• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1. Dysmicoccus spp (a) Kutu putih betina dewasa (b) Preparat

mikroskopik tubuh kutu putih betina d ewasa (c) Diagram tubuh kutu putih betina dewasa menurut Williams dan Watson (1988) …………... 12 2. 1. Perlakuan tanaman nanas dengan inokulasi dan in festasi kutu. 1a)

Gejala curling, 1b) Gejala mati ujung daun, 1c) Gejala merah; 2. Perlakuan tanaman nanas dengan inokulasi tanpa in festasi kutu (tanda panah merah menunjukkan gejala layu kuning) ; 3. Perlakuan dengan infestasi kutu tanpa inokulasi PMWaV; 4. Kontrol ... 13 3. Perakuan tanaman nanas uji yang hanya diinfestasi kutu tanpa

diinokulasi PMWaV ... 15 4. Kondisi tanaman uji yang: diinokulasi PMWaV dan diin festasi kutu

putih (a), diinokulasi PMWaV namun tidak diin festasi dengan kutu putih (b), diinfestasi kutu putih tanpa diinokulasi PMWaV (c), tidak diinokulasi PMWaV dan tidak diinfestasi kutu putih (kontrol) (d)... 16 5. Gejala layu sebagai interaksi antara virus Pineapple Mealybug Wilt

associated Virus 2 (PMWaV-2) dan aktivitas makan kutu putih

Dysmicoccus spp ………... 17 6. Hasil TBIA perlakuan tanaman uji di rumah kaca ………. 18 7. Lokasi pertanaman nanas di dae rah Subang dan Simalungun ... 21 8. Tanaman nanas bergejala layu merah di pertanaman nanas Subang... 22 9. Perbedaan daun tanaman nanas sehat dan terkena gejala layu ……… 22 10. 1 & 2, Tanaman nanas terkolonisasi kutu putih namun tidak

terdapat gejala layu. 3 & 4. Tanaman nanas terkolonisasi kutu putih dan terdapat gejala layu ... 23 11. Hasil TBIA. 1&2: Tanaman nanas terkolonisasi kutu putih namun

tidak terdapat gejala layu. 3&4: Tanaman nanas terkolonisasi kutu putih dan terdapat gejala layu ... 24 12. a) Lokasi pertanaman nanas di Subang, b) Gejala layu merah,

c) Gejala layu kuning ……… 25

13. Lokasi pertanaman nanas di daerah Ciomas ………... 25 14. Tanaman nanas bergejala layu merah di pertanaman nanas ... 26 15. Variasi gejala layu ………... 26 16. Hasil TBIA gejala layu di daerah Ciomas, Bogor …………... 27 17. Lokasi pertanaman nanas di Kecamatan Ponggok …………... 29 18. Tanaman nanas bergejala layu di pertanaman nanas ………. 29

19. Variasi gejala layu. 1. Kuning; 2. Merah; 3. Mati ujung ... 29 20. Hasil TBIA. 1) PMWaV-1; 2) PMWaV-2 ……… 30 21. Lokasi pertanaman nanas di daerah Girsang Sipangan Bolon ... 31 22. Tanaman nanas bergejala layu di pertanaman nanas ... 31 23. Variasi gejala layu. 1. Merah; 2. Kuning ………... 32 24. Koloni kutu putih (Dysmicoccus spp.) ... 32 25. Hasil TBIA sampel daun nanas dari Simalungun ... 33 26. Variasi genetik ysng terdapat pada tanaman nanas di lapangan. 1) Di

daerah Simalungun, Sumatera Utara dan 2) Di daerah Ciomas, Bogor ... 35

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data hasil pengamatan studi penularan PMWaV melalui kutu putih di rumah kaca Cikabayan ... 41

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah

Ananas comosus. Tanaman ini juga dikenal sebagai danas (Sunda), neneh

(Sumatera), pineapple (Inggris), atau pina (Spanyol). Tanaman nanas sudah lama dikenal di Indonesia, namun bukan merupakan tanaman asli Indonesia (Muljohardjo 1983).

