• Tidak ada hasil yang ditemukan

Curah hujan adalah salah satu parameter penting dalam sistem DAS, terutama sebagai salah satu mata rantai daur hidrologi yang berperan menjadi pembatas adanya potensi sumberdaya air di dalam suatu DAS. Rata-rata curah hujan sering dibutuhkan dalam penyelesaian masalah hidrologi, seperti penelusuran masalah banjir, penentuan ketesediaan air untuk irigasi ataupun untuk mendesain bangunan-bangunan air. Perhitungan penentuan curah hujan wilayah dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu: (1) Metode aritmatik yaitu dengan merata-ratakan kedalaman hujan yang terjadi di suatu daerah; (2) Metode Isohiet dengan membuat garis pada wilayah dengan menghubungkan titik-titik dengan curah hujan yang sama; dan (3) Metode Thiessen.

Salah satu cara penentuan curah hujan rata-rata adalah dengan menggunakan metode Thiessen. Menurut Linsey et al (1982), metode Thiessen berusaha untuk mengimbangi tidak meratanya distribusi alat ukur dengan menyediakan suatu faktor pembobot (weighting factor) bagi masing-masing stasiun curah hujan. Stasiun-stasiun diplot pada suatu peta dan dibuat garis hubung antar stasiun. Garis-garis bagi tegak lurus dari garis-garis penghubung ini membentuk poligon-poligon di sekitar masing-masing stasiun.

Hubungan Curah Hujan dengan Limpasan (run off)

Menurut Seyhan (1977), hubungan antara curah hujan dan limpasan tidaklah langsung. Diantara keduanya, evaporasi, intersepsi, cadangan depresi, cadangan salju dan infiltrasi bekerja sebagaimana diatur oleh karakteristik-karakteristik dari ukuran, kemiringan, bentuk, ketinggian, tata guna lahan, serta geologi daerah aliran sungai.

Horton (1933) di dalam Seyhan (1977) menerangkan, ada 4 tipe peningkatan limpasan yang disebabkan oleh curah hujan yaitu:

1. I < fc - tidak terdapat limpasan permukaan P < dlt - semua air yang diinfiltrasikan tetap pada

mintakat tak jenuh

2. I < fc - tidak terdapat limpasan permukaan

P > dlt - pengisian kembali air tanah dengan jumlah yang sama dengan P

3. I < fc - terdapat limpasan permukaan P > dlt - tidak terdapat pengisian kembali air tanah

4. I > fc - terdapat limpasan permukaan P > dlt - pengisian kembali air tanah

Keterangan: I : intensitas curah hujan P : curah hujan

fc : kapasitas infiltrasi dlt : defisiensi lengas tanah

Infiltrasi

Proses masuknya air hujan ke dalam tanah dan turun ke permukaan air tanah disebut infiltrasi. Proses infiltrasi melibatkan tiga proses yang saling tidak tergantung yaitu, proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah, tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah dan proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain.

Selanjutnya menurut Sosrodarsono dan Takeda (1977), dalam beberapa hal tertentu, infiltrasi itu berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan kecepatan absorpsi maksimum setiap tanah bersangkutan.

Asdak (1995) menjelaskan bahwa proses infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor , antara lain, tekstur dan struktur tanah, kandungan air awal (kelembaban tanah), kegiatan biologi dan unsur organik, jenis dan kedalaman serasah, dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya.

Ada tiga cara untuk menentukan besarnya infiltrasi (Knapp, 1978 di dalam Asdak,1995) yaitu:

1. Menentukan beda volume air hujan buatan dengan volume air larian pada percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan.

2. Menggunakan alat infiltrometer.

3. Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan.

Penentuan laju infiltrasi telah dikembangkan dengan berbagai metode seperti oleh Kostiakov (1932), Lewis (1937), Horton (1939), Holtan (1961) dan Phillips (1957).

Gambar 1. Kurva hubungan antara infiltrasi dan limpasan (Schwab et al, 1966).

