• Tidak ada hasil yang ditemukan

D a lil-Dalil Yang Mengharamkan Keikutsertaan Wanita Dalam Pemilu Dan Pencalonannya

Dalam dokumen Membongkar Kedok Al Qaradhawi (Halaman 62-64)

Dalil pertama, hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakrah radliyallahu 'anhu, ia berkata : “Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan kalimat yang kudengar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada saat peristiwa Jamal. Hampir saja aku bergabung bersama pasukan Jamal lalu berperang bersama mereka. Tatkala sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berita bahwa penduduk Persia dipimpin oleh anak perempuan Kisra, beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak akan bahagia suatu kaum yang dipimpin oleh wanita.” (HR. Bukhari dalam Al Maghaazi, bab ke-82)

Al Khaththabi menjelaskan makna hadits ini bahwa seorang perempuan tidak berhak memegang kendali pimpinan dan pengambil keputusan. Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ini adalah pendapat jumhur ulama.

Sedangkan Yusuf Al Qaradhawi berusaha untuk mengaburkan pemahaman kaum Muslimin tentang hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini berlaku khusus pada kekuasaan yang luas. Pendapat Qaradhawi ini tidak benar karena dua sebab :

Pertama, perawi hadits ini, yaitu Abu Bakrah tidak memahami hadits tersebut dengan pemahaman yang demikian. Bahkan ia memahaminya secara umum dan menganjurkan untuk meninggalkan sikap memberontak bersama ‘Aisyah kendati ‘Aisyah juga tidak memegang kekuasaan, baik yang umum maupun yang khusus. Harus diakui bahwa perawi hadits lebih paham terhadap apa yang diriwayatkannya. Kedua, pendapat yang dipegangi oleh Qaradhawi ini berseberangan dengan pemahaman jumhur ulama, para muhaddits, serta ahli fiqih. Di sini Qaradhawi melakukan penentangan terhadap kaidah yang telah ditetapkannya sendiri :

Sesungguhnya kesepakatan seluruh manusia dalam satu perkara adalah sesuatu yang sulit terjadi bahkan mustahil sampai mereka (manusia) itu juga tidak bersepakat atas hakikat yang paling agung, yakni iman kepada Allah saja karena inilah maka dalam suatu perkara cukuplah apa yang disepakati oleh mayoritas.

Mana konsekuensi Qaradhawi terhadap kaidah yang dibuatnya sendiri? Dengan tidak mengamalkan kaidahnya sendiri, otomatis menunjukkan bahwa Qaradhawi meragukan kebenaran pendapatnya --penulis tidak sependapat dengan kaidah Qaradhawi tersebut, tapi hanya sekadar mengungkap pemikirannya yang saling bertentangan--.

Diabaikannya pendapat Jumhur Ulama, lalu kaidah yang ditetapkannya sendiri tidak dipakainya pula malah dia mengambil pendapat lain yang nyeleneh. Jadi, pada hakikatnya Qaradhawi berjalan di atas hawa nafsu.

Dalil k e d u a, adanya hal-hal haram yang dihadapkan kepada wanita dalam pemilu, misalnya : Berfoto, ikhtilath, tabarruj (keluar rumah tanpa memakai hijab), dan lain sebagainya.

Dalil ketiga, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang orang jahiliah yang dahulu.” (QS. Al Ahzab : 33)

Yusuf Al Qaradhawi berupaya meruntuhkan dalil ini --seperti kebiasaanya-- dengan berbagai syubhat (pengaburan) berikut :

Syubhat pertama, Qaradhawi menjadikan ayat ini hanya berlaku untuk istri Nabi saja, perkataan ini tidak benar karena beberapa sebab :

1. Pendapat ini tidak pernah disampaikan oleh para Salaf dan mufassir. -- menurut sepengetahuan penulis--. Menafsirkan ayat ini, Al Qurthubi menjelaskan : “Makna ayat ini adalah suatu perintah agar para wanita tetap tinggal di rumah. Walaupun ayat ini tertuju kepada istri-istri Nabi tapi dari sisi makna, wanita selain istri Nabi pun termasuk di dalamnya. Hal ini berlaku kalau tidak ada dalil yang mentakhshish (mengkhususkan) semua wanita sebagaimana syariat lebih suka mereka tetap tinggal di rumah dan tidak keluar kecuali kepentingan yang darurat sekali.” (Al Jaami’ li Ahkaamil Qur’aan, XIV:179)

2. Seandainya ayat tersebut hanya berlaku khusus pada istri-istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, pasti kita mengatakan bahwa mereka haram untuk tabarruj sedangkan seluruh wanita beriman selain istri-istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak dilarang tabarruj dan juga tidak dilarang untuk meniru orang-orang jahiliah menurut Yusuf Al Qaradhawi ini.

3. Yusuf Al Qaradhawi telah menggugurkan pendapatnya yang mengkhususkan ayat tersebut hanya untuk para istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saja. Karena pada ayat yang lain ia menjadikannya sebagai ayat umum saat berdalil bahwa suara wanita adalah aurat jika digunakan untuk mempengaruhi dan menggoda. Dalam hal ini Qaradhawi berkata :

Saya tidak berpendapat bahwa suara wanita adalah aurat pada dzatnya, namun suara wanita menjadi aurat jika digunakan untuk menggoda, merayu, dan bertujuan untuk membuai, ini makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS. Al - Ahzab : 32)

Saudara pembaca, lihatlah bagaimana dia menjadikan ayat pertama bersifat khusus dan ayat kedua ini bersifat umum padahal kedua ayat tersebut sama-sama ditujukan kepada para istri Nabi. Itulah yang disebut hawa nafsu.

Syubhat kedua, Qaradhawi berkata :

Banyak perempuan yang keluar rumah dan pergi ke sekolah, kampus untuk berbagai aktivitas, baik menjadi dokter, guru, dosen maupun pengurus kantor. Tapi tak satu pun orang yang diakui keberadaannya melakukan pengingkaran terhadap mereka. Hal ini dapat dikategorikan sebagai ijma’ (kesepakatan) yang syar’i terhadap bolehnya wanita bekerja di luar rumahnya dengan beberapa syarat.

Ucapan Qaradhawi, tak satu pun orang yang diakui keberadaannya melakukan pengingkaran terhadap mereka ini sama sekali tidak benar! Jauh sebelumnya, para ulama telah mengingkari kebersamaan perempuan dengan lelaki di berbagai pekerjaan yang menyelisihi syar’i dan dalil lebih didahulukan dari perkataan siapapun.

Syubhat ketiga, perkataan Qaradhawi :

Meskipun ayat ini sudah ada, tapi Ummul Mukminin ‘Aisyah radliyallahu 'anha tetap keluar dari rumahnya dan ikut serta dalam perang Jamal. Hal ini karena keinginan untuk memenuhi apa yang beliau pandang sebagai kewajiban agama baginya, yakni menuntut qishas dari pembunuhan Utsman bin ‘Affan meskipun beliau dipersalahkan atas apa yang telah diperbuatnya.

Di sini Qaradhawi salah besar dalam pengambilan dalil berdasarkan qiyas kepada keluarnya ‘Aisyah radliyallahu 'anha dari rumahnya. Bukankah Qaradhawi sendiri telah mengatakan beliau (‘Aisyah) dipersalahkan atas apa yang telah diperbuatnya?

Atas dasar ini, maka keluarnya ‘Aisyah radliyallahu 'anha dari rumah tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan seorang perempuan turut serta dalam Pemilu.

Dalam dokumen Membongkar Kedok Al Qaradhawi (Halaman 62-64)