• Tidak ada hasil yang ditemukan

41D. Kerangka Regulasi

Dalam dokumen Renstra SOLUSI Dewan UKM Tahun 2015 2019 (Halaman 49-52)

Kerangka regulasi yang dibutuhkan untuk mendukung peningkatan daya saing UMKM dan koperasi di antaranya:

1. Penetapan UU Perkoperasian yang menggantikan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, serta penyusunan aturan pelaksanaannya;

2.Penetapan peraturan/landasan hukum bagi pembentukan Lembaga Pembiayaan Pertanian, UMKM dan koperasi, dan skema penjaminan bagi UMKM dan koperasi.

3.Penetapan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur koordinasi dan sinergi antar instansi terkait di tingkat nasional dan daerah yang diwadahi dalam Program Nasional Peningkatan Daya Saing UMKM dan koperasi, dan didukung sistem pendaftaran online, dan sistem pemantauan dan evaluasi dan basis data terpadu; dan

4. Evaluasi cakupan dan dampak pengaturan dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM dan aturan pelaksanaannya yang berkaitan dengan kebutuhan untuk (i) Mengintegra- sikan pendekatan sektor dan wilayah dalam pengembangan UMKM; (ii) mengembang-kan dukungan kebijamengembang-kan yang sesuai dengan skala usaha dan kebutuhan UMKM dari mulai didirikan (wirausaha baru) sampai tumbuh menjadi lebih besar ("naik kelas"); dan (iii) mengembangkan skema restrukturisasi UMKMK dalam mengantisipasi dan mengatasi dampak bencana dan krisis usaha/ekonomi untuk melengkapi pengaturan yang sudah ada.

E. Kerangka Kelembagaan

Sementara itu, kerangka kelembagaan yang dibutuhkan dalam rangka mendukung peningkatan daya saing UMKM dan koperasi di antaranya:

1. Pengembangan sistem pendaftaran usaha UMKM yang mendukung pelaksanaan ijin usaha mikro dan kecil yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Kecamatan, Kelurahan dan Desa;

2. Pengembangan Lembaga Pembiayaan Pertanian, UMKM dan Koperasi;

3. Penguatan kelembagaan Pusat Diklat UMKM dan koperasi di tingkat nasional dan penguatan fungsinya sebagai pusat pembinaan penyuluhan perkoperasian;

4. Pengembangan Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) KUMKM di tingkat pusat dan daerah (provinsi, kabupaten dan kota);

5. Pengintegrasian Sistem Informasi Debitur (SID) untuk perbankan, KSP, LKM, dan lembaga keuangan lainnya;

6. Penataan administrasi badan hukum koperasi yang terintegrasi di tingkat pusat dan daerah;

7. Pembentukan Lembaga Pengawas Koperasi Simpan Pinjam (KSP);

8. Penyusunan kelembagaan penjaminan simpanan koperasi;

9. Peningkatan fungsi Lembaga Layanan Pemasaran (LLP) KUMKM sebagai trading house bagi produk UMKMK secara nasional;

10.Penguatan Pusat Inovasi UMKM, yang didukung sinergitas lembaga penelitian pemerintah dan swasta untuk mendorong inovasi dan pengembangan teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan oleh UMKM dan koperasi; dan

11.Penguatan sinergi dan kerja sama antar lembaga/pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah dalam rangka Peningkatan Daya Saing UMKM dan koperasi.

42 III. 8. PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN

8.1. Sasaran Sasaran sektor keuangan dalam lima tahun mendatang adalah: i) meningkatkan ketahanan/daya saing sektor keuangan melalui sistem keuangan yang sehat, mantap dan efisien, ii) percepatan fungsi intermediasi/penyaluran dana masyarakat untuk mendukung pembangunan, terutama pemenuhan kebutuhan pendanaan pembangunan dari masyarakat/swasta (financial deepening). Bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, diupayakan pula sasaran peningkatan akses kepada lembaga jasa keuangan dalam rangka mengembangkan jasa keuangan dan mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.

8.2. Arah Kebijakan dan Strategi Strategi dan arah kebijakan utama sektor keuangan ke depan, dapat dikelompokkan dalam tiga koridor, yaitu:

Pertama, pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, yang diimplementasikan dengan memperkuat kebijakanmoneter/pengendalian inflasi yang berhati-hati (makroprudensial). Kebijakan ini, bersama-sama dengan kebijakan suku bunga dan nilai tukar merupakan paket kebijakan bauran, yang terkait dengan prinsip kehati-hatian perbankan (kebijakan mikroprudensial). Protokol manajemen krisis BI telah berintegrasi di bawah Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK). Namun, forum ini perlu dipayungi oleh Undang-undang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), agar dapat menanggulangi krisis keuangan dengan lebih baik lagi.

Kebijakan makroprudensial akan memperkuat fungsi dan peran aktif BI sebagai salah satu otoritas pengelola moneter untuk merespon krisis yang berpotensi membahayakan sistem moneter/perbankan secara keseluruhan. Penguatan fungsi ini sangat tepat waktu pasca disahkannya UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dimana fungsi pengaturan dan pengawasan bank dan lembaga keuangan non-bank beralih kepada OJK sejak awal tahun 2014. Pemeliharaan stabilitas sistem keuangan ini mencakup pula penguatan stabilitas subsistem keuangan mikro/BPR, yang meliputi penyusunan mekanisme/ peraturan, termasuk sistem peringatan dini (early warning system).

