DI RAWA LEBAK KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA
KALIMANTAN SELATAN
EVA AGUSTINA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap di Rawa Lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2012
Eva Agustina
EVA AGUSTINA. The Direction for Catch Fishery Development at the Nontidal Swamps in Hulu Sungai Utara Regency, South Kalimantan. Under direction of ATANG SUTANDI and KUKUH NIRMALA
The declining trend of catch fishery production and increasing demand for fishery products, requires efforts to increase production by taking into account aspects of sustainable living. Hulu Sungai Utara Regency has a swamp land reached 63% of the potential total area that can developed for marsh fishing activities. The purpose of this study are: (1) to identify areas of fishery activities on the basis of comparative advantage, (2) to identify the causes of decline in fishery production, (3) to identify the fishery reserves to sustain fishing activities, (4) to identify the perceptions of stakeholders about the direction of the development potential nontidal swamps fishery, and (5) to formulate strategies and policy priorities as the development direction of nontidal swamps fishing potential in Hulu Sungai Utara Regency. The data analysis were used descriptive analysis, analysis of the technical criteria of fishery reserves, spatial analysis, Location Quotient (LQ), Analytical Hierarchy Process (AHP) and SWOT analysis. The results showed that the basis of fishing activities based on comparative advantage is Danau Panggang district, Sungai Pandan district, Amuntai Selatan district, Amuntai Utara district dan Sungai Tabukan district. Decline in fish production due to low utilization of the potential of fishery resources. The fishery reserves located in sub district Tampakang, Pal Batu, Pandamaan, Baru, Pajukungan Hilir, Sungai Dalam, Teluk Limbung, Sungai Durait Hilir, Sungai Durait Tengah, Danau Cermin, Pulau Tambak dan Banyu Hirang. The perception of stakeholders on the nontidal swamps fishery
management’s is the priority of physical factors followed by social and institutional factors and the recent economic factors. Based on the SWOT analysis, the recommended policy priorities to be implemented is the use of natural resources, fish resources, human resources, facilities and infrastructure, market potential and capital to increase production and profits. The fishery area which can be exploited area 24.790 hectares scattered throughout the district, while the fishery reserves covering 1.775,6 hectares.
EVA AGUSTINA. Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap di Rawa Lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh ATANG SUTANDI dan KUKUH NIRMALA.
Salah satu sektor yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kab. HSU) adalah sektor perikanan khususnya perikanan rawa lebak. Potensi besar ini berupa rawa lebak seluas 56.452 ha atau 63% dari luas wilayah kabupaten. Potensi perikanan rawa lebak meliputi luas areal 35.511,2 ha atau 65% dari luas rawa lebak namun baru tergarap sebesar 20.332,3 ha atau 57,2% dari potensi perikanan rawa lebak yang ada (Diskan Kab. HSU, 2011).
Adanya kecenderungan penurunan produksi perikanan tangkap dan peningkatan permintaan produk perikanan, memerlukan upaya peningkatan produksi untuk mengimbanginya dengan memperhatikan aspek ruang secara berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi daerah basis kegiatan perikanan berdasarkan keunggulan komparatif, (2) mengidentifikasi penyebab penurunan produksi perikanan tangkap, (3) mengidentifikasi kawasan suaka perikanan untuk menjaga keberlanjutan kegiatan perikanan, (4) mengidentifikasi persepsi stakeholder tentang arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak, dan (5) merumuskan strategi dan prioritas kebijakan sebagai arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif, analisis kriteria teknis kawasan suaka perikanan, analisis spasial,
Location Question (LQ), Analytical Hierarchy Process (AHP), dan analisis SWOT.
Dari hasil analisis LQ berdasarkan produksi perikanan terdapat lima kecamatan yang mempunyai nilai LQ>1 untuk kegiatan perikanan tangkap. Ini berarti kecamatan tersebut merupakan kecamatan basis untuk kegiatan perikanan tangkap, produksinya tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan di kecamatan bersangkutan tetapi juga dapat diekspor ke luar kecamatan. Lima kecamatan lain memiliki nilai LQ<1 untuk kegiatan perikanan tangkap namun memiliki nilai LQ>1 untuk kegiatan budidaya. Dari sepuluh kecamatan yang ada, lima kecamatan merupakan kecamatan basis kegiatan perikanan tangkap yaitu Kecamatan Danau Panggang, Sungai Pandan, Amuntai Selatan, Amuntai Utara dan Sungai Tabukan. Lima kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Babirik, Amuntai Tengah, Banjang, Haur Gading dan Paminggir merupakan basis kegiatan budidaya.
Prioritas pengelolaan diketahui melalui nilai (skor) yang didapatkan melalui
Analytic Hierarchy Process (AHP). Semakin tinggi nilai yang diperoleh menandakan bahwa variabel atau faktor tersebut lebih prioritas dibandingkan faktor lain yang memiliki nilai lebih rendah. Sesuai persepsi masing-masing
stakeholders, bobot nilai setiap faktor juga berbeda-beda. Menurut persepsi
stakeholders, dalam pengelolaan perikanan tangkap rawa lebak aspek yang harus diutamakan berturut-turut yaitu aspek fisik, sosial dan kelembagaan, serta ekonomi. Aspek fisik dengan prioritas pilihan secara berturut-turut adalah sumber daya alam, sarana dan prasarana serta kawasan konservasi. Pada aspek sosial dan kelembagaan, yang diprioritaskan adalah partisipasi masyarakat dan lembaga pembina. Aspek ekonomi, yang diprioritaskan berturut-turut adalah sumberdaya manusia, modal, produktivitas dan pemasaran.
Untuk menyusun strategi dalam pengembangan perikanan tangkap rawa lebak di Kabupaten Hulu Sungai Utara digunakan analisis SWOT. Dalam penentuan prioritas strategi pengembangan perikanan tangkap berdasarkan analisis peringkat kepentingan, maka prioritas kebijakan yang direkomendasi untuk dilaksanakan berurutan sebagai berikut: (1) memanfaatkan SDA, SDI, SDM, sarana dan prasarana, potensi pasar serta permodalan untuk meningkatkan produksi dan keuntunganusaha, (2) meningkatkan nilai tambah produk perikanan melalui teknologi pasca panen, (3) penyediaan benih ikan lokal untuk kegiatan budidaya, (4) memperkuat permodalan nelayan untukmeningkatkan kemampuan usaha dan (5) meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penangkapan ilegal.
Kawasan potensi perikanan di Kab. HSU memiliki luas areal 24.790 ha dan kawasan suaka perikanan seluas 1.775,6 ha. Berdasarkan hasil overlay antara peta wilayah potensi perikanan tangkap dan peta RTRW Kab. HSU diperoleh peta arahan pengembangan perikanan tangkap Kab. HSU.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DI RAWA LEBAK KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA
KALIMANTAN SELATAN
EVA AGUSTINA
TESIS
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER SAINS
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Eva Agustina
NRP : A156100184
Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ir. Atang Sutandi, M.Si., Ph.D. Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Perencanaan Wilayah
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tulisan ini kupersembahkan untuk:
Kedua orang tua tercinta
Ayahanda Muhammad Yusuf dan Ibunda Jawiah saudara-saudaraku Yudi Mahyudi & Maya Pradina Fitri,
Winda Aprida & Sulisanto
keponakan-keponakanku Malfino, Muhammad dan Kheynas serta keluarga besarku
yang senantiasa memberi bantuan, dukungan serta doa dan kasih sayang secara tulus ikhlas
Kakak-kakakku Sri Jamiatul Khairah dan Erva Noorrahmah yang telah berbagi suka, duka, kisah dan inspirasi
dalam melintasi masa bersama
Saudara-saudaraku Mahasiswa PWL 2010 terimakasih atas segala dukungan, kebersamaan dan
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap di Rawa Lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Ir. Atang Sutandi, M.Si.,Ph.D. dan Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Dr. Ir. Untung Sudadi, M.Sc. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.
3. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.
4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.
5. Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini.
6. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun Reguler angkatan 2010 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi yang berguna bagi kita.
Bogor, April 2012
Penulis dilahirkan di Barabai pada tanggal 07 Agustus 1982 dari pasangan orang tua Bapak Muhammad Yusuf dan Ibu Jawiah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Pendidikan dasar hingga menengah penulis tempuh di Barabai. Tahun 2000 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Barabai dan kemudian melanjutkan pendidikan ke Universitas Lambung Mangkurat melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis diterima di jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan menyelesaikan studi pada jenjang sarjana pada tahun 2004.
Halaman
1.3 Tujuan Penelitian……….
1.4 Manfaat Penelitian ………..
1.5 Kerangka Pemikiran………
1
2.6 Kawasan dan Suaka Perikanan………
6
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………...
3.2 Bahan dan Alat……….
3.3 Metode Pengumpulan Data………..
3.4 Metode Analisis Data………..
3.4.1 Analisis Location Quotient(LQ) ………. 3.4.2 Analisis Deskriptif ………... 3.4.3 Analisis Kriteria Teknis Kawasan Suaka Perikanan ………
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap………. 5.2 Daerah Basis Kegiatan Perikanan Tangkap dan Budidaya……….. 5.3 Identifikasi Penyebab Penurunan Produksi Tangkap….…………. 5.4 Identifikasi Kawasan Suaka Perikanan………
5.5 Persepsi Stakeholder..………..
5.6 Strategi dan Arahan Kebijakan Pengembangan Perikanan
Tangkap ...………...
38 49 53 61 66
69
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan……….……….
6.2 Saran………
85 86
DAFTAR PUSTAKA...………... 87
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Matriks Analisis Penelitian ……… 16
2 Matrik SWOT………. 24
3 Kecamatan dalam Wilayah Administrasi Kab. HSU……….. 26
4 Jumlah Rumah Tangga dan Penduduk Kab. HSU Tahun 2010…………. 28
5 Kondisi Genangan di Kab. HSU Tahun 2010.……….. 30
6 Penggunaan Lahan di Kab. HSU Tahun 2010.……….. 31
7 Pertumbuhan PDRB Kab. HSU Tahun 2006-2010…. ………... 32
8 PDRB Kab. HSU Tahun 2010 Atas Dasar Harga Berlaku (Ribuan
Rupiah)……… 33
9 Perkembangan Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2006-2010………. 34
10 Perbandingan Penggunaan Lahan Sawah dan Rawa di Kab. HSU Tahun 2010 (Musim Hujan) dan Tahun 2011 (Musim Kemarau)……….
38
11 Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2010 (Ton)………. 46
12 Nilai Location Quotient (LQ) Sub Sektor-Sub Sektor pada Sektor Pertanian Per Kecamatan berdasarkan PDRB Tahun 2010 Atas Dasar Harga Berlaku……….
48
13 Nilai LQ Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2010……… 49
14 Produksi Perikanan Kab. HSU Tahun 2006-20101..…..……… 53
15
16
Perbandingan RTP dan Produksi Kegiatan Perikanan Tangkap dan Budidaya Tahun 2006 dan Tahun 2010………..
Jumlah Pelaku Penyetruman yang Tertangkap Tahun 2006-2010………. 55
57
17 Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Nilai Kualitas Air (KA)………... 58
18 Hasil Perhitungan Environmental Quality Index (EQI) Kualitas Air..…. 58
19 Luas Kawasan Suaka Perikanan di Kab. HSU ….……….. 62
21 Penilaian Tingkat Kepentingan SWOT……….. 72
22 Matriks SWOT……… 73
23 Pemilihan Analisis Prioritas yang Diunggulkan ……… 74
24 Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap di Kab. HSU...………... 76
DAFTAR GAMBAR
Kerangka Pikir Penelitian.………...
Diagram Alir Penelitian………
Peta Administrasi Kab. HSU……….
Lahan Rawa di Kab. HSU.………
Grafik Nilai PDRB Kab. HSU Tahun 2006-2010……….
Grafik Peranan Sub Sektor-Sub Sektor pada Sektor Pertanian PDRB Tahun 2010 Berdasarkan Harga Berlaku………..
Alat Tangkap dan Ikan Betok (Anabas testudineus) Hasil Tangkapan di
Rawa Lebak………..
Kegiatan Budidaya Kolam, Karamba dan Fish Pen….………
Dermaga Apung dan Dermaga Tambat………
Perbandingan Luas Penggunaan Lahan Sawah dan Rawa..……….
Peta Penggunaan Lahan Kab. HSU Tahun 2010………..
Peta Penggunaan Lahan Kab. HSU Tahun 2011………..
Keadaan Rawa Lebak pada Saat Musim Hujan dan Musim Kemarau….
Vegetasi di Rawa Lebak Kab. HSU ………
Ikan Toman (Channa micropeltes) dan Belut (Monopterus albus
Zeiew) Hasil Tangkapan di Rawa Lebak………
Peta Wilayah Potensi Perikanan Tangkap..………..
Peta Kecamatan Basis Kegiatan Perikanan….………..
Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan Penangkap Ikan..………..
Pola Pemasaran Ikan Segar Hasil Tangkapan….………..
21
22
23
24
25
Kondisi Lokasi Suaka Perikanan (a) Hambuku Lima, (b) Longkong, (c) Putat Atas, dan (d) Tampakang………..……….
Peta Usulan Calon Lokasi Suaka Perikanan………..
Hasil AHP dalam Penentuan Pengembangan Potensi Perikanan
Tangkap Rawa Lebak di Kab. HSU ……….
Peta Sebaran Desa Tempat Sarana Pendaratan Ikan dan Cold Storage………...
Peta Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap..….………... 61
62
69
78
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2
3
4
Kuesioner Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap………..
Kuesioner AHP………..
Data Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap pada Desa Sampel ……..
Perhitungan Bobot dalam Analisis AHP………
91
93
102
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari
ekosistem perikanan yang berperan sebagai faktor produksi untuk menghasilkan
suatu output yang bernilai ekonomi masa kini maupun masa mendatang. Pengembangan dan pembangunan perikanan diarahkan untuk meningkatkan
kesejahteraan petani nelayan melalui peningkatan produksi perikanan secara
menyeluruh. Oleh karena itu perlu dipacu untuk mempercepat pencapaian tingkat
pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal dalam rangka pemanfaatan
sumber daya perikanan secara berkesinambungan, dengan tetap menjaga
kelestarian sebagai sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kab. HSU) dengan luas wilayah 89.270 ha
(892,7 km²) merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan.
Dari luas keseluruhan wilayah, ± 56.452 ha atau 63% terdiri atas dataran rendah
yang digenangi oleh rawa lebak baik yang tergenang secara permanen maupun
yang tergenang secara periodik dengan luas perairan umum berupa rawa lebak ±
54.129 ha dan sungai 2.323 ha (Diskan Kab. HSU, 2011).