Tanaman nanas berasal dari Brasilia (Amerika Selatan) dan telah dibudidayakan di sana sebelum masa Colombus. Pada tahun 1505 bangsa Portugis membawanya ke pulau St. Helena dan pada tahun 1548 ke India. Kemudian pada tahun 1599 bangsa Spanyol membawa nanas ke Filipina dan Semenanjung Malaysia, termasuk Indonesia (Laufer 1929 dalam Muljohardjo 1983).

Di Indonesia nanas pada mulanya dibudidayakan hanya sebagai tanaman pekarangan, kemudian dikebunkan secara luas terutama di lahan kering (tegalan) di seluruh wilayah nusantara. Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu produsen nanas kaleng terbesar ketiga di dunia setelah Thailand dan Filipina (Collins 1960). Dalam hubungannya dengan perkembangan industri nanas dunia, Hawaii tercatat sebagai negara perintis dalam industri nanas.

Melihat nanas sebagai salah satu produk hortikultura yang sangat dibutuhkan, khususnya masyarakat Indonesia, maka perlu dilakukan perbaikan kwalitas dan kwantitas tanaman nanas. Faktor-faktor penentu produksi seperti tanah, iklim, varietas nanas, teknik budidaya serta pengendalian hama dan penyakit menjadi penting untuk diketahui.

Salah satu permasalahan utama dalam budidaya tanaman nanas adalah penyakit layu (pineapple mealybug wilt disease). Penyakit ini memiliki arti penting karena kerugian yang ditimbulkannya cukup besar (Petty et al.

2002). Penyebaran penyakit ini sudah hampir di seluruh daerah pertanaman nanas dunia, tak terkecuali Indonesia (CABI 2003). Namun demikian belum tersedia informasi yang cukup banyak mengenai penyakit ini. Berdasarkan pengamatan penulis, penyakit ini sudah menjadi masalah penting di perkebunan nanas PT

di Bogor. Penyakit ini menyebabkan kerusakan pada perakaran. Tanaman yang terserang menjadi layu, daun berwarna merah yang dimulai dari daun terluar, bahkan tanaman dapat mengalami kematian.

Hu et al. (1996) melaporkan bahwa penyakit layu pada tanaman nanas berasosiasi dengan Pineapple mealybug wilt-associated virus-1 (PMWaV -1) dan PMWaV-2. Disebutkan juga bahwa gejala penyakit hanya muncul sebagai hasil interaksi antara virus PMWaV-2 dan aktivitas makan kutu putih

Dysmicoccus spp.

Selama ini tindakan pengendalian penyakit layu masih bertumpu pada cara-cara kimiawi. Sasaran utamanya adalah untuk pengendalian serangga vektor

Dysmicoccus spp dan semut sebagai simbion kutu. Namun cara ini dapat berakibat buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu tuntutan konsumen pada saat ini menghendaki penggunaan pestisida seminimal mungkin, terutama untuk konsumen di negara maju. Pengendalian hayati menjadi alternatif dan komponen pengendalian yang penting dalam pengelolaan hama terpadu. Namun demikian informasi keberadaan musuh alami hama ini di Indonesia masih sangat terbatas. Untuk itu diperlukan suatu kajian tentang deteksi dan penyebaran penyakit tersebut demi menunjang usaha pengendalian yang efektif.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari peranan strain PMWaV dan kutu putih (Dysmicoccus spp.) dalam menginduksi penyakit layu pada tanaman nanas serta mengetahui penyebaran penyakit layu nanas di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Layu Nanas

Penyakit layu nanas pertama kali dikenal pada tahun 1910 di Hawaii. Pada tahun 1920-an dan 1930-an hampir menghancurkan industri pengalengan nanas di Hawaii. Beberapa data di bawah ini menyebutkan bahwa penurunan produksi yang diakibatkan oleh penyakit layu ini cukup tinggi. Petty et al. (2002) di Kuba mengemukakan kehilangan hasil sebesar 40%, menurut Sether et al. (2001), kehilangan hasil sebesar 35%, bahkan penurunan hasil juga dapat dialami oleh tanaman terinfeksi yang tidak bergejala. Selain menyebabkan penurunan hasil, penyakit layu ini juga dapat menyebabkan pemasakan buah terlalu dini (Sipes

et al. 2002).

