• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CSR dan CSR Berkelanjutan

Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) CSR adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti- komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan (Rudito et al., 2004). Peningkatan mutu kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati, serta memanfaatkan lingkungan hidup, termasuk perubahan-perubahan yang ada dan sekaligus memelihara. Atau dengan kata lain, CSR merupakan cara korporat mengatur proses usaha untuk memproduksi dampak positif pada masyarakat (Rudito et al., 2004). CSR berarti perusahaan harus bertanggungjawab atas operasinya yang berdampak buruk pada masyarakat, komunitas dan lingkungannya. Namun sebaliknya juga harus memberikan dampak positif terhadap masyarakat sekitar. Suatu perusahaan tidak akan dapat bertahan lama apabila dia mengisolasikan dan membatasi dirinya dengan masyarakat sekitarnya (Djajadiningrat dan Famiola, 2004).

Terkait dengan aspek hukum maka terdapat 4 jenis CSR (Fajar, 2010) yaitu : 1. Social responsibility theory, yaitu kewajiban direksi dan manajemen untuk menjaga

keharmonisan kepentingan pemegang saham (shareholders) dan pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam teori ini seakan tanggung jawab sosial hanya menjadi kewajiban direksi dan manajemen saja atau menjadi terlalu sempit dari hakekat CSR yang seutuhnya.

2. Hobbesian Leviatan theory, yang menghendaki kontrol yang ketat dari Pemerintah serta meniadakan upaya-upaya lainnya. Teori ini menempatkan hanya Pemerintah sebagai pihak yang berwenang dan menentukan terhadap aktivitas CSR perusahaan dan menegasikan alternatif lainnya dalam pengaturan CSR.

3. Corporate governance theory, menghendaki adanya corporate accountability dari direksi korporasi. Cenderung lebih mengamati hubungan pihak internal korporasi yaitu antara pemilik dan manajemen korporasi.

4. Reflexive law theory, digunakan untuk mengatasi kebuntuan atas pendekatan formal terhadap kewajiban perusahaan dalam sistem hukum. Hukum formal adalah bentuk intervensi negara dalam mengatur persoalan privat melalui bentuk perundang- undangan seperti Undang-Undang Perseoran Terbatas yang didalamnya juga mengatur mengenai tanggungjawab sosial perusahaan. Reflexive law theory adalah teori hukum yang menjelaskan adanya keterbatasan hukum (limit of law) dalam masyarakat yang kompleks untuk mengarahkan perubahan sosial secara efektif.

Mengacu dari definisi CSR tersebut, ternyata pengaturan mengenai CSR tidak cukup hanya dengan ke 3 pendekatan atau jenis pertama karena keterbatasan-keterbatasan dari teori hukum sedangkan ruang lingkup CSR melebihi dari aturan yang berlaku.

Reflexive law theory paling tepat untuk menekan kerumitan dan keberagaman masyarakat melalui peraturan perundang-undangan yang ekstensif. Reflexive law theory bertujuan untuk mengarahkan pola tingkah laku dan mendorong pengaturan sendiri (self regulation). Proses ini adalah regulated autonomy atau membiarkan private actors, seperti korporasi untuk bebas mengatur dirinya sendiri. Masyarakat yang akan memberikan penilaian maupun sanksi (market‟s reward punishment) terhadap aktivitas CSR perusahaan. Disisi lain hukum reflexive mengintervensi proses sosial dengan membuat prosedur acuan untuk perilaku korporasi (code of conduct). Dalam mengontrol perilaku korporasi maka reflexive law theory menghendaki adanya social accounting,

auditing dan reporting, yang disebut social reporting (Fajar, 2010).

Pada dasarnya CSR memiliki berbagai aliran pemikiran yang dibagi menjadi beberapa school of thought yaitu adalah :

1. CSR dibagi menjadi 3 school of thought menurut Achwan (2006) yaitu:

a. The business of business is business yang berpandangan bahwa perusahaan pada hakekatnya merupakan institusi pencipta kesejahteraan masyarakat. Setiap perusahaan memiliki tujuan tunggal yaitu memaksimalkan keuntungan untuk pemiliknya dan dipercaya dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Tangan-tangan

tak kentara (invisible hands), adalah naluri yang dimiliki setiap perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan adalah pencipta kekayaan (wealth), dalam masyarakat dan patuh kepada rule of law. Semua kegiatan philanthropy-semacam ini pada dasarnya adalah pencurian uang milik pemegang saham yang dilakukan oleh para direktur perusahaan.

