• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL ……….………. DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ………...……… PENDAHULUAN Latar Belakang ………..……….. Tujuan Penelitian ……… Manfaat Penelitian ………..………. Kerangka Pemikiran ………. TINJAUAN PUSTAKA Itik Lokal ………...…………..……… Produktivitas Itik Lokal ………..………. Pertumbuhan ………..….………… Produksi Telur ………...……….. Kualitas Telur ………..……..….…………. Reproduksi ………..………… Alat Reproduksi …………..……….……… Ovari ……….. Saluran Telur ………. Inseminasi Buatan ……….……….………. Penampungan Semen ……….……… Teknik Pelaksanaan Inseminasi ……… Dosis dan Interval Inseminasi ……… Waktu Pelaksanaan ……….. Fertilitas Telur ……….………..………. MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu ………..………. Materi Penelitian ……….……….. Ternak Itik ……….……….……… Kandang ………..………..……….……… Pakan ………..…………..………….…….. Bahan dan Alat Inseminasi Buatan .………..………….. Metode Penelitian ………..……… Pengumpulan Data Karakteristik Produktivitas ……….. Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan ……… Bobot Badan Pertama Bertelur dan Umur Masak Kelamin Produksi Telur ………... Jumlah Telur, Clutches dan Masa Istirahat ………...

v vi vii 1 2 2 3 4 5 5 6 7 8 8 8 8 9 9 9 10 10 11 13 13 13 13 13 14 14 16 16 16 17 17

Jarak Tulang Pubis ……….. Indeks Telur, Bobot Telur Pertama dan Rerata Bobot Telur Pengumpulan Data Karakteristik Reproduksi ……….

Alat Reproduks i ……….…………. Fertilitas ……… Peubah yang Diamati ………... Analisis Data ……….….. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Produktivitas …….……… Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan ……….. Bobot Badan Pertama Bertelur dan Umur Masak Kelamin … Produksi Telur ………..

Jumlah Telur, Clutch dan Masa Istirahat ………. Jarak Tulang Pubis ……….. Indeks Telur, Bobot Telur Pertama dan Rerata Bobot Telur Karakteristik Fertilitas ……….

Alat Reproduksi ………. Fertilitas ……… Keeratan Hubungan antar Sifat ………..……….. Bahasan Umum Performa Produksi dan Reproduksi Itik Cihateup SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ……… Saran ……….. DAFTAR PUSTAKA ………..…… LAMPIRAN ………. 17 17 18 18 18 19 19 21 21 24 27 28 31 32 34 34 36 38 40 42 43 44 48

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kandungan nutrisi pakan komersial yang digunakan selama

penelitian ……….…..………….……... 2. Rerata bobot badan itik Cihateup betina umur 15 sampai 20 minggu 3. Pertambahan bobot badan mingguan itik Cihateup umur 16 sampai

20 minggu ………..

4. Rerata bobot badan pertama bertelur da n umur masak kelamin itik Cihateup ……….

5. Persentase itik Cihateup dan itik Tegal pada pengelompokan umur masak kelamin ………

6. Bobot badan masak kelamin (BBMK) dan pertambahan bobot badan masak kelamin (PBB) itik Cihateup dari minggu ke-15 ……… 7. Kemampuan bertelur itik Cihateup selama 7 minggu produksi …..…

8. Rerata jumlah telur, clutches, dan masa istirahat itik Cihateup selama 7 minggu produksi ……….. 9. Indeks telur, bobot telur pertama dan rerata bobot telur itik Cihateup 10. Rerata bobot ovari dan jumlah ovum itik Cihateup ……… 11. Rerata bobot meri dan nisbah meri jantan dan betina itik Cihateup .... 12. Nilai korelasi antara sifat produksi dan reproduksi itik Cihateup asal

Tasikmalaya dan Garut ….……….

