• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

3.4. Daerah Kajian / Area Of Interest (AOI)

Area of Interest merupakan daerah lingkup kajian dalam penentuan kawasan konservasi. AOI yang telah ditentukan dibentuk menjadi beberapa Unit Perencanaan/ Planing Unit dengan satuan Unit Perencanaan heksagonal. Planing Unitatau Unit Perencanaan (pu) sendiri merupakan blok-blok bangunan dari sistem konservasi yang Marxan evaluasi dan pilih sebagai bentuk solusi (Loos 2006). Penentuan daerah kajian (AOI) dan unit perencanaan (pu) merupakan hal penting dan utama dalam analisis marxan.

Pada penelitian ini, daerah lingkup yang akan dikaji / Area of Interestterletak pada sekitar laut dan muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus, Cimandiri dan Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 6). Batasan lokasi studi ini didasarkan atas kewenangan pengelolaan daerah Palabuhanratu untuk mengelola laut, dimana sesuai Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, suatu kabupaten/kota memiliki kewenangan pengelolaan laut sejauh 4 mil (untuk wilayah yang berbatasan dengan laut yang luas).

Bentuk yang dapat diadopsi dalam satuan unit perencanaan yaitu segitiga, persegi empat, dan heksagonal (Loss 2006). Bentuk heksagonal dipilih karena miliki bentuk yang paling natural dan lebih mendekati lingkaran sehingga memiliki rasio

tepi yang rendah (Gaselbarchtet al. 2005). Artinya satu heksagonal dapat mewakili daerah terdekat dari setiap sisi-sisi daerah sekelilingnya. Bantuk heksagonal juga memiliki keluaran yang lebih halus dibandingkan dengan satuan unit perencanaan lainnya (Milleret al. 1993inLoss 2006).

3.5. Analisis Zonasi Kawasan Konservasi

Untuk menentukan zona kawasan konservasi, digunakan perangkat lunak Marxan yang bekerja menggunakan algoritma simulated annealing untuk mencari nilai cost yang paling rendah dengan menggunakan dua macam input data, yaitu data fitur konservasi dan data fitur biaya. Fitur konservasi adalah fitur yang mempunyai indikator mengharuskan daerah tersebut dikonservasi, sedangkan fitur biaya yang menyebabkan biaya konservasi meningkat. Masing-masing parameter pada fitur konservasi mempunyai tingkat kepentingan dan kualitas data yang berbeda-beda, sehingga penalti faktor dendanya (penalty factor)juga berbeda. Salah satu keunggulan Marxan yaitu dapat diterapkan dengan beberapa skenario perencanaan, sehingga Perancang dapat memilih skenario terbaik untuk menentukan kawasan konservasi yang efisien dengan biaya terendah. Analisis marxan menggunakan algoritmasimulated anealing yang dimaksudkan untuk mencari nilai biaya terendah sebagai kawasan konservasi, hal ini merupakan kombinasi sederhana dari nilai biaya terpilih dan nilai penalti yang tidak memenuhi target (Ball dan Posingham 2000). Nilai biaya terendah merupakan solusi terbaik, yang dihitung dari formula matematika sebagai berikut :

= + × + ( × )

Keterangan :

Cost : Nilaicost (biaya) yang terpilih di planing unit yang dapat diukuri= 1,2,…,n; n

adalah banyaknya satuan perencanaan.

BLM : Boundary lenght modifier, adalah kontrol penting dari batas relatifcostterpilih di planing unit. BLM bernilai 0 maka boundary lenght tidak dimasukkan dalam fungsi obyektif.

