• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Sawah dan Rawa di Kab. HSU

5.2 Daerah Basis Kegiatan Perikanan Tangkap dan Budidaya

Untuk memetakan kecamatan basis perikanan berdasarkan jenis kegiatan, dari aspek jumlah produksi maka dapat dilihat dari adanya pemusatan kegiatan yang tinggi pada suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lain pada satu titik tahun. Analisis LQ dapat digunakan sebagai metode untuk menentukan kegiatan perikanan basis berdasarkan jumlah produksi menurut wilayah kecamatan yang ada. LQ didasarkan pada pertimbangan bahwa ketersediaan dan kapabilitas sumber daya (alam, modal dan manusia) untuk menghasilkan suatu produk di suatu wilayah relatif terbatas. Karena pada penelitian ini data produksi yang digunakan, maka identifikasi yang dilakukan berdasarkan kapasitas aktual dari aktivitas produksi. Dari hasil produksi perikanan tahun 2010, dapat diketahui nilai LQ untuk kegiatan perikanan tangkap dan budidaya perkecamatan seperti pada Tabel 13.

Tabel 13 Nilai LQ Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2010

No. Kecamatan Produksi Kegiatan Perikanan (Ton) Nilai LQ

Tangkap Budidaya Tangkap Budidaya

1. Danau Panggang 3.145,1 679,3 1,22 0,55 2. Babirik 1.085,4 751,9 0,87 1,26 3. Sungai Pandan 625,2 182,7 1,14 0,70 4. Amuntai Selatan 2.566,1 288,2 1,33 0,31 5. Amuntai Tengah 799,1 982,3 0,66 1,70 6. Banjang 636,5 429,2 0,88 1,24 7. Amuntai Utara 574,0 24,7 1,42 0,13 8. Haur Gading 478,9 1.398,5 0,38 2,30 9. Sungai Tabukan 406,4 24,8 1,39 0,18 10. Paminggir 2.187,1 1.233,3 0,95 1,11 Jumlah 12.503,8 5.994,9

Dari Tabel 13 terlihat bahwa berdasarkan produksi perikanan terdapat lima kecamatan yang mempunyai nilai LQ>1 untuk kegiatan perikanan tangkap yang artinya kecamatan tersebut merupakan kecamatan basis untuk kegiatan perikanan tangkap. Produksinya tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan di kecamatan bersangkutan tetapi juga dapat diekspor ke luar kecamatan. Lima kecamatan lainnya memiliki nilai LQ<1 untuk kegiatan perikanan tangkap namun memiliki nilai LQ>1 untuk kegiatan budidaya. Dengan demikian, dari sepuluh kecamatan yang ada, lima kecamatan merupakan kecamatan basis kegiatan perikanan tangkap yaitu Kec. Danau Panggang, Sungai Pandan, Amuntai Selatan, Amuntai Utara dan Sungai Tabukan. Lima kecamatan lainnya yaitu Kec. Babirik, Amuntai Tengah, Banjang, Haur Gading dan Paminggir merupakan basis kegiatan budidaya.

Secara spasial wilayah basis kegiatan perikanan dapat dilihat pada Gambar 17. Dari gambar terlihat bahwa kecamatan-kecamatan yang merupakan basis kegitan perikanan tangkap merupakan kecamatan yang saling berdekatan dan merupakan satu hamparan areal penangkapan kecuali Kec. Amuntai Utara. Kecamatan-kecamatan tersebut memiliki sumber daya alam berupa areal rawa lebak yang menyimpan potensi sumber daya perikanan.

Untuk Kec. Paminggir, walaupun memiliki lahan rawa lebak yang luas tetapi kegiatan perikanan budidaya yang lebih berkembang khususnya budidaya karamba yang dilakukan di sepanjang sungai dengan jenis ikan yang tahan terhadap kondisi perairan rawa lebak seperti ikan toman. Namun dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa nilai LQ Kec. Paminggir untuk kegiatan perikanan tangkap nilainya mendekati satu (1) yaitu 0,95. Hal ini berarti bahwa kecamatan ini juga memiliki potensi perikanan tangkap walaupun bukan sebagai daerah basis. Kec. Haur Gading memiliki nilai LQ>1 sebagai kecamatan basis kegiatan budidaya. Di kecamatan ini budidaya karamba memiliki nilai produksi tertinggi kedua setelah Kec. Paminggir. Budidaya karamba dilakukan petani pembudidaya di sungai yang melintasi kecamatan ini.

Ga mbar 17 P eta Ke ca mata n Basis Ke giata n P erika na n

Pemanfaatan wilayah perairan untuk kegiatan perikanan masih didominasi penangkapan dengan beragam alat tangkap yang dioperasikan secara terbatas dan bersifat tradisional. Berbagai alat tanggap yang digunakan sesuai dengan lokasi penangkapan dan jenis ikan yang tertangkap. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan setempat diantaranya lukah, tempirai dan hampang, pangilar, kabam, temburu, anco, jambih, lunta, pancing, rengge, serapang, tangguk, sesuduk dan lalangit (Gambar 18).