Pada tanaman yang terinfeksi penyakit layu terjadi penurunan bobot rata-rata buah sebesar 55% jika dibandingkan dengan tanaman bebas penyakit layu. Jika penyakit layu berkembang 14 bulan setelah penanaman, buah yang dihasilkan rata-rata beratnya berkurang ± 7% dari tanaman yang bebas penyakit layu (Sether & Hu 2002a).

Gejala penyakit pertama kali muncul pada perakaran yang mengalami gangguan pertumbuhan dan membusuk, kemudian diikuti dengan gejala layu pada daun. Collins (1960) membagi gejala penyakit layu pada nanas ini menjadi empat tahapan. Tahapan pertama berupa daun berwarna kemerahan yang dimulai dari daun terluar, tepi daun menggulung, ujung daun tidak melengkung dan tanaman masih tampak normal. Tahapan kedua, daun-daun berwarna kemerahan, turgiditas mulai menghilang, ujung daun agak kecoklatan, kadang daun mengeriting dan terjadi nekrotis dengan ukuran tanaman masih normal. Tahapan ketiga, daun lingkar keempat dan kelima menekuk ke bawah, tepi-tepi daun kuning atau kemerahan, ujungnya mengeriting kebelakang dan tanaman mengalami kekerdilan. Fase keempat, daun tengah tampak tegak namun telah kehilangan turgiditas, ujung daun menekuk dan berwarna coklat, daun keriting dan tanaman kerdil.

Berdasarkan hasil survei bahwa 80% PMWaV-1 ditemukan pada tanaman yang menunjukkan gejala layu dan 78% pada tanaman yang tidak menunjukkan

gejala layu. Sedangkan PMWaV-2 ditemukan 100% pada tanaman bergejala layu dan 12% pada tanaman yang tidak menunjukkan gejala layu (Sether et al. 2001).

Organisme Penyebab Penyakit

Penamaan dan klasifikasi

Virus penyebab penyakit layu pada nanas termasuk ke dalam famili Closteroviridae dan genus Closterovirus. Pada saat pertama kali diketahui, penyakit ini diduga karena keberadaan toksin yang dihasilkan oleh kutu

Dysmicoccus spp pada saat makan (Carter 1973), kemudian lebih lanjut ditemukan adanya faktor laten yang ditularkan oleh kutu, dan pada sekitar tahun 1980-an berhasil di isolasi virus dari tanaman nanas sakit (CABI 2003).

Nama lain yang biasa digunakan adalah Pineapple Mealybug Wilt associated Closterovirus, tetapi karena penyakit layu nanas ini selalu berasosiasi dengan kutu putih, maka penyakit ini disebut mealybug wilt of pineapple (MWP), yang kemudian direvisi menjadi pineapple mealybug wilt associated virus 1 dan 2 (PMWaV-1 dan PMWaV-2). Dua strain ini dibedakan berdasarkan analisis sequen dan filogenetik (Melzer et al. 2001; Sether et al. 2001; Sether & Hu 2002b). PMWaV merupakan virus golongan ssRNA, kisaran inang sempit dan nanas merupakan inang utama, virion virus diperoleh dari daun, floem dan akar (Gunasinghe & German 1989).

Penularan virus tidak bisa terjadi secara mekanik, namun harus dengan bantuan vektor. Serangga yang dapat menjadi vektor virus adalah D. brevipes,

D. neobrevipes dan Pseudococcus longispinus. Penularan bersifat semi persisten dan tidak transovarial (Brunt & Gunasinghe 1991).

Biologi dan ekologi

Faktor-faktor yang mempengaruhi epidemik sangat komplek, meliputi multi interaksi antara mealybug, semut, predator, parasit, virus, tanaman nanas dan tanaman lain sebagai inang alternatif seperti Agavae americana dan gulma

Paspalum. Ekspresi gejala juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan keragaman populasi kutu putih (Rohrbach & Schmitt 1994).