SPF : Species penalty factor, yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i apabila target tiap spesies tidak terpenuhi

Penalty : Nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektfi untuk setiap target tidak terpenuhi pada setiap perencanaan ke-i, penalti ini opsional, dapat tidak dimasukkan dalam fungsi obyektif

3.5.1. Pembobotan fitur

Penentuan bobot nilai fitur konservasi dan fitur biaya terbilang sangat unik, penilaian fitur pada penelitian ini berdasarkan tingkat kepentingan data dan kualitas data. Fitur konservasi dengan bobot tinggi diperhitungkan untuk meningkatkan nilai costapabila target konservasi tidak terpenuhi, sedangkan bobot untuk fitur biaya di perhitungkan untuk tidak terpilih sebagai kawasan konservasi karena kawasan tersebut sudah termanfaatkan sehingga akan meningkatkan biaya pengelolaan apabila dialihkan menjadi kawasan konservasi. Penentuan bobot kedua jenis data fitur ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan dan kualitas data, yang artinya kualitas data dinilai tinggi jika pengambilan datanya berdasarkan hasil penelitian, sedangkan kualitas data dinilai rendah jika pengambilan datanya berdasarkan wawancara. Penentuan nilai faktor denda (penalty) pada tiap fitur konservasi ditentukan secara subyektif oleh penulis, karena sejauh ini tidak ada aturan khusus dalam menentukan nilai faktor denda (penalty) pada tiap spesis, namun Ball dan Possingham (2000) menyarankan menggunakan SPF diatas 1, hal ini dibenarkan oleh Loos (2006) yang menyatakan bahwa nilai SPF kecil (0.1) mangakibatkan target tidak terpenuhi.

Data tiap fitur masing-masing dimasukkan dalam satuan perencanaan. Data konservasi dimasukkan kedalam satuan perencanaan fitur konservasi, demikian juga dengan fitur biaya, sehingga menghasilkan dua macam data yang bisa dianalisa lebih lanjut.

Pembobotan fitur konservasi

Fitur konservasi dipilih dari beberapa larva ikan dan habitat larva ikan. Larva yang mempunyai pertimbangan utama yang akan di lindungi karena keberadaannya yang semakin menipis di alam akibat adanya penangkapan yang tidak terkendali,

sedangkan habitat larva dipertimbangkan untuk dilindungi karena habitat merupakan tempat larva ikan hidup dan dapat mempengaruhi keberadaan larva di alam.

Penentuan bobot nilai ditentukan dari tingkat kepentingan data dan kualitas data. Data atau spesies yang penting untuk dilindungi dinilai dengan tingkat kepentingan yang tinggi, kulitas data dikatakan tinggi jika data diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya, dan kualitas data dinilai rendah apabila sumber data diperoleh dari hasil wawancara. Semakin tinggi kepentingan data tesebut dan semakin tinggi tingkat kualitas data tersebut, maka semakin tinggi bobot nilai Spesies Penalty Factor (SPF). Berikut merupakan kriteria penentuan nilai faktor denda (SPF) pada tiap fitur konservasi (Tabel 3).

Tabel 3. Kriteria penentuan nilai faktor denda (SPF) fitur konservasi Tingkat

Kepentingan Kualitas Data Nilai Skor

Sangat Tinggi Tinggi 23

Tinggi Tinggi 17

Sedang Tinggi 11

Rendah Tinggi 9

Sangat Rendah Tinggi 7

Sangat Tinggi Rendah 5

Tinggi Rendah 3

Sedang Rendah 2,5

Rendah Rendah 2

Sangat Rendah Rendah 1

Ada 2 macam metode dalam penentuan skor nilai faktor denda (SPF) untuk fitur konservasi, antara lain adalah penentuan faktor denda dengan peningkatan nilai tiap fitur secara linier dan penentuan faktor denda dengan peningkatan nilai fitur secara logaritma. Pada penelitan ini nilai faktor denda tiap fitur konservasi menggunakan peningkatan nilai secara logaritma dengan tujuan semakin penting fitur konservasi tersebut, semakin tinggi nilai faktor dendanya sehingga tujuan untuk perlindungan fitur akan tercapai, karena fitur konservasi yang penting mempunyai nilai lebih tinggi dengan jarak yang berkali lipat lebih jauh dari faktor denda fitur konservasi lainnya.