Gambar 18 Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan Penangkap Ikan Produksi ikan perairan umum Kab. HSU, selain untuk memenuhi konsumsi dalam Kab. HSU juga dikirim ke luar Kab. HSU. Kegiatan distribusi hasil produksi perikanan tangkap dari nelayan penangkap sebagai produsen ke konsumen berlangsung dalam dua pola pemasaran. Pola pemasaran ikan segar yang ada dapat dilihat pada Gambar 19, dapat dibagi dalam dua pola, yaitu : a) Pola I, yaitu ikan hasil tangkapan langsung dijual kepada pedagang pengumpul

yang kemudian diteruskan ke pedagang pengencer hingga akhirnya sampai ke konsumen yang ada di dalam kabupaten maupun di luar kabupaten. Jika nelayan menjual ikan ke pedagang pengumpul dengan harga Rp.14.000,00 maka pedagang pengumpul menjual ikan ke pedagang pengecer berkisar antara Rp.16.000,00-Rp.18.000,00. Harga ikan ini ditingkat konsumen bisa menjadi Rp.20.000,00. Pada pola seperti ini konsumen mendapatkan harga yang jauh lebih mahal karena panjangnya rantai pemasaran.

b) Pola II, yaitu ikan hasil tangkapan langsung dijual ke konsumen yang ada di desa atau konsumen lokal, sehingga harga di tingkat konsumen lebih rendah

Nelayan Pedagang pengumpul

Pedagang

pengecer Konsumen

dari pola II karena konsumen langsung mendapatkan ikan dari nelayan sebagai produsen.

II I

Gambar 19 Pola pemasaran ikan segar hasil tangkapan 5.3 Identifikasi Penyebab Penurunan Produksi Tangkap

Dari perkembangan produksi perikanan tangkap di Kab. HSU menunjukan penurunan 3% pada tahun 2009 dan 0,1% pada tahun 2010, yang diperkirakan karena penangkapan yang berlebihan (overfishing). Produksi perikanan Kab. HSU dapat dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 20.

Tabel 14 Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2006 – 2010 No Kegiatan Perikanan Tahun (Ton) 2006 2007 2008 2009 2010 1. Penangkapan 12.825,4 12.858,0 12.891,2 12.514,7 12.503,8 2. Budidaya 1.077,8 1.314,8 1.344,3 1.413,0 5.994,8 Jumlah 13.903,2 14.172,8 14.235,5 13.927,7 18.498,6 Sumber: Diskan Kab. HSU (berbagai tahun)

Dari Tabel 14 dan Gambar 20 menunjukkan puncak peningkatan produksi perikanan tangkap terjadi pada tahun 2008 dengan jumlah produksi mencapai 12,825,4 ton atau mengalami kenaikan sebesar 0,3% dari produksi tahun 2007. Namun kegiatan perikanan tangkap cenderung mengalami penurunan produksi pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2009 dan 2010.

Gambar 20 Perkembangan Produksi Perikanan Tahun 2006-2010

Dari hasil wawancara dengan nelayan penangkap ikan di Kab. HSU mengenai keadaan rawa lebak di Kab. HSU dapat diketahui bahwa ukuran ikan yang tertangkap cenderung lebih kecil dari beberapa tahun yang lalu. Ikan–ikan berukuran besar sudah sangat jarang tertangkap. Begitu juga dengan jenis ikan yang tertangkap. Ikan belida atau pipih sudah sangat jarang ditemukan. Hal ini memberi asumsi sementara bahwa terjadi overfishing yang menyebabkan penurunan produksi perikanan tangkap. Overfishing atau penangkapan berlebihan merupakan kondisi dimana tingkat pemanfaatan sumber daya ikan melebihi batasan yang ditetapkan sehingga dapat menyebabkan penurunan stok (deplesi) sumber daya ikan.

Berdasarkan keadaan aktual perikanan tangkap di Kab. HSU yang memiliki lahan rawa lebak sebagai potensi perikanan seluas 35.511,2 ha dan RTP tangkap tahun 2010 sebanyak 8.650 unit, maka rata-rata pemanfaatan lahan rawa lebak per RTP adalah 4,1 ha per unit (Diskan Kab.HSU, 2011). Ini menunjukkan masih besarnya potensi lahan rawa lebak yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan ikan, sehingga mematahkan asumsi terjadinya overfishing. Selain itu, penggunaan alat tangkap yang masih sederhana dan jumlah yang terbatas tidak memungkinkan terjadinya eksploitasi besar-besaran yang dapat menyebabkan overfishing.

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian kajian stok ikan tahun 2008 di perairan umum oleh Bappeda Kab. HSU. Dengan membandingkan tingkat tangkapan tahun terakhir (tahun 2007) dan MSY, maka stok ikan di Kab. HSU

2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 14,000 2006 2007 2008 2009 2010

Dokumen terkait