Kedua, penguatan ketahanan dan daya saing sektor keuangan/perbankan ditempuh melalui: (i) pelaksanaan ketentuanpenyediaan modal minimum (KPMM), (ii) implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API)/penataan struktur kepemilikan bank, (iii) pengaturan penyesuaian kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor bank berdasarkan modal (inti), dan (iv) penyusunan dan pelaksanaan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (AKSI). Program AKSI merupakan peta panduan bagi pengembangan keuangan syariah, yang merupakan pedoman untuk penyusunan/pengembangan standarisasi dan tatakelola keuangan syariah.

Ketentuan KPMM akan mendorong kemampuan permodalan bank dalam menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi/krisis perbankan termasuk pertumbuhan kredit yang berlebihan, sesuai dengan standar internasional (Basel III). Ketentuan permodalan yang mengacu pada standar ini diupayakan dipenuhi secara bertahap hingga awal tahun 2019.

Penguatan struktur perbankan diupayakan pula melalui program penguatan Bank Pembangunan Daerah (BPD)/Bank Provinsi (BPD Regional Champion, BRC) sebagai upaya

43 pelaksanaan API. Selain itu, dalam ketentuan kepemilikan bank, akan diatur pembatasan pemilikan pihak asing dalam bank nasional melebihi jumlah atau proporsi tertentu. Pengaturan kepemilikan bank yang lebih ketat akan diberlakukan untuk menghindari konglomerasi yang tumpang tindih antara sektor keuangan dan sektor riil. Di sisi lain, pengaturan kegiatan usaha/jaringan kantor berdasarkan modal inti bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan kesehatan perbankan. Pengaturan ini sangat diperlukan untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing bank. Perbankan juga didorong untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi, di wilayah yang selama ini kurang terlayani.

Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN di sektor keuangan pada tahun 2020, diupayakan kebijakan penguatan sektor keuangan (termasuk perbankan) di bidang permodalan, aset, likuiditas dan strategi keuangan. Azas perlakuan yang sama kepada bank asing (resiprokal) di lingkungan ASEAN perlu diupayakan, antara lain melalui pembentukan kelompok bank pilihan diantara negara anggota ASEAN (ASEAN Qualified Banks), yang akan mendapat perlakuan serupa.

Di bidang lembaga keuangan non-bank, penguatan kualitas manajemen termasuk manajemen risiko dan operasional lembaga jasa keuangan diarahkan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan kemudahan bertransaksi serta pelaporan di bidang pasar modal/lembaga jasa keuangan non bank.

Selain itu, untuk meningkatkan ketahanan sektor keuangan, kebijakan Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PATK) diarahkan untuk: (i) meningkatkan advokasi dan kerjasama antara PPATK dan lembaga penegak hukum, (ii) memperluas basis laporan keuangan yang mencurigakan, serta (iii) meningkatkan kapabilitas pelapor transaksi keuangan, antara lain dengan mengadakan pelatihan teknis terkait.

Ketiga, kebijakan penguatan fungsi intermediasi ditetapkan untuk meningkatkan akses layanan keuangan kepada seluruh masyarakat, terutama pemberian kredit/pembiayaan UMKM oleh lembaga keuangan. Perluasan akses layanan keuangan dilakukan pula tanpa melalui kantor bank atau dilakukan melalui cara non-konvensional, melalui pemanfaatan teknologi informasi, e-money dan kerjasama keagenan bank (branchless banking).

Secara lebih rinci, intermediasi lembaga keuangan didorong melalui berbagai langkah seperti: (i) perluasan akses keuangan kepada masyarakat khususnya layanan keuangan berbiaya rendah bagi masyarakat perdesaan, termasuk peningkatan kualitas program Tabunganku, edukasi keuangan, pengembangan sistem informasi debitur, pelaksanaan survey pemahaman terhadap pelayanan perbankan dan pelaksanaan penyusunan nomor identitas keuangan nasabah (FIN); (ii) fasilitasi intermediasi untuk mendukung pembiayaan di berbagai sektor potensial bekerjasama dengan berbagai instansi-pemerintah.

Untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian, diupayakan pembentukan Bank Pertanian dengan melakukan koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian/Lembaga terkait lainnya. Seiring dengan proses pembentukan Bank Pertanian tersebut, diupayakan revitalisasi dari skema-skema kredit pertanian dan perikanan, yang dikelola oleh bank umum dan BPR. Upaya revitalisasi kredit pertanian dan perikanan ini penting dilakukan, mengingat pinjaman sektor pertanian dan perikanan masih rendah dibanding total pinjaman perbankan. Beberapa upaya penguatan pendanaan pertanian dan perikanan ini antara lain akan dilakukan penyempurnaan aturan risiko aset perbankan (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko, ATMR) dan penguatan penjaminan (asuransi) kredit pertanian dan perikanan.

44

Dalam dokumen Renstra SOLUSI Dewan UKM Tahun 2015 2019 (Halaman 49-52)

Dokumen terkait