Pembobotan fitur biaya

Fitur biaya diperoleh dari data sosial yang berkaitan dengan penduduk serta pola pemanfaatan sumberdaya kawasan. Data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dan hasil wawancara dengan masyarat dan nelayan sekitar.

Fitur biaya meliputi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), PLTU, Fishing Ground, Jalur Kapal serta Wisata dan Hotel,. Biaya unit perencanaan fitur-fitur tersebut dihitung dari adanya pemanfaatan sumberdaya yang membuat total biaya akan lebih tinggi. Fitur PPN, PLTU serta Wisata dan Hotel merupakan bangunan fisik yang sangat jelas diamati di lapangan, dimana jika dihilangkan akan menyebabkan biaya semakin tinggi, sehingga penentuan nilai masing-masing fitur ditentukan dengan skor (weighting score) realtif satu sama lain terhadap biaya pengelolaan suatu kawasan yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat kepentingan. Tabel 4 merupakan kriteria penentuan nilai skor biaya pada tiap fitur biaya.

Tabel 4. Kriteria penentuan nilai skor fitur biaya Tingkat Kepentingan Nilai Skor Sangat Tinggi 17 Tinggi 9 Sedang 5 Rendah 3 Sangat Rendah 1 3.5.2. Pengolahan data

Data primer dan sekunder dikelompokkan dan diolah menggunakan bantuan Microsoft Excel, kemudian dengan bantuan softwere Arcview GIS data diubah menjadi data spasial, kemudian dengan extension CLUZ pada Arcview GIS, data dirubah menjadi data yang diperlukan Marxan untuk diolah menjadi hasil kawasan terpilih. Data yang dikelompokkan (fitur konservasi dan fitur biaya) dalam menganalisis kawasan konservasi menggunakan marxan dimasukkan dalam kesatuan perencanaan dengan sistem present/absent (Lampiran 3). Hal ini berarti jika suatu heksagonal bertumpang susun dengan suatu fitur (konservasi atau cost)

maka heksagonal tersebut beratribut present. Jika present maka atributnya sama dengan 1, jika absent atributnya menjadi 0.

Data konservasi yang sudah dimasukkan disebut data habitat (habitat.shp)dan data fitur biaya disebut data biaya (cost.shp). Selengkapnya alur file tabuler untuk input marxan dengan ArcView dan CLUZ ditampilkan dalam Gambar 7.

Gambar 7. Alur tabuler untuk input Marxan dengan ArcView dan CLUZ

Secara umum proses penyampaian data untuk marxan terfokus pada 3 buah shapefile yaituplaning units (Pu.shp), abundance (habitat.shp), dancost (cost.shp). file tersebut dihasilkan setelah proses pembuatan heksagonal lengkap dengan proses cropping pada peta daerah yang akan dikaji (AOI). file planing units (Pu.shp), Abundance (Habitat.shp), dan cost (cost.shp) adalah shapefile heksagon dengan wujud serupa namun berbeda fungsi dan isi tabelnya.

Pengelolaan 3 buah shapfile dilakukan dengan bantuan CLUZ akan menghasilkan 4 buah tabular yaitu Abundance.dat, Target.dat, Unit.dat dan Bound.dat yang menjadi input Marxan. CLUZ merupakan singkatan dari Conservation Land Using Zoning adalah tools yang digunakan sebagai extensi ArcView Gis 3.x untuk menyiapkan data yang akan digunakan sebagai input marxan.

3.5.3. Pengaturan BLM (Boundary length modifier)

BLM merupakan konstanta yang mengatur tingkat pengelompokan satuan perencanaan yang terpilih dalam marxan. Pada BLM yang rendah, satuan perencanaan yang terpilih akan menyebar karena marxan akan terkonsentrasi pada biaya yang rendah, sedangkan pada BLM tinggi, satuan perencanaan terpilih akan mengelompok, karena marxan akan berusaha untuk menurunkan panjang batas dari satuan perencanaan tersebut (Steward dan Possingham 2005)