Perkolasi

Perkolasi merupakan pergerakan air bebas ke bawah yang membebaskan air dari lapisan atas dan bagian atas dari lapisan bawah tanah ke tempat yang lebih dalam dan merupakan air berlebih (Soepardi, 1979). Begitu air infiltrasi telah menembus lapisan permukaan, air terus meresap (percolates) ke bawah tanah akibat pengaruh gaya gravitasi sampai mencapai zona jenuh pada permukaan freatik (phreatic surface) atau muka air tanah (groundwater table) (Wilson, 1990). Perkolasi dapat digolongkan atas perkolasi vertikal (gerak ke bawah) dan perkolasi horizontal (gerak ke samping).

Evapotranspirasi Acuan (ETo)

Waktu (menit) L a ju C u ra h h u ja n , in fi lt ra si d a n Limpasan permukaan Infiltrasi

Evapotranspirasi adalah peristiwa menguapnya air dari tanaman dan tanah atau permukaan air yang menggenang. Dengan kata lain, besarnya evapotranspirasi adalah jumlah antara evaporasi dan transpirasi. Evapotranspirasi merupakan salah satu faktor penting yang terjadi dalam siklus hidrologi. Pengaruh evapotranspirasi di daerah tropis pada umumnya, dapat mempercepat terjadinya kekeringan dan penyusutan debit sungai pada musim kering (Asdak,1995). Banyak cara untuk menentukan besarnya nilai evapotranspirasi salah satu metode penghitungan besarnya evapotranspirasi yaitu menggunakan metode Penman yang dimodifikasi (Doorenbos dan Pruitt, 1977).

Metode Penman yang dimodifikasi tergantung pada pengukuran meteorologis dan mungkin merupakan metode yang memberikan perkiraan yang paling memuaskan tentang kebutuhan air bagi tanaman. Persamaan asli dari Penman menghasilkan evaporasi dari suatu permukaan air yang terbuka dengan mempertimbangkan energi radiasi matahari dan aerodinamika (angin dan kelembaban). Evaporasi dimodifikasi guna menghasilkan evapotranspirasi dari sebuah permukaan tanah berumput dengan cara mengalikan dengan suatu koefisien tanaman sebesar kira-kira 0.8. (Wilson, 1990). Maka ditetapkanlah suatu evapotranspirasi tanaman standar atau acuan (ETo) yang didefinisikan sebagai kecepatan evapotranspirasi dari sebuah permukaan yang ditutupi rumput hijau setinggi 8 hingga 15 cm dengan ketinggian yang merata, aktif tumbuh, sepenuhnya menutupi tanah dan tidak sedikit mengandung air. (Doorenbos dan Pruitt, 1977).

Perkembangan Model Hidrologi

Harto (1993) menyatakan, dalam pengertian umum model hidrologi adalah simplifikasi proses sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Model dapat diartikan pula sebagai penyederhanaan suatu sistem, sedangkan sistem adalah gambaran suatu proses atau beberapa proses yang teratur.

Menurut Linsley (1982), pengertian matematis dari persamaan-persamaan dan cara-cara untuk melukiskan perilaku "Model Hidrologi" dipakai untuk memberikan gambaran matematis yang relatif kompleks bagi daur hidrologi yang penyelesaiannya didesain pada sebuah komputer.

Dalam hidrologi terdapat beberapa macam klasifikasi model yang digunakan (Dooge, 1968; Clarke, 1973; Nemec, 1973 dalam Harto, 1993) antara lain yaitu (1) Model fisik (physical model) yaitu model dengan skala tertentu untuk menirukan prototipenya, (2) Model Analog (analog model) yaitu model yang disusun dengan menggunakan rangkaian resistor-kapasitor untuk memecahkan persamaan-persamaan diferensial yang memiliki proses hidrologi, dan (3) Model matematik (mathematical model) yaitu model yang menyajikan sistem dalam rangkaian persamaan, dan kadang-kadang dengan ungkapan-ungkapan yang menyajikan hubungan antar variabel dan parameter. Menurut Harto (1993), di sisi lain model dapat digolongkan menjadi : (1) Model empirik (empirical model) yaitu model yang semata-mata mendasarkan pada percobaan dan pengamatan, (2) model konseptual (conceptual model) yaitu model yang menyajikan proses-proses hidrologi dalam persamaan matematik dan membedakan antara fungsi produksi (production function) dan fungsi penelusuran (routing function).