b. Corporate voluntarism yang lebih menekankan aspek kebajikan, virtue, dalam mengejar keuntungan perusahaan. Asumsi dari alam pemikiran ini adalah sifat CSR sukarela (voluntary) dan menolak campur tangan negara dalam mengatur CSR di perusahaan, CSR mendorong keuntungan ekonomi perusahaan, lalu keberadaan perusahaan tidak dapat lepas dari masyarakat tempat perusahaan beroperasi.

c. Corporate involuntarism berpendapat bahwa setiap perusahaan memiliki kewajiban menjalankan tanggung jawab sosial. Kewajiban ini harus dituangkan dalam bentuk undang-undang. Para penyokong aliran ini berpendapat bahwa dalam kondisi sekarang ini, ketika multinational corporation (MNC) jauh lebih berpengaruh dibandingkan negara bangsa, self regulation dan voluntarism tidaklah mencukupi. Sehingga perlu campur tangan Pemerintah.

2. Pengelompokan lainnya tentang aliran pemikiran dari CSR juga membagi menjadi 3

school of thought menurut pandangan Michael (2010) yaitu :

a. Neo-liberal school atau markets provide CSR adalah kegiatan CSR dimana pasar menjadi pendorong aktivitas CSR meliputi CSR product market demand atau CSR pada produk yang didorong oleh permintaan pasar, labour market demand atau CSR pada tenaga kerja yang didorong oleh permintaan pasar dan capital market demand atau CSR atas modal yang didorong oleh permintaan pasar modal. Aktivitas ini bersifat sukarela dengan mekanisme kegiatannya mengacu pada

triple bottom line (dampak environmental, social, financial), dan stakeholders board.

b. State led school atau CSR as a public policy adalah kegiatan CSR yang diatur oleh negara. Aktivitas CSR dalam hal ini sifatnya wajib dilaksanakan.

c. Third-sector school atau CSR as site of participation adalah aktivitas CSR yang dilakukan dengan membentuk forum-forum kerjasama seperti gabungan

perusahaan-perusahaan, kerjasama perusahaan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

3. Pemikiran lainnya atas school of thought dari CSR adalah sebagaimana yang dikemukakan Fajar (2010) yaitu :

a. CSR yang bersifat sukarela (voluntary), adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang dilaksanakan secara sukarela dengan alasan: tujuan perusahaan mencari keuntungan, CSR merupakan kewajiban moral sesuai pendapat Milton Friedman, diacu dalam Fajar (2010), pelaksanaan CSR bertentangan dengan hak kepemilikan privat, dan tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dalam bisnis. Henry Hansmann dan Reinier Kraakman mengatakan bahwa tujuan perusahaan dalam jangka panjang adalah mencari keuntungan shareholders. Shareholders oriented

menjadi model standar untuk hukum perusahaan secara universal. Karena sifatnya sukarela dan berada di wilayah etika maka CSR diatur dalam code of conduct

(softlaw) seperti Global Reporting Initiative (GRI) Sustainability Reporting Guidelines, Organisation fot Economic Co-operation and Development (OECD) Guidelines for Multinational Enterprises, dan lain sebagainya. Namun keberadaan

Corporate Code of Conduct tidak cukup mampu mengikat korporasi (Fajar, 2010).

b. Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang bersifar wajib (compulsory). Alasan utama dari CSR yang diwajibkan ini adalah: korporasi harus memperhatikan kepentingan sosial yaitu stakeholders sebagaimana dikemukakan oleh E.Merric Dodd, diacu dalam Fajar (2010) yang melahirkan stakeholders theory. Selanjutnya pendapat ini didukung oleh Henry Hansmann dan Reinier Kraakman yang berpendapat bahwa keberadaan perusahaan adalah untuk melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Terdapat 2 alasan mengapa CSR harus diatur dalam hukum negara karena : 1). Tidak ada kekuatan memaksa dari hukum kebiasaan dan prinsip sukaerela, tanpa diratifikasi dalam peraturan lokal sebuah negara, 2). Prinsip sukarela yang tidak mengikat tidak akan memberikan efek apapun secara jelas dan terukur (Fajar, 2010).