Penentuan nilai BLM akan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain (J.A. Ardonet al. 2003inIla 2010). Menurut Possinghamet al. (2000) nilai BLM dipilih bergantung pada keseluruhan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari analisis yang dilakukan. Nilai BLM untuk map unit UTM berkisar antara 0-1, sedang map unit degree berkisar antara 0-10000 (Darmawan dan Barnawi 2007). Nilai kisaran BLM tersebut sudah dapat memberikan variasi pengelompokan satuan perencanaan yang terpilih. Karena pada penelitian ini menggunakan map unit degree, maka untuk menentukan BLM optimum pada penelitian ini digunakan BLM yang berkisar antara 0-10000, sehingga dipilihlah 7 BLM yang berbeda, antara lain adalah 10, 100, 250, 500, 1000, 5000 dan 10000.

Berdasarkan nilai BLM yang ditetapkan, tiap BLM tersebut diproses oleh Marxan sehingga akan menghasilkan output berupa lima buah file yaitu output1_best, output1_mvbest, output1_sen, output1_ssoln dan output1_sum. File Output1_sumberisi table tentang nilai cost, panjang garis batas, dan luas area. Nilai BLM optimal diperoleh dari fileoutput1_sumdengan melihat hubungan antara biaya dengan panjang batas tepi kawasan atau antara luas area dengan panjang batas tepi kawasan (Steward dan Possingham 2005).

3.5.4. Pengaturan zonasi

Pengaturan kawasan konservasi dalam marxan dapat dilakukan dengan sistem zonasi yang mengacu pada PP No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan dan zona lain yang diatur sesuai kebutuhan dan kondisi setempat. Pembagian zonasi tersebut, dalam marxan dilakukan dengan membagi frekuensi yang terdapat dalam

file output1_ssoln kedalam empat kelas dengan interval yang sama. Dalam file ini berisi frekuensi suatu daerah akan terpilih menjadi kawasan konservasi berdasarkan 100 kali ulangan. Nilai frekuensi tersebut 51-74 sebagai zona pemanfaatan, 26-50 sebagai zona perikanan berkelanjutan dan 0-25 sebagai zona lainnya.

3.5.5. Penentuan skenario

Skenario zona kawasan konservasi merupakan alternatif solusi yang ditawarkan untuk merancang desain kawasan konservasi. Dengan perangkat lunak Marxan, para Perancang dapat mencoba berbagai skenario perencanaan kawasan yang berbeda dan melihat hasilnya, Dari hasil tersebut Perancang dapat memilih skenario terbaik untuk perencanaan kawasan konservasi (Ball dan Possingham 2004). Skenario tersebut didapatkan dari hasil perhitungan Marxan berdasarkan target konservasi yang berbeda-beda yang bertujuan untuk memberikan beberapa alternatif desain kawasan konservasi sehingga nantinya menjadi pilihan dalam menetapkan suatu kawasan konservasi yang sesuai karakteristik dan keadaan lingkungannya. Bedasarkan observasi yang dilakukan terhdap beberapa skenario, maka ditetapkan 3 skenario dengan 7 BLM dan target yang berbeda, maka proses tersebut menghasilkan 21 hasil yang berbeda. Berikut merupkan rancangan skenario berdasarkan taget fitur konservasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Skenario kawasan konservasi

fitur konservasi skenario 1 skenario 2 skenario 3 % target % target % target

1 Anguilla 10 20 40

2 Congridae 10 20 40

3 Trichiuridae 10 20 40

4 Gobiidae 10 13 25

5 Nursery Ground 10 30 40

6 Feeding Groundtepi 8 10 20

Target konservasi dihitung berdasarkan persentase wilayah yang ditetapkan untuk dikonservasi. Persentase tersebut merupakan persentase dari total luas target yang menjadi fitur konservasi dalamArea of Interest.