14 21 22 24 25 26 28 29 32 35 37 39

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram kerangka pemikiran penelitian ………... 2. Pertambahan bobot badan mingguan itik Cihateup …..………. 3. Grafik produksi telur mingguan itik Cihateup .……… 4. Pola bertelur itik Cihateup ……… 5. Pertambahan bobot telur mingguan itik Cihateup ………

3 23 27 30 34

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai korelasi (r) antara sifat produksi dan sifat reproduksi Itik Cihateup asal Tasikmalaya ……….……... 2. Nilai korelasi (r) antara sifat produksi dan sifat reproduksi Itik

Cihateup asal Garut ………..……. 3.Performa produksi dan reproduksi itik Cihateup ….………. 4.Foto-foto penelitian itik Cihateup ……….………

49

50 51 52

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan memiliki peranan yang penting dalam ekonomi nasional terutama untuk penyediaan protein hewani, disamping untuk penyediaan lapangan kerja dan pendapatan petani. Pentingnya konsumsi protein hewani yang mulai berkembang di masyarakat mendorong peternak untuk meningkatkan produksinya. Sebelum tahun 1979, peranan ternak unggas lokal sebagai sumber pedaging dan telur masih mendominasi, namun permintaan akan protein hewani yang tinggi, maka untuk memenuhinya didatangkan ayam ras yang dalam waktu singkat dapat mengatasi kekurangan tersebut. Krisis ekonomi yang melanda negara kita membuat harga ayam ras yang tinggi, sehingga diperlukan upaya untuk menumbuhkan dan menggiatkan kembali potensi unggas lokal sebagai alternatifnya.

Unggas air sebagai salah satu bagian dari unggas lokal memiliki kemampuan untuk dijadikan tumpuan harapan masa depan. Keunggulan- keunggulan tersebut antara lain: 1) tahan terhadap gejolak ekonomi, keuangan maupun teknis disamping memiliki keunggulan komparatif berbasis pada kemampuan sendiri; 2) ketersediaan bibit yang mudah didapatkan; 3) volume produksi telur yang relatif cukup besar; 4) dalam usahatani terdapat saling keterkaitan dengan usahatani tanaman pangan, dan 5) tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia sebagai bagian dari kehidupan masyarakat.

Populasi itik di Indonesia menurut Dirjen Bina Produksi (2002) sebesar 33 627 000 ekor. Dilihat dari jumlah tersebut, sangatlah kecil dibandingkan dengan populasi ayam di Indonesia baik ayam lokal, ayam petelur (layer) dan ayam peranggang (broiler). Dari tahun ke tahun perkembangan ternak itik tersebut mengalami peningkatan yang cukup baik terutama setelah terjadi krisis moneter.

Itik lokal sebagai salah satu potensi sumberdaya ternak asal Indonesia, memerlukan pelestarian ternak yang mengacu pada Undang-Undang No. 6 tahun 1967 khususnya Pasal 13, tentang tatacara pengembangbiakan ternak di Indonesia diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu bangsa ternak.

Banyak wilayah Indonesia yang memiliki itik dengan spesifik lokasi, maka pengetahuan mengenai itik lokal ini akan bermanfaat untuk pengembangan itik lokal di daerah tertentu. Itik Jawa Barat memiliki kesamaan genetik dengan itik Jawa Tengah namun berbeda dengan itik yang terdapat di Jawa Timur, Bali dan Lombok (Tanabe et al. 1984). Banyak wilayah Indonesia yang memiliki itik dengan spesifik lokasi, maka pengetahuan mengenai itik lokal ini akan bermanfaat untuk pengembangan itik lokal. Itik Cihateup merupakan itik unggulan Jawa Barat yang belum diketahui keunggulan produktivitasnya maupun karakteristik biologinya. Rintisan untuk pengembangan itik ini masih perlu dilakukan dalam ska la luas dengan menggunakan contoh lebih banyak. Karakteristik itik lokal yang jelas tersebut akan memudahkan dalam pembentukan itik unggul seperti pada ayam ras. Terciptanya galur -galur yang memiliki keunggulan-keunggulan genetik tertentu, dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, maka lahirlah itik komersial seperti lahirnya ayam komersial yang dibudidayakan saat ini.

Populasi itik Cihateup banyak dijumpai didaerah Tasikmalaya dan Garut. Hasil penelitian Wulandari (2005) mengatakan bahwa itik Cihateup asal Garut mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan itik asal Tasikmalaya apabila dilihat dari protein darahnya. Pola pertumbuhan kedua itik tersebut sama dengan ukuran dan bentuk tubuh itik jantan yang sama pula, namun untuk itik betina ukuran tubuh itik asal Tasikmalaya cenderung lebih kecil.

Tujuan Penelitian

Mendapatkan informasi produktivitas (pertumbuhan dan produksi telur) serta fertilitas itik Cihateup sebagai salah satu jenis itik di Jawa Barat terutama di dataran tinggi.

