• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air Kawasan Cilegon Berbasis Daerah Aliran Sungai Cidanau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air Kawasan Cilegon Berbasis Daerah Aliran Sungai Cidanau"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR

KAWASAN CILEGON BERBASIS

DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU

SUTOYO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Sutoyo. F151020091. Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air Kawasan Cilegon Berbasis Derah Aliran Sungai Cidanau. Dibawah bimbingan M. Yanuar J. Purwanto dan Erizal.

Ringkasan

Air merupakan sumberdaya alam terbaharui, tetapi ketersediaannya tidak selalu sejalan dengan kebutuhannya dalam artian lokasi, jumlah, waktu dan mutu. Ketersediaan air erat kaitannya dengan faktor geografis dan iklim daerah aliran sungai, sedang kebutuhan air kawasan berhubungan langsung dengan pengguna air yaitu penduduk dan juga kebutuhan air untuk industri. Neraca keseimbangan antara ketersediaan (supply) dan kebutuhan (demand) air diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menganalisis dan merencanakan penyediaan kebutuhan air untuk pertanian, domestik/penduduk, industri dan keperluan lainnya. Oleh karena itu pola pengelolaan lahan yang ada perlu ditinjau dengan memperhatikan aspek konservasi untuk melestarikan sumberdaya air. Jumlah kebutuhan akan air untuk keperluan domestik (rumah tangga) dan industri selalu meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk dan peningkatan taraf hidupnya.

Penelitian bertujuan untuk membuat model ketersediaan dan kebutuhan air berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan model yang telah dibangun digunakan untuk mengevaluasi antara ketersediaan dan kebutuhan air dalam suatu kawasan DAS.

Model ketersediaan air dibangun dengan memodifikasi model tangki (model runoff) dengan masukan data berupa data curah hujan dan evapotranspirasi yang dikalibrasi dengan beberapa parameter. Pembentukan struktur model tangki merupakan penggambaran proses limpasan yang terjadi yang dibentuk dengan persamaan-persamaan matematis. Masukan model berupa parameter curah hujan dan evapotranspirasi dan menghasilkan keluaran berupa debit simulasi dengan penetapan beberapa parameter kalibrasi mencakup infiltrasi (z), kandungan air tanah (xx) serta kapasitas maksimum simpanan air (dmax).

Model kebutuhan air dimodifikasi berdasarkan kebutuhan air penduduk dan kebutuhan air industri yang dikalibrasi untuk mendapatkan nilai koefisien kebutuhan air. Proses kalibrasi dilakukan dengan metode least square sehingga didapatkan koefisien-koefisien kebutuhan air yang akhirnya akan digunakan dalam pembentukan model kebutuhan air.

Kalibrasi model ketersediaan air menggunakan data aktual tahun 1996 berupa data harian dari data hujan, evapotranspirasi dan debit sungai. Validasi model ketersediaan air menggunakan data aktual tahun 1997 berupa data harian dari data hujan, evapotranspirasi dan debit sungai. Validasi juga dilakukan terhadap data tahun 1999-2001. Validasi model ketersediaan air untuk data tahun 2001 menghasilkan nilai debit maksimum sebesar 39.39 m3/det, debit minimum sebesar 3.49 m3/det dan debit rata-rata sebesar 8.19 m3/det.

Kalibrasi model kebutuhan air dilakukan dengan data aktual tahun 1998-2000 (3 tahun), untuk mencari nilai koefisien kebutuhan air penduduk (Cp) dan juga koefisien kebutuhan air industri (CI). Hasil kalibrasi model untuk kebutuhan air penduduk menghasilkan nilai Cp untuk klas sosial tinggi bernilai 0.5, untuk klas sosial menengah bernilai 0.44 dan untuk klas penduduk rendah bernilai 0.07. Hasil kalibrasi model kebutuhan air untuk kebutuhan air industri menghasilkan nilai CI untuk industri besar bernilai 13.75, untuk industri menengah bernilai 15.17 dan untuk industri kecil bernilai 14.05.

(3)

penduduk berjumlah 10 110 m3/hari dan untuk kebutuhan air industri berjumlah 91 445 m3/hari

(4)

MODEL KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR

KAWASAN CILEGON BERBASIS

DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU

SUTOYO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)
(6)

PRAKATA

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT karena berkah dan rahmat-Nya tesis ini dapat diselesaikan dengan judul “Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air Kawasan Cilegon Berbasis Daerah Aliran Sungai Cidanau”. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam dunia llmu pengetahuan dan pengembangan teknologi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS dan Dr. Ir. Erizal, M.Agr selaku pembimbing serta Dr. Ir. I Wayan Astika, MS sebagai penguji yang telah banyak memberikan saran dan arahannya. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan juga kepada PT. Krakatau Tirta Industri, Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan juga Bagian Teknik Tanah dan Air Dept TEP atas bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda dan ayahanda, saudara-saudara serta Nirwani dan Fathan atas segala doa, motivasi dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun kami harapkan untuk meningkatkan pemanfaatannya. Semoga sekelumit ilmu yang dikemukakan dalam tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bagi yang membutuhkan dan pembacanya.

Bogor, Oktober 2005 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

RINGKASAN... ii

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Sumber-sumber Air ... 3

Air Limpasan... 3

Curah Hujan ... 4

Hubungan Curah Hujan dengan Limpasan ... 4

Infiltrasi... 5

Perkolasi... 6

Evapotranspirasi Acuan (ETo) ... 7

Perkembangan Model Hidrologi ... 8

Model Tangki ... 9

Proses Terjadinya Limpasan dalam Model Tangki ... 11

Kebutuhan Air ... 12

Kebutuhan Air Penduduk... 12

Kebutuhan Air Industri ... 13

Kapasitas Sumberdaya Air DAS ... 14

Pengelolaan Sumberdaya Air DAS ... 15

Model Kebutuhan Air ... 16

STELLA ... 16

Pendekatan ETo ... 16

METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

Alat dan Bahan ... 18

(8)

Penyusunan Model... 20

Model Ketersediaan Air ... 20

Susunan Model Tangki ... 22

Penyusunan Program Komputer ... 24

Kalibrasi dan Validasi Model ... 24

Model Kebutuhan Air ... 25

Kalibrasi dan Validasi Model ... 26

Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang... 26

Supply-demand Air Wilayah ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi DAS Cidanau ... 30

Iklim ... 31

Topografi ... 31

Jenis Tanah dan Tata Guna Lahan... 32

Curah Hujan Wilayah... 32

Infiltrasi ... 33

Model Ketersediaan Air ... 33

Kalibrasi Model ... 33

Validasi Model ... 36

Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang... 39

Model Kebutuhan Air ... 40

Kalibrasi Model ... 40

Validasi Model ... 41

Supply-Demand Air untuk Perkembangan Wilayah ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 47

Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA... 50

(9)

DAFTAR TABEL

1. Rata-rata kebutuhan air harian perkapita ... 12

2. Skenario model ketersediaan air... 29

3. Luas sub DAS ... 30

4. Kelas kemiringan lahan DAS Cidanau ... 31

5. Penyebaran jenis tanah DAS Cidanau ... 32

6. Jumlah dan jenis penggunaan lahan... 32

7. Stasiun curah hujan dan persentase bobot ... 33

8. Nilai koefisien z ... 34

9. Hasil kalibrasi nilai koefisien a, xx dan dmax... 36

10. Hasil kalibrasi model kebutuhan air penduduk ... 40

(10)

DAFTAR GAMBAR

1. Kurva hubungan antara infiltrasi dan limpasan... 6

2. Struktur model tangki ... 10

3. Diagram aliran limpasan dengan model tangki... 11

4. Susunan model tangki dalam suatu DAS ... 21

5. Skema pembagian wilayah tangki dan hujan wilayah dalam DAS... 22

6. Skema tangki untuk setiap TGL ... 23

7. Kerangka kerja (framework) skema model kebutuhan air ... 26

8. Kerangka kerja (framework) perhitungan Supply-Demand air... 28

9. Grafik hasil kalibarasi data tahun 1996 ... 35

10. Grafik hasil validasi data tahun 1997... 37

11. Grafik hasil validasi data tahun 2001... 38

12. Grafik antara debit model dengan debit aktual validasi data tahun 2001. 39 13. Grafik hasil skenario 1 program STELLA ... 42

14. Grafik hasil skenario 2 program STELLA ... 44

15. Grafik hasil skenario 3 program STELLA ... 45

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lokasi penelitian ... 52

2. Struktur Program Model Ketersediaan Air yang ditulis dengan Bahasa Fortran ... 53

3. Hasil validasi debit model ketersediaan air data tahun 1997 ... 56

4. Perhitungan infiltrasi lokasi 1... 59

5. Perhitungan infiltrasi lokasi 2... 60

6. Perhitungan infiltrasi lokasi 3... 61

7. Diagram alir untuk satu tangki dalam model ketersediaan air ... 62

8. Data pemakaian air industri besar di Cilegon tahun 1999 ... 63

9. Data pemakaian air industri menengah di Cilegon tahun 1999 ... 64

10. Data pemakaian air industri kecil di Cilegon tahun 1999 ... 65

11. Kurva hasil pengukuran infiltrasi, (a) lokasi 1, (b) lokasi 2, (c) lokasi 3... 66

12. Hasil perhitungan Analisis Frekuensi Curah Hujan untuk debit andalan peluang 80% dengan program Rainbow ... 67

13. Hasil perhitungan kebutuhan air skenario 1 program STELLA ... 69

14. Hasil perhitungan kebutuhan air skenario 2 program STELLA ... 70

15. Hasil perhitungan kebutuhan air skenario 3 program STELLA ... 71

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan sumberdaya air secara optimal, pada dasarnya merupakan pemanfaatan sumberdaya air secara efisien sesuai dengan peruntukannya. Berbagai kegiatan yang dalam perencanaannya membutuhkan data sumberdaya air adalah seperti industri, pertanian dan pemukiman. Kawasan industri, lahan pertanian, kawasan pemukiman dari tahun ke tahun semakin meningkat, sehingga semakin besar pula kebutuhan air yang diperlukan.