Kebijakan ini dipelopori oleh Jenkins, diacu dalam Fajar (2010) yang melihat dari fungsi hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat. Untuk itu perlu dipahami ranah apa saja yang masuk wilayah hukum dan mana yang tidak, Jenkins mengatakan bahwa wilayah hukum dapat dilihat dari dua rezim yaitu necessity

(kebutuhan) dan possibility (kemungkinan). Necessity adalah rezim yang digunakan untuk mendukung pembangunan manusia (human development). Tanpa kondisi yang aman dan stabil pembangunan manusia tidak bisa dilakukan. Sementara

possibility berfungsi menciptakan kebebasan, kesempatan dan kemajuan yang diperlukan, untuk menciptakan kesempurnaan kebaikan (absolute good). Jika rezim

necessity dan possibility menghendaki aturan hukum maka akan melahirkan tanggung jawab hukum. Kewajiban untuk CSR menjadi perlu ketika korporasi cenderung menghalangi pembangunan manusia dan berpeluang memunculkan eksploitasi, korupsi, kesewenang-wenangan dan ketidakpastian dalam masyarakat (Fajar, 2010).

Dari berbagai school of thought tersebut tampaknya Indonesia menganut konsep

mandatory atau compulsory (wajib) sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang baik Undang-Undang Perseroan Terbatas nomor 4 tahun 2007 maupun Undang-Undang Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007. Kewajiban melaksanakan CSR pun diwujudkan dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009 untuk aspek lingkungan, namun hingga kini belum ada peraturan organik yang merupakan turunan dari berbagai undang-undang tersebut yang mengikat secara pasti dalam bentuk peraturan pelaksanaan. Bila dilihat dari pada implementasinya cenderung dilakukan sesuai dengan konsep self regulatory. Karena belum ada aturan pelaksanaan CSR termasuk dalam sektor otomotif, sehingga setiap perusahaan menjalankan CSR sesuai dengan konsepnya sendiri dan sesuai dengan pemahamannya masing-masing terhadap CSR.

Menurut APCSRI (2009) praktek CSR yang baik mempunyai andil dalam : (1) meminimalkan dampak negatif atas risiko aktifitas perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan; (2) meminimalkan biaya operasional perusahaan, (3) meningkatkan kinerja keuangan dan citra perusahaan, dan (4) pencapaian tujuan pembangunan

kesejahteraan masyarakat dan lingkungan, termasuk tujuan pembangunan millenium (MDGs) di Indonesia. Lingkup dari CSR menurut Keraf (1998) dikatakan bahwa perusahaan harus bertanggungjawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh pada orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan dimana perusahaan itu beroperasi. Maka, secara negatif itu berarti suatu perusahaan harus menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa, sehingga tidak sampai merugikan fihak-fihak tertentu dalam masyarakat. Secara positif itu berarti suatu perusahaan harus menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya akan dapat ikut menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera. Bahkan secara positif perusahaan diharapkan ikut melakukan kegiatan tertentu yang tidak semata-mata didasarkan kepada perhitungan keuntungan kontan yang langsung, melainkan demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa sesungguhnya pada tingkat operasional bukan hanya staf manajemen yang bertanggungjawab sosial dan moral, tetapi juga seluruh karyawan (Keraf, 1998).

Alasan mengapa perusahaan melakukan CSR menurut Lampesis (2005) adalah :

1. Memberikan timbal balik kepada komunitas, masyarakat dan lingkungan yang telah memberikan manfaat dan keuntungan bagi perusahaan.

2. Perusahaan memperoleh keuntungan kompetitif dan keuntungan reputasi dengan mendemonstrasikan perhatian terbaik perusahaan kepada masyarakat luas sebagai bagian integral dalam pembuatan kebijakan.

3. Penelitian Orlizty, Schmidt and Reynes (2003) telah menemukan bahwa terdapat korelasi antara kinerja sosial/lingkungan dengan kinerja finansial.

Pendorong perusahaan untuk melakukan CSR :

1. CSR akan berjalan sebagai check on regulatory failures, artinya apa yang tidak diatur oleh Pemerintah, namun tetap diperlukan untuk dilaksanakan, maka disitulah CSR muncul.

2. CSR memberikan kesempatan kepada perusahaan akan suatu tingkat fleksibilitas dari aturan yang berlaku. Artinya perusahaan melakukan CSR lepas dari aturan yang berlaku.