Model hidrologi secara garis besar terbagi menjadi dua bagian besar yaitu model stokastik dan model deterministik. Model stokastik adalah model yang terdiri dari satu atau lebih unsur yang penyusunan hubungan antara masukan dan keluarannya mengikutsertakan “peluang kejadian” dan memperkenalkan konsep probabilitas. Model deterministik adalah model yang menghilangkan faktor “peluang kejadian” (Soemarto, 1987)

Linsley et al. (1958) menyatakan bahwa baik model stokastik maupun model deterministik memberikan andil yang besar pada hidrologi. Model tersebut telah memberikan yang lebih baik akan proses hidrologik, juga merupakan alat yang

berguna bagi keperluan penelitian dan dapat dipakai untuk mengembangkan penyelesaian problem keteknikan dengan suatu detail dan ketelitian yang tidak mungkin dicapai oleh analisis perhitungan biasa yang lebih konvensional.

Tujuan dari digunakannya model hidrologi antara lain (Harto, 1993):

1). Peramalan (forecasting), termasuk di dalamnya untuk sistem peringatan dan manajemen, pengertian disini menunjukkan baik besaran maupun waktu kejadian yang dianalisis berdasarkan cara probabilistik

2). Perkiraan (prediction), pengertian yang tergantung di dalamnya adalah besarnya kejadian dan waktu hipotetik

3). Sebagai alat "deteksi" dalam masalah pengendalian dengan sistem yang telah pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol dan diatur 4). Sebagai alat pengenal (identification tool) dalam masalah perencanaan 5). Eksploitasi data atau informasi

6). Perkiraan lingkungan akibat tingkat perilaku manusia yang berubah atau meningkat

7). Penelitian dasar dalam proses hidrologi.

Model Tangki

Menurut Sugawara (1961), model tangki adalah suatu metoda non-linier yang berdasarkan kepada hipotesis bahwa aliran limpasan dan infiltrasi merupakan fungsi dari jumlah air yang tersimpan di dalam tanah. Secara skematis, struktur model tangki dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.

Sebuah tangki dengan saluran pengeluaran disisi mewakili limpasan, saluran pengeluaran bawah mewakili infiltrasi, dan komponen simpanan dapat mewakili proses limpasan didalam suatu atau sebagian daerah aliran sungai. Beberapa tangki serupa yang pararel dapat mewakili suatu daerah aliran sungai yang besar (Linsey et al, 1982).

Infiltrasi Curah hujan Evapo transp irasi Perkolasi Aliran Antara Limpasan Permukaan

Gambar 2. Struktur Model Tangki

Banyak model-model limpasan yang beroperasi dengan konsep dasar yang sama dengan model tangki seperti DISPRIN yang dibuat oleh “British Water Resource Board”, IMH2-SVP yang dipakai oleh Institute of Meteorology and Hidrology of Romania dan Dawdy dan O’Donnel Model (Linsey, et al.1982).

Struktur model tangki cocok dianalogikan sebagai bentuk struktur air bawah permukaan yang dapat menunjukkan beberapa komponen dari debit sungai/total limpasan (Sugawara, 1961).

Banyak penelitian telah dilakukan dengan menggunakan model tangki. Selain oleh Sugawara sendiri sebagai penemunya yang menganalisa limpasan pada beberapa sungai di Jepang dan berhasil dengan baik, model tangki juga digunakan luas pada berbagai DAS, seperti DAS Ciliwung (Yoshida, et al.1998), DAS Progo (Darmadi,1986) dan DAS Mekong (Goto, 1993).

Proses Terjadinya Limpasan dalam Model Tangki

Curah hujan yang jatuh diatas permukaan bumi akan terinfiltrasi ke dalam tanah. Selain terinfiltrasi ke dalam tanah, terjadi pula proses evapotranspirasi. Air yang terinfiltrasi selanjutnya akan mengisi simpanan (storage) didalam tanah.