Sumber-sumber air yang paling utama terdiri dari air permukaan (surface water) dan air tanah (ground water). Air mempunyai banyak kegunaan, misalnya untuk irigasi, industri, keperluan rumah tangga (minum, masak, mandi dan mencuci) dan lain-lainnya. Air yang digunakan untuk kawasan pemukiman, kawasan industri, dan kegiatan sosial lainnya di wilayah Cilegon pada umumnya berasal dari air permukaan yang telah diolah menjadi air bersih oleh PT. Krakatau Tirta Industri.

Untuk pemenuhan kebutuhan air di kawasan pemukiman, industri dan kegiatan sosial lainnya ini, air baku diambil dari sungai Cidanau dengan luas daerah tangkapan 226.2 km2 yang terletak 25 km Barat Daya Cilegon. Sungai Cidanau merupakan kelanjutan aliran dari Rawa Danau yang terbentuk dari danau kawah vulkanik yang telah dikosongkan untuk kultivasi.

(13)

Ketersediaan air erat kaitannya dengan faktor geografis dan iklim daerah aliran sungai, sedang kebutuhan air irigasi berhubungan langsung dengan absorbsi air oleh tanaman selama perkembangan tanaman. Neraca keseimbangan antara ketersediaan air (supply) dan kebutuhan air (demand) diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menganalisis dan merencanakan penyediaan kebutuhan air untuk pertanian, domestik/penduduk, industri dan keperluan lainnya, seefisien mungkin. Oleh karena itu pola pengelolaan lahan yang ada perlu ditinjau dengan memperhatikan aspek konservasi untuk melestarikan sumberdaya air.

Tujuan

Penelitian tentang Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air Kawasan Cilegon Berbasis Daerah Aliran Sungai Cidanau ini bertujuan untuk :

1. Membuat Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air berbasis DAS.

2. Mengevaluasi antara ketersediaan dan kebutuhan air dalam suatu kawasan DAS.

Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian diharapkan menjadi salah satu dasar dalam kebijakan pengembangan DAS Cidanau pada masa mendatang.

2. Hasil penelitian diharapkan dapat memperjelas sumberdaya air yang digunakan oleh suatu kawasan (bagian hilir) dalam pemanfaatannya.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Sumber-sumber Air

Air Limpasan (runoff)

Air limpasan (runoff) adalah bagian dari presipitasi yang mengalir menuju saluran, danau atau lautan sebagai aliran permukaan dan bawah permukaan (Schwab et al, 1966). Sebelum terjadi runoff, presipitasi terlebih dahulu memenuhi kebutuhan untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi dan surface storage. Menurut Schwab

et al (1966), runoff dapat terjadi hanya bila rata-rata curah hujan melampaui rata-rata jumlah air yang dapat berinfiltrasi ke dalam tanah. Setelah infiltrasi terpenuhi, air akan mulai mengisi lekukan-lekukan pada permukaan tanah. Setelah semua lekukan terisi barulah terjadi aliran permukaan. Menurut Ward (1967), sumber dan komponen utama runoff adalah:

1. Presipitasi langsung (directprecipitation)

Hujan yang langsung masuk ke dalam saluran memiliki persentase yang kecil dari seluruh volume air yang mengalir. Walaupun daerah luas, tapi akan terevaporasi pula sehingga sulit untuk diperkirakan besarnya, oleh karena itu biasanya diabaikan dalam perhitungan.

2. Limpasan permukaan (surface runoff)

Limpasan permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah baik sebagai aliran tipis di permukaan tanah atau sebagai aliran disaluran.

3. Aliran antara (interflow)

Sebagian hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah akan meyebar dan mengalir secara lateral. Aliran yang terjadi ini merupakan aliran antara. Kontribusi aliran antara terhadap total limpasan permukaan (total run off) tergantung dari karakteristik tanah daerah tangkapan (catchment area).

4. Aliran Dasar (base flow)

(15)

Curah Hujan

Curah hujan adalah salah satu parameter penting dalam sistem DAS, terutama sebagai salah satu mata rantai daur hidrologi yang berperan menjadi pembatas adanya potensi sumberdaya air di dalam suatu DAS. Rata-rata curah hujan sering dibutuhkan dalam penyelesaian masalah hidrologi, seperti penelusuran masalah banjir, penentuan ketesediaan air untuk irigasi ataupun untuk mendesain bangunan-bangunan air. Perhitungan penentuan curah hujan wilayah dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu: (1) Metode aritmatik yaitu dengan merata-ratakan kedalaman hujan yang terjadi di suatu daerah; (2) Metode Isohiet dengan membuat garis pada wilayah dengan menghubungkan titik-titik dengan curah hujan yang sama; dan (3) Metode Thiessen.

Salah satu cara penentuan curah hujan rata-rata adalah dengan menggunakan metode Thiessen. Menurut Linsey et al (1982), metode Thiessen berusaha untuk mengimbangi tidak meratanya distribusi alat ukur dengan menyediakan suatu faktor pembobot (weighting factor) bagi masing-masing stasiun curah hujan. Stasiun-stasiun diplot pada suatu peta dan dibuat garis hubung antar stasiun. Garis-garis bagi tegak lurus dari garis-garis penghubung ini membentuk poligon-poligon di sekitar masing-masing stasiun.

Hubungan Curah Hujan dengan Limpasan (run off)

Menurut Seyhan (1977), hubungan antara curah hujan dan limpasan tidaklah langsung. Diantara keduanya, evaporasi, intersepsi, cadangan depresi, cadangan salju dan infiltrasi bekerja sebagaimana diatur oleh karakteristik-karakteristik dari ukuran, kemiringan, bentuk, ketinggian, tata guna lahan, serta geologi daerah aliran sungai.

(16)

1. I < fc - tidak terdapat limpasan permukaan P < dlt - semua air yang diinfiltrasikan tetap pada

mintakat tak jenuh

2. I < fc - tidak terdapat limpasan permukaan

P > dlt - pengisian kembali air tanah dengan jumlah yang sama dengan P

3. I < fc - terdapat limpasan permukaan P > dlt - tidak terdapat pengisian kembali air tanah

4. I > fc - terdapat limpasan permukaan P > dlt - pengisian kembali air tanah

Keterangan: I : intensitas curah hujan P : curah hujan

fc : kapasitas infiltrasi dlt : defisiensi lengas tanah

Infiltrasi

Proses masuknya air hujan ke dalam tanah dan turun ke permukaan air tanah disebut infiltrasi. Proses infiltrasi melibatkan tiga proses yang saling tidak tergantung yaitu, proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah, tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah dan proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain.

Selanjutnya menurut Sosrodarsono dan Takeda (1977), dalam beberapa hal tertentu, infiltrasi itu berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan kecepatan absorpsi maksimum setiap tanah bersangkutan.

Asdak (1995) menjelaskan bahwa proses infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor , antara lain, tekstur dan struktur tanah, kandungan air awal (kelembaban tanah), kegiatan biologi dan unsur organik, jenis dan kedalaman serasah, dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya.

(17)

1. Menentukan beda volume air hujan buatan dengan volume air larian pada percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan.

2. Menggunakan alat infiltrometer.

3. Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan.

Penentuan laju infiltrasi telah dikembangkan dengan berbagai metode seperti oleh Kostiakov (1932), Lewis (1937), Horton (1939), Holtan (1961) dan Phillips (1957).

Gambar 1. Kurva hubungan antara infiltrasi dan limpasan (Schwab et al, 1966).

Perkolasi

Perkolasi merupakan pergerakan air bebas ke bawah yang membebaskan air dari lapisan atas dan bagian atas dari lapisan bawah tanah ke tempat yang lebih dalam dan merupakan air berlebih (Soepardi, 1979). Begitu air infiltrasi telah menembus lapisan permukaan, air terus meresap (percolates) ke bawah tanah akibat pengaruh gaya gravitasi sampai mencapai zona jenuh pada permukaan freatik (phreatic surface) atau muka air tanah (groundwater table) (Wilson, 1990). Perkolasi dapat digolongkan atas perkolasi vertikal (gerak ke bawah) dan perkolasi horizontal (gerak ke samping).