Manfaat Penelitian

Sebagai informasi dasar dalam upaya standarisasi pengembangan dan perbaikan mutu genetik itik Cihateup, yang akan dicalonkan menjadi salah satu itik unggulan Jawa Barat.

Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran penelitian

Itik Cihateup

Pengumpulan informasi kajian produktivitas dan daya reproduksi

Karakteristik Produksi

Karakteristik Reproduksi

-sifat pertumbuhan -sifat produksi telur -kualitas telur

-alat reproduksi -fertilitas

Analisis :

-uji banding deskriptif -korelasi antar sifat kuantitatif

1. Penyimpulan Informasi Karakteristik Produksi dan Reproduksi Itik Cihateup

2. Rekomendasi Pengembangan Itik Cihateup

Permasalahan:

1. Informasi karakteristik biologis /standard masih kurang memadai 2. Program pengembangan dan

TINJAUAN PUSTAKA

Itik Lokal

Itik sebagai salah satu jenis unggas air (water fowls) termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, sub famili Anatinae, tribus Anatini, genus Anas dan termasuk spesies Anas javanica (Srigandono 1986). Itik -itik yang ada dan berkembang di Indonesia merupakan keturunan langsung itik liar Mallard berkepala hijau (Anas plathyrhynchos-plathyrhynchos) (Haase and Donham 1984).

Beberapa jenis itik lokal yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia antara lain itik Cirebon, Mojosari, Alabio, Tegal, Bali, Magelang dan Cihateup. Pemberian nama tersebut disesuaikan dengan tempat asal atau keberadaan itik tersebut (Maria 1993). Menurut Srigandono (1986) masing- masing itik mempunyai morfologi yang bervariasi, seperti besar tubuh, konformasi dan warna bulu. Perbedaan ini sebagai akibat dari jarak waktu domestikasi dengan waktu pengembangan dan adanya campur tangan manusia dalam pemeliharaan. Sebagai contoh itik Tegal yang memperlihatkan penyimpangan yang cukup jauh, namun sebaliknya untuk itik Alabio justru masih mirip dengan tetuanya baik dalam bentuk badan maupun warna bulunya.

Itik Jawa Barat memiliki kesamaan genetik dengan itik Jawa Tengah, namun berbeda dengan itik yang terdapat di Jawa Timur, Bali dan Lombok. Itik Jawa Barat dan Jawa Tengah memiliki hubungan dengan kekerabatan dengan itik Khaki Campbell, yaitu itik hasil persilangan antara itik pedaging Rouen dengan itik Indian Runner (Tanabe et a l. 1984).

Salah satu itik Jawa Barat yang belum dikenal antara lain itik Cihateup, yang berkembang di daerah Tasikmalaya dan Garut. Menurut peternak didaerah tersebut, itik ini merupakan itik petelur. Hidup pada ketinggian 378 m diatas permukaan laut (dpl) yang merupakan dataran tinggi, sehingga daya adaptasi terhadap lingkungan dingin cukup baik. Pertumbuhan bobot badan itik Cihateup jantan dan betina yang berasal dari Tasikmalaya dan Garut sampai umur 14 minggu menunjukkan pola yang sama. Titik infleksi dicapai pada umur 4 minggu, kecuali itik Cihateup betina asal Tasikmalaya. Ukuran dan bentuk

tubuh itik Cihatep jantan asal Tasikmalaya dan Garut adalah sama, sedangkan pada itik betina ukuran tubuh itik asal Tasikmalaya cenderung labih kecil (Wulandari 2005)

Produktivitas Itik Lokal

Sistem pemeliharaan itik selama ini umumnya masih bersifat tradisional, yang lebih kita kenal dengan menggembalakan atau melepaskan di areal

persawahan. Kondisi ini yang mengakibatkan produktivitas itik rendah karena kualitas pakan yang rendah dan sedikitnya pakan yang dikonsumsi dilapangan (Prasetyo 1997).