Kutu putih biasanya berasosiasi dengan semut. Semut menjaga dan melindungi kutu putih dari predator dengan cara memakan embun madu yang dihasilkan oleh kutu putih, juga mencegah perkembangan penyakit embun jelaga yang disebabkan oleh cendawan (Beardsley et al. 1982).

PMWaV dapat disebarkan oleh Dysmicoccus spp. dengan adanya semut ataupun tidak, namun penyebaran akan sangat tinggi dengan adanya semut. Pengendalian semut di lapangan akan berkorelasi positif dengan pengendalian penyakit layu nanas (Sether et al. 2001).

Kutu Putih (Dysmicoccus spp.)

Taksonomi dan sebaran geografi

Kutu putih nanas (Dysmicoccus spp.) adalah serangga yang tergolong ke dalam ordo Hemiptera, subordo Sternorrhyncha, superfamili Coccoidea dan famili Pseudococcidae. Kutu putih ini berasal dari daerah tropik Amerika (Petty et al.

2002) yang umum ditemukan di Amerika Tengah dan Amerika Utara dan menyebar luas terutama di daerah tropik dan subtropik. Dysmicoccus spp. juga terdapat di Eropa, Asia, Afrika, bagian barat Hemisphere, Oceania dan Australia (CABI 2003).

Biologi dan ekologi

Dysmicoccus spp. umumnya ditemukan pada tanaman nanas dan hampir selalu ada pada setiap pertanaman nanas. Kutu ini juga ditemukan pada tanaman tebu dan merusak beberapa tanaman pertanian penting di bagian tropik Australia (William & Watson 1988).

Menurut Sether et al. 1998, terdapat dua tipe kutu putih yang berbeda di pertanaman nanas di Hawaii, yakni pink mealybug dan grey mealybug. Pink mealybug bereproduksi secara partenogenetik dan grey mealybug secara biparental.

Beardsley (1996) menyatakan bahwa ada dua bentuk Dysmicoccus spp., bentuk pertama adalah partenogenetik yang menyebabkan gejala layu

(pineapple wilt) pada tanaman nanas di Hawaii, sedangkan bentuk kedua adalah biparental yang menyebabkan gejala bercak hijau (green spotting) pada tanaman

nanas di Brazil. Beardsley juga menyatakan bahwa dari kedua Dysmicoccus spp

tersebut, pink mealybug adalah D. brevipes dan grey mealybug adalah

D. neobrevipes.

Perbedaan penting antara kedua kutu ini terletak pada perilakunya. Bentuk partenogenetik D. brevipes sebagian besar terdapat pada bagian bawah tanaman nanas, dekat permukaan tanah atau di bawahnya, sedangkan bentuk biparental

D. brevipes, bersama-sama D. neobrevipes berada pada mahkota dan pada buah yang sedang berkembang. Secara morfologi, perbedaan kedua kutu ini disamping warna tubuh yakni merah jambu (pink) dan abu-abu (grey), juga jumlah ruas antena. D. brevipes memiliki 8 ruas antena dan D. neobrevipes memiliki 10 ruas antena (CABI 2003).

Kutu betina D. brevipes sebelum menjadi dewasa, melalui tiga kali tahapan nimfa yang disebut crawlers, yaitu instar pertama memerlukan waktu perkembangan antara 10-26 hari, instar kedua antara 6-22 hari dan instar ketiga antara 7-24 hari. Total periode nimfa mulai dari instar satu hingga instar tiga bervariasi yakni antara 26-55 hari dengan rata-rata sekitar 34 hari. Periode hidup kutu betina dewasa berkisar antara 31 -80 hari dengan rata-rata 56 hari. Kutu betina dewasa mampu melahirkan nimfa hingga 1000 crawler. Siklus hidup

D. brevipes mulai dari instar pertama hingga mencapai dewasa dan kemudian mati, mencapai rata-rata 95 hari. Siklus hidup kutu betina D. neobrevipes tidak berbeda jauh dari siklus hidup kutu betina D. brevipes yakni berkisar antara 59 sampai 117 hari dengan rata-rata 90 hari (Ito 1938 dalam Mau & Kessing 1992).