Evapotranspirasi Acuan (ETo)

(18)

Evapotranspirasi adalah peristiwa menguapnya air dari tanaman dan tanah atau permukaan air yang menggenang. Dengan kata lain, besarnya evapotranspirasi adalah jumlah antara evaporasi dan transpirasi. Evapotranspirasi merupakan salah satu faktor penting yang terjadi dalam siklus hidrologi. Pengaruh evapotranspirasi di daerah tropis pada umumnya, dapat mempercepat terjadinya kekeringan dan penyusutan debit sungai pada musim kering (Asdak,1995). Banyak cara untuk menentukan besarnya nilai evapotranspirasi salah satu metode penghitungan besarnya evapotranspirasi yaitu menggunakan metode Penman yang dimodifikasi (Doorenbos dan Pruitt, 1977).

Metode Penman yang dimodifikasi tergantung pada pengukuran meteorologis dan mungkin merupakan metode yang memberikan perkiraan yang paling memuaskan tentang kebutuhan air bagi tanaman. Persamaan asli dari Penman menghasilkan evaporasi dari suatu permukaan air yang terbuka dengan mempertimbangkan energi radiasi matahari dan aerodinamika (angin dan kelembaban). Evaporasi dimodifikasi guna menghasilkan evapotranspirasi dari sebuah permukaan tanah berumput dengan cara mengalikan dengan suatu koefisien tanaman sebesar kira-kira 0.8. (Wilson, 1990). Maka ditetapkanlah suatu evapotranspirasi tanaman standar atau acuan (ETo) yang didefinisikan sebagai kecepatan evapotranspirasi dari sebuah permukaan yang ditutupi rumput hijau setinggi 8 hingga 15 cm dengan ketinggian yang merata, aktif tumbuh, sepenuhnya menutupi tanah dan tidak sedikit mengandung air. (Doorenbos dan Pruitt, 1977).

Perkembangan Model Hidrologi

(19)

Menurut Linsley (1982), pengertian matematis dari persamaan-persamaan dan cara-cara untuk melukiskan perilaku "Model Hidrologi" dipakai untuk memberikan gambaran matematis yang relatif kompleks bagi daur hidrologi yang penyelesaiannya didesain pada sebuah komputer.

Dalam hidrologi terdapat beberapa macam klasifikasi model yang digunakan (Dooge, 1968; Clarke, 1973; Nemec, 1973 dalam Harto, 1993) antara lain yaitu (1) Model fisik (physical model) yaitu model dengan skala tertentu untuk menirukan prototipenya, (2) Model Analog (analog model) yaitu model yang disusun dengan menggunakan rangkaian resistor-kapasitor untuk memecahkan persamaan-persamaan diferensial yang memiliki proses hidrologi, dan (3) Model matematik (mathematical model) yaitu model yang menyajikan sistem dalam rangkaian persamaan, dan kadang-kadang dengan ungkapan-ungkapan yang menyajikan hubungan antar variabel dan parameter. Menurut Harto (1993), di sisi lain model dapat digolongkan menjadi : (1) Model empirik (empirical model) yaitu model yang semata-mata mendasarkan pada percobaan dan pengamatan, (2) model konseptual (conceptual model) yaitu model yang menyajikan proses-proses hidrologi dalam persamaan matematik dan membedakan antara fungsi produksi (production function) dan fungsi penelusuran (routing function).

Model hidrologi secara garis besar terbagi menjadi dua bagian besar yaitu model stokastik dan model deterministik. Model stokastik adalah model yang terdiri dari satu atau lebih unsur yang penyusunan hubungan antara masukan dan keluarannya mengikutsertakan “peluang kejadian” dan memperkenalkan konsep probabilitas. Model deterministik adalah model yang menghilangkan faktor “peluang kejadian” (Soemarto, 1987)

(20)

berguna bagi keperluan penelitian dan dapat dipakai untuk mengembangkan penyelesaian problem keteknikan dengan suatu detail dan ketelitian yang tidak mungkin dicapai oleh analisis perhitungan biasa yang lebih konvensional.

Tujuan dari digunakannya model hidrologi antara lain (Harto, 1993):

1). Peramalan (forecasting), termasuk di dalamnya untuk sistem peringatan dan manajemen, pengertian disini menunjukkan baik besaran maupun waktu kejadian yang dianalisis berdasarkan cara probabilistik

2). Perkiraan (prediction), pengertian yang tergantung di dalamnya adalah besarnya kejadian dan waktu hipotetik

3). Sebagai alat "deteksi" dalam masalah pengendalian dengan sistem yang telah pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol dan diatur 4). Sebagai alat pengenal (identification tool) dalam masalah perencanaan 5). Eksploitasi data atau informasi

6). Perkiraan lingkungan akibat tingkat perilaku manusia yang berubah atau meningkat

7). Penelitian dasar dalam proses hidrologi.

Model Tangki

Menurut Sugawara (1961), model tangki adalah suatu metoda non-linier yang berdasarkan kepada hipotesis bahwa aliran limpasan dan infiltrasi merupakan fungsi dari jumlah air yang tersimpan di dalam tanah. Secara skematis, struktur model tangki dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.

(21)

Infiltrasi Curah hujan Evapo

transp irasi

Perkolasi

Aliran Antara Limpasan Permukaan

Gambar 2. Struktur Model Tangki

Banyak model-model limpasan yang beroperasi dengan konsep dasar yang sama dengan model tangki seperti DISPRIN yang dibuat oleh “British Water Resource Board”, IMH2-SVP yang dipakai oleh Institute of Meteorology and Hidrology of Romania dan Dawdy dan O’Donnel Model (Linsey, et al.1982).

Struktur model tangki cocok dianalogikan sebagai bentuk struktur air bawah permukaan yang dapat menunjukkan beberapa komponen dari debit sungai/total limpasan (Sugawara, 1961).

(22)

Proses Terjadinya Limpasan dalam Model Tangki

Curah hujan yang jatuh diatas permukaan bumi akan terinfiltrasi ke dalam tanah. Selain terinfiltrasi ke dalam tanah, terjadi pula proses evapotranspirasi. Air yang terinfiltrasi selanjutnya akan mengisi simpanan (storage) didalam tanah.

Gambar 3. Diagram aliran limpasan dengan model tangki. ( Sugawara, 1961 dalam Hiroki, et al, 1996)

Setelah simpanan mencapai maksimum (kejenuhan) terjadilah aliran antara (interflow) dan air akan terperkolasi hingga akhirnya menjadi aliran dasar (base flow). Aliran-aliran ini selanjutnya akan terkumpul (total run off) menjadi debit sungai.

Kebutuhan Air

Kebutuhan mengembangkan sumberdaya air timbul dari adanya kebutuhan akan air untuk suatu tujuan. Kebutuhan air suatu kota besarnya sebanding dengan jumlah penduduk, dan pola konsumsi perkapita, sehingga perkembangan jumlah penduduk di kota tersebut sangat menentukan tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan

et al, 1994). Tabel 1 berikut menunjukkan rata-rata kebutuhan air harian per kapita Keterangan :

ET : Evapotranspirasi CH : Curah Hujan Ro : Aliran Permukaan Inf : Infiltrasi Int : Aliran Antara Bf1 : Aliran Dasar P : Perkolasi a,b.z : Koefisien

(23)

untuk kota di negara maju. Untuk kota di Indonesia tentunya tingkat kebutuhan air untuk berbagai penggunaan ini tidak sama dan persentase kehilangan lebih tinggi.

Tabel 1. Rata-rata kebutuhan air harian per kapita

No. Penggunaan Kebutuhan (gcd) Persen total (%)

1 Rumah tangga 60 40

2 Komersial 20 13

3 Industri 45 30

4 Umum 15 10

5 Kehilangan 10 7

Jumlah 150 100

Sumber : Gupta (1989), gcd= galon capita/day

Kebutuhan Air Penduduk

Besarnya kebutuhan air bagi masing-masing orang tidak sama dan sangat tergantung pada beberapa faktor, diantaranya tingkat sosial, tingkat pendidikan, kebiasaan penduduk, letak geografis, dan lain-lain. Kebutuhan dasar air bersih tiap individu digunakan untuk memenuhi keperluan minum, masak, mencuci peralatan masak, dan lain-lain. Untuk Indonesia besar kebutuhan dasar tersebut adalah (Puslitbang Fisika Terapan-LIPI, 1990) :

Minum = 2.5 – 5.0 liter/jiwa/hari Masak = 7.5 – 10.0 liter/jiwa/hari Cuci (bahan makanan dan lain-lain) = 10.0 – 15.0 liter/jiwa/hari Jumlah = 20.0 – 30.0 liter/jiwa/hari

(24)

Menurut Winrock (1992), Ditjen Cipta Karya menetapkan kebutuhan air domestik untuk masyarakat pedesaaan adalah 45 lcd (liter capita/day) dan untuk masyarakat kota sebesar 60 lcd.

Faktor utama yang menentukan jumlah kebutuhan air kota adalah jumlah penduduk, dan ketepatan proyeksi penduduk akan sangat penting untuk menduga tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan et al, 1994).