Gambar 3. Diagram aliran limpasan dengan model tangki. ( Sugawara, 1961 dalam Hiroki, et al, 1996)

Setelah simpanan mencapai maksimum (kejenuhan) terjadilah aliran antara (interflow) dan air akan terperkolasi hingga akhirnya menjadi aliran dasar (base flow). Aliran-aliran ini selanjutnya akan terkumpul (total run off) menjadi debit sungai.

Kebutuhan Air

Kebutuhan mengembangkan sumberdaya air timbul dari adanya kebutuhan akan air untuk suatu tujuan. Kebutuhan air suatu kota besarnya sebanding dengan jumlah penduduk, dan pola konsumsi perkapita, sehingga perkembangan jumlah penduduk di kota tersebut sangat menentukan tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan

et al, 1994). Tabel 1 berikut menunjukkan rata-rata kebutuhan air harian per kapita Keterangan :

ET : Evapotranspirasi CH : Curah Hujan Ro : Aliran Permukaan Inf : Infiltrasi Int : Aliran Antara Bf1 : Aliran Dasar P : Perkolasi a,b.z : Koefisien

dmax: Simpanan air maksimum KAT : Kandungan Air Tanah h : Tinggi air tersimpan Int1 Int2 Ro KAT1 KAT2 KAT3 KAT4 Bf1 h1 inf Int3 h2 h3 h4 dmax dmax dmax dmax P b a1 a2 a3 a4 z1 z2 z3 z4 CH ET

untuk kota di negara maju. Untuk kota di Indonesia tentunya tingkat kebutuhan air untuk berbagai penggunaan ini tidak sama dan persentase kehilangan lebih tinggi.

Tabel 1. Rata-rata kebutuhan air harian per kapita

No. Penggunaan Kebutuhan (gcd) Persen total (%)

1 Rumah tangga 60 40 2 Komersial 20 13 3 Industri 45 30 4 Umum 15 10 5 Kehilangan 10 7 Jumlah 150 100

Sumber : Gupta (1989), gcd= galon capita/day

Kebutuhan Air Penduduk

Besarnya kebutuhan air bagi masing-masing orang tidak sama dan sangat tergantung pada beberapa faktor, diantaranya tingkat sosial, tingkat pendidikan, kebiasaan penduduk, letak geografis, dan lain-lain. Kebutuhan dasar air bersih tiap individu digunakan untuk memenuhi keperluan minum, masak, mencuci peralatan masak, dan lain-lain. Untuk Indonesia besar kebutuhan dasar tersebut adalah (Puslitbang Fisika Terapan-LIPI, 1990) :

Minum = 2.5 – 5.0 liter/jiwa/hari Masak = 7.5 – 10.0 liter/jiwa/hari Cuci (bahan makanan dan lain-lain) = 10.0 – 15.0 liter/jiwa/hari Jumlah = 20.0 – 30.0 liter/jiwa/hari

Menurut White et al., (1972) konsumsi air bersih untuk daerah perkotaan dan pedesaan yang menggunakan hidran umum berkisar 10 – 50 liter/orang/hari, untuk rumah tangga yang menggunakan satu keran saja berkisar 15 – 90 liter/orang/hari, dan untuk rumah tangga yang memiliki banyak keran berkisar 30 – 300 liter/orang/hari.

Menurut Winrock (1992), Ditjen Cipta Karya menetapkan kebutuhan air domestik untuk masyarakat pedesaaan adalah 45 lcd (liter capita/day) dan untuk masyarakat kota sebesar 60 lcd.

Faktor utama yang menentukan jumlah kebutuhan air kota adalah jumlah penduduk, dan ketepatan proyeksi penduduk akan sangat penting untuk menduga tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan et al, 1994).

Kebutuhan Air Industri

Besarnya kebutuhan air bagi masing-masing industri tidak sama dan sangat tergantung pada beberapa faktor diantaranya jumlah pegawai, unit kerja, lamanya jam kerja dan lain-lain.