Kutu jantan D. brevipes memiliki dua instar nimfa dengan masa perkembangan masing-masing instar 9-24 hari dan 5-19 hari. Stadia prapupa dan pupa masing-masing memerlukan waktu 2-5 hari dan 3-7 hari. Dewasa jantan hanya mampu bertahan hidup 1-3 hari (CABI 2003).

Kutu jantan D. neobrevipes sebelum menjadi jantan dewasa bersayap, melalui empat kali tahapan ganti kulit, yaitu instar pertama, kedua, ketiga dan keempat masing-masing berkisar antara 11-19 hari, 7-19 hari, 2-7 hari dan 2-8 hari. Total periode nimfa jantan berkisar antara 22 -53 hari. Siklus hidup kutu jantan dewasa bersayap,berkisar antara 2-7 hari (Ito 1938 dalam Mau & Kessing 1992).

Kutu Dysmicoccus spp. memiliki arti penting karena kisaran inangnya sangat luas (polifag). Hama ini memiliki inang lebih dari 100 genus yang berasal dari 53 famili tumbuhan (CABI 2003) dan penyebarannya juga sangat luas, dari daerah subtropika sampai ke tropika dan selalu terdapat di seluruh pertanaman nanas (William & Watson 1988; CABI 2003).

Peranan kutu dalam penyakit layu adalah sebagai vektor yang mampu menularkan virus dalam populasi yang rendah (CABI 2003). Menurut Harris (1981) Dysmicoccus spp. merupakan hama nanas kosmopolit yang tersebar di seluruh dunia dan merupakan vektor mealybug pineapple wilt disease yang sangat penting pada produksi nanas komersial. Dysmicoccus spp. juga merupakan hama pada berbagai tanaman selain nanas dan mampu menyebabkan kerugian sebesar 25% pada kacang tanah di Tripura, India (Das 1998 dalam CABI 2003).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Laboratorium Biosistematika Serangga dan Rumah Kaca Cikabayan , Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor mulai bulan September 2005 sampai dengan bulan April 2006.

Metode Penelitian

Studi penularan PMWaV melalui serangga vektor Persiapan sumber inokulum

Tanaman nanas yang menunjukkan gejala layu diambil dari Desa Bunihayu, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. Tanaman tersebut ditanam dalam pot plastik berdiameter 50 cm dan dipelihara di Rumah Kaca Cikabayan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB Bogor. Tanaman ini digunakan sebagai sumber inokulum pada percobaan selanjutnya. Verifikasi infeksi PMWaV pada tanaman sumber inokulum dilakukan dengan Tissue Blott Immunoassay (TBIA).

Identifikasi serangga vektor

Sebelum dilakukan perbanyakan, serangga vektor (kutu putih) terlebih dahulu diidentifikasi untuk memastikan bahwa vektor yang digunakan dalam penelitian adalah Dysmicoccus spp. Identifikasi dilakukan dengan mengamati kutu putih yang telah diawetkan pada preparat mikroskop dengan menggunakan kunci identifikasi Williams & Watson (1988). Pembuatan preparat mikroskop dilakukan sebagai berikut: kutu putih dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi ± 2 ml alkohol 95% dan dipanaskan dalam penangas air selama 5 menit. Selanjutnya alkohol dipindahkan bersama kutu putih tersebut ke dalam cawan sirakus, kemudian toraks bagian dorsal ditusuk dengan jarum untuk membuat lubang di bagian dorsal serangga. Kutu dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi larutan KOH 10% dan direbus sampai terlihat transparan, lalu dituang ke dalam cawan sirakus dan isi tubuh serangga dikeluarkan. Setelah bersih, kutu dicuci dengan

akuades sebanyak dua kali, kemudian direndam dalam larutan acid alcohol 50% selama 10 menit. Kemudian ditambahkan larutan asam fukhsin ke dalam larutan

acid alcohol 50% tersebut. Setelah beberapa menit, preparat diinkubasi dalam

glacial acetic acid semalam. Langkah selanjutnya, kutu putih didehidrasi dengan merendamnya dalam alkohol 80% selama 5 menit, alkohol 100% selama 10 menit, larutan carbol xylene selama dua menit, dan terakhir dalam alkohol 100% selama 10 menit. Selanjutnya preparat direndam dalam minyak cengkeh selama 10 menit, ditetesi dengan balsam kanada dan siap diamati di bawah mikroskop cahaya. Penentuan genus kutu putih mengikuti kunci identifikasi dari Williams & Watson (1988).