Kebutuhan Air Industri

Besarnya kebutuhan air bagi masing-masing industri tidak sama dan sangat tergantung pada beberapa faktor diantaranya jumlah pegawai, unit kerja, lamanya jam kerja dan lain-lain.

Untuk menentukan kebutuhan air bersih untuk industri di perkotaan dapat dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan banyaknya pemakaian, masing-masing untuk industri besar berkisar 151 - 350 m3/hari, industri sedang berkisar 51 – 150 m3/hari, dan industri kecil berkisar 5 - 50 m3/hari (Purwanto, 1995).

Kapasitas Sumberdaya Air DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai areal yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh diatasnya, baik dalam bentuk aliran permukaan alian bawah tanah dan aliran bumi ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau laut (Manan, 1979).

Menurut Seyhan (1995) faktor utama di dalam DAS yang sangat mempengaruhi kapasitas sumberdaya air adalah sebagai berikut :

(25)

Vegetasi merupakan pelindung bagi permukaan bumi terhadap hempasan air hujan, hembusan angin dan teriknya matahari. Fungsi utama dari vegetasi adalah melindungi tanah.

Perlindungan ini berlangsung dengan cara :

a. Melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh b. Melindungi tanah terhadap daya merusak aliran air di atas permukaan

tanah

c. Memperbaiki kapasitas infiltrasi dan struktur tanah serta daya absorbsi/daya simpan air.

2). Tanah

Tanah selain berfungsi sebagai media tempat tumbuhnya vegetasi juga berfungsi sebagai pengatur tata air. Peranan tanah dalam mengatur tata air tergantung pada tingkat kemampuan tanah untuk meresapkan air yang dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah. Makin besar kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah, makin banyak air yang dapat diserap dan masuk ke dalam profil tanah persatuan waktu, sehingga dengan demikian jumlah air yang tersimpan pada DAS menjadi lebih banyak (Arsyad, 1982).

Pengelolaan Sumberdaya Air DAS

Secara umum dapat dikatakan bahwa pengelolaan DAS ialah pengelolaan sumberdaya alam yang dapat pulih seperti air, tanah dan vegetasi dalam sebuah daerah aliran sungai dengan tujuan memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan daerah aliran sungai agar dapat menghasilkan air untuk kepentingan pertanian, kebutuhan penduduk, industri, tenaga listrik, rekreasi dan sebagainya (Manan, 1979).

(26)

lestari bagi manusia di dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan serta kesejahteraannya (Soerianegara, 1978).

Bentuk tindakan pengelolaan sumberdaya air pada DAS bermacam-macam, tergantung dari permasalahan yang dihadapi DAS tersebut. Jika permasalahannya adalah kurangnya persediaan air – supply lebih kecil dari demand – maka tindakan yang harus dilakukan adalah mengusahakan penambahan persediaan air tersebut. Di lain pihak jika permasalahannya adalah berlebihnya persediaan air – supply lebih besar dari demand – maka tindakan yang harus dilakukan adalah mengupayakan optimalitas pemanfaatan dari kelebihan persediaan yang ada, atau mengendalikan kelebihan tersebut agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diiinginkan. Dasar dari setiap tindakan pengelolaan sumberdaya air adalah menyeimbangkan sisi demand

dan supply (water balance) (Dumairy, 1992).

Lebih lanjut dikatakan oleh Dumairy (1992), bahwa setiap pokok permasalahan yang dihadapi haruslah dijabarkan dengan terinci, agar bentuk konkrit dari tindakan yang akan diambil dapat dioperasionalkan. Bila permasalahannya adalah kurangnya persediaan sumberdaya air, maka haruslah jelas supply dan demand air untuk keperluan yang apa yang mengalami kesenjangan/ketidakseimbangan tersebut; apakah untuk irigasi, untuk keperluan industri, atau untuk keperluan domestik. Selanjutnya perlu diselidiki dan dirinci sebab-sebab tidak mencukupinya supply air tersebut, apakah karena persediaan alaminya memang tidak mencukupi secara kuantitatif, atau karena kualitas air yang tersedia tidak memenuhi syarat untuk dimanfaatkan (Harmailis, 2001).

Model Kebutuhan Air

STELLA

(27)

kerja (framework) dan mudah dipahami dalam penggunaan untuk pengamatan interaksi kuantitatif dari setiap variabel dalam suatu sistem. Program dapat digunakan untuk menjelaskan dan menganalisa sistem yang kompleks dari ilmu fisika, kimia, biologi dan sosial. (Martin, 1997).

Penggunaan STELLA yang mencakup beberapa bidang ilmu, salah satunya adalah dapat digunakan untuk menghitung (memodelkan) kebutuhan air baku. Air baku merupakan kebutuhan penting untuk kebutuhan penduduk dan juga kebutuhan industri. Pertumbuhan penduduk dan industri yang dinamis seiring dengan pemenuhan kebutuhan air baku dapat dihitung dengan menggunakan STELLA.

Pendekatan ETo (Evapotranspirasi)

Dasar dalam pembuatan model kebutuhan air dikembangkan dari persamaan matematis dalam menghitung Kebutuhan Air Tanaman (KAT) menurut Doorenbos dan Pruitt(1977), sebagai berikut :

Kc ETo

ETc = × (mm/hari) ...(1)

Kc ETo

ETc =0.116× × (ltr/det/ha) ...(2) dimana :

ETc = Evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

ETo = Evapotranpirasi aktual (mm/hari)

Kc = Koefisien tanaman (tergantung pada jenis tanaman, tahap pertumbuhan)

(28)

sebagai koefisien kebutuhan air penduduk/industri, sehingga dapat disusun model kebutuhan air untuk pemukiman dan industri seperti berikut (Purwanto, 1995):

(

)

=

×

×

×

=

m 1 i

penduduk

Pp

P

KAp

Cp

y

...(3)

dimana :

y Penduduk = kebutuhan air penduduk (liter/hari)

Pp = persentase klas sosial penduduk (%) P = jumlah penduduk (jiwa)

KAp = kebutuhan air rata-rata tiap klas sosial penduduk (liter/jiwa/hari)

Cp = koefisien kebutuhan air penduduk (tergantung pada klas sosial penduduk, waktu pemakaian air)

m = jumlah persamaan

i = klas sosial (tinggi, menengah, rendah)

(

)

=

×

×

×

=

n 1 j

industri

PI

I

KaI

CI

y

...(4)

dimana :

yIndustri = kebutuhan air industri (liter/hari)

PI = persentase jumlah tiap jenis industri (%) I = jumlah industri (industri)

KaI = kebutuhan air rata-rata tiap jenis industri (liter/industri/hari)

CI = koefisien kebutuhan air industri n = jumlah persamaan

(29)

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan mencakup Daerah Aliran Sungai Cidanau Kabupaten Serang, Kota Cilegon Provinsi Banten dan Lab Teknik Tanah dan Air Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan April 2004 sampai Agustus 2005.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan selama penelitian ini meliputi: seperangkat PC

lengkap dengan sejumlah software pendukung lainnya, scanner, double ring

infiltrometer, mistar, ember, stopwatch, GPS, dan peralatan keperluan

dokumentasi serta tulis menulis. Bahan yang digunakan antara lain: data

curah hujan, data iklim, data debit aktual, peta stasiun pos penakar hujan, peta

jenis tanah, peta topografi, peta tata guna lahan, peta batas administratif, data

penggunaan air penduduk dan industri.

Pengumpulan dan Analisis Data

(30)

yang kecil. Infiltrometer yang besar berfungsi sebagai penyangga yang bersifat menurunkan efek batas yang timbul oleh adanya silinder. Kedua infiltrometer tersebut dibenamkan ke dalam tanah dengan kedalaman antara 5 hingga 50 cm. Kemudian air dimasukkan ke dalam kedua silinder tersebut dengan kedalaman air tertentu dan laju air yang turun dicatat penurunannya pada suatu waktu tertentu.

Data sekunder meliputi data jumlah penduduk kota Cilegon (BPS 2002),

data jumlah industri di kota Cilegon, data pemakaian kebutuhan air penduduk

dan industri dari PT. Krakatau Tirta Industri, data curah hujan (1995-2001)dari 4

stasiun penakar hujan yang berada pada areal DAS Cidanau yaitu: Stasiun

Cinangka, Stasiun Padarincang, Stasiun Ciomas dan Stasiun Mandalawangi,

data iklim (1993-2002) Stasiun Iklim Serang mencakup temperatur, kelembaban

nisbi, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, data tata guna lahan dan

data debit sungai. Analisis data mencakup: rata-rata curah hujan wilayah,

evapotranspirasi, infiltrasi, debit prediksi, prediksi jumlah penduduk, prediksi

jumlah kebutuhan air pendiuduk, prediksi jumlah pertumbuhan industri dan

kebutuhan airnya.

Tahap-tahap analisis data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: a. Penentuan Curah Hujan Wilayah

Penentuan curah hujan wilayah dilakukan dengan metoda poligon Thiessen. b. Penentuan Evapotranspirasi

Penentuan Evapotraspirasi dengan menggunakan metode Penman Modifikasi. Bentuk persamaannya yaitu (Doorenboos and Pruitt,1977) :

(

) ( )(

)

[

W

Rn

W

f

u

ea

ed

]

c

ETo

=

.