3.5.6. Konektivitas

Karena Marxan belum bisa menjelaskan secara rinci tentang konektivitas secara ekologi, desain kawasan konservasi disesuaikan dengan model biofisik pergerakan ikan oleh Palumbi (2004), yaitu untuk larva 10-100 km. Untuk menjamin tingkat konektivitasnya, nilai BLM ditingkatkan secara bertahap sampai daerah yang terpilih menghasilkan desain dengan tingkat konektivitas yang sesuai, selain itu, peningkatan konektivitas bisa dengan cara menambah zona inti diantara zona sebelumnya, membagi wilayah perencanaan terhadap target yang ditetapkan untuk mewakili setiap spesies. Konektivitas sangat penting untuk desain efektif suatu perencanaan, karena menurut Palumbi, (2004) bahwa konektivitas tersebut menggambarkan jarak lintasan yang dapat dilalui oleh telur dan larva ikan, serta daerah jelajah biota tersebut, karena hal itu akan mempengaruhi pencapaian target fitur konservasi (Van der Molenet al.2007).

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu

Teluk Palabuhanratu terletak di Sukabumi Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah pesisir berdasarkan desa yaitu ± 20.730,87 ha. Teluk ini merupakan salah satu lokasi penting bagi perikanan tangkap di Indonesia yang memiliki kondisi geografis yang cukup menunjang yaitu terletak pada posisi 6o 57’-7o 07’ LS dan

106o 22’-106o 33’ BT (Gambar 8). Perairan di Teluk Palabuhanratu merupakan daerah penangkapan utama bagi nelayan, selain itu perairan ini berhadapan langsung dengan Samudera Hindia (Prayitno 2006 in Ambarwati 2008). Secara topografi, Teluk Palabuhanratu umumnya bertekstur kasar dan terdiri atas dataran bergelombang, perbukitan, daerah aliran sungai dan pantai. Topografi dasar laut (bathymetric)perairan Teluk ini tergolong curam, dengan kedalaman berkisar antara 3 meter (di sekitar pantai dan muara) sampai lebih dari 200 meter. Secara geologi dataran pantai yang berada pada muara Sungai Cimandiri, Sungai Cipalabuan–

Cigangsa, Sungai Citepus, Sungai Sukawayana, Sungai Cimaja, Sungai Cipawenang, Sungai Cisolok, Sungai Citiis, Sungai Cibangban, Sungai Cihaur dan Sungai Cibareno serta dikelilingi oleh Gunung Butak, Gunung Cabe, Gunung Handeuleum, Gunung Gado dan Gunung Habibi. Sedangkan sebelah Utara dan Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia.

Kondisi Teluk Palabuhanratu banyak dipengaruhi oleh kondisi hodrodinamikan dan oseanografi. Kondisi hidrodinamika perairan teluk sangat mempengaruhi Musim. Pada periode Musim Timur (Mei-Agustus) gelombang dan arus relatif lebih tenang dibandingkan pada periode musim barat (November- Februari), diantara Musim Timur dan Musim Barat terjadi periode peralihan yang disebut Musim Peralihan Timur (Maret-April) dan Musim peralihan Barat (September-Oktober) (Wyrtki 1961 inAnwar 2008). Kondisi oseanografi Samudera Hindia seperti adanya pengaruh angin yang besar sangat mempengaruhi kondisi di Teluk Palabuhanratu. Wyrtki (1961) in Anwar (2008) mengemukakan bahwa keadaan angin di Palabuhanratu sesuai dengan sifat laut dan tercatat kecepatannya sebesar 1-7.5 cm/dtk pada Bulan September sampai Desember yang bergerak ke

arah barat. Pada umumnya arus pantai di Teluk Palabuhanratu memperlihatkan pola pergerakan arus Barat Daya – Timur Laut dengan rata-rata 0,4 m/det (BLH Sukabumi 2003). Pasang surut terendah adalah 90 cm dan tertinggi mencapai tertinggi mencapai 249 cm dengan tunggangan airnya adalah 159 (BLH Kabupaten Sukabumi 2003). Tinggi gelombang berkisar antara 15–65 cm pada jarak 70 –500 meter dari garis pantai. Selanjutnya dikatakan bahwa perairan Teluk Palabuhanratu mempunyai suhu permukaan laut pada musim barat berkisar 29-30oC dan pada musim timur 26-27oC.

