikan institusional seperti perusahaan asuransi, perbankan, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi lain akan mendorong pengawasan lebih ketat terhadap kinerja manajemen. Sebuah institusi dapat menguasai mayoritas saham sebuah perusahaan, karena memiliki modal atau sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan pemegang saham lainnya (Djabid, 2009).

Shiller dan Pound (1989) sebagaimana yang dikutip oleh Rachmawati dan Triatmoko (2007), menjelaskan bahwa investor institusional menghabiskan lebih banyak waktu untuk melakukan analisis investasi dan mereka memiliki akses atas informasi yang terlalu mahal perolehannya bagi investor lain. Maka dari itu, investor institusional akan melakukan monitoring lebih efektif dan dapat meningkatkan nilai perusahaan jika terjadi takeover, serta tidak akan mudah diperdaya dengan tindakan manipulasi yang akan dilakukan manajer. Di samping itu, kepemilikan institusional dipercaya dapat menurunkan biaya-biaya keagenan (Haruman, 2007).

2.3 Proporsi Dewan Komisaris Independen

Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali serta bebas dari hubungan bisnis ataupun hubungan lainnya, sehingga mampu bertindak secara independen atau

commit to user

semata-mata hanya untuk kepentingan perusahaan (KNKG, 2006). Adanya komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan peran

dewan komisaris sehingga tercipta good corporate governance di dalam

perusahaan. Manfaat corporate governance akan dilihat dari premium yang bersedia dibayar oleh investor atas ekuitas perusahaan (harga pasar). Jika ternyata investor bersedia membayar lebih mahal, maka

nilai pasar perusahaan yang menerapkan good corporate governance

juga akan lebih tinggi dibanding dengan perusahaan yang tidak

menerapkan atau mengungkapkan praktek good corporate governance

mereka (Kusumawati dan Riyanto, 2005).

Hardiningsih (2010: 63) mengatakan bahwa :

“Komisaris independen bertujuan untuk menyeimbangkan dalam pengambilan keputusan khususnya dalam rangka perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan pihak-pihak lain yang terkait. Terdapat tiga elemen penting yang akan mempengaruhi tingkat efektivitas dewan komisaris yaitu independensi, kompetensi dan komitmen.”

Dewan komisaris merupakan suatu mekanisme pengawasan, monitoring serta memberikan petunjuk atau arahan pada sistem pengelolaan perusahaan (FCGI, 2001 dalam Susanti, Rahmawati dan Aryani, 2010). Dewan komisaris sebagai puncak sistem pengelolaan internal perusahaan, memiliki peranan penting terhadap aktivitas pengawasan terhadap manajemen. Komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Di samping itu, peranan dewan komisaris juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba dengan membatasi

commit to user

tingkat manajemen laba, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan yang berkualitas melalui fungsi monitoring atas pelaporan keuangan. Fungsi monitoring dewan komisaris ini dipengaruhi oleh jumlah atau ukuran dewan komisaris independen (Siallagan dan Machfoedz, 2006).

Ujiyanto dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa komisaris independen dapat menjadi penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal perusahaan dan melakukan pengawasan terhadap jalannya kebijakan manajemen, serta memberikan masukan atau nasihat kepada manajemen. Karena posisi dewan komisaris merupakan posisi terbaik untuk melakukan fungsi pengawasan atau monitoring.

Dokumen terkait