Perbanyakan serangga vektor

Setelah benar bahwa kutu putih tersebut adalah D. brevipes, maka dilakukan perbanyakan kutu putih dengan menggunakan labu parang hijau

(kabocha). Kutu putih betina dewasa yang siap meletakkan telur dipindahkan ke

kabocha yang diletakkan dalam kotak kardus dan disimpan pada ruangan bersuhu 25-30oC. Nimfa-nimfa yang diletakkan oleh imago betina kutu putih tersebut dipelihara pada kabocha sedangkan imagonya dibunuh. Serangga generasi kedua digunakan sebagai agen penularan virus pada penelitian ini.

Persiapan tanaman nanas uji

Tanaman nanas uji yang digunakan adalah nanas varietas Smooth Cayenne

hasil kultur jaringan yang diperoleh dari Pusat Kajian Buah -buahan Tropik a, IPB, Bogor. Tanaman nanas uji ditanam dalam kantong plastik berukuran 35 cm x 35 cm yang telah berisi tanah dan pupuk kandang steril (1:1). Tanaman uji dipelihara di Rumah Kaca Cikabayan.

Studi penularan PMWaV melalui serangga vektor

Kutu putih dewasa generasi kedua dibiarkan makan akuisisi pada tanaman nanas sumber virus, selama 48 jam, kemudian dipindahkan dan dibiarkan makan inokulasi pada tanaman nanas uji selama 7 hari. Jumlah kutu putih yang digunakan adalah 10 ekor per tanaman uji. Pada hari ke-7 setelah inokulasi, kutu

putih dibunuh dan tanaman nanas uji diinfestasi dengan 10 ekor kutu putih per tanaman sesuai perlakuan, sehingga dalam percobaan ini terdapat empat perlakuan yaitu:

1. Tanaman nanas yang diinokulasi PMWaV dan diinfestasi kutu putih 2. Tanaman nanas yang diinokulasi PMWaV namun tidak diin festasi

dengan kutu putih

3. Tanaman nanas yang hanya diin festasi dengan kutu putih tanpa diinokulasi PMWaV

4. Tanaman nanas uji yang tidak diinokulasi PMWaV dan tidak diin festasi kutu putih.

Setiap perlakuan dilakukan pada 10 individu tanaman nanas sebagai ulangan. Tanaman nanas uji yang telah diberi perlakuan dipelihara dalam rumah kawat kedap serangga untuk diamati gejala yang muncul sampai tiga bulan setelah inokulasi. Verifikasi infeksi PMWaV pada tanaman uji dilakukan dengan menggunakan TBIA.

Tissue Blott Immunoassay

TBIA dilakukan mengikuti Hu et al. (1996). Pangkal daun yang masih berwarna putih dipotong melintang dengan menggunakan pisau, kemudian ditekan kuat pada membran selulosa [0.45 µm Nitro ME nitrocelulose membrane (Micron Separation, Inc., Westboro, MA)] yang dialasi dengan kertas tisu dan gabus selama 3-5 detik sampai menimbulkan bekas pada membran. Cetakan berkas jaringan pembuluh daun akan tetap pada membran setelah dibloting. Membran kemudian disimpan kering pada suhu ruang sampai akan dianalisis. Membran yang telah diblot ditempatkan dalam wadah plastik dan diblok dengan 2% (b/v) susu bubuk (skim milk non fat) dalam PBS (Na2HPO4 1,15 g; KCl 0,2 g; KH2PO4 0,2 g; NaCl 8,0 g; NaN3 0,2 g, dilarutkan dalam akuades 1000 ml, pH 7,4) dan digoyang dengan kecepatan 50 rpm pada suhu ruang selama 3 x 10 menit. Membran dipindahkan dalam wadah plastik baru yang telah berisi larutan antibodi monoklonal spesifik PMWaV -1 atau PMWaV-2 (Agdia, USA) dalam PBS (1:1) dan diinkubasi selama 4 jam dalam suhu ruang sambil digoyang. Membran dicuci 3 x dalam PBST (PBS + 0,05% Tween-20) masing -masing selama 5 menit.