Untuk menentukan kebutuhan air bersih untuk industri di perkotaan dapat dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan banyaknya pemakaian, masing-masing untuk industri besar berkisar 151 - 350 m3/hari, industri sedang berkisar 51 – 150 m3/hari, dan industri kecil berkisar 5 - 50 m3/hari (Purwanto, 1995).

Kapasitas Sumberdaya Air DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai areal yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh diatasnya, baik dalam bentuk aliran permukaan alian bawah tanah dan aliran bumi ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau laut (Manan, 1979).

Menurut Seyhan (1995) faktor utama di dalam DAS yang sangat mempengaruhi kapasitas sumberdaya air adalah sebagai berikut :

Vegetasi merupakan pelindung bagi permukaan bumi terhadap hempasan air hujan, hembusan angin dan teriknya matahari. Fungsi utama dari vegetasi adalah melindungi tanah.

Perlindungan ini berlangsung dengan cara :

a. Melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh b. Melindungi tanah terhadap daya merusak aliran air di atas permukaan

tanah

c. Memperbaiki kapasitas infiltrasi dan struktur tanah serta daya absorbsi/daya simpan air.

2). Tanah

Tanah selain berfungsi sebagai media tempat tumbuhnya vegetasi juga berfungsi sebagai pengatur tata air. Peranan tanah dalam mengatur tata air tergantung pada tingkat kemampuan tanah untuk meresapkan air yang dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah. Makin besar kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah, makin banyak air yang dapat diserap dan masuk ke dalam profil tanah persatuan waktu, sehingga dengan demikian jumlah air yang tersimpan pada DAS menjadi lebih banyak (Arsyad, 1982).

Pengelolaan Sumberdaya Air DAS

Secara umum dapat dikatakan bahwa pengelolaan DAS ialah pengelolaan sumberdaya alam yang dapat pulih seperti air, tanah dan vegetasi dalam sebuah daerah aliran sungai dengan tujuan memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan daerah aliran sungai agar dapat menghasilkan air untuk kepentingan pertanian, kebutuhan penduduk, industri, tenaga listrik, rekreasi dan sebagainya (Manan, 1979).

Tujuan dari pengelolaan sumberdaya air pada DAS adalah agar DAS secara keseluruhan dapat berperanan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara

lestari bagi manusia di dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan serta kesejahteraannya (Soerianegara, 1978).

Bentuk tindakan pengelolaan sumberdaya air pada DAS bermacam-macam, tergantung dari permasalahan yang dihadapi DAS tersebut. Jika permasalahannya adalah kurangnya persediaan air – supply lebih kecil dari demand – maka tindakan yang harus dilakukan adalah mengusahakan penambahan persediaan air tersebut. Di lain pihak jika permasalahannya adalah berlebihnya persediaan air – supply lebih besar dari demand – maka tindakan yang harus dilakukan adalah mengupayakan optimalitas pemanfaatan dari kelebihan persediaan yang ada, atau mengendalikan kelebihan tersebut agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diiinginkan. Dasar dari setiap tindakan pengelolaan sumberdaya air adalah menyeimbangkan sisi demand

dan supply (water balance) (Dumairy, 1992).

Lebih lanjut dikatakan oleh Dumairy (1992), bahwa setiap pokok permasalahan yang dihadapi haruslah dijabarkan dengan terinci, agar bentuk konkrit dari tindakan yang akan diambil dapat dioperasionalkan. Bila permasalahannya adalah kurangnya persediaan sumberdaya air, maka haruslah jelas supply dan demand air untuk keperluan yang apa yang mengalami kesenjangan/ketidakseimbangan tersebut; apakah untuk irigasi, untuk keperluan industri, atau untuk keperluan domestik. Selanjutnya perlu diselidiki dan dirinci sebab-sebab tidak mencukupinya supply air tersebut, apakah karena persediaan alaminya memang tidak mencukupi secara kuantitatif, atau karena kualitas air yang tersedia tidak memenuhi syarat untuk dimanfaatkan (Harmailis, 2001).