Manfaat dari pelaksanaan CSR bagi masyarakat (Brew, 2008) adalah : 1. Aktivitas dan peluang ekonomi

2. Penyerapan tenaga kerja

3. Akses terhadap skill dan teknologi 4. Infrastruktur yang meningkat 5. Perlindungan terhadap lingkungan 6. Kesehatan

7. Investasi sosial

Dalam melaksanakan CSR ada tiga kriteria yang harus dipenuhi (Bronchain, 2003), yaitu :

1. They are carried out on a voluntary basis, i.e. going beyond common regulatory and conventional requirements; atau harus bersifat sukarela dan melebihi yang telah dipersyaratkan. Artinya mendemonstrasikan komitmen tanggungjawab sosial dan lingkungan lebih dari sekedar mematuhi hukum atau aturan yang berlaku.

2. There is interaction with the stakeholders, atau terdapat interaksi dengan para

stakeholders. Artinya perlu dicari pola-pola kemitraan (partnership) dengan seluruh stakeholders agar dapat berperan dalam pembangunan, sekaligus meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat bertahan dan bahkan berkembang menjadi perusahaan yang mampu bersaing. Pengertian CSR dikaitkan dengan pemangku kepentingan adalah :

CSR is the capacity of a company to listen to, to take care of, to understand and to satisfy the legitimate expectations of the different actors who contribute to their development (Olivera Neto,diacu dalamSanchez, 2008)

Dikatakan bahwa CSR adalah kapasitas perusahaan dalam mendengarkan, menjaga, mengerti dan memuaskan ekspektasi yang legitimate dari para pemangku kepentingan. Selanjutnya dampak dari program tanggungjawab sosialnya (CSR) akan sangat tergantung dari respons perusahaan terhadap ekspektasi dari berbagai pemangku kepentingannya (Dawkins and Lewis, 2003), yaitu :

A company‟s balancing of these several priorities must therefore be informed by its stakeholders of importance. The company must define, consult and engage these stakeholders in its programme that its activity is seen as relevant both to the business and to its stakeholders, and some companies are of course well advanced in this process of dialogue (Dawkins and Lewis, 2003).

Perusahaan harus menyeimbangkan berbagai prioritas dalam CSR sesuai dengan kepentingan pemangku kepentingan, sehingga perlu mendefinisikan, konsultasi dan mengaitkan pemangku kepentingan dalam aktivitasnya, agar terdapat relevansi antara bisnis dan pemangku kepentingan.

2. Social and environmental concerns are integrated into the business operations,

atau mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan kepada operasi perusahaan. Tujuan akhir pelaksanaan CSR adalah menempatkan entitas bisnis dalam upaya pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, tanggungjawab sosial itu seharusnya menginternalisasi pada semua bagian kerja pada suatu pekerjaan. CSR harus merupakan keputusan strategik perusahaan sejak awal dari mendesain produk yang ramah lingkungan, hingga pemasaran, dan pengolahan limbah. Selain itu, secara eksternal CSR juga memastikan jangan sampai perusahaan justru mengurangi kesejahteraan masyarakat di lingkungan sekitarnya (Nindita, diacu dalam Tunggal, 2007). Tujuan dari pelaksanaan CSR dalam aspek lingkungan didefinisikan sebagai :

As a result the environmental aspect of CSR is defined as the duty to cover the environmental implications of the company‟s operations, products and facilities; eliminate waste and emissions; maximize the efficiency and productivity of its resources; and minimize practices that might adversely affect the enjoyment of the country‟s resources by future generations (Mazurkiewicz, 2008).

Artinya bahwa tujuan CSR dalam aspek lingkungan adalah bagaimana mengurangi dampak lingkungan akibat operasi perusahaan, produk maupun fasilitas perusahaan mengurangi limbah dan emisi, memaksimalkan tingkat efisiensi dan produktivitas dari sumber daya, serta mengurangi praktek-praktek

yang dapat mempengaruhi keberadaan sumber daya untuk generasi mendatang. Bila di rinci kegiatan tersebut adalah :

1.Adanya fasilitas perusahaan, baik plant, gudang penyimpanan dan segala inventaris perusahaan yang tidak mencemari lingkungan.

2.Adanya produk perusahaan berupa mobil yang ramah lingkungan

3. Adanya efisiensi dan produktivitas dalam penggunaan sumber daya, termasuk bahan baku

4.Aktivitas perusahaan yang tidak mengganggu ketersediaan sumber daya untuk generasi mendatang (berkelanjutan).