Selanjutnya membran diinkubasi dalam konjugat (Goat anti-mouse IgG alkaline phosphatase) (Agdia, USA) yang dilarutkan dalam PBS dengan perbandingan 1:1000 selama 2 jam. Setelah dicuci dengan PBST, membran diinkubasi larutan substrat BCIP/NBT (Sigma B-5655), satu tablet substrat dilarutkan dalam 10 ml AP buffer (10 ml Tris HCl 1 M; 1 ml MgCl2 0,5 M dilarutkan dalam akuades 1000 ml dengan pH 9,5), selama 15 menit hingga 1 jam. Bila sudah terjadi perubahan warna, membran dicuci dengan akuades untuk menghentikan reaksi, kemudian dikeringanginkan.

Studi penularan PMWaV di lapangan

Pengamaatn dilakukan di pertanaman nanas di Desa Bunihayu, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang dan di Desa Huta Parhonasan, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun. Kebun nanas yang diamati adalah kebun yang mempunyai kejadian penyakit layu lebih dari 30%. Pada kebun yang dipilih diamati sejumlah tanaman yang bergejala layu dan yang tidak bergejala. Pada setiap tanaman contoh, baik yang bergejala maupun yang tidak bergejala, diamati kolonisasi kutu putih. Infeksi isolat PMWaV pada tanaman contoh diverifikasi melalui TBIA.

Pengamatan sebaran geografi penyakit layu nanas

Pengamatan sebaran penyakit layu nanas oleh kutu putih dilakukan melalui survei ke pertanamaan nanas di beberapa propinsi sentral produksi nanas Indonesia yakni Jawa Barat (Subang dan Bogor), Jawa Timur (Blitar) dan Sumatera Utara (Simalungun). Pada setiap daerah sentra produksi nanas tersebut diamati beberapa kebun nanas milik petani setempat. Pada setiap kebun terpilih diamati tingkat kejadian penyakit dan tipe gejala layu pada tanaman nanas. Data ini diharapkan dapat memetakan penyebaran penyakit layu oleh kutu putih di beberapa daerah pertanaman nanas di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Studi Penularan PMWaV Melalui Serangga Vektor

Hasil identifikasi kutu putih

Hasil pengamatan preparat kutu putih di bawah mikroskop cahaya memperlihatkan bahwa kutu putih yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. Pada tubuh kutu putih tersebut terdapat sejumlah porus translusen pada femur belakang dan tibia, mempunyai 8 segmen antena, dua buah porus diskoidal di bagian posterior disekitar mata, terdapat sirkulus, sepasang lobus anal dan 17 pasang serari. Ostiol berkembang baik tanpa penebalan. Serari dengan 3-4 seta terdapat pada segmen abdomen posterior, protoraks dan kepala. Dua serari besar juga terdapat pada kedua lobus anal. Kutu yang mempunyai karakteristik seperti ini, menurut kunci identifikasi Williams & Watson (1988), termasuk ke dalam kelompok famili Pseudococcidae dan genus

Dysmicoccus (Gambar 1).

(a) (b) (c) Gambar 1 Dysmicoccus spp (a) Kutu putih betina dewasa (b) Preparat mikroskopik tubuh kutu

putih betina dewasa dan (c) Diagram tubuh kutu putih betina dewasa menurut Williams & Watson (1988)

Induksi gejala oleh PMWaV dan kutu putih pada tanaman uji

Hasil penelitian studi penularan PMWaV melalui vektor kutu putih di rumah kaca menunjukkan pengaruh yang positif pada dua perlakuan dari empat perlakuan yang di uji. Pengaruh positif tersebut, ditunjukkan dengan adanya

Dokumen terkait