• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Produktivitas dan Fertilitas Itik Cihateup.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Produktivitas dan Fertilitas Itik Cihateup."

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PRODUKTIVITAS DAN FERTILITAS

ITIK CIHATEUP

NANDARI DYAH SURETNO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Produktivitas dan Fertilitas Itik Cihateup adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2006

(3)

ABSTRAK

NANDARI DYAH SURETNO. Kajian Produktivitas dan Fertilitas Itik Cihateup. Dibimbing oleh SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan PENI S. HARDJOSWORO. Itik Cihateup merupakan itik unggulan Jawa Barat yang dikenal oleh masyarakat sebagai itik petelur. Itik ini hidup pada ketinggian 378 m dpl. Itik Cihateup ini belum diketahui keunggulan produksi maupun karakteristik biologinya. Adanya informasi karakteristik yang jelas memudahkan dalam pembentukkan itik unggul.

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi dasar produktivitas itik Cihateup sebagai acuan untuk upaya pengembangannya. Sebanyak 12 ekor betina dan 5 ekor jantan itik asal Tasikmalaya, serta 31 ekor betina dan 19 ekor jantan itik asal Garut dipakai dalam penelitian ini. Masing-masing itik ditempatkan dalam kandang individu sebagai ulangan. Itik diberi pakan komersial ayam petelur dewasa. Air minum dan pakan diberikan ad libitum. Diamati karakteristik produktivitas meliputi bobot badan, pertambahan bobot badan, bobot badan pertama bertelur, umur masak kelamin, produksi telur, jumlah telur, clutch, masa istirahat, jarak tulang pubis, indeks telur, bobot telur pertama dan rerata bobot telur; sedangkan fertilitasnya meliputi bobot ovari, jumlah ovum, bobot saluran reproduksi, fertilitas, dan bobot meri. Data tersebut dianalisis menggunakan uji-t dengan bantuan minitab release 13.20. Data nisbah meri jantan betina dianalisis menggunakan uji-X2. Keeratan hubungan antar sifat produksi dan sifat reproduksi dianalisis dengan regresi linier menggunakan program SAS 6.12.

(4)

ABSTRACT

NANDARI DYAH SURETNO. Assessment of Productivity and Fertility on Cihateup Duck. Under direction of SRI SUPRAPTINI MANSJOER and PENI S. HARDJOSWORO.

Cihateup duck is a primary duck of West Java that has been known as layer duck. It was lived at high land on cool temperature and mostly found is Tasikmalaya and Garut regency. This duck has not been known about of its biological characteristics yet.

The aim of this research was to obtain information of production performance of Cihateup duck, which can be used as a reference for the animals development. Twelve female, 5 males ducks from Tasikmalaya regency and 31 females, 19 males ducks from Garut regency were used in this research. Commercial diet with 16% crude protein was given to the experimental animals. Water and feed were provided ad libitum. The data characteristic of production and fertility were analyzed with t-test by minitab release 13.20. Ratio of male duck and female duck was analyzed with X2 test. Correlation between production and fertility was analyzed with regretion by SAS 6.12.

(5)

©

Hak cipta milik Nandari Dyah Suretno, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

(6)

KAJIAN PRODUKTIVITAS DAN FERTILITAS

ITIK CIHATEUP

NANDARI DYAH SURETNO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Kajian Produktivitas dan Fertilitas Itik Cihateup. Nama : Nandari Dyah Suretno

NIM : D051020101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Sri Supraptini Mansjoer Prof Emiritus Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ternak

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(8)

PRAKATA

Ucapan syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk semua berkat, penyertaan dan kasih-Nya dalam menyelesaikan tesis ini. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak awal bulan Juni sampai akhir September 2004 dengan judul “ Kajian Produktivitas dan Fertilitas Itik Cihateup”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan Ibu Prof. Emiritus Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran selama penelitian hingga penyusunan tesis ini. Penghargaan penulis sampaikan pula kepada Proyek PAATP Badan Litbang Pertanian untuk bantuan dananya. Bapak Eka serta Bapak Rahmat dari Bagian IPT Unggas IPB, Bapak Puloh dari Balai Penelitian Ternak Ciawi, Saudara Gholib dan kawan-kawan atas bantuan dalam pengumpulan data selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan ibu, kakak dan adik untuk doanya yang tidak pernah putus. Kepada suami tercinta drh. Widyasmoro, serta anakku Manuella penulis ucapkan banyak terima kasih atas doa, dorongan semangat dan pengorbanannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna namun semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Kritik serta saran sangat diperlukan guna perbaikan penulisan selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2006

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 21 Mei 1974 dari Bapak Abiyono (Almarhum) dan Ibu Sumarsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana S -1 ditempuh di Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang, lulus pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister pada Program Studi Ilmu Ternak IPB diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Proyek PAATP Badan Litbang Pertanian.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….………. DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ………...……… PENDAHULUAN

Latar Belakang ………..……….. Tujuan Penelitian ……… Manfaat Penelitian ………..………. Kerangka Pemikiran ………. TINJAUAN PUSTAKA

Itik Lokal ………...…………..……… Produktivitas Itik Lokal ………..………. Pertumbuhan ………..….………… Produksi Telur ………...……….. Kualitas Telur ………..……..….…………. Reproduksi ………..…………

Alat Reproduksi …………..……….……… Ovari ……….. Saluran Telur ………. Inseminasi Buatan ……….……….……….