+

1

...(5)

dimana:

Eto : nilai evapotraspirasi tanaman acuan (mm/hari)

(31)

(ea-ed): perbedaan antara tekanan uap jenuh pada suhu udara rata-rata dengan tekanan uap aktual rata-rata udara (mbar)

c : faktor koreksi

c. Analisis kapasitas infiltrasi

Analisis kapasitas infiltrasi dilakukan menurut Holtan (1961), yaitu dengan persamaan:

fc

GIASa

f

=

1.4

+

...(6)

Keterangan:

f : kapasitas infiltrasi (mm/jam)

A : kapasitas infiltrasi per jam per (mm)1.4 simpanan air

Sa : simpanan air lapisan permukaan

fc : laju infiltrasi konstan

GI : indeks pertumbuhan tanaman/persen kematangan

Persamaan ini mengasumsikan bahwa kandungan air tanah, porositas dan

kedalaman akar adalah faktor-faktor dominan yang mempengaruhi infiltrasi dan

perhitungan besarnya kapasitas infiltrasi berdasarkan simpanan aktual

kandungan air tanah pada waktu tertentu (Fleming, 1975).

Penyusunan Model Model Ketersediaan Air

Bejana berhubungan yang mencakup tanah permukaan dan yang di

dalamnya digambarkan sebagai suatu persegi panjang ke dalam tanah dan di

bagi menjadi beberapa lapisan yang mewakili lapisan-lapisan (horizon) tanah.

Suatu bejana dapat merupakan suatu tata guna lahan, seperti dijelaskan dalam

(32)

f

p1

p2

p3

ET

S3

S4 S2 S1

IO1

IO3

IO4 IO2 TGL1

TGLn TGL2

SRO

TOTAL LIMPASAN TGL3

P

Keterangan:

P : Presipitasi/Curah hujan ET : Evapotranspirasi F : Infiltrasi p : Perkolasi S : Simpanan (storage)

SRO : Surface Run off

TGL : Tata Guna Lahan

IO : Interflow

Gambar 4. Susunan model tangki dalam suatu DAS

(33)

Gambar 5. Skema pembagian wilayah tangki dan hujan wilayah dalam DAS

Susunan Model Tangki

Setiap satu unit tangki tersebut terdiri dari 4 buah tangki yang disusun

secara vertikal (seri). Tangki paling atas mempresentasikan neraca air pada

daerah perakaran. Aliran limpasan adalah penjumlahan limpahan dari 3 tangki

teratas. Tangki paling bawah mempresentasikan aliran dasar (base flow).

Skema tangki untuk masing-masing TGL pada setiap Sub DAS disajikan pada

(34)

Gambar 6. Skema tangki untuk setiap TGL

Persamaan dasar untuk tangki paling atas dari Gambar 6 adalah : ∂x1(t)/∂t = a1 {x1(t)-ha1} + b {x1(t) – h5} + z1.x1(t)- CH + ETc(t) ...(7)

dan untuk tangki lainnya (i = 2-4, z4 = 0) persamaannya adalah :

∂xi(t)/∂t = ai.{xi(t) – hai} + zi.xi(t) – zi-1.xi-1(t)...(8)

Debit limpasan dari sungai (Q) dihitung dengan menggunakan persamaan Q=

(35)

Penyusunan Program Komputer

Program model ketersediaan air merupakan modifikasi model tangki disusun dengan menggunakan bahasa FORTRAN dan terdiri dari persamaan-persamaan matematik yang menggambarkan proses komponen limpasan hujan yang jatuh di atas tanah di suatu DAS. Prosedur pendugaan debit sungai dilakukan dengan bantuan program komputer. Persamaan-persamaan sesuai Gambar 6 yang merupakan penggambaran proses limpasan diubah ke dalam bahasa program komputer sehingga menjadi suatu model untuk menentukan total limpasan yang terjadi untuk suatu waktu tertentu. Data masukan adalah curah hujan dan evapotranpirasi aktual harian. Program dijalankan (runing) setelah memasukkan parameter yang dilakukan secara coba-ulang. Hasil keluaran model adalah nilai harian aliran permukaan (surface runoff), aliran bawah permukaan (sub surface runoff) dan aliran dasar (baseflow). Komulatif dari hasil tersebut adalah jumlah limpasan atau debit sungai dugaan yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

Kalibrasi dan Validasi Model

Kalibrasi model ketersediaan air dilakukan dengan mengunakan data

debit aktual yang diukur dibandingkan dengan debit model di muara Sungai

Cidanau selama periode satu tahun. Tolok ukur uji keabsahan model

didasarkan pada :

a. Penampilan hubungan antara debit model dan debit aktual secara grafik

sehingga dapat ditentukan nilai mutlak (maksimum – minimum) data yang

diperoleh.

b.

Nilai koefisien determinasi
(36)

kemudian dilakukaan validasi. Validasi model ketersediaan air dilakukan terhadap data hujan dan evapotranspirasi harian tahun yang lain.

Model Kebutuhan Air

Hubungan antara persamaan matematis kebutuhan air rata-rata aktual dengan model kebutuhan air rata-rata dibangun berdasarkan persamaan (3) untuk model kebutuhan air penduduk dan persamaan (4) untuk model kebutuhan air industri. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi jumlah pemakaian air dari sungai Cidanau yaitu jumlah penduduk dan industri di wilayah Cilegon dan

sekitarnya. Untuk model matematis kebutuhan air rata-rata penduduk terdiri dari beberapa parameter yaitu persentase klas sosial penduduk, jumlah penduduk, kebutuhan air rata-rata penduduk dan konstanta dari masing-masing klas sosial. Model matematis kebutuhan air rata-rata industri terdiri dari beberapa parameter yaitu persentase jenis industri, jumlah industri, kebutuhan air rata-rata industri dan

konstanta dari masing-masing jenis industri.

Input untuk model kebutuhan air rata-rata penduduk yaitu persentase klas sosial penduduk, jumlah penduduk dan kebutuhan air rata-rata penduduk. Begitu pula input untuk model kebutuhan air rata-rata industri yaitu persentase jenis industri, jumlah industri, kebutuhan air rata-rata industri.

(37)

Gambar 7. Kerangka kerja (framework) skema model kebutuhan air

Kalibrasi dan Validasi Model

Kalibrasi model kebutuhan air dilakukan dengan menggunakan data pemakaian air wilayah Cilegon yang berasal dari PT. Krakatau Tirta Industri untuk masing-masing penduduk dan industri selama periode tiga tahun. Kalibrasi model dilakukan untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien kebutuhan air penduduk (CP) dan koefisien kebutuhan air industri (CI). Koefisien dicari dengan metode least square dengan bantuan software EUREKA The Solver Ver 1.0.

Validasi model dengan melakukan pendugaan kebutuhan air untuk penduduk dan industri menggunakan model untuk data tahun tertentu. Validasi model dilakukan menggunakan nilai koefisien hasil kalibrasi. Hasil validasi model merupakan hasil prediksi jumlah kebutuhan air yang dibutuhkan.

Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang

(38)

evapotranspirasi harian. Prediksi kejadian hujan untuk waktu yang akan datang adalah sulit ditentukan secara pasti dan tepat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menngunakan peluang kejadian hujan yang akan menghasilkan debit andalan 80%. Data hujan dengan peluang curah hujan andalan 80% dihitung dari dari data hujan tahunan di DAS Cidanau selama 10 tahun (1993-2002) dengan bantuan software Rainbow, kemudian menghasilkan jumlah hujan tahunan. Data hujan harian dengan jumlah hujan tahunan yang mendekati jumlah data hujan tahunan hasil dari Rainbow digunakan sebagai masukan dalam model ketersediaan air. Hasil debit model ketersediaan air kemudian digunakan sebagai masukan dalam program STELLA untuk megevaluasi ketersediaan dan kebutuhan air wilayah.

Supply-Demand Air Wilayah

Perkembangan komunitas tidak saja berkaitan dengan pertumbuhan penduduk tetapi juga harus diikuti dengan penyediaan lapangan kerja. Penyediaan lapangan kerja tersebut sangat bergantung dengan ketersediaan air baku. Air baku sangat dibutuhkan untuk mengoperasikan sektor lapangan kerja maupun memenuhi kebutuhan air domestik pada wilayah tersebut. Keberhasilan perkembangan komunitas disuatu wilayah terjadi apabila air untuk domestik dan penyediaan lapangan kerja tersedia, sehingga prediksi kebutuhan air baku menjadi sesuatu yang penting dalam perencanaan perkembangan wilayah.

(39)

Gambar 8. Kerangka kerja (framework) perhitungan Supply-Demand air.

Prediksi ketersediaan air untuk suatu kawasan digunakan skenario perubahan tata guna lahan. Harmailis (2001) melakukan beberapa skenario perubahan tata guna lahan untuk mengetahui mengetahui fluktuasi debit outlet Sungai Cidanau. Untuk DAS Cidanau akan dilakukan 4 skenario (Tabel 2.) sebagai dasar untuk mensimulasikan ketersediaan air yang berasal dari DAS Cidanau.