Dari luas keseluruhan rawa lebak, 35.511,2 ha atau 65% merupakan potensi
perikanan, namun baru tergarap seluas 20.332,3 ha atau 57,2% dari luas potensi
perikanan untuk seluruh sektor perikanan. Pemanfaatan sumber daya perairan
pada sektor perikanan masih didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap dengan
produksi hasil tangkapan pada tahun 2010 sebesar 12.503,8 ton dan tahun 2009
sebesar 12.514,7 ton. Jumlah ini menunjukkan produksi perikanan tahun 2010
menurun sebesar 0,1 % dari produksi tahun 2009. Demikian juga produksi tahun
2009 menunjukkan penurunan rata–rata 3% dari tahun 2008 yaitu sebesar
12.891,2 ton (Diskan Kab.HSU, 2011). Menurut BPS (2011b) pada tahun 2010
sub sektor perikanan memberikan kontribusi sebesar 7,4% pada PDRB Kabupaten
Hulu Sungai Utara dengan produksi dominan dari perikanan tangkap.
Kegiatan penangkapan ikan di perairan rawa lebak adalah kegiatan langsung
memungut hasil alam tanpa kegiatan menanam terlebih dahulu. Tanpa disadari
rawa lebak masih menghasilkan ikan, walaupun menunjukkan kecenderungan
penurunan produksi. Pemanfaatan langsung seperti penangkapan ikan, eksploitasi
dengan tanpa memperhatikan daya dukung, nilai ekologis dan ekosistemnya serta
pengelolaan potensi sumber daya perikanan yang belum optimal akan berdampak
pada keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan.
Masyarakat Kab.HSU hidup dan tergantung pada keberadaan rawa lebak
sehingga rawa lebak menjadi potensi yang perlu dikelola dan dimanfaatkan secara
arif dan bijaksana dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sumber
daya ikan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources). Sumber daya ikan mempunyai batas-batas tertentu sesuai dengan daya dukungnya (carrying capacity). Hanya lingkungan perairan yang baik, dengan keadaan fisik dan kimia yang kondusif untuk pertumbuhan ikan yang
mampu menghasilkan produktivitas ikan yang optimal. Lingkungan yang
terganggu secara fisik dan kimia secara berlebihan tidak memberi kesempatan
ikan untuk berkembang biak. Apabila pemanfaatannya dilakukan secara
bertentangan dengan kaedah-kaedah pengelolaan, maka akan berakibat terjadinya
kepunahan. Pendekatan optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan dapat
dilakukan dengan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan yaitu aktivitas
untuk menjaga kelanjutan manfaat dari sumber daya perikanan sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa menganggu
kebutuhan generasi yang akan datang.
Pemanfaatkan dan pengelolaan sumber daya ikan perlu dilaksanakan sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Peraturan-peraturan lebih mengarah kepada
upaya menjaga kelestarian sumber daya perikanan seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2009 tentang Tata Cara
Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Sumber daya perikanan dapat dikelola
berdasarkan fungsi kawasan perikanan tangkap dan kawasan suaka perikanan.
Dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, fungsi
utama kawasan dalam penataan ruang dibedakan menjadi kawasan lindung dan
budidaya. Dengan menentukan fungsi rawa lebak di Kab. HSU sebagai kawasan
maka akan dapat diketahui luas lahannya sehingga akan memudahkan dalam
arahan pengelolaan dan pemanfaatannya.
1.2 Perumusan Masalah
Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa Kabupaten Hulu Sungai Utara
mempunyai potensi perikanan yang cukup besar. Pengelolaan sumber daya
perikanan di rawa lebak tetap harus memperhatikan keseimbangan ekosistem yang
ada agar keberlanjutan dan pemanfaatan lainnya tetap terjaga. Keseimbangan
ekosistem merupakan fungsi lingkungan yang harus dipertahankan.
Keseimbangan ekosistem memberikan ketersediaan sumber daya alam secara
memadai, yang dapat diandalkan sebagai sumber kehidupan masyarakat agar tidak
dirugikan secara ekonomi maupun ekologi. Keterkaitan antara fungsi produksi
untuk kepentingan ekonomi dan fungsi lingkungan untuk kelestarian ekologi
sangat erat. Penurunan fungsi lingkungan akan diikuti oleh penurunan produksi
dari sumber lingkungan tersebut.
Penurunan produksi perikanan tangkap dan adanya laju permintaan produk
perikanan yang meningkat memerlukan upaya peningkatan produksi sekaligus
tetap menjaga kelestarian sumber daya ikan. Dalam hal ini dilakukan upaya
peningkatan produksi perikanan untuk mengimbangi peningkatan permintaan
produk perikanan yang terus bertambah. Agar pengembangan rawa lebak untuk
kegiatan perikanan sesuai dengan daya dukungnya untuk keberlanjutan, maka
diperlukan arahan pengembangan yang memperhatikan kepentingan ekonomi
maupun ekologi. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengembangkan potensi kawasan rawa lebak berdasarkan fungsi kawasan.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas disusun pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Daerah mana yang merupakan basis kegiatan perikanan berdasarkan
keunggulan komparatif?
2. Hal-hal apa yang menyebabkan penurunan produksi perikanan tangkap?
3. Kawasan mana yang harus tetap dipertahankan sebagai kawasan suaka
perikanan untuk menjaga keberlanjutan kegiatan perikanan?
5. Bagaimana strategi dan prioritas kebijakan sebagai arahan pengembangan
potensi perikanan tangkap rawa lebak di Kab. HSU?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi daerah basis kegiatan perikanan berdasarkan keunggulan
komparatif.
2. Mengidentifikasi penyebab penurunan produksi perikanan tangkap.
3. Mengidentifikasi kawasan suaka perikanan untuk menjaga keberlanjutan
kegiatan perikanan.
4. Mengidentifikasi persepsi stakeholder tentang arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak.
5. Merumuskan strategi dan prioritas kebijakan sebagai arahan pengembangan
potensi perikanan tangkap rawa lebak di Kab. HSU.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya adalah :
1. Sebagai masukan dalam penatagunaan lahan di Kab. HSU.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kab. HSU dalam
perencanaan pembangunan, khususnya pengembangan kegiatan perikanan di
rawa lebak.
3. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat yang bergerak dalam usaha
pengembangan kegiatan perikanan di Kab. HSU.
1.5 Kerangka Pemikiran
Pembangunan yang dilaksanakan di suatu wilayah merupakan kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangka mengelola sumber daya yang dimiliki. Untuk itu
dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan kondisi eksisting, permasalahan dan
potensi wilayah yang ada. Salah satu sektor yang potensial untuk dikembangkan
di Kab. HSU adalah sektor perikanan khususnya perikanan tangkap rawa.
Potensi besar ini berupa rawa lebak seluas 56.452 ha atau 63% dari luas wilayah
kabupaten. Potensi perikanan rawa lebak meliputi luas areal 35.511,2 ha atau
65% dari luas rawa lebak namun secara aktual baru tergarap sebesar 20.332,3 ha
Adanya kecenderungan penurunan produksi perikanan tangkap memerlukan
upaya peningkatan produksi untuk mengimbanginya dengan memperhatikan
aspek ruang secara berkelanjutan. Selain itu, belum adanya peta kawasan
perikanan tangkap dan kawasan suaka perikanan menyebabkan belum ada batasan
yang jelas bagi masyarakat yang bergerak di sektor perikanan tangkap. Untuk itu
diperlukan pengembangan perikanan tangkap berdasarkan fungsi kawasan
perikanan tangkap dan kawasan suaka perikanan dengan tujuan untuk peningkatan
produksi dan terjaganya kelestarian sumber daya. Secara skematik kerangka
pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian Peningkatan produksi dan terjaganya
kelestarian sumber daya perikanan
Potensi
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumber Daya Ikan
Sama seperti sumber daya pertambangan, sumber daya perikanan ada
batasnya, namun berbeda dengan sumber daya pertambangan seperti minyak
bumi, sumber daya perikanan memiliki daya reproduksi yang bersifat dapat
diperbaharui (renewable) atau mempunyai sifat dapat pulih, sehingga apabila dikelola dengan baik akan dapat digunakan secara berkelanjutan. Dengan kata
lain, apabila dilakukan pengelolaan secara tepat, maka sumber daya perikanan
akan dapat memasok protein (hewani) secara stabil. Pada saat yang sama juga
memiliki kontribusi ekonomi dan sosial yang besar seperti pengembangan sektor
produk perikanan dan penciptaan lapangan kerja. Yang jelas akan memberikan
dampak pada pengurangan jumlah kemiskinan. Di sini makna tentang pentingnya
pengelolaan sumber daya perikanan.