Cara pandang perusahaan terhadap CSR amatlah beragam. Ada yang memandang CSR sekedar memenuhi regulasi yang ditetapkan pemerintah, sementara yang lain sudah mulai melihat CSR sebagai cara berpikir baru dalam mengelola bisnis secara keseluruhan. Secara umum, kegiatan CSR berdimensi lingkungan menurut Rewarding Upland Poor for Enviromental Services (RUPES), diacu dalam Leimona dan Fauzi (2008) dapat dikategorikan sebagaimana pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategorisasi CSR

Type aktivitas CSR Isu Lingkungan Isu Utama Bisnis

Tipe CSR 1

Compliance to

environmental regulation

Minimal dampak negatif terhadap lingkungan akibat proses produksi

Bisnis taat regulasi dan minimal konflik Tipe CSR 2 Contribution to environmental conservation Pendukung konservasi lingkungan Peningkatan ”brand

image” alat pemasaran dan periklanan serta perluasan jaringan Tipe CSR 3

Conservation for additional income

Peningkatan mutu

lingkungan melalui proses industri, dan melebihi baku mutu yang ditetapkan regulasi

Efisiensi proses

produksi, pengurangan biaya produksi dan penambahan benefit

Tipe CSR 4

Conservation for direct production sustainability

Peningkatan mutu

lingkungan secara langsung di kawasan sumber bahan baku industry

Jaminan bagi

kelangsungan sumber produksi perusahaan

Kategorisasi tersebut tidak dimaksudkan untuk memberikan peringkat baik dan buruk, tetapi sebagai alat untuk melihat sejauhmana kegiatan CSR suatu jenis industri dapat memberikan kontribusi terhadap lingkungan dan bisnisnya. CSR berkaitan dengan konsep “go green”, menurut pandangan Howard Schultz, pimpinan perusahaan Starbucks, CSR adalah “trying to achieve a fragile balance of creating the necessity of profitability and the balance of having a social conscience”(Leiu, 2010) atau mencapai keseimbangan antara kebutuhan akan keuntungan perusahaan dan kepentingan sosial. Perusahaan semakin sadar terhadap konsekwensi jejak lingkungan yang mereka tinggalkan dibelakangnya (ecological footprints). Karena itu bersikap go green adalah langkah penerapan CSR dalam aspek lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan. Konsep go green dalam bisnis menjadi green business berarti konsep ramah lingkungan dalam segala aspek dalam bisnis, dimana green business mencakup komitmen terhadap lingkungan dan inisiatif terhadap keadilan sosial, termasuk dalam hal ini adalah mengurangi emisi gas rumah kaca dan pencemar udara lainnya, penggunaan sumberdaya energi terbarukan, efisiensi energi, pelestarian sumberdaya alam dan energi, minimalisasi limbah dan penciptaan lapangan kerja didaerah yang dilayani. (Green For All, 2010). Dengan demikian green business berkaitan juga dengan penciptaan kesejahteraan masyarakat. Dalam menyikapi kondisi lingkungan maka selain bersifat reaktif atas apa yang diperbuat atas dampak operasi perusahaan, maka

green business adalah sikap menjaga lingkungan (environmental stewardship). Dalam berbagai kasus, bisnis yang mengadopsi etika standar dalam menjaga lingkungan (environmental stewardship) yang melebihi aturan yang berlaku akan memperoleh keunggulan kompetitif (competitive advantage), mendapatkan kesetiaan pelanggan (costumer loyalty) dan pangsa pasar (market share), dan juga mengurangi resiko bisnis (Olson, 2010). Menjaga lingkungan (environmental stewardship) adalah bagian dari CSR dalam aspek lingkungan (Olson, 2010)

Hubungan korporat dengan pemangku kepentingan sangat dipentingkan bagi pelaksanaan CSR. Hubungan korporat dengan pemangku kepentingan tidak lagi

bersifat pengelolaan saja, tetapi sekaligus melakukan kolaborasi, yang dilakukan secara terpadu dan berfokus pada pembangunan kemitraan. Kemitraan tidak lagi bersifat penyangga organisasi, tetapi menciptakan kesempatan-kesempatan dan keuntungan bersama, untuk tujuan jangka panjang dan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan tujuan, misi, nilai-nilai dan strategi-strategi tanggungjawab perusahaan secara sosial yang pada dasarnya mendorong korporat untuk hidup secara langgeng di dalam masyarakat. Kemitraan yang terwujud dalam interaksi antar pemangku kepentingan ini pada dasarnya merupakan juga suatu bentuk

community development (CD) sebagai muara dari CSR (Rudito et al., 2004). Sarana yang digunakan dalam rangka implementasi konsep CSR adalah program

community development (Rudito et al., 2004).