Meskipun produktivitasnya rendah, namun bukan berarti potensi produksinya rendah. Potensi produksi dipengaruhi oleh genetik. Beberapa karakteristik genetik yang mempengaruhi produksi telur yaitu 1) masak kelamin dini (semakin cepat bertelur, produksi telurnya akan semakin tinggi dalam satu periode, namun telur yang dihasilkan lebih kecil); 2) intensitas bertelur yang tinggi (karakter ini dapat dilihat dari kemampuan peningkatan produksi yang cepat); 3) panjang masa bertelur (semakin lama bertelur sebelum ternak masuk periode rontok bulu produksi telurnya semakin tinggi); 4) lama istirahat, istirahat antar clutch lebih dari 2-3 hari akan mempengaruhi ju mlah telur dalam masa produksi (North 1984).

Pertumbuhan.

Pertumbuhan merupakan pembentukan jaringan-jaringan baru, yang mengakibatkan terjadinya perubahan bobot, bentuk dan komposisi tubuh hewan (Hammond 1965). Pertumbuhan dapat digambarkan sebagai kurva berbentuk sigmoid yang menampilkan hubungan antara bobot badan dan umur. Pada kurva ini terdapat dua bagian kecepatan pertumbuhan yaitu bagian yang meningkat atau fase akselerasi dan bagian yang mendatar atau fase retardasi yaitu kecepatan tumbuh yang ber kurang (Hammond 1965). Hal ini disebabkan kurva tersebut

merupakan interaksi dari dua kekuatan yaitu kekuatan peningkatan pertumbuhan dan kekuatan hambatan pertumbuhan (Brody 1945).

Brody (1945) menyarankan bahwa untuk menghitung laju pertumbuhan pada periode pertumbuhan, saat kekuatan hambatan pertumbuhan berperan menggunakan rumus Wt = A – B e-kt ; dengan penjelasan Wt = bobot badan pada umur t, A = perkiraan bobot badan yang dapat dicapai pada saat dewasa, B = suatu konstanta, e = bilangan dasar untuk ln (2.7183), t = umur dalam minggu dan k = laju pertumbuhan.

Penelitian Hardjosworo (1989) pada itik Tegal menunjukkan bahwa setelah itik berumur empat minggu pertambahan bobot badan mulai menurun. Pada umur 14 minggu dengan pakan yang mengandung protein 16 % bobot badannya mencapai 1 325.23 g, dengan laju pertumbuhan (k) sebesar 0.203.

Bobot badan pertama bertelur dapat digunakan sebagai salah satu indikator itik telah siap bertelur atau belum. Bobot badan pertama bertelur itik Alabio, itik Mojosari, itik AxM (persilangan antara Alabio jantan dengan Mojosari betina) dan MxA (persilangan antara Mojosari jantan dan Alabio betina) berturut-turut 1 906 g, 1 616 g, 1 741 g dan 1 803 g (Hardjosworo et al. 2001). Rata-rata bobot badan masak kelamin itik Tegal berkisar antara 1 300 sampai 1 500 g (Hardjosworo 1989).

Produksi Telur.

Bertelur yang pertama merupakan tanda yang mudah dikenali bahwa unggas sudah masak kelamin, walaupun sebelumnya sudah terjadi ovulasi. itik Tegal mulai bertelur pada umur 113 hari, itik Mojosari mulai bertelur umur 145 hari, itik Bali mulai bertelur umur 157 hari, itik Alabio pada umur 170 hari dan untuk itik MA (Mojosari Alabio) pada umur kurang dari 119 hari (Hardjosworo et a l. 2001). Apabila umur mulai bertelur masih ter lalu muda, maka telur yang dihasilkan akan kecil-kecil. Umur masak kelamin yang baik untuk menghasilkan bobot telur yang baik pada itik Tegal antara 150-171 hari (Hardjosworo 1989).

Informasi tentang kemampuan produksi itik lokal diperlukan untuk peningkatan produktivitasnya. Kemampuan menghasilkan telur masing-masing itik bervariasi, untuk itik Tegal mampu bertelur lebih dari 200 butir per tahun dengan kondisi pakan yang cukup baik kualitas maupun kuantitasnya (Chavez dan

Lasmini 1978). Menurut Setioko et a l. (2002) itik Bali putih total produksi telurnya 163.7 butir sedangkan yang coklat 168.8 butir per tahun.