Ikan adalah sumber daya hayati yang dapat diperbaharui. Meskipun
demikian, eksploitasi yang tidak terkendali tetap akan menimbulkan risiko
kelangkaan dan atau kepunahan spesies ikan. Selain itu, siklus hidup ikan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya yang merupakan tempat ikan
berlindung, menyimpan telur, mencari makan dan berkembang biak sehingga jika
lingkungan tersebut rusak maka akan sangat mempengaruhi stok ikan.
Menurut Widodo dan Hakim (2002), sumber daya ikan pada umumnya
dianggap bersifat open access dan common property yang artinya pemanfaatannya bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumber
daya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain :
1. Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebih
(over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment).
2. Perlu adanya hak kepemilikan (property rights) misalnya oleh Negara, masyarakat atau swasta.
Sifat-sifat sumber daya seperti di atas menjadikan sumber daya ikan bersifat
unik dan setiap orang seakan-akan mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber
memungkinkan setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk dan
mengambil manfaatnya. Dengan demikian secara prinsip sumber daya milik
bersama dicirikan oleh pengambilan secara bebas maupun akibat lain yang
ditimbulkan seperti biaya eksternalitas tinggi (tidak ekonomis) sehingga akan
menimbulkan kecenderungan pengelolaan secara deplesi (Suparmoko, 1997).
Deplesi adalah suatu cara pengambilan sumber daya alam secara besar-besaran,
yang biasanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan mentah. Dalam
kaitannya dengan sumber daya perikanan yang sifatnya dapat diperbaharui,
tindakan deplesi walaupun dapat diimbangi dengan kegiatan konservasi akan tetap
melekat dampaknya terhadap lingkungan dan membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk memulihkannya.
2.2 Perikanan Tangkap
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor Per.05/Men/2008, usaha perikanan tangkap adalah usaha perikanan yang
berbasis pada kegiatan penangkapan ikan. Penangkapan ikan adalah kegiatan
untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan
dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, danatau
mengawetkannya.
Perikanan tangkap merupakan salah satu sektor yang memegang peran
penting dalam menggerakkan perekonomian. Dalam pengembangan dan
pengelolaannya dibutuhkan adanya informasi mengenai kegiatan perikanan
tangkap di wilayah tersebut (Kurnia et al., 2004). Menurut Nababan et al. (2007),
pengelolaan perikanan tangkap perlu terencana dengan baik agar dapat
berkelanjutan. Keberlanjutan perikanan tangkap dilihat dari dimensi keberlanjutan
yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum kelembagaan. Salah satu isu
pembangunan perikanan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk
Indonesia adalah menyeimbangkan antara tujuan ekonomi, sosial, teknologi,
hukum kelembagaan dengan keberlangsungan sumber daya perikanan (ekologi).
Menurut Kusumastanto (2000) dalam Nababan et al. (2007), rumusan perencanaan pengelolaan sumber daya perikanan harus komprehensif dan
harus efisien dan optimal, secara sosial budaya berkeadilan dan dapat diterima,
dan secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan (environmentally
friendly). Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan semestinya dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan perikanan berkelanjutan, yaitu
pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan dan perbaikan kualitas
lingkungan. Perencanaan pengelolaan dilakukan dengan mengakomodasi seluruh
kepentingan stakeholder, menghimpun informasi yang lengkap, akurat dan terbaru
serta dilakukan dengan prosedur dan pendekatan yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan.
Salah satu masalah pokok yang menjadi penghambat dari keberlanjutan
perikanan tangkap adalah adanya pemahaman dari nelayan bahwa perairan adalah
milik bersama atau umum (common property) sehingga nelayan menangkap sebanyak-banyaknya dengan menggunakan alat tangkap baik yang ramah
lingkungan maupun yang dapat merusak lingkungan misalnya bom dan racun
sehingga menimbulkan kerusakan ataupun penurunan kualitas lingkungan
(Patanda, 2005).
2.3 Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu
berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan
wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumber daya yang
dimilikinya secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat
terpadu dan komprehensif. Keterpaduan mencakup bidang ilmu, sektoral, wilayah
dan hirarki pemerintahan dan komprehensif terhadap aspek fisik, ekonomi, sosial,
budaya dan lingkungan hidup (Djakapermana, 2010).
Pengembangan wilayah mencakup banyak aspek yang saling berinteraksi.
Interaksi antar komponen dalam pengembangan wilayah sangat dinamis.
Peningkatan satu komponen secara langsung berdampak terhadap komponen
lainnya. Misalnya pembangunan infrastruktur jalan diyakini dapat mendorong
pergerakan barang, jasa, dan orang yang pada akhirnya menciptakan pergerakan
ekonomi dan pembangunan aspek lainnya. Namun demikian, di samping manfaat
tersebut, terdapat pula dampak negatif yang ditimbulkan oleh interaksi antar
pencemaran, kemacetan dan konflik sosial. Pembangunan infrastruktur yang
mengabaikan prinsip berkelanjutan, tidak memperhatikan dan menjaga pelestarian
lingkungan akan memberikan dampak kontraproduktif yang pada gilirannya tidak
lagi memberikan manfaat pertumbuhan ekonomi wilayah, karena akan disibukkan
oleh biaya-biaya mengatasi bencana dan ongkos sosial ekonomi yang besar
(Djakapermana, 2010).
Di masa sekarang dan yang akan datang diperlukan adanya pendekatan
perencanaan wilayah yang berbasis pada hal-hal berikut: (1) sebagai bagian dari
upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya
untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, (2) menciptakan
keseimbangan pembangunan antar wilayah, (3) menciptakan keseimbangan
pemanfaatan sumber daya di masa sekarang dan masa yang akan datang
(pembangunan berkelanjutan), dan (4) disesuaikan dengan kapasitas pemerintah
dan masyarakat untuk mengimplementasi perencanaan yang disusun (Rustiadi et al., 2009).
2.4 Rawa Lebak
Lahan rawa lebak, menurut terminologi landform adalah backswamp atau rawa belakang yang merupakan suatu land facet cekungan. Posisinya berada di belakang tanggul sungai (levee). Dari aspek lingkungan, keberadaan rawa lebak sangat penting sebagai pengendali luapan air, baik pada waktu kejadian banjir
maupun pascabanjir. Dari aspek sumber daya lahan, rawa lebak merupakan lahan
tercadang untuk pertanian dan perikanan (Djaenudin, 2009). Perairan umum rawa
merupakan penghasil ikan air tawar utama bagi kebutuhan masyarakat (Nasution,
2008). Rawa memiliki nilai karena fungsinya telah terbukti berguna untuk
manusia baik untuk hidrologis maupun biologis (Mitsch et al., 2000).