Salah satu yang menonjol dari praktik CSR di Indonesia adalah penekanan pada aspek community development, karena paling sesuai kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang masih bergelut dengan kemiskinan dan pengangguran (Ambadar, 2008). Bentuk dari community development terdiri dari community relation atau pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait, seperti konsultasi publik, penyuluhan dan sebagainya, community service merupakan pelayanan korporat untuk memenuhi kepentingan masyarakat ataupun kepentingan umum, seperti pembangunan fasilitas umum, antara lain pembangunan/peningkatan sarana transportasi/jalan, sarana pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya,dan community empowerment adalah program-program berkaitan dengan memberikan akses lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Berkaitan dengan program ini adalah seperti pengembangan ataupun penguatan kelompok-kelompok swadaya masyarakat, komuniti lokal, organisasi profesi serta peningkatan kapasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumber daya setempat (Budimanta dan Rudito, 2008). Bentuk-bentuk dari pelaksanaan CSR yang paling sering dilakukan oleh

1. Cause Promotion adalah kegiatan sosial yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran, partisipasi, maupun penyertaan dana terhadap suatu isu tertentu yang dipilih.

2. Cause-Related Marketing, perusahaan berkomitmen untuk melakukan donasi atau kontribusi atas suatu issue tertentu berdasarkan atas penjualan produk. Perusahaan akan melakukan bantuan dana berupa persentase tertentu atas pendapatan penjualan. Biasanya dilakukan dalam periode waktu tertentu atas suatu produk tertentu dan dalam bentuk sumbangan tertentu. Program ini memiliki dua sasaran, yaitu memperoleh sejumlah dana tertentu untuk didonasikan, disamping itu meningkatkan penjualan produk. Jenis aktivitas ini tujuannya sama dengan cause promotion, namun dikaitkan dengan respons konsumen terhadap penjualan (misalnya, besarnya donasi penumpang dikaitkan dengan jumlah mil perjalanan dengan pesawat perusahaan tertentu).

3. Corporate Social Marketing. Kampanye untuk mendukung suatu perubahan tertentu yang diharapkan terjadi atas suatu isu. Perubahan perilaku adalah yang diharapkan terjadi dari aktivitas ini. Saat ini Corporate Social Marketing

umumnya dibangun dan diimplementasikan para profesional di pemerintahan pusat maupun daerah, local public sector agencies, seperti fasilitas umum, departemen kesehatan, transportasi, ekologi dan dalam organisasi nonprofit

lainnya.

4. Corporate Philanthropy. Kegiatan ini melakukan aktivitas berupa kontribusi langsung berupa amal atau terhadap suatu permasalahan (isu). Lebih sering dalam bentuk sumbangan uang dan betuk sumbangan lainnya. Hal ini merupakan bentuk yang paling tradisional dari berbagai aktivitas CSR yang ada. Isu utama yang didukung meliputi kesehatan masyarakat, pelayanan publik, pendidikan, seni dan demikian pula perlindungan lingkungan.

5. Community Volunteering. Kegiatan ini menyediakan pelayanan pekerja sukarela dari perusahaan kepada masyarakat. Hal ini merupakan inisiatif dari perusahaan untuk mendukung dan menganjurkan karyawan, retail partner dan atau anggota

permasalahan yang dihadapi. Kegiatan sukarela ini termasuk menyediakan tenaga ahli, ide dan tenaga kerja. Perusahaan mendukung dengan menyediakan waktu kerja untuk keperluan membantu masyarakat, maupun membentuk tim untuk membantu masyarakat.

6. Socially Responsible Business Practice. Kegiatan ini mengadopsi dan berinisiatif melakukan praktek bisnis maupun investasi yang mendukung kepada permasalahan sosial yang ada. Sifat dari kegiatan ini adalah melakukan hal yang melebihi apa yang dipersyaratkan oleh hukum dan peraturan yang ada

Dokumen terkait