Produksi telur itik gembalaan dapat ditingkatkan dengan memberi pakan tambahan, peningkatan produksi yang terjadi dari 38.3 % menjadi 48.9 % (Setioko 1992). Itik Mojosari pada bulan pertama produksi telurnya mencapai 40 % dan akan mencapai 80% sebagai produksi puncak pada bulan ke -empat (Mahmudi 2001). Menurut Setioko dan Rohaeni (2001) rataan produksi telur itik Alabio 66.86 % dengan puncak produksi mencapai 80.69 %.

Ovulasi ditandai dengan dilepaskannya ovum dari ovarium masuk ke oviduct. Ovum akan melewati oviduct dalam pembentukan telur, proses ini memakan waktu 23-26 jam. Pada hari ternak bertelur secara terus menerus tanpa berhenti inilah yang disebut clutches, sedangkan pada hari ternak tidak bertelur disebut pause (masa istirahat) (Bell and Weaver 2002).

Jarak antara ujung tulang pubis (lebar tulang pubis) digunakan sebagai tanda untuk mengenali itik yang sudah masak kelamin, telah dikembangkan oleh Hardjosworo (1994), pengukuran lebar peregangan pubis dilakukan pada itik dengan posisi terlentang, karena bentuk tulang pubis itik ujungnya melengkung kearah ventral dalam posisi tegak, sehingga kedua ujung tulang pubis ini meregang akibat tertekan oleh isi perut. Pada saat masak kelamin (bertelur pertama kali) dengan posisi terlentang didapatkan lebar peregangan pubis rata -rata 4.04±0.72 cm. Menurut Hardjosworo dan Rukmiasih (1993) tingkat produksi selama 20 minggu menunjukkan hubungan yang nyata dengan lebar peregangan pubis pada saat delapan minggu pertama produksi.

Kualitas Telur.

Kualitas telur dapat dilihat dengan penilaian terhadap indeks telur, indeks telur didapat dari menghitung rasio panjang bagian terlebar telur dengan bagian terpanjang telur dikalikan 100. Indeks telur mencerminkan bentuk telur yang sangat dipengaruhi oleh sifat genetik. Bangsa juga mempengaruhi proses -proses yang terjadi selama pembentukan telur terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus (Roma noff dan Romanoff 1963). Menurut Hardjosworo (2001) indeks telur untuk itik Tegal 83.20 %, sedangkan untuk itik Alabio adalah 78.26 % (Hardjosworo 1985)

Bobot telur pertama itik Tegal menurut Subiharta et al. (2001) sebesar 48.07±17.93 g, tetapi melalui seleksi dapat meningkat sebesar 2.11 g menjadi 50.18±3.44 g. Bobot telur pertama pada itik Alabio dan itik Mojosari yang dipelihara pada kandang berbeda, dilaporkan bahwa itik yang dipelihara pada kandang battery baik itik Alabio maupun itik Mojosari memperlihatkan produksi yang lebih tinggi daripada yang dipelihara pada kandang beralas sekam.

Menurut Srigandono dan Sarengat (1990) itik Tegal, itik Alabio dan itik silangan antara itik Alabio dan itik Magelang, bobot telur bisa mencapai masing- masing 66.7; 63.72; 68.29 dan 64.95 g. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Setioko dan Rohaeni (2001) yang menyatakan bahwa dengan pakan lokal bobot telur bisa mencapai 68.46 g/butir.

Reproduksi

Sistem reproduksi itik betina terdiri dari dua ovari yang terletak di sebelah kiri dan kanan, tetapi yang berfungsi hanya satu, disertai oviduct (Bell and Weaver 2002).

Alat Reproduksi.

Ovari. Ovari kiri terletak dalam rongga badan bagian ventral diantara aorta dan vena kava bagian depan dan kranial sampai ke ginjal (Gilbelt 1971). Ovari melekat pada dinding tubuh di bagian tulang mesoovarian yang kecil, dan vena kava dengan tangkai ovari, sedangkan ovari kanan merupakan ovari yang tidak berkembang sempurna (Gilbelt 1971).

Dalam ovari masak terdapat sekitar 2 500 oosit yang dapat dilihat dengan mata telanjang, dan sekitar 12 000 yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop, dan diperkirakan hanya sekitar 200– 300 butir yang dapat masak dan diovulasikan pada spesies yang sudah didomestikasi (Sturkie 1976). Rata-rata bobot ovari itik Tegal pada umur 20 minggu lebih kecil dibandingkan dengan bobot ovari pada umur diatas 20 minggu. Dari tiga perlakuan yang diterapkan, yaitu kadar protein pakan 9.12 dan 15 %; bobot ovari berturut -turut 1.43±0.97; 0.87±0.45 dan 0.80±0.52 g (Hardjosworo 1989).