Tabel 2. Skenario model ketersediaan air

(40)

Skenario Uraian Perubahan Debit Minimum

Debit Runoff (mm)

1

(kondisi eksisting)

Runoff hasil debit andalan 80% (data hujan 10 tahun) dengan menggunakan software Rainbow

1 020

(Efesiensi Runoff 0.6)

2

(Harmailis, 2001)

Merupakan alternatif 5 dari skenario perubahan tata guna lahan dalam DAS Cidanau dengan ketentuan: 25% luasan yang semula hutan menjadi kebun, 50% luasan yang semula kebun menjadi hutan dan 50% luasan yang semula kebun menjadi sawah

0.4 m 3/det 1 122

(Efesiensi Runoff 0.6)

3

(Harmailis, 2001)

Merupakan alternatif 1 dari skenario perubahan tata guna lahan dalam DAS Cidanau dengan ketentuan: 50% luasan yang semula hutan menjadi kebun, 50% luasan yang semula kebun menjadi hutan dan 50% luasan yang semula kebun menjadi sawah

0.5 m 3/det 1 138

(Efesiensi Runoff 0.6)

4

Merupakan penerapan skenario 3 dengan penambahan perbaikan saluran dengan pipanisasi

1 138

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi DAS Cidanau

Daerah penelitian adalah wilayah DAS Cidanau di Propinsi Banten. Secara administratif DAS ini mencakup 2 wilayah kabupaten yaitu kabupaten Serang dan kabupaten Pandeglang. Secara geografis DAS Cidanau berada pada 105o 49’ 17” BT sampai 106o 06’ 03” BT dan 06o 08’ 25” LS sampai 06o 15’ 47” LS. Peta Lokasi disajikan pada Lampiran 1.

Luas wilayah DAS Cidanau seluruhnya 22 620 ha yang terbagi menjadi 6 Sub DAS yaitu, Cikalumpang, Cisaat, Cisawarna, Cicangkedan, Cikondang dan Cibojong. Sub DAS Cisaat dan Sub DAS Cisawarna merupakan wilayah hulu DAS Cidanau. Pada wilayah gabungan dua Sub DAS ini terdapat Rawa Danau. Rawa Danau merupakan bagian paling hulu dari Sungai Cidanau. Sub DAS Cikalumpang dan Sub DAS Cibojong merupakan wilayah tengah bagian DAS Cidanau. Sub DAS Cikondang dan Sub DAS Cicangkedan merupakan wilayah DAS Cidanau bagian hilir dan berbatasan langsung dengan Selat Sunda, tempat bermuaranya Sungai Cidanau. Sungai Cidanau sebagai sungai utama terletak di wilayah DAS bagian tengah dan hilir.

Tabel 3. Luas Sub DAS

Sub DAS Luas (ha) % Wilayah Administrasi

1 Cisawarna 3820 16.89 Kecamatan : Ciomas, Pabuaran, Padarincang

2 Cisaat 6100 26.97 Kecamatan : Ciomas, Pabuaran, Padarincang

3 Cikalumpang 7200 31.83 Kecamatan : Padarincang, Pabuaran, Mandalawangi

4 Cibojong 3000 13.26 Kecamatan : Cinangka, Padarincang, Mandalawangi

5 Cicangkedan 1300 5.75 Kecamatan Cinangka

6 Cikondang 1200 5.31 Kecamatan Cinangka

(42)

Iklim

Keadaan iklim kabupaten Serang dipengaruhi oleh dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Iklim tropis dengan temperatur rata-rata 26.5 oC, temperatur maksimum 31.7 oC dan temperatur minimum 22.5 oC dengan ketinggian 25 – 600 m di atas permukaan laut. Angin barat dan tenggara yang bertiup setiap 6 bulan sekali, baik pada musim hujan atau musim kemarau, curah hujan 2000 – 3000 mm/tahun. Curah Hujan yang cukup tinggi pada bulan-bulan Desember, Januari, Pebruari dan Maret.

Topografi

Kabupaten Serang merupakan wilayah dengan ketinggian antara 25 sampai dengan lebih dari 1300 m diatas permukaan laut. Berdasarkan ketinggian, Kabupaten Serang dapat dibagi menjadi dua yaitu: daerah dengan ketinggian 25 m sampai dengan 600 m dan daerah dengan ketinggian lebih dari 600 m sampai dengan 1300 m. Daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari 600 m terdapat diperbukitan Gunung Karang. Sedangkan yang lainnya kurang dari 600 m dari permukaan laut. Kemiringan lahan bervariasi mulai dari yang datar hingga bergelombang. Wilayah yang terbesar yaitu 39.36 % yang merupakan wilayah datar. Wilayah ini tersebar pada seluruh Sub DAS dengan wilayah terluas di Sub DAS Cikalumpang.

Tabel 4. Kelas kemiringan lahan DAS Cidanau

Lereng (%) Sub DAS

0-8 8-15 15-25 25-45 >45 Jumlah (ha)

Cisawarna Cisaat Cikalumpang Cibojong Cicangkedan Cikondang

1929 589 675 672 714 2330 1229 445 484 412 3107 172 2245 1239 1068 924 176 702 733 425 463 743 104 - - 151 520 169 182 18

(43)

Jenis Tanah dan Tata guna Lahan

Jenis tanah yang terdapat di DAS Cidanau adalah Latosol, Regosol, Alluvial dan Andosol. Tanah-tanah tersebut berasal dari batuan induk undefferentiated vulcanic product seluas 20482 ha (90.55%) dan bahan induk lainnya Miocene Sedimentary

1307 ha (5.78 %) dan Alluvium seluas 831 ha (3.67 %). Penyebaran jenis tanah dijelaskan pada Tabel 5.

Tabel 5. Penyebaran jenis tanah DAS Cidanau Luas Penyebaran (ha) Sub DAS

Latosol Alluvial Regosol Andosol Jumlah (ha) Cisawarna Cisaat Cikalumpang Cibojong Cicangkedan Cikondang

2852 1657 - 70 2330 1657 194 443 4236 3595 - - 2404 556 - - 583 85 542 - 762 102 176 -

4579 4900 7831 2960 1310 1040 Jumlah 13107 8088 912 513 22620 Persentase 57.94 35.76 4.03 2.27 100

Tata guna lahan yang ada di DAS Cidanau meliputi sebagian besar perkebunan dan persawahan. Selain itu penggunaan lahan juga untuk tegalan, pemukiman, hutan rakyat dan hutan rawa, dijelaskan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah dan jenis penggunaan lahan di DAS Cidanau

Luas

No. Tata Guna Lahan

(Ha) (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. Sawah Tegalan Perkebunan Pemukiman Hutan Rakyat Hutan Rawa 7748 122 8304 344 4193 1909 34.25 0.54 36.71 1.52 18.54 8.44

Jumlah 22620 100.00

Curah Hujan Wilayah

(44)

Tabel 7. Stasiun curah hujan dan persentase bobot

No Stasiun Luas(ha) Bobot

1 Cinangka 4000 0.177

2 Padarincang 13420 0.593

3 Ciomas 3600 0.159

4 Pandeglang 1600 0.071

Jumlah 22620 1.000

Infiltrasi

Pengukuran dan analisa infiltrasi menggunakan persamaan (7) didapat nilai kapasitas infiltrasi yang merupakan nilai rata-rata selama 24 jam (1 hari) untuk lokasi 1 (sawah) yaitu sebesar 3.01 mm/jam, untuk lokasi 2 (kebun campuran) sebesar 2.06 mm/jam dan lokasi 3 (hutan) sebesar 1.65 mm/jam. Hasil infiltrasi di tiga titik pengukuran di wilayah dapat pada Lampiran 11.

Dari hasil infiltrasi, maka nilai rata-rata kapasitas infiltrasi akan digunakan sebagai salah satu koefisien yang digunakan dalam model tangki yaitu koefisien infiltrasi tangki, yang merupakan salah satu parameter di tanki yang paling atas. Parameter ini akan menentukan besarnya koefisien lubang tangki kearah bawah atau nilai z pada daerah tertentu sesuai dengan kapasitas infiltrasi tersebut.

Model Ketersediaan Air

Kalibrasi Model

(45)

Kalibrasi model dilakukan parameter mencakup besarnya nilai perkolasi (z), besarnya nilai lubang sisi samping tangki (a) yang menjadi aliran antara/aliran dasar, besarnya nilai kandungan air tanah (xx) serta besarnya simpanan maksimum dalam tanah (dmax) untuk setiap tingkat tangki.