Salinitas di perairan Teluk Palabuhanratu dipengaruhi oleh keadaan musim dengan faktor utama adanya masukan massa air sungai yang bermuara. Transpor massa air sungai yang terutama pada musim barat mengakibatkan turunnya salinitas perairan pantai Teluk Palabuhanratu. Namun demikian di perairan teluk bagian tengah nilai perbedaan salinitas permukaan laut pada musim timur dan musim barat relatif kecil. Hasil pengukuran memperlihatkan nilai salinitas rata pada periode Agustus Oktober dan Mei-Juli masing-masing sebesar 32.96‰ dan 32.33‰

(Pariwonoet al.1988).

Daerah pesisir Teluk Palabuhanratu merupakan lokasi yang sangat potensial, terlihat dari aktivitas yang ada, kegiatan di Teluk Palabuhanratu pada umumnya merupakan Pariwisata dan nelayan. Aktivitas lain yang ditemukan ada pada Teluk Palabuhanratu ini yaitu PLTU dan Studi Lapang Kelautan (SLK). Sepanjang pesisir, banyak ditemukan Hotel dan kawasan wisata. Adanya Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) menjadikan kegiatan perikanan berpusat dan berlabuh di lokasi ini.

Kegiatan tahunan yang terkenal di Teluk Palabuhanratu ini adalah acara nyalawean yang dilakukan pada waktu bulan tertentu setiap tanggal 25 Hijriah khususnya bulan Maulud. Nyalawean merupakan tradisi masyarakat di Teluk Palabuhanratu yaitu aktivitas penangkapan “impun” dengan menggunakan sirib. Impun merupakan larva-larva ikan yang tertangkap. Saat musimnya, kelimpahan impun yang tertangkap sangat melimpah. Impun biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai sumber pangan atau dijual di TPI. Penangkapan impun ini dilakukan secara besar-besaran, hal ini terlihat dari semakin banyaknya kapasitas nelayan yang menangkap. Tidak hanya profesi sebagai nelayan saja yang

menangkap, penangkap impun juga berasal dari berbagai daerah. Harganya yang mahal dan kondisinya yang dianggap masih berlimpah, penangkapan impun menjadi pemanfaatan yang dilakukan secara besar-besaran tanpa memperhatikan keberlanjutannya.

4.1.1. Persepsi masyarakat tentang kawasan konservasi

Berdasarkan hasil dari wawancara dengan penduduk sekitar secara acidental sampling, pengetahuan masyarakat di Teluk Palabuhanratu mengenai konsep konservasi dapat digambarkan dalam Gambar 9.

Gambar 9. Persepsi masyarakat terhadap kawasan konservasi

Berdsarkan gambar diatas, terlihat bahwa pengetahuan dari masyarakat sekitar Teluk Palabuhanratu masih sangat minim tentang kawasan konservasi, terbukti bahwa hanya 5% penduduk saja yang mengetahui tentang kawasan konservasi. Hal ini menjadi suatu informasi yang perlu dipertimbangkan sebagai dasar strategi dalam pengambilan keputusan untuk menerapkan kawasan konservasi sebagai upaya menjadikan Teluk Palabuhanratu tetap lestari.

95%

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Fitur konservasi

Fitur konservasi merupakan data biofisik yang akan dilindungi sehingga fitur ini merupakan suatu acuan ekologi untuk tujuan fitur konservasi. Fitur konservasi dalam penelitian ini antara lain adalah sumberdaya larva dan habiat larva, sumberdaya larva antara lain adalah Anguilla, Congridae, Trichiuridae, dan Gobiidae, sedangkan fitur konservasi yang berupa habitat larva antara lain adalah feeding ground dan nursery ground. Berdasarkan tingkat kepentingan dan kualitas data, Nilai SPF pada setiap Fitur konservasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai faktor denda pada tiap fitur konservasi

