• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Curah Hujan

(m3/det) (m3/det) (m3/det) (m3/det) (m3/det)

Qbabura 160 190 200 230 260

Sumber JICA 1992

Jadi bila dibandingkan dengan kapasitas penampang Sungai Babura yakni 69

m3/det, maka potensi banjir Sungai Babura yang mengancam permukiman penduduk

untuk periode ulang 10 tahun ialah sebesar 91 m3/det.

2.3 Curah Hujan

2.3.1 Faktor Curah Hujan

Faktor curah hujan yang tinggi merupakan salah satu faktor utama penyebab banjir. Wilayah Indonesia yang merupakan benua maritim di daerah tropis mempunyai

curah hujan yang sangat tinggi. Dengan didominasi oleh adanya awan-awan konvektif

dan orografik yang sangat tinggi. Dengan didominasi oleh adanya

awan-awan konvektif dan orografik maka intensitas curah hujan yang terjadi sangat

besar. Curah hujan yang tinggi, lereng yang curam di daerah hulu disertai dengan

perubahan ekosistem dari tanaman tahunan atau tanaman keras berakar dalam ke

tanaman semusim berakar dangkal mengakibatkan berkurangnya air yang disimpan

dalam tanah, memperbesar aliran permukaan serta menyebabkan terjadinya tanah

diserap tanah akan dilepas sebagai aliran permukaan yang akhirnya menimbulkan

banjir.

2.3.2 Analisa Curah Hujan Kawasan

a. Metode Aritmatik (Aljabar)

Metode ini merupakan perhitungan curah hujan wilayah dengan rata-rata

aljabar curah hujan di dalam dan sekitar wilayah yang bersangkutan.

(2.1)

di mana: R = Curah hujan rata-rata wilayah atau daerah.

Ri = Curah hujan di stasiun pengamatan ke-i.

n = Jumlah stasiun pengamatan.

Hasil perhitungan yang diperoleh dengan cara aritmatik ini hampir sama

dengan cara lain apabila jumlah stasiun pengamatan cukup banyak dan

tersebar merata di seluruh wilayah seperti ditunjukkan pada Gambar 2.9.

Keuntungan perhitungan dengan cara ini adalah lebih objektif.

b. Metode Thiessen

Jika titik-titik di daerah pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar

merata, maka cara perhitungan curah hujan dilakukan dengan

memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan ditampilkan pada

Gambar 2.10.

(2.2)

di mana: R = Curah hujan daerah.

Rn = Curah hujan di setiap stasiun pengamatan.

An = Luas daerah yang mewakili tiap stasiun pengamatan.

Gambar 2.10 Polygon Thiessen

c. Metode Isohyet

Peta isohyet digambar pada peta topografi dengan perbedaan 10 mm – 20 mm berdasarkan data curah hujan pada stasiun pengamatan di dalam dan di luar

daerah yang dimaksud. Luas bagian antara dua garis isohyet yang berdekatan

diukur dengan Planimeter ditampilkan pada Gambar 2.11. Curah hujan

(2.3)

Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi

memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan

untuk membuat isohyet.

Gambar 2.11 Metode Isohyet

2.3.3 Analisa Frekuensi

Analisis frekuensi adalah prosedur memperkirakan frekuensi suatu kejadian

pada masa lalu atau masa yang akan datang. Prosedur tersebut dapat digunakan

menentukan hujan rancangan dalam berbagai kala ulang berdasarkan distribusi yang

paling sesuai antara distribusi hujan secara teoritik dengan distribusi hujan secara

empirik. Hujan rancangan ini digunakan untuk menentukan intensitas hujan yang

diperlukan dalam perhitungan debit banjir menggunakan metode rasional. Dalam

penelitian ini dihitung hujan harian rancangan dengan kala ulang 2, 3, 5, 10, 25, 50, dan

100 tahun Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi metode

yang dipakai dalam analisis frekuensi data curah hujan harian maksimum adalah

sebagai berikut:

2. Distribusi Log Pearson Tipe III.

3. Distribusi Normal.

4. Distribusi Log Normal.

1. Distribusi Gumbel

Menurut Gumbel curah hujan untuk periode ulang tertentu (PUH) tertentu

(Tr) dihitung berdasarkan persamaan berikut:

X Tr = + S

(2.4)

Y Tr = -Ln 1 (2.5)

Sn = ( �– ) 2 =1 −1 1 2 (2.6)

dimana: YTr = Reduced variate.

S = Standar deviasi data hujan.

Sn = Standar deviation tergantung pada jumlah sampel/data.

Tr = Fungsi waktu balik (tahun).

Yn = Reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data n.

2. Distribusi Log Pearson Tipe II

Metode ini telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang

dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tiga

parameter penting dalam Metode Log Pearson Tipe III, yaitu:

1. Harga rata-rata (R). 2. Simpangan baku (S).

= Log R (2.7) Log = =1 � � (2.8) S = (� � �−� � ) 2 �=1 −1 1 2 (2.9) G = �=1 (� � �−� � ) 3 −1 ( −2) ( ) 3 (2.10) Log T = Log + KS (2.11)

di mana: R = Curah hujan rencana (mm).

G = Koefisien kemencengan.

S = Simpangan baku.

K = Variabel standar untuk R yang besarnya tergantung dari nilai

G. 3. Distribusi Normal

Distribusi normal disebut juga distribusi Gauss. Dalam pemakaian praktis umumnya digunakan persamaan sebagai berikut:

T = + KT S (2.12) KT =

(2.13) di mana: T = Perkiraan nilai yang diharapkan akan terjadi dengan

periode ulang T– tahunan. = Nilai rata-rata hitung sampel.

KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau yang digunakan periode ulang dan tipe model matematik

4. Metode Distribusi Log Normal

Logn xTxk n (2.14) di mana: �T = Intensitas curah hujan dengan periode ulang T tahun.

x = Harga rata rata dari populasi x.

K = Faktor frekuensi.

n = Standar deviasi dari populasi x.

2.3.4 Uji kecocokan (Goodness of fittest test)

Penguji parameter untuk menguji kecocokan (the goodness of fittest test) distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan

dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Penelitian ini

menggunakan Metode Smirnov-Kolmogorof (secara analitis). Pengujian probabilitas Metode Smirnov-Kolmograf dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut:

1. Urutkan data (Xi) dari besar ke kecil atau sebaliknya.

2. Tentukan peluang empiris masing-masing data yang sudah diurut tersebut

(Xi) dengan rumus tertentu, misalnya rumus weibull. ( �) = +1

(2.15)

dimana: n = Jumlah data

i = Nomor urut data diurut dari besar ke kecil atau sebaliknya. 3. Tentukan peluang teoritis masing-masing data yang sudah di urut tersebut

P’(Xi) berdasarkan persamaan distribusi probablitas yang dipilih (Gumbel, Normal, dan sebagainya).

∆ � = ( �) − ’( �) (2.16) 5. Tentukan apakah ∆Pi<∆P kritis, jika “tidak” artinya Distribusi Probabilitas

yang dipilih tidak dapat diterima, demikian sebaliknya.

6. ∆P kritis dijelaskan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Tabel Nilai ∆� Kritis Smirnov-Kolmogrov (Kamiana, 2011)

N (derajat kepercayaan) 0,20 0,10 0,05 0,01 5 0,45 0,51 0,56 0,67 10 0,32 0,37 0,41 0,49 15 0,27 0,30 0,34 0,40 20 0,23 0,26 0,29 0,36 25 0,21 0,24 0,27 0,32 30 0,19 0,22 0,24 0,29 35 0,18 0,20 0,23 0,27 40 0,17 0,19 0,21 0,25 45 0,16 0,18 0,20 0,24 50 0,15 0,17 0,19 0,23 N > 50

2.3.5 Intensitas Curah Hujan

Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu

kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi, Lubis (1992). Dalam penelitian ini

intensitas hujan diturunkan dari data curah hujan harian. Menurut Lubis (1992)

intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) empirik

menggunakan metode mononobe sebagai berikut:

�= 24 24 24 t 2 3 (2.17)

di mana: I = Intensitas curah hujan (mm/jam).

t = Lamanya curah hujan (jam).

2.3.6 Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ketempat keluar DAS (Titik Kontrol)

setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi. Salah satu rumus untuk

memperkirakan waktu konsentrasi (tc) adalah rumus yang dikembangkan oleh Kirpich (1940), yang dapat ditulis sebagai berikut:

Tc = 0.00025 (L/√S)0.8 (2.18) di mana: L = Panjang saluran utama dari hulu sampai penguras dalam km.

S = Kemiringan rata-rata saluran utama dalam m/m.

Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakan menjadi dua

komponen, yaitu:

1. Inlet time (t0) yakni waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan sampai saluran terdekat.

2. Conduit time (td)yakni waktu perjalanan dari pertama masuk sampai titik

keluaran.

tc = t0 + td (2.19) di mana: t0 = 23 x 3,28 x Ls x n (menit).

td = Ls 60 V (menit).

n = Angka kekasaran Manning.

Ls = Panjang lintasan aliran di dalam saluran/sungai (m).

2.3.7 Koefisien Limpasan

Nilai koefisien limpasan ataupun koefisien pengaliran sangat berpengaruh

terhadap debit banjir. Limpasan air hujan yang langsung mengalir di atas permukaan

saluran drainase dan yang nantinya menuju ke saluran primer atau sungai, tergantung

dari tata guna lahan di sekitar saluran tersebut. Nilai koefisien ini juga dapat digunakan

untuk menentukan kondisi fisik dari suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang artinya

memiliki kondisi fisik yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kodoatie dan

Syarief (2005) yang menyatakan bahwa angka koefisien aliran permukaan itu

merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C

berkisar antara 0 – 1, nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terinterepsi dan terinfiltrasi ke dalam tanah dan sebaliknya untuk C = 1 menunjukkan bahwa semua air

hujan mengalir sebagai aliran permukaan (run off). Perubahan tata guna lahan yang terjadi secara langsung mempengaruhi debit puncak yang terjadi pada suatu DAS.

Tabel 2.5 Nilai Koefisien Limpasan

\

Sumber: SNI 03-2415—1991

Jenis Daerah Koefisien Limpasan

Daerah Perdagangan

Kota 0.70-0.95

Sekitar Kota 0.50-0.70

Daerah Pemukiman

Satu Rumah 0.30-0.50

Banyak Rumah, terpisah 0.40-0.50

Banyak Rumah, rapat 0.60-0.75

Pemukiman, pinggiran kota 0.25-0.40

Apartemen 0.50-0.70

Daerah Industry

Ringan 0.50-0.80

Padat 0.60-0.90

Lapangan, kuburan dan sejenisnya 0.10-0.25 Halaman, jalan kereta api dan sejenisnya 0.20-0.35

2.4 Debit Banjir

Dokumen terkait