Menurut Noor (2007), rawa lebak diartikan sebagai kawasan rawa dengan
bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu
atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Lahan rawa lebak memiliki topografi berupa cekungan dan merupakan dataran
banjir dengan masa genangan lebih panjang. Pengaruh arus pasang surut dari air
laut sangat lemah bahkan hampir nihil. Ketentuan umum untuk dikategorikan
genangan minimal 3 bulan. Bentang alam (landscape) wilayah rawa lebak meliputi wilayah tanggul sungai, dataran banjir (flood-plain) sampai lahan burit (hinterland), termasuk sebagian wilayah rawa pedalaman atau rawa belakang (back swamp).
Luas lahan rawa lebak di Indonesia ditaksir sekitar 13,27 juta hektar atau
40% dari luas keseluruhan rawa yang luasnya sekitar 33,43 juta hektar (Nugroho
et. al., 1992 dalam Noor, 2007). Lahan rawa lebak ini utamanya tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatra, Kalimantan dan Papua. Sisanya tersebar di Pulau
Sulawesi dan sebagian kecil Pulau Jawa. Namun dari luasan rawa lebak 13,27 juta
hektar tersebut baru 730 ribu hektar yang telah direklamasi dan dimanfaatkan
umumnya untuk pertanian, sisanya masih berupa lahan hutan atau rawa monoton
(Balittra, 2001 dalam Noor, 2007).
Ditinjau dari aspek potensi, secara umum lahan lebak sebenarnya lebih baik
dari lahan pasang surut, oleh karena tanah lahan lebak tersusun dari endapan
sungai (fluviatil), yang tidak mengandung bahan sulfidik atau pirit. Terkecuali tentunya pada zona peralihan antara lahan lebak dan lahan pasang surut. Bagian
yang potensial untuk pertanian dari lahan lebak adalah pematang (atau lebak
dangkal), dan lebak tengahan, yang umumnya dijadikan persawahan lebak dengan
pertanaman palawija dan sayuran pada galengan sawah, atau di bagian
guludan/bedengan pada sistem surjan, terutama pada lebak pematang. Lebak
dalam, karena bentuknya mirip suatu cekungan, kondisi airnya relatif masih tetap
dalam walaupun di musim kemarau, sehingga lebih sesuai untuk budidaya
perikanan tawar (Subagyo, 2006).
Selain sebagai sumber pertumbuhan produksi pertanian secara umum, rawa
lebak juga mempunyai fungsi lingkungan, antara lain sebagai pengendali banjir,
pengendali kekeringan, penyimpan dan pendaur air, penawar pencemaran
lingkungan, dan penghasil bahan bakar (kayu arang, gambut). Manfaat rawa ini
sebagai penyangga lingkungan, sehingga rawa sejatinya harus ditempatkan dalam
suatu rancangan pengelolaan terpadu antara dua kepentingan yang saling
menguntungkan, antara kepentingan produksi dengan kepentingan ekologi atau
lingkungan sehingga tercapai upaya pengembangan yang seimbang dan
Rawa lebak yang dimanfaatkan sebagai pengembangan perikanan termasuk
rawa lebak tengahan, rawa lebak dalam sampai rawa lebak sangat dalam. Jenis
ikan yang hidup pada ekosistem rawa lebak ini terdiri atas tidak kurang 100 jenis.
Perikanan lebak bersifat tangkap sehingga ke depan sangat tergantung pada
habitat alamnya. Perubahan dari kegiatan tangkap menjadi budidaya menetap
diperlukan untuk meningkatkan sumbangan sektor perikanan dalam pembangunan
pertanian secara luas (Noor, 2007). Pemeliharaan ikan introduksi di lahan lebak
dangkal dapat dilakukan dengan sistem kolam di pekarangan atau sistem keramba
(Alihamsyah, 2005).
Daerah rawa lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara mempunyai potensi besar
dalam sektor perikanan terutama perikanan tawar. Inventarisasi potensi dan
sistem budidaya perikanan dilakukan oleh LP IPB dengan pengumpulan data
sekunder dari Dinas Perikanan dan peninjauan lapang di sentra produksi atau
tempat-tempat penangkapan ikan rawa di lahan rawa lebak Kabupaten Hulu
Sungai Utara. Hal-hal yang diperhatikan dalam inventarisasi ini adalah jumlah
produksi ikan pada berbagai musim, jenis-jenis ikan yang ditangkap,
teknik-teknik penangkapan, jenis-jenis ikan yang langka, teknik-teknik pengolahan hasil
perikanan, teknik budidaya dan pengamatan sistem pemasaran hasil-hasil
perikanan (LP IPB, 2002).
2.5 Fungsi Kawasan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, fungsi utama kawasan dalam penataan ruang dibedakan menjadi kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan lindung merupakan
kawasan yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekologi kawasan
sekitarnya. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya termasuk
peruntukan hutan produksi, hutan rakyat, pertanian, perikanan, pertambangan,
pemukiman, industri, pariwisata, tempat ibadah, pendidikan dan pertahanan
Peraturan perundangan yang saat ini digunakan dalam penetapan kawasan
lindung gambut antara lain adalah Keppres No.32 tahun 1990. Berdasarkan
peraturan perundangan tersebut kawasan lindung gambut merupakan kawasan
yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya atau kawasan
sekitarnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa perlindungan terhadap kawasan
bergambut ini dilakukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi
sebagai penghambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang
khas di kawasan bersangkutan. Kriteria lindung untuk kawasan bergambut adalah
tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu
sungai dan rawa.
2.6 Kawasan Suaka Perikanan
Menurut Ostrom et al. (1994) dalam Rustiadi et al. (2009), sungai, pantai, padang gembala, saluran air, air tanah dan hutan tropis termasuk common pool resources (CPRs). Salah satu masalah dan sekaligus penciri dari sumber daya CPRs adalah kecenderungan pemanfaatan yang berlebih (overuse). Kecenderungan overuse dapat menyebabkan congestion yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand. Sumber daya yang dipanen dengan laju melebihi kemampuan regenerasi alamiahnya di alam akan punah
seperti ikan yang ditangkap nelayan dengan penangkapan ilegal (illegal fishing). Menurut PP Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan,
konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya
ikan. Dalam rangka pemanfaatan sumber daya perikanan secara optimal,
bertanggung jawab agar tetap lestari dan berkesinambungan perlu dilaksanakan
dan ditetapkan kawasan konservasi pada daerah yang potensi penangkapannya
besar dan optimal, berdaya guna dan berhasil guna bagi nelayan atau masyarakat
setempat, terjaminnya usaha serta pengelolaan yang serasi antar sektor yang
berkepentingan.
langkah-langkah antisipatif, salah satunya dengan menerapkan konsep konservasi untuk
memberikan perlindungan bagi sumber daya wilayah. Menurut Cooke et al. (2005), strategi konservasi harus memasukkan penelitian, pendidikan, dan
sosialisasi karena dengan pemahaman pentingnya konservasi akan meningkatkan
dukungan terhadap konservasi.
Pengelolaan perikanan tangkap di rawa lebak mengatur kegiatan
penangkapan ikan di perairan dalam rangka menjamin kesinambungan
produktivitas sumber daya dan tujuan perikanan lainnya. Tujuan pengelolaan
perikanan tangkap dapat ditetapkan meliputi: (1) menjamin keberlanjutan
perikanan dan keadilan dalam distribusi manfaat sumber daya perikanan, (2)
memelihara lingkungan tempat hidup stok ikan, dan (3) meningkatkan produksi
lebih tinggi dari apa yang dapat diperoleh hanya oleh proses alami (Hartoto,
2003).
Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan dengan strategi
memaksimalkan hasil tangkapan dan melakukan tindakan konservasi. Adanya
kecenderungan penurunan produksi perikanan tangkap dan peningkatan
permintaan produk perikanan, memerlukan upaya peningkatan produksi untuk
mengimbanginya dengan memperhatikan aspek ruang secara berkelanjutan. Hal
ini menjadi tantangan untuk mengharmoniskan antara kebutuhan ekonomi dan
ekologi.
Sumber daya ikan pada suatu perairan, akan bertambah jika laju
pertumbuhan dan laju peremajaan ditingkatkan. Sebaliknya akan berkurang jika
ditangkap nelayan atau mengalami kematian alami. Agar sumber daya ikan lestari
maka laju pertumbuhan dan peremajaan harus lebih besar dari pada ikan yang
ditangkap nelayan atau mengalami kematian alami. Untuk meningkatkan stok
ikan tangkapan nelayan maka laju pertumbuhan dan laju peremajaan harus
diperbesar dengan menetapkan suaka perikanan atau dengan kegiatan restoking
jenis ikan yang sesuai dengan kondisi perairan.
Alternatif langkah untuk melestarikan plasma nuftah perikanan adalah
dengan penyediaan suaka perikanan. Penyediaan suaka perikanan merupakan
karena secara langsung dapat melindungi dan meningkatkan sumber daya
perikanan (Utomo et al., 2005 dalam Sugianti et al., 2009).
Suaka perikanan merupakan suatu kawasan perairan tertentu baik perairan
daratan atau bahari yang mempunyai bagian-bagian tertentu sebagai tempat
perlindungan dimana ikan tidak boleh ditangkap dengan cara apapun, kapanpun,
oleh siapapun. Suaka perikanan akan berfungsi sebagai badan air dimana
komunitas ikan di dalamnya dapat melangsungkan daur hidupnya, dan dapat
memasok benih maupun calon induk ikan ke daerah penangkapan di sekitarnya.
Suaka perikanan diharapkan dapat memulihkan kembali daya dukung badan air
sekitarnya, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal dan
berkesinambungan bagi kemaslahatan nelayan dan masyarakat sekitarnya.
Dengan pulihnya populasi ikan di perairan sekitar suaka perikanan, maka potensi
sumber daya ikan dapat lestari dan dapat berfungsi secara optimal seperti yang
III.
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kab. HSU)
Provinsi Kalimantan Selatan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan Januari
2012. Secara geografis Kab. HSU terletak pada posisi 2o17’ sampai 2o33’ Lintang
Selatan dan antara 114o52’ sampai 115o24’ Bujur Timur dengan batas-batas
administrasi sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Tabalong dan Provinsi Kalimantan Tengah
Sebelah Timur : Kabupaten Balangan
Sebelah Selatan : Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan
Sebelah Barat : Kabupaten Barito Selatan (Provinsi Kalimantan Tengah).
3.2 Bahan dan Alat
Data yang digunakan terdiri atas data primer yaitu data hasil survei lapangan
dan wawancara, serta data sekunder yaitu data penunjang berupa peta-peta tematik
dan data berupa Podes Kab. HSU (data kependudukan, data produksi ikan dan
lain-lain).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa laptop yang
dilengkapi dengan software ArcGIS versi 9.3 dan Excell 2007. Peralatan penunjang lainnya adalah GPS dan kamera.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Sumber data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini didapatkan
dengan cara menginventarisasi dan penelusuran data baik pada buku, peta,
internet, perundang-undangan, penelitian terdahulu maupun dari beberapa instansi
terkait baik instansi pemerintah di daerah maupun pusat atau instansi atau
lembaga independen lainnya. Sumber data primer diperoleh dari pengamatan
lapangan, wawancara, dan pengisian kuesioner.
Data sekunder tersebut meliputi data peta administrasi, peta penggunaan
lahan tahun 2010 (peta penggunaan lahan musim hujan) dan tahun 2011 (peta
penggunaan lahan musim kemarau), data curah hujan, PDRB Kabupaten per
genangan, produksi perikanan tahun 2006-2010, dan data rumah tangga produksi
(RTP) nelayan tahun 2009-2010.
Dalam penelitian ini, data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner
untuk mengetahui pendapat responden mengenai kondisi dan potensi perikanan
tangkap, prioritas pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak di Kab.
HSU dan penentuan faktor pengendali internal dan eksternal. Responden
merupakan seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengembangan perikanan tangkap yang terdiri atas: unsur pemerintah daerah meliputi Bappeda, Dinas
Perikanan dan Peternakan, dan Bagian Ekonomi Sumber Daya Alam Setda Kab.
HSU, unsur masyarakat meliputi nelayan dan tokoh nelayan serta unsur swasta
meliputi masyarakat yang bergerak di bidang pemasaran hasil perikanan.
3.4 Metode Analisis Data
Untuk mengetahui arahan kawasan pengembangan potensi rawa lebak
dalam menunjang kegiatan perikanan, terlebih dahulu mengetahui gambaran
umum potensi dan karakteristik daerah berdasarkan data-data sekunder yang
terkumpul. Dari data yang terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian sehingga akan menjawab permasalahan yang
diangkat. Matriks analisis penelitian disajikan pada Tabel 1, sedangkan diagram
alir penelitian tertera pada Gambar 2.
Tabel 1 Matriks Analisis Penelitian
No Tujuan Data Metode
Hasil survei Deskriptif Identifikasi penyebab penurunan produksi
Tabel 1 (lanjutan)
Kuesioner AHP Persepsi
stakeholder
Beberapa analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut:
3.4.1 Analisis Location Quotient (LQ)
Analisis LQ digunakan untuk mengetahui lokasi pemusatan atau basis
aktivitas dan menunjukkan peranan sektor dan mengetahui kapasitas ekspor
perekonomian wilayah serta tingkat kecukupan barang atau jasa dari produksi
sedangkan untuk memetakan sektor unggulan dapat digunakan data PDRB per
sektor atau data jumlah tenaga kerja per sektor. Untuk komoditas yang berbasis
lahan seperti perikanan perhitungannya didasarkan pada luas areal, produksi atau
produktivitas (Hendayana, 2003). Asumsi yang digunakan dalam analisis ini
adalah (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktivitas bersifat
seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Nilai LQ
diketahui dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
= Nilai LQ untuk aktivitas ke-j di kecamatan ke-i
= derajat aktivitas ke –j pada kecamatan ke-i
= derajat aktivitas total pada kecamatan ke-i
= derajat aktivitas ke-j pada total wilayah
= derajat aktivitas total wilayah
i = kecamatan yang diteliti
j = aktivitas ekonomi yang dilakukan
Metode LQ pada penelitian ini digunakan untuk mengidentifikasi
keunggulan komparatif sebagai daerah basis kegiatan perikanan di tiap wilayah
(kecamatan) dari aspek jumlah produksi.
Interpretasi hasil analisis adalah sebagai berikut :
Jika nilai > 1, wilayah ke-i memiliki keunggulan komparatif untuk
dikembangkan sebagai basis kegiatan perikanan.
Jika nilai < 1, wilayah ke-i tidak memiliki keunggulan komparatif
untuk dikembangkan sebagai basis kegiatan perikanan.