No. Fitur konservasi Tingkat

kepentingan Kualitas Data

Faktor Denda (SPF) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Anguilla sp. Congridae Trichiuridae Gobiidae Nursery Ground Feeding Groundtepi Feeding Groundtengah

Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah 23 17 11 9 3 2.5 2

Pemilihan fitur konservasi diatas, dipertimbangkan dari beberapa kegiatan di daerah pesisir Teluk Palabuhanratu yang dinilai mengancam keanekaragaman hayati perairan, salah satu kegiatan yaitu penangkapan sumberdaya larva pada tradisi nyalawehan di Teluk Palabuhanratu. Sumberdaya larva ikan yang dipilih sebagai fitur konservasi meliputi Anguilla, Congridae, Trichiuridae, dan Gobiidae. Fitur konservasi ini terpilih berdasarkan pertimbangan nilai ekonomis penting spesies tersebut dan semakin sedikit kondisinya di alam sehingga apabila dibiarkan, kondisi tersebut dapat menjadi ancaman terhadap kelestarian sumberdaya tersebut. Selain dari sumberdaya larva, fitur konservasi lain adalah parameter berupa ekologi yang berupa ekosistem, habitat, maupun biofisik lainnya yang ada kaitan erat dengan

sumbedaya larva, diantaranya adalah feeding ground (tempat mencari makan) dan nursery ground(tempat asuhan).

a. Anguilla

Anguillamerupakan jenis ikan sidat yang sudah terancam keberadaan di alam, ikan ini merupakan ikan ekonomis penting karena tingkat selera terhadap ikan ini sangat tinggi terutama negara Jepang yang sering menjadi tujuan eskpor ikan ini untuk makanan olahan unagi. Ikan ini telah dibudidayakan, namun budidaya hanya bersifat pembesaran saja. Ikan sidat merupakan hewankatadromus yaitu ikan yang membesar (tumbuh) di perairan tawar dan akan beruaya menuju ke laut dalam (kedalaman 400 m) ketika akan memijah dan kemudian telurnya menetas di laut kemudian larvanya terbawa arus menuju pantai dan selanjutnya beruaya menuju pantai kemudian benih ikan sidat masuk ke sungai-sungai dan membesar hingga dewasa. Setelah ikan sidat mendekati dewasa akan beruaya kembali menuju laut untuk memijah (Sasono 2001). Hal ini yang menjadikan ikan sidat sulit untuk dibudidaya secara keseluruhan, sehingga untuk memenuhi permintaan konsumen akan ikan ini, perlu adanya penangkapan benih yang ada di alam, karena tingginya permintaan akan ikan sidat, penangkapan ikan ini di alam menjadi tidak terkendali, sehingga kondisi ini mengancam kelestarian yang berujung terhadap punahnya ikan sidat di alam, oleh karena itu ikan sidat menjadi dasar pertimbangan untuk konservasi yang bertujuan agar dapat menjaga kelestarian dari ikan sidat ini. Berdasarkan obyektivitas Penulis, ikan ini mempunyai nilai denda (SPF) sebesar 23 yang merupakan nilai denda terbesar diantara fitur konservasi yang lain. Berikut merupakan peta sebaran letak ikan Anguilla berdasarkan hasil penelitian dari (Said 2011) dan (Anwar 2008) (Gambar 10).

b. Congridae

Congridae merupakan family ikan sidat yang statusnya juga terancam kelestariannya, seperti halnya ikan sidat jenisAnguilla, ikan sidat family Congridae juga merupakan hewan katadromus yang menjadikan ikan ini masih belum bisa

5 Gambar 10. Sebaran fitur konservasiAnguilladi Teluk Palabuhanratu

dibudidayakan secara keseluruhan Untuk memenuhi permintaan konsumen, ikan ini masih dieksploitasi dari alam.

Tingginya permintaan akan ikan sidat, penangkapan ikan ini di alam menjadi

Dokumen terkait