Saluran Telur. Menurut Gilbelt (1971) peningkatan berat saluran telur secara drastik terjadi pada umur 20 minggu. Pada umur 10, 12, 14, 16 dan 18 minggu

diperoleh bobot ovari berturut -turut 0.2; 0.2; 0.2; 2.0 dan 3.4 g, sedangkan pada umur 20, 26 dan 30 minggu masing-masing mencapai 12.2; 36.6 dan 45.0 g.

Panjang saluran telur itik Pekin 47.2±4.6 cm, dengan rincian 4.8±1.4 cm infundibulum; 24.4±3.1 cm magnum; 10.6±2.3 cm isthmus dan 7.3±1.0 cm uterus sampai vagina. Panjang saluran telur itik Campbell adalah 45.0±4.9 cm dengan rincian 6.9±1.2 cm infundibulum; 24.3±2.9 cm magnum; 7.9±1.1 cm isthmus dan 5.9±1.0 cm uterus sampai vagina (Shen 1986).

Iseminasi Buatan

Inseminasi Buatan (IB) menghasilkan fertilitas yang lebih baik daripada perkawinan alami. Beberapa keuntungan apabila menggunakan IB antara lain adalah pejantan yang digunakan sedikit, dapat menghasilkan keturunan yang sesuai keinginan peternak, misalnya mendapatkan bobot badan yang lebih tinggi untuk ternak pedaging. Disa mping itu IB sangat tepat untuk sistem pemeliharaan dalam kandang individu, karena perkawinan alami dalam kandang individu tidak efisien dan tidak mungkin (Ensminger 1992).

Penampungan Semen. Inseminasi buatan sangat terkait dengan teknik penampungan semen, penampungan semen yang baik akan menghasilkan kualitas sperma yang baik pula. Ada tiga metode penampungan semen pada itik yang kita kenal menurut Setioko (1981), serta Chelmonska and Lukaszewicz (1995), yaitu metode rangsangan urut, rangsangan listrik dan vagina buatan. Beberapa peneliti membuat kombinasi antara ketiga metode tersebut, namun yang paling banyak dilakukan adalah rangsangan urut kemudian diikuti rangsangan listrik, sedangkan penggunaan vagina buatan masih belum banyak dikenal.

Hasil penelitian Setioko dan Hetzel (1984) melaporkan bahwa penampungan semen dengan menggunakan teknik vagina buatan menghasilkan volume semen, konsentrasi sperma dan jumlah sperma per ejakulat tertinggi, bila dibandingkan dengan teknik rangsangan listrik dan rangsangan urut.

Teknik Pelaksanaan Inseminasi. Inseminasi diharapkan dapat menempatkan spermatozoa pada daerah uterovaginal junction, maka sisi inseminasi sangat perlu diperhatikan untuk mencegah kehilangan spermatozoa selama inseminasi.

Inseminasi Buatan dapat dilakukan dengan dua cara intravagina dan intrauterin (Michell dan Buckland 1976). Menurut Lake dan Stewart (1978) IB intravagina dilakukan dengan cara mengeluarkan vagina dan mendeposisikan semen disekitar vagina pada kedalaman 2-6 cm, sedangkan menurut Bahr dan Bakst (1987) pada kedalaman 4-6 cm. Inseminasi Buatan intrauterin dilakukan dengan cara mengeluarkan vagina dan memasukkan jari tangan kedalam utero-vaginal junction (UVJ) sebagai penuntun dalam mendeposisikan semen disekitar UVJ (Michell dan Buckland 1976).

Cara intrauterin bermanfaat untuk meningkatkan fertilitas semen yang mempunyai viabilitas spermatozoa yang rendah, seperti semen beku dan semen yang telah disimpan (Smyth 1968). Selain itu, dapat digunakan untuk

mendapatkan fertilitas telur yang lebih tinggi daripada intravagina, karena sebagian besar spermatozoa yang diposisikan dapat tersimpan dalam UVJ (Lake dan Stewart 1978). Inseminasi intravagina hanya sekitar satu sampai dua persen dari total spermatozoa yang dideposisikan yang dapat ters impan dalam UVJ, sedangkan yang lainnya tertahan di daerah vagina (Brillard 1983).