3.4.2 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab penurunan
produksi perikanan tangkap dan arahan pengembangan perikanan tangkap di rawa
lebak Kab. HSU. Analisis ini berdasarkan pada hasil survei yang dilakukan
terhadap produksi perikanan tangkap. Data yang dianalisis kemudian
dihubungkan dengan kondisi aktual untuk mengetahui penyebab kecenderungan
keadaan rawa lebak dianalisis dari data produksi hasil perikanan, sarana dan
prasarana pendukung serta data lain yang mencerminkan keragaan rawa lebak.
Hasil analisis terhadap kondisi perikanan tersebut selanjutnya
dihubungkan dengan daya dukung dan peluang serta faktor-faktor lain yang
berpengaruh, sehingga diperoleh keadaan rawa lebak secara umum. Kegiatan
penangkapan masih berpeluang untuk dikembangkan apabila potensi sumber daya
perikanan yang tersedia lebih besar dari tingkat produksi aktualnya. Untuk
mencapai tingkat pengelolaan yang berkelanjutan, jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) adalah sebesar 80% dari total potensi sumber daya perikanan
yang tersedia.
Arahan pengembangan perikanan tangkap di Kab. HSU disusun
berdasarkan hasil dari analisis sebelumnya yang meliputi hasil analisis kondisi
dan potensi perikanan tangkap, analisis Location Quotient (LQ) analisis SWOT dan analisis Analytical Hierarchy Process (AHP). Selanjutnya hasil analisis tersebut dipadukan dengan peta wilayah potensi perikanan tangkap dan peta
RTRW Kab. HSU sehingga diperoleh peta arahan pengembangan perikanan
tangkap dan arahan pengembangan perikanan tangkap di rawa lebak Kab. HSU.
3.4.3 Analisis Kriteria Teknis Kawasan Suaka Perikanan
Analisis ini mengidentifikasi fungsi kawasan rawa lebak sebagai kawasan
suaka perikanan. Identifikasi kawasan suaka perikanan berdasarkan syarat
lingkungan hidup ikan dengan kriteria-kriteria yang mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 02 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi
Perairan). Pengolahan data kemudian dilakukan dengan analisis spasial
menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menghasilkan peta
kawasan suaka perikanan.
Suaka perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau
maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung atau
berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah
perlindungan. Untuk memfungsikan suatu lokasi sebagai suaka perikanan, maka
lokasi tersebut haruslah memenuhi persyaratan lingkungan hidup ikan di habitat
kriteria penting suaka perikanan yang ada di daerah rawa lebak banjiran ( flood-plain), agar dapat berfungsi sebagai sumber benih untuk melestarikan dan meningkatkan produksi ikan di sekitarnya, yaitu:
1. Kedalaman yang cukup dan tidak mengalami kekeringan pada musim
kemarau.
2. Kualitas air harus baik atau tidak ada pencemaran yang melebihi ambang
batas untuk kehidupan ikan.
3. Banyak tersedia pakan alami seperti: perifiton, serangga air, benthos,
plankton, sehingga ikan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
4. Di sekitar suaka harus terdapat hutan rawa dan vegetasi air lainnya sebagai
tempat mencari pakan (feeding ground), tempat berkembang biak (spawning ground) dan perlindungan terutama bagi anak ikan (nursery ground).
5. Mempunyai fluktuasi air yang besar (2-4 m), saat air besar pada musim
penghujan ikan dapat menyebar ke segala penjuru perairan mengikuti gerakan
air menuju hutan rawa untuk melakukan pemijahan, sedangkan pada saat air
surut musim kemarau ikan kembali ke suaka.
6. Suaka harus berhubungan dengan perairan umum, tidak tertutup, terdapat
jalur berupa kanal, sehingga benih ikan dapat menyebar ke perairan
sekitarnya.
7. Dalam pengelolaan suaka harus ada partisipasi masyarakat setempat.
Ada beberapa tipe suaka perikanan, yaitu:
1. Tipe lebung (cekungan tanah di rawa lebak), luas ideal ≥ 0,5 ha, namun
jumlahnya harus banyak dan menyebar.
2. Tipe danau rawa lebak (oxbow-lake), luas ideal 20 ha.
3. Tipe sungai, panjang minimal 1 km dan harus ada lubuk sungai dan goa
tempat persembunyian induk ikan.
Secara spasial, identifikasi kawasan calon lokasi suaka perikanan
menggunakan peta penggunaan lahan musim kemarau berdasarkan kawasan yang
masih tergenang air pada musim kemarau. Kawasan calon lokasi suaka perikanan
diutamakan memiliki sifat: (1) selalu tergenang sepanjang tahun, (2) terhubung
dengan daerah tangkapan atau berada di dekat sungai, (3) adanya vegetasi.
sekitarnya untuk mengetahui karakteristik perairan. Hasil wawancara yang
dilakukan terhadap masyarakat juga menjadi bahan pertimbangan dalam
penentuan calon lokasi berdasarkan kriteria yang ada. Masyarakat setempat lebih
mengetahui keadaan perairan di sekitar mereka. Setelah calon lokasi ditetapkan,
maka dilakukan pengamatan langsung ke lapangan (ground check) untuk mengetahui kondisi aktual di lapangan. Penentuan calon lokasi dilakukan dengan
deliniasi terhadap peta penggunaan lahan musim kemarau pada areal yang sesuai
dengan sifat-sifat tersebut.
Untuk mengidentifikasi kawasan perikanan tangkap menggunakan peta
penggunaan lahan musim hujan. Kawasan ini ditentukan dengan melakukan
query pada kelas penggunaan lahan berupa rawa lebak, belukar rawa, hutan rawa sekunder dan tubuh air. Hutan rawa merupakan tempat pemijahan, mencari pakan
alami dan perlindungan (Utomo et al., 2009). Produksi ikan pada ekosistem hutan rawa lebih tinggi dari pada perairan yang tidak berhutan rawa (Utomo et al., 1999). Potensi perikanan di perairan rawa lebak cukup besar, diperkirakan tidak
kurang dari 100 jenis ikan terdapat di perairan rawa lebak. Jenis ikan yang adaptif
hidup pada ekosistem rawa lebak bersifat spesifik lokasi dan cukup beragam
tergantung pada keadaan ekologi habitatnya. Jenis-jenis ikan yang umum didapati
di rawa lebak disebut ikan hitam antara lain betok, gabus, sepat, biawan, patin,
belut dan toman. Ikan putih yang umum terdapat di perairan sungai atau danau
juga dapat ditemukan di rawa lebak sebagai ikan pendatang yang masuk karena
banjir atau terikut saat luapan sungai (Noor, 2007).
3.4.4 Analisis Spasial (Spatial Analysis)
Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG), selain pembuatan atau digitasi
peta dengan input data spasial maupun atribut, hal lain yang juga sering dilakukan
adalah analisis data, yang diharapkan akan dapat memberikan informasi yang
diperlukan dari peta yang dibuat. Pengolahan data spasial seperti ini menjadi
sangat penting karena ada banyak pengguna peta yang keperluannya berbeda-beda
dan terkadang sangat spesifik.
di lapangan untuk melihat keterkaitan atau hubungan antara fenomena secara
spasial dengan menggunakan teknik:
1. Overlay atau tumpang susun antara data spasial sehingga dihasilkan suatu wilayah baru dengan karakteristik yang merupakan gabungan nilai antar data
spasial.
2. Dissolve untuk meringkas atau menggabungkan antar kelas yang sama. 3. Union digunakan untuk menggabungkan poligon-poligon yang kurang
sempurna hasil dissolve menjadi poligon yang sempurna.
4. Intersection untuk melakukan overlay, (menggabungkan dua atau beberapa fitur) outputnya merupakan fitur overlap yang memiliki seluruh atribut dari seluruh fitur.