Penentuan nilai z pada tangki di tingkat pertama di dasarkan pada kapasitas infiltrasi pada daerah tertentu. Nilai kapasitas infiltrasi dikalikan dengan lama hujan maksimum yang diasumsikan terjadi selama 3 jam dan besarnya nilai curah hujan maksimum sebesar 50 mm (Sutoyo, 1999), penentuan nilai z untuk tingkat selanjutnya berdasarkan proporsi besarnya air yang masuk ke dalam tanah yang akan semakin berkurang sesuai dengan kedalaman tanah. Nilai koefisien kalibrasi z dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Koefisien z

Rawa Hutan Kebun Sawah Tingkat 1 0.1803 0.0991 0.1236 0.1803 Tingkat 2 0.0800 0.0350 0.0550 0.0900 Tingkat 3 0.0180 0.0100 0.0100 0.0280 Tingkat 4 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

(46)
(47)

TANGKI Tingkat a xx dmax

1 0.08000 70 250

2 0.01000 25 300

3 0.00700 120 350

Rawa

4 0.00280 550 500

1 0.08000 5 150

2 0.01000 10 350

3 0.00100 120 380

Hutan

4 0.00085 500 500

1 0.07000 5 170

2 0.00500 10 250

3 0.00050 80 270

Kebun

4 0.00035 155 500

1 0.08000 25 200

2 0.01000 25 380

3 0.00080 120 350

Sawah

4 0.00055 255 500

Validasi Model

(48)
(49)
(50)

Hasil validasi terhadap data tahun 1997 dapat di lihat bahwa debit hasil simulasi menunjukkan nilai yang responsif seiring dengan peningkatan atau penurunan curah hujan yang terjadi. Validasi juga dilakukan untuk data tahun 2001 dengan grafik hasil validasi data tahun 2001 disajikan pada Gambar 11 dan hubungan antara data debit aktual dan model digambar kan pada Gambar 12.

Gambar 12. Grafik antara debit model dan debit aktual validasi data tahun 2001

Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang

Untuk menduga debit tahun yang akan datang berdasarkan analisa curah hujan tahunan selama 10 tahun. Hasil prediksi dengan peluang kejadian hujan 80%

0 5 10 15 20 25

0 5 10 15 20 25

Debit Aktual (mm/hari)

D

e

b

it

M

o

d

e

l (

m

m

/h

a

ri

)

R2=0.86

(51)

didapat angka hujan tahunan sebesar 2 517 mm/tahun. Tahun dengan hujan yang mendekati peluang tersebut adalah data hujan tahun 1998, sehingga prediksi debit ketersediaan air untuk tahun yang akan datang menggunakan data tersebut. Data harian tahun 1998 yang berupa data curah hujan dan data evapotranspirasi digunakan sebagai masukan model ketersediaan air sehingga didapat hasil volume tahunan debit sebesar 1 020 mm dengan debit maksimum sebesar 22.01 m3/det, debit minimum sebesar 3.44 m3/det dan debit rata-rata sebesar 6.75 m3/det.

Model Kebutuhan Air

Kalibrasi Model

Kalibrasi dilakukan dengan data aktual tahun 1998-2000 (3 tahun), untuk mencari nilai koefisien koefisien kebutuhan air penduduk (Cp) dan juga koefisien kebutuhan air industri (CI). Data tiga tahun akan menghasilkan tiga persamaan untuk kebutuhan air penduduk dan juga tiga persamaan untuk kebutuhan air industri. Kalibrasi dilakukan dengan metode least square dengan bantuan software EUREKA The Solver Ver 1.0.

Hasil kalibrasi model kebutuhan air untuk kebutuhan air penduduk menghasilkan nilai koefisien Cp untuk klas sosial tinggi bernilai 0.5, untuk koefisien Cp klas sosial menengah bernilai 0.44 dan untuk koefisien Cp klas penduduk rendah bernilai 0.07. Hasil kalibrasi model kebutuhan air untuk kebutuhan air industri menghasilkan nilai koefisien CI untuk industri besar bernilai 13.75, koefisien CI untuk industri menengah bernilai 15.17 dan untuk koefisien CI industri kecil bernilai 14.05.

Tabel 10. Hasil kalibrasi model kebutuhan air penduduk

Tahun Cptinggi Cptengah Cprendah

KA aktual (liter/hari)

KA model

(liter/hari) Eff 1998 0.5 0.44 0.07 7 315 074 7 817 931 0.994 1999 0.5 0.44 0.07 8 127 860 8 686 590

2000 0.5 0.44 0.07 9 483 118 10 934 014

(52)

Tahun CI besar CI menengah CI kecil KA aktual

(liter/hari) KA model (liter/hari) Eff 1998 13.75 15.17 14.05 76 973 683 88 810 462 0.940 1999 13.75 15.17 14.05 97 502 923 99 848 740

2000 13.75 15.17 14.05 91 324 381 93 153 625

Setelah nilai koefisien didapat, selanjutnya dilakukan perubahan pada persamaan model kebutuhan air mencakup kebutuhan air penduduk dan juga kebutuhan air industri. Model kebutuhan air dengan mengasumsikan bahwa nilai kebutuhan air dasar penduduk sebesar 50 liter/hari (White, et al 1972), maka untuk menghitung kebutuhan air penduduk dengan memodifikasi persamaan (3) menjadi:

Ypenduduk tinggi = 0.5 KAPo Pt ………(10)

Dimana: Ypenduduk tinggi = Jumlah kebutuhan air penduduk klas sosial tinggi (liter/hari)

Pt = Jumlah penduduk klas sosial tinggi (jiwa)

KAPo = Kebutuhan air dasar untuk penduduk (l/hari/jiwa)

Ypenduduk menengah = 0.44 KAPo Pm ………(11)

Dimana: Ypenduduk menegah= Jumlah kebutuhan air penduduk klas sosial menengah (liter/hari)

Pm = Jumlah penduduk klas sosial menengah (jiwa)

KAPo = Kebutuhan air dasar untuk penduduk (l/hari/jiwa)

Ypenduduk rendah = 0.07 KAPo Pr ………(12)

Dimana: Ypenduduk rendah = Jumlah kebutuhan air penduduk klas sosial rendah (liter/hari)

Pr = Jumlah penduduk klas sosial rendah(jiwa)

KAPo = Kebutuhan air dasar untuk penduduk (l/hari)

Model kebutuhan air dengan mengasumsikan bahwa nilai kebutuhan air dasar untuk industri sebesar 100 000 liter/hari (Purwanto, 1995), maka untuk menghitung kebutuhan air industri dengan memodifikasi persamaan (4) menjadi:

Yindustri besar = 34.38 KAIo Ib ………(13)

Dimana: Yindustri besar = Jumlah kebutuhan air industri besar (liter/hari)

Ib = Jumlah industri besar

KAIo = Kebutuhan air dasar untuk industri (liter)

Yindustri menengah = 15.17 KAIo Im ………(14)

Dimana: Yindustri menengah= Jumlah kebutuhan air industri menengah (liter/hari)

Im = Jumlah industri menengah

KAIo = Kebutuhan air dasar untuk industri (liter)

Yindustri kecil = 3.51 KAIo Ik ………(15)

Dimana: Yindustri kecil = Jumlah kebutuhan air industri kecil (liter/hari)

Ik = Jumlah industri kecil

(53)

Validasi Model

Validasi dilakukan dengan data tahun 2001 untuk data kebutuhan air penduduk dan juga data kebutuhan air industri. Validasi dilakukan dengan menggunakan persamaan-persamaan hasil kalibrasi nilai-nilai koefisien parameter kebutuhan air. Hasil validasi model kebutuhan air penduduk menghasilkan jumlah kebutuhan air penduduk untuk tahun 2001 berjumlah 12 959 m3/hari dan untuk kebutuhan air industri berjumlah 94 465 m3/hari, dibandingkan dengan data aktual kebutuhan air penduduk berjumlah 10 110 m3/hari dan untuk kebutuhan air industri berjumlah 91 445 m3/hari.

Supply-Demand Air untuk Perkembangan Wilayah

Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk maka bertambah pula pemenuhan kebutuhan hidup. Pemenuhan kebutuhan hidup tidak terlepas dari pemenuhan akan barang dan jasa yang didukung oleh industri yang maju. Air merupakan kebutuhan pokok penting hidup manusia, dengan bertambahnya jumlah penduduk maka akan bertambah pula pemenuhan kebutuhan air. Khusus untuk kota Cilegon yang merupakan kota industri pertumbuhan industri akan membuat bertambahnya jumlah industri sehingga jumlah pemenuhan kebutuhan air juga meningkat.

(54)

Gambar 13. Grafik hasil skenario 1 program STELLA

Hasil simulasi skenario 1 kebutuhan air penduduk dan industri di kota Cilegon dilakukan hingga tahun 2025, dimana terlihat peningkatan jumlah penduduk diikuti juga dengan peningkatan kebutuhan air penduduk. Begitu pula peningkatan jumlah industri juga menyebabkan peningkatan dalam pemenuhan kebutuhan air industri. Ketersediaan air (water stock) yang berasal dari hasil model ketersediaan air diperkirakan akan mengalami penurunan persediaan menjelang tahun 2025, terlihat dengan berpotongannya garis water stock dengan garis TotalWaterDemand yang terjadi sebelum tahun 2018.

(55)

Untuk meningkatkan ketersediaan air yang berkelanjutan berbagai cara harus diupayakan semaksimal mungkin. Menurut Harmailis (2001), dengan melakukan alternatif perubahan yang merupakan kombinasi dari perubahan hutan menjadi kebun 25%, kebun menjadi hutan 50% dan kebun menjadi sawah 50% akan menghasilkan rasio terkecil perbandingan debit maksimum dan minimun sebesar 21.73%. Skenario 2 ini memberikan perubahan debit minimum yang semula 4.3 m3/det menjadi 4.7 m3/det yang setara dengan penambahan debit ketersediaan sebesar 1 122 mm. Hasil penambahan debit ketersediaan ini dapat ditunjukkan dengan Gambar 14.