Dosis dan Interval Inseminasi. Menurut Setioko (1981) inseminasi pada itik dapat dilakukan dengan dosis 50 dan 100 juta spermatozoa untuk setiap empat hari atau dosis 150 dan 200 juta spermatozoa untuk setiap lima hari. Menurut Chelmonska (1967) pada itik Pekin fertilitas yang tinggi diperoleh dengan dosis 200 juta spermatozoa.

Setioko (1981) melaporkan bahwa inseminasi setiap empat hari dapat dilakukan pada daerah vagina. Menurut Liu et al. (1980 dalam Tai et al. 1997) interval antara inseminasi pertama dan berikutnya dengan semen cair pada intragenerik (itik Pekin dan Tsaiya) empat hari, sedangkan dengan inseminasi intergenetik (Entog dan itik Tsauya atau Pekin) tiga hari. Inseminasi intrauterin menggunakan semen beku

Waktu Pelaksanaan. Fertilitas telur yang tinggi diperoleh apabila IB yang dilakukan tepat waktu dan dosis yang sesuai (Toelihere 1985). IB yang dilakukan beberapa jam sebelum dan sesudah oviposisi menghasilkan fertilitas telur yang

rendah, karena sebagian besar spermatozoa yang dideposisikan akan didorong keluar vagina oleh adanya kontraksi oviduk yang berhubungan dengan proses oviposisi (Christensen dan Johnston 1977 dalam Brillard 1983). Menurut Sturkie (1976) IB yang dilakukan empat jam sebelum oviposisi dan satu jam setelah oviposisi menghasilkan fertilitas telur yang rendah.

Telur dengan kulit yang keras dalam uterus dapat menghambat gerakan progresif spermatozoa, oleh karena itu IB yang dilakukan setelah terbentuknya kulit telur yang keras akan menghasilkan fertilitas yang rendah (Toelihere 1985). Untuk mendapatkan fertilitas telur yang tinggi dan menghindari adanya kulit telur yang keras dalam uterus, IB hendaknya dilakukan segera setelah bertelur (Utami 1995)

Fertilitas Telur.

Fertilitas merupakan faktor yang mempengaruhi kapasitas reproduksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah jumlah induk yang dikawini oleh satu pejantan, umur induk, panjang waktu penyimpanan antara saat bertelur sampai telur tersebut ditetaskan dan kemampuan pengelolaan telur yang dihasilkan (Ensminger 1992)

Telur yang dihasilkan 24 jam setelah perkawinan kemungkinan sudah menghasilkan telur fertil namun secara umum pada perkawinan alami dibutuhkan waktu dua minggu setelah perkawinan akan didapat telur fertil. Perpindahan jantan kedalam kandang betina menurunkan fertilitas. Penurunan ini akibat cekaman karena perpindahan kandang (Ensminger 1992).

Fertilitas yang optimal diperoleh apabila dosis spermatozoa yang diberikan sesuai dengan kebutuhan. Sexton dan Fewlass (1978) menyatakan bahwa inseminasi dengan dosis 50 juta spermatozoa per minggu menghasilkan fertilitas 82 sampai 88 %. Inseminasi dengan dosis 100 juta spermatozoa per minggu menurut Bootwalla dan Miles (1992) bisa menghasilkan fertilitas telur lebih dari 90 %.

Menurut Tai et al. (1983) inseminasi intrauterin dengan semen beku akan memberikan kemampuan fertilitas pada itik Pekin dan itik manila dalam dua sampai empat hari setelah inseminasi tunggal masing-masing 62.5 dan 18.7 %.

Bobot tetas (bobot meri) dipengaruhi oleh bobot telur tetas, karena bobot tetas rata-rata 62 % dari bobot telur tetas (Leeson 2000). Bobot tetas itik jantan dan betina hasil penelitian Wulandari (2005) pada itik Cihateup asal Tasikmalaya dan Garut berturut-turut 41.98±1.73 g dan 39.91±2.44 g. Sedangkan untuk itik betina masing-masing 43.53±0.81 g dan 40.60±2.20 g. Keseluruhan telur tetas yang menetas didapat rasio jantan dan betina meri asal Tasikmalaya 1:2, dan asal Garut 1:1.

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu

Dokumen terkait