5. Buffer merupakan jarak di sekeliling garis atau poligon sebuah fitur.
3.4.5 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Salah satu model analisis data yang dapat digunakan untuk menelaah
kebijakan adalah AHP. Analisis kebijakan merupakan analisis yang
menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa, sehingga dapat
memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan.
Metode AHP dapat digunakan dengan cukup mengandalkan intuisi atau persepsi
sebagai masukan utamanya, namun intuisi atau persepsi tersebut harus datang dari
orang yang mengerti permasalahan, pelaku dan pembuat keputusan yang memiliki
cukup informasi dan memahami masalah keputusan yang dihadapi.
Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah responden sebanyak 7 orang yang merupakan stakeholder terkait kegiatan perikanan terdiri atas unsur-unsur pemerintah daerah (4 orang), tokoh masyarakat
nelayan (2 orang), dan pihak swasta (1 orang). Pemilihan responden dilakukan
sedemikian rupa terhadap pihak-pihak yang memiliki pemahaman baik terkait
dengan pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Menurut Marimin (2008) dasar dari prinsip kerja AHP adalah sebagai
berikut :
1. Penyusunan Hierarki
Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya yaitu
2. Penilaian Kriteria dan Alternatif
Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Pendekatan
AHP menggunakan skala Saaty mulai dari nilai bobot 1 sampai dengan 9.
Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa atribut yang
sama skalanya nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan
kasus atribut yang paling absolut dibandingkan yang lainnya.
3. Penentuan Prioritas
Setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria
kualitatif, maupun kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan
judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan memanipulasi matriks atau melalui
penyelesaian persamaan matematik.
4. Konsistensi Logis
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara
konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
3.4.6 Analisis SWOT
Analisis SWOT dilakukan untuk merumuskan prioritas kebijakan dalam
arahan pengembangan potensi perikanan tangkap rawa lebak. Analisis SWOT
adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi.
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(strength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat). Analisis ini membandingkan antara faktor eksternal (peluang dan ancaman) dengan faktor
internal (kekuatan dan kelemahan) sehingga dari matriks SWOT dapat
menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki (Rangkuti, 2009).
Menurut Marimin (2008) proses yang dilakukan dalam pembuatan analisis
SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat melalui berbagai tahapan
1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal.
2. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks SWOT.
3. Tahap pengambilan keputusan.
Tahapan pengambilan data digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dapat dilakukan dengan
wawancara terhadap orang yang memiliki keahlian ataupun melakukan analisis
secara kuantitatif. Setelah mengetahui berbagai faktor maka tahap selanjutnya
adalah membuat matrik internal eksternal.
Matrik SWOT digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis yang
menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang disesuaikan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matrik ini menghasilkan empat set
kemungkinan alternatif strategis seperti pada Tabel 2.
Diagram alir penelitian pada Gambar 2.
3.5 Diagram Alir Penelitian
Gambar 2 Diagram Alir Penelitian
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Geografis
Kabupaten Hulu Sungai Utara terletak di bagian utara Provinsi Kalimantan
Selatan yaitu pada posisi 2o17’ sampai 2o33’ Lintang Selatan dan antara 114o52’
sampai 115o24’ Bujur Timur. Batas-batas wilayahnya administrasinya adalah
sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Tabalong dan Provinsi Kalimantan Tengah
Sebelah Timur : Kabupaten Balangan
Sebelah Selatan : Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan
Sebelah Barat : Kabupaten Barito Selatan (Provinsi Kalimantan Tengah)
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 89.270 ha (892,7 km²) atau hanya
2,38% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Kab. HSU dengan ibukota
Amuntai secara administrasi wilayah terbagi dalam 10 kecamatan, dengan 219
desa dan 5 kelurahan yang ada seperti terlihat pada Tabel 3 dan Peta Administrasi
Kab. HSU pada Gambar 3.
Tabel 3 Kecamatan dalam Wilayah Administrasi Kab. HSU
No Kecamatan Ibukota
Kecamatan
Sumber: BPS Kab. HSU (2011)
Dari Tabel 3 terlihat bahwa, berdasarkan luas wilayah yang dimilikinya,
Kec. Danau Panggang merupakan kecamatan terluas yang mencakup 25,15% dari
luas wilayah Kab. HSU. Kecamatan yang memiliki luas terkecil adalah Kec.
Sumbe
r :
B
appe
d
a
(
2010
)
Ga
mbar
3 P
eta
Admini
stra
si Ka
b
4.2 Demografi
Berdasarkan data BPS Kab. HSU tahun 2011, jumlah penduduk di Kab.
HSU berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 sebanyak 209.246 jiwa yang
tersebar pada 10 kecamatan, 219 desa atau kelurahan dan terdiri atas 53.742
rumah tangga. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin pada tahun 2010
terbanyak adalah penduduk perempuan yaitu 106.895 jiwa, sisanya laki-laki
sebanyak 102.351 jiwa. Pada Tabel 4 dapat dilihat penyebaran penduduk di Kab.
HSU berdasarkan masing-masing kecamatan.
Tabel 4 Jumlah Rumah Tangga Dan Penduduk Kab. HSU Tahun 2010
Kecamatan Rumah
Sumber: BPS Kab. HSU (2011a)
Jika dilihat dari persebaran penduduk per kecamatan pada Tabel 4, maka
Kec. Amuntai Tengah merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar
dibandingkan kecamatan lainnya, yaitu sebanyak 47.961 jiwa. Daya tarik sebagai
ibukota kabupaten merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya penduduk
yang bermukim di daerah ini. Kec. Amuntai Selatan merupakan kecamatan
berpenduduk padat kedua dengan jumlah penduduk sebesar 26.466 jiwa dan
diikuti Kec. Sungai Pandan sebanyak 25.905 jiwa. Kecamatan yang jumlah
penduduknya paling sedikit yaitu Kec. Paminggir berjumlah 7.377 jiwa. Dari
keseluruhan luas wilayah di Kab. HSU, kepadatan penduduk rata-rata per km2
adalah sebesar 234 jiwa. Komposisi umur penduduk didominasi oleh penduduk
usia dewasa yaitu sekitar 66% yang berumur 15-55 tahun. Dengan demikian
4.3 Fisik Wilayah
Secara morfologi, Kab. HSU pasca pemekaran wilayah dengan Kab.
Balangan merupakan wilayah yang terdiri atas dataran rendah dengan ketinggian
berkisar antara 0-25 meter dari permukaan laut. Daerah yang tersisa dari
pemekaran wilayah didominasi oleh lahan rawa lebak baik yang tergenang secara
permanen maupun tergenang secara periodik seperti pada Gambar 4.
Gambar 4 Lahan Rawa Lebak di Kab. HSU
Dari kisaran ketinggian dari permukaan laut tersebut, seluruh kecamatan di
Kab. HSU berada pada kemiringan 0–2% dan di kelas ketinggian 0–7 m dari
permukaan air laut. Dengan demikian, terdapat luasan lahan sebesar 89.270 ha
yang landai dan nyaris tanpa gelombang pada seluruh wilayahnya yang berada
pada ketinggian 0–7 meter dari permukaan laut.
Geologi wilayah yang merupakan dataran rendah ini menyebabkan 98,48%
(87.916 ha) dari luas wilayah Kab. HSU umumnya tergenang secara periodik.
Sisanya, 1,38% dari luas wilayah atau 1.239 ha tergenang secara terus menerus
dan 0,13% atau 115 ha merupakan kawasan yang tidak pernah tergenang. Kondisi