Gambar 14. Grafik hasil skenario 2 program STELLA.

Gambar 14 terlihat dengan adanya perubahan tata guna lahan sesuai dengan skenario 2 maka terlihat adanya ketersediaan air water stock yang lebih baik dibanding dengan skenario 1 yaitu dengan berpotongannya garis water stock dengan garis TotalWaterDemand yang terjadi setelah tahun 2018.

(56)

Gambar 15. Grafik hasil skenario 3 program STELLA.

Skenario 4 yang merupakan penerapan teknologi perbaikan saluran dengan pipanisasi diharapkan akan meningkatkan efesiensi penyaluran air ditunjukkan dengan Gambar 16, dapat diterangkan bahwa berpotongannya garis water stock

dengan garis TotalWaterDemand yang terjadi jauh setelah tahun 2018.

(57)

Gambar 16. Grafik hasil skenario 4 program STELLA.

(58)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

... Dari seluruh rangkaian penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Model ketersediaan dan kebutuhan air berbasis DAS telah dikembangkan mencakup wilayah Cilegon dan DAS Cidanau Serang,Propinsi Banten.

2. Model ketersediaan air merupakan modifikasi model tangki (model runoff) dengan masukan data berupa data curah hujan dan evapotranspirasi yang dikalibrasi dengan beberapa parameter.

3. Model kebutuhan air di modifiksi berdasarkan kebutuhan air penduduk dan kebutuhan air industri yang dikalibrasi untuk mendapatkan nilai koefisien kebutuhan air.

4. Kalibrasi model ketersediaan air dilakukan terhadap parameter-parameter infiltrasi (z), kandungan air tanah (xx) serta simpanan air tanah maksimum, dan dilakukan dengan cara coba ulang (trial and error) hingga hasil keluaran berupa debit model nilainya mendekati dengan data debit aktual. Hasil kalibrasi model dengan data tahun 1996 kemudian divalidasi dengan menggunakan data tahun 2001 menghasilkan perbandingan antara nilai debit model dengan debit aktual pengukuran dengan nilai koefisien determinasi R2=0.86.

5. Hasil validasi model ketersediaan air untuk untuk data tahun 2001 menghasilkan nilai debit maksimum sebesar 39.39 m3/detik, debit minimum sebesar 3.49 m3/detik dan debit rata-rata sebesar 8.19 m3/detik

6. Prediksi debit untuk tahun yang akan datang menggunakan peluang hujan tahunan dengan peluang 80% menghasilkan nilai hujan tahunan sebesar 2 517 mm, dan digunakan data tahun 1998 dengan hasil debit maksimum sebesar 22.01 m3/det, debit minimum sebesar 3.44 m3/det dan debit rata-rata sebesar 6.75 m3/det.

(59)

8. Hasil validasi model kebutuhan air penduduk menghasilkan jumlah kebutuhan air penduduk untuk tahun 2001 berjumlah 12 959 m3/hari dan untuk kebutuhan air industri berjumlah 94 465 m3/hari, dibandingkan dengan data aktual kebutuhan air penduduk berjumlah 10 110 m3/hari dan untuk kebutuhan air industri berjumlah 91 445 m3/hari.

9. Simulasi pemenuhan kebutuhan air untuk penduduk dan industri di kota Cilegon dilakukan dengan program STELLA menunjukkan akan terjadinya kecenderungan penurunan ketersediaan air menjelang tahun 2025 akibat dari peningkatan jumlah penduduk dan juga industri.

10. Upaya pemenuhan kebutuhan air yang makin menurun di kota Cilegon dilakukan 4 skenario meliputi, skenario 1 dengan menggunakan hasil debit ketersediaan dengan peluang debit andalan 80% menghasilkan pemenuhan kebutuhan air hingga menjelang tahun 2018; skenario 2 dengan perubahan tata guna lahan 25% hutan menjadi kebun, 50% kebun menjadi hutan dan 50% kebun menjadi sawah menghasilkan pemenuhan kebutuhan air hingga lewat tahun 2018; skenario 3 menghasilkan pemenuhan kebutuhan air tidak jauh berbeda dengan skenario 2; dan skenario 4 menghasilkan pemenuhan kebutuhan air hingga mendekati tahun 2025.

11. Untuk menjamin ketersediaan air yang berkelanjutan perlu pengelolaan daerah kawasan hulu dengan pembagunan tampungan air (reservoir) dan juga pembangunan terasering, sehingga ketersediaan air akan terus mencukupi seiring dengan perkembangan pemenuhan kebutuhan yang makin meningkat.

Saran

Agar dapat diperoleh model ketersediaan dan kebutuhan air yang lebih lengkap dan sempurna maka saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan model ketersediaan air perlu dilakukan usaha kalibrasi yang lebih baik sehingga pengkalibrasian menjadi lebih mudah, cepat dan tepat mencapai hasil yang baik.

(60)

3. Penyusunan model kebutuhan air kawasan perlu memperhatikan faktor-faktor lain selain jumlah penduduk dan industri, seperti misalnya faktor kebutuhan air untuk komersial dan kebutuhan air untuk publik atau sarana umum.

(61)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 1982. Pengawetan Tanah dan Air. IPB Press Bogor.

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjahmada University Press. Yogyakarta.

Biro Pusat Statistik Serang. 2002. Serang Dalam Angka Tahun 2002. Serang Biro Pusat Statistik Cilegon. 2002. Cilegon Dalam Angka Tahun 2002. Cilegon

Darmadi. 1986. Model Hidrograf Aliran Sungai berdasarkan Modifikasi Model Tangki. Desertasi. Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian. Fakultas Pasca Sarjana. IPB.

Doorenbos, J. and W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for Predicting Crop Water Requirment. Food and Agricultural Organization. Rome.

Dumairy. 1992. Ekonomika Sumberdaya Air Pengantar ke Hidronomika. BPFE. Yogyakarta

Fleming, G. 1975. Computer Simulation Techniques in Hydrology. ELSEVIER Environmental Science Service. New York

Goto, A., T. Sato and M. Tatano. 1997. Runoff Analysis of Midstream Basin of the Mekong River Using 4x4 Tank Model. Proceedings of Annual Meeting of Japanese Society of Irrigation, Drainage and Reclamation Engineering. Juli 1997. Japan.

Gupta, R., 1989. Hydrologi and Hydraulic System. Prentice Hall Inc. New York.

Harmailis. 2001. Modifikasi Model Tangki untuk Mempelajari Pengaruh Pengelolaan Lahan Berdasarkan Ketersediaan Air (Kajian Pengelolaan Air yang Berkelanjutan). Tesis. Program Studi Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Harto, S. 1993. Analisis Hidrologi. PT. Gramedia Pustaka Tama, Jakarta.

Linsley, R.K., M.A Kohler and J.J.H Paulus. 1982. Hydrology for Engineers. McGraw Hill Inc. New York.

Manan, S. 1979. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Martin, L. A. 1997. First Step, MIT System Dynamics in Education Project. Massachusetts Institute of Technology. Mass

Gambar

Gambar 1. Kurva hubungan antara infiltrasi dan limpasan (Schwab et al, 1966).
Gambar 2. Struktur Model Tangki
Gambar  3.  Diagram  aliran  limpasan  dengan  model  tangki.  (  Sugawara,  1961  dalam  Hiroki, et al, 1996)
Gambar 4. Susunan model tangki dalam suatu DAS
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kekeringan lahan pertanian yang melanda sebagian wilayah Sub DAS Blongkeng tahun 2013 mempengaruhi imbangan air di dalamnya. Potensi ketersediaan air non domestik

Model perubahan parameter kualitas air dapat digunakan untuk memprakirakan nilai kualitas air setiap segmen dari hulu sampai hilir dengan adanya baku mutu air di Daerah Aliran

Kemudian dapat diambil kesimpulan bahwa debit andalan dari Sungai Tapung Kiri yang digunakan sebagai sumber air baku dalam sistem penyediaan air bersih mencukupi,

Pada penelitian ini analisis hidrologi digunakan untuk menghitung ketersediaan air dengan metode F.J Mock dan debit yang dibutuhkan untuk kebutuhan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya dukung air dengan menggunakan Model Mock dan Model integrasi NRCS dan Baseflow, menentukan kestabilan produksi air, prediksi

Jumlah kebutuhan air domestik DAS Roraya dihitung berdasarkan jumlah penduduk wilayah Kabupaten Konawe Selatan, Kolaka Timur dan Kabupaten Bombana yang secara administrasi

Data ketersediaan air diperlukan untuk mengetahui kemampuan dan potensi dari sumber air dalam menyediakan sejumlah air dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan

Kekeringan lahan pertanian yang melanda sebagian wilayah Sub DAS Blongkeng tahun 2013 mempengaruhi imbangan air di dalamnya. Potensi ketersediaan air non domestik