Model Kebutuhan Air STELLA

STELLA (Systems Thinking Educational Learning Laboratory with Animation) adalah sebuah program komputer simulasi yang dibangun dalam suatu kerangka

kerja (framework) dan mudah dipahami dalam penggunaan untuk pengamatan interaksi kuantitatif dari setiap variabel dalam suatu sistem. Program dapat digunakan untuk menjelaskan dan menganalisa sistem yang kompleks dari ilmu fisika, kimia, biologi dan sosial. (Martin, 1997).

Penggunaan STELLA yang mencakup beberapa bidang ilmu, salah satunya adalah dapat digunakan untuk menghitung (memodelkan) kebutuhan air baku. Air baku merupakan kebutuhan penting untuk kebutuhan penduduk dan juga kebutuhan industri. Pertumbuhan penduduk dan industri yang dinamis seiring dengan pemenuhan kebutuhan air baku dapat dihitung dengan menggunakan STELLA.

Pendekatan ETo (Evapotranspirasi)

Dasar dalam pembuatan model kebutuhan air dikembangkan dari persamaan matematis dalam menghitung Kebutuhan Air Tanaman (KAT) menurut Doorenbos dan Pruitt(1977), sebagai berikut :

Kc ETo ETc = × (mm/hari) ...(1) Kc ETo ETc =0.116× × (ltr/det/ha) ...(2) dimana :

ETc = Evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

ETo = Evapotranpirasi aktual (mm/hari)

Kc = Koefisien tanaman (tergantung pada jenis tanaman, tahap pertumbuhan)

Analogi persamaan matematis diatas, yaitu ETc merupakan evapotranspirasi (kebutuhan air tanaman) yang terjadi pada suatu luasan areal yang ditumbuhi oleh tanaman dapat diartikan sebagai kebutuhan air suatu kawasan dengan populasi penduduk/industri. ETo merupakan evapotranspirasi acuan dapat diartikan sebagai kebutuhan air rata-rata penduduk/industri dan Kc merupakan koefisien tanaman

sebagai koefisien kebutuhan air penduduk/industri, sehingga dapat disusun model kebutuhan air untuk pemukiman dan industri seperti berikut (Purwanto, 1995):

( )

=

×

×

×

=

m 1 i penduduk

Pp P KAp Cp

y

...(3) dimana :

y Penduduk = kebutuhan air penduduk (liter/hari)

Pp = persentase klas sosial penduduk (%) P = jumlah penduduk (jiwa)

KAp = kebutuhan air rata-rata tiap klas sosial penduduk (liter/jiwa/hari)

Cp = koefisien kebutuhan air penduduk (tergantung pada klas sosial penduduk, waktu pemakaian air)

m = jumlah persamaan

i = klas sosial (tinggi, menengah, rendah)

( )

=

×

×

×

=

n 1 j industri

PI I KaI CI

y

...(4) dimana :

yIndustri = kebutuhan air industri (liter/hari)

PI = persentase jumlah tiap jenis industri (%) I = jumlah industri (industri)

KaI = kebutuhan air rata-rata tiap jenis industri (liter/industri/hari)

CI = koefisien kebutuhan air industri n = jumlah persamaan

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan mencakup Daerah Aliran Sungai Cidanau Kabupaten Serang, Kota Cilegon Provinsi Banten dan Lab Teknik Tanah dan Air Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan April 2004 sampai Agustus 2005.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan selama penelitian ini meliputi: seperangkat PC lengkap dengan sejumlah software pendukung lainnya, scanner, double ring infiltrometer, mistar, ember, stopwatch, GPS, dan peralatan keperluan dokumentasi serta tulis menulis. Bahan yang digunakan antara lain: data curah hujan, data iklim, data debit aktual, peta stasiun pos penakar hujan, peta jenis tanah, peta topografi, peta tata guna lahan, peta batas administratif, data penggunaan air penduduk dan industri.

Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data mencakup data primer dan data sekunder. Data primer adalah data infiltrasi yang diukur di lapangan dengan menggunakan Double ring infiltrometer. Pengukuran infiltrasi berdasarkan jenis Tata Guna Lahan (TGL) yang dibagi atas 3 TGL yaitu; TGL sawah, TGL hutan dan TGL kebun campuran. Pengukuran infiltrasi dilapang menggunakan double ring infiltrometer, yaitu satu infiltrometer silinder ditempatkan di dalam infiltrometer silinder lain yang lebih besar. Infiltrometer silinder yang lebih kecil mempunyai diameter 30 cm dan infiltrometer yang lain mempunyai diameter 50 cm. Pengukuran dilakukan hanya pada infiltrometer

yang kecil. Infiltrometer yang besar berfungsi sebagai penyangga yang bersifat menurunkan efek batas yang timbul oleh adanya silinder. Kedua infiltrometer tersebut dibenamkan ke dalam tanah dengan kedalaman antara 5 hingga 50 cm. Kemudian air dimasukkan ke dalam kedua silinder tersebut dengan kedalaman air tertentu dan laju air yang turun dicatat penurunannya pada suatu waktu tertentu.

Data sekunder meliputi data jumlah penduduk kota Cilegon (BPS 2002), data jumlah industri di kota Cilegon, data pemakaian kebutuhan air penduduk dan industri dari PT. Krakatau Tirta Industri, data curah hujan (1995-2001)dari 4 stasiun penakar hujan yang berada pada areal DAS Cidanau yaitu: Stasiun Cinangka, Stasiun Padarincang, Stasiun Ciomas dan Stasiun Mandalawangi, data iklim (1993-2002) Stasiun Iklim Serang mencakup temperatur, kelembaban nisbi, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, data tata guna lahan dan data debit sungai. Analisis data mencakup: rata-rata curah hujan wilayah, evapotranspirasi, infiltrasi, debit prediksi, prediksi jumlah penduduk, prediksi jumlah kebutuhan air pendiuduk, prediksi jumlah pertumbuhan industri dan kebutuhan airnya.

Tahap-tahap analisis data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: a. Penentuan Curah Hujan Wilayah

Penentuan curah hujan wilayah dilakukan dengan metoda poligon Thiessen. b. Penentuan Evapotranspirasi

Penentuan Evapotraspirasi dengan menggunakan metode Penman Modifikasi. Bentuk persamaannya yaitu (Doorenboos and Pruitt,1977) :

( ) ( )( )

[W Rn W f u ea ed ]

c

ETo= . + 1− −

...(5) dimana:

Eto : nilai evapotraspirasi tanaman acuan (mm/hari)

W : faktor pemberat yang berhubungan dengan temperatur Rn : radiasi netto dalam ekivalen evaporasi (mm/hari) f(u) : fungsi hubungan angin

(ea-ed): perbedaan antara tekanan uap jenuh pada suhu udara rata-rata dengan tekanan uap aktual rata-rata udara (mbar)

c : faktor koreksi

c. Analisis kapasitas infiltrasi

Analisis kapasitas infiltrasi dilakukan menurut Holtan (1961), yaitu dengan persamaan:

fc

GIASa

f =

1.4

+

...(6) Keterangan:

f : kapasitas infiltrasi (mm/jam)

A : kapasitas infiltrasi per jam per (mm)1.4 simpanan air

Sa : simpanan air lapisan permukaan fc : laju infiltrasi konstan

GI : indeks pertumbuhan tanaman/persen kematangan

Persamaan ini mengasumsikan bahwa kandungan air tanah, porositas dan kedalaman akar adalah faktor-faktor dominan yang mempengaruhi infiltrasi dan perhitungan besarnya kapasitas infiltrasi berdasarkan simpanan aktual kandungan air tanah pada waktu tertentu (Fleming, 1975).

Penyusunan Model Model Ketersediaan Air

Bejana berhubungan yang mencakup tanah permukaan dan yang di dalamnya digambarkan sebagai suatu persegi panjang ke dalam tanah dan di

Dokumen terkait