Penampungan Semen ……….……… Teknik Pelaksanaan Inseminasi ……… Dosis dan Interval Inseminasi ……… Waktu Pelaksanaan ……….. Fertilitas Telur ……….………..………. MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu ………..………. Materi Penelitian ……….……….. Ternak Itik ……….……….……… Kandang ………..………..……….……… Pakan ………..…………..………….…….. Bahan dan Alat Inseminasi Buatan .………..………….. Metode Penelitian ………..……… Pengumpulan Data Karakteristik Produktivitas ……….. Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan ……… Bobot Badan Pertama Bertelur dan Umur Masak Kelamin Produksi Telur ………... Jumlah Telur, Clutches dan Masa Istirahat ………...

(11)

KAJIAN PRODUKTIVITAS DAN FERTILITAS

ITIK CIHATEUP

NANDARI DYAH SURETNO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Produktivitas dan Fertilitas Itik Cihateup adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2006

(13)

ABSTRAK

NANDARI DYAH SURETNO. Kajian Produktivitas dan Fertilitas Itik Cihateup. Dibimbing oleh SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan PENI S. HARDJOSWORO. Itik Cihateup merupakan itik unggulan Jawa Barat yang dikenal oleh masyarakat sebagai itik petelur. Itik ini hidup pada ketinggian 378 m dpl. Itik Cihateup ini belum diketahui keunggulan produksi maupun karakteristik biologinya. Adanya informasi karakteristik yang jelas memudahkan dalam pembentukkan itik unggul.

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi dasar produktivitas itik Cihateup sebagai acuan untuk upaya pengembangannya. Sebanyak 12 ekor betina dan 5 ekor jantan itik asal Tasikmalaya, serta 31 ekor betina dan 19 ekor jantan itik asal Garut dipakai dalam penelitian ini. Masing-masing itik ditempatkan dalam kandang individu sebagai ulangan. Itik diberi pakan komersial ayam petelur dewasa. Air minum dan pakan diberikan ad libitum. Diamati karakteristik produktivitas meliputi bobot badan, pertambahan bobot badan, bobot badan pertama bertelur, umur masak kelamin, produksi telur, jumlah telur, clutch, masa istirahat, jarak tulang pubis, indeks telur, bobot telur pertama dan rerata bobot telur; sedangkan fertilitasnya meliputi bobot ovari, jumlah ovum, bobot saluran reproduksi, fertilitas, dan bobot meri. Data tersebut dianalisis menggunakan uji-t dengan bantuan minitab release 13.20. Data nisbah meri jantan betina dianalisis menggunakan uji-X2. Keeratan hubungan antar sifat produksi dan sifat reproduksi dianalisis dengan regresi linier menggunakan program SAS 6.12.

(14)

ABSTRACT

NANDARI DYAH SURETNO. Assessment of Productivity and Fertility on Cihateup Duck. Under direction of SRI SUPRAPTINI MANSJOER and PENI S. HARDJOSWORO.

Cihateup duck is a primary duck of West Java that has been known as layer duck. It was lived at high land on cool temperature and mostly found is Tasikmalaya and Garut regency. This duck has not been known about of its biological characteristics yet.

The aim of this research was to obtain information of production performance of Cihateup duck, which can be used as a reference for the animals development. Twelve female, 5 males ducks from Tasikmalaya regency and 31 females, 19 males ducks from Garut regency were used in this research. Commercial diet with 16% crude protein was given to the experimental animals. Water and feed were provided ad libitum. The data characteristic of production and fertility were analyzed with t-test by minitab release 13.20. Ratio of male duck and female duck was analyzed with X2 test. Correlation between production and fertility was analyzed with regretion by SAS 6.12.

(15)

©

Hak cipta milik Nandari Dyah Suretno, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

(16)

KAJIAN PRODUKTIVITAS DAN FERTILITAS

ITIK CIHATEUP

NANDARI DYAH SURETNO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(17)

Judul Tesis : Kajian Produktivitas dan Fertilitas Itik Cihateup. Nama : Nandari Dyah Suretno

NIM : D051020101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Sri Supraptini Mansjoer Prof Emiritus Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ternak

Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(18)

PRAKATA

Ucapan syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk semua berkat, penyertaan dan kasih-Nya dalam menyelesaikan tesis ini. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak awal bulan Juni sampai akhir September 2004 dengan judul “ Kajian Produktivitas dan Fertilitas Itik Cihateup”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan Ibu Prof. Emiritus Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran selama penelitian hingga penyusunan tesis ini. Penghargaan penulis sampaikan pula kepada Proyek PAATP Badan Litbang Pertanian untuk bantuan dananya. Bapak Eka serta Bapak Rahmat dari Bagian IPT Unggas IPB, Bapak Puloh dari Balai Penelitian Ternak Ciawi, Saudara Gholib dan kawan-kawan atas bantuan dalam pengumpulan data selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan ibu, kakak dan adik untuk doanya yang tidak pernah putus. Kepada suami tercinta drh. Widyasmoro, serta anakku Manuella penulis ucapkan banyak terima kasih atas doa, dorongan semangat dan pengorbanannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna namun semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Kritik serta saran sangat diperlukan guna perbaikan penulisan selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2006

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 21 Mei 1974 dari Bapak Abiyono (Almarhum) dan Ibu Sumarsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana S -1 ditempuh di Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang, lulus pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister pada Program Studi Ilmu Ternak IPB diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Proyek PAATP Badan Litbang Pertanian.

(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….………. DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ………...……… PENDAHULUAN

Latar Belakang ………..……….. Tujuan Penelitian ……… Manfaat Penelitian ………..………. Kerangka Pemikiran ………. TINJAUAN PUSTAKA

Itik Lokal ………...…………..……… Produktivitas Itik Lokal ………..………. Pertumbuhan ………..….………… Produksi Telur ………...……….. Kualitas Telur ………..……..….…………. Reproduksi ………..…………

Alat Reproduksi …………..……….……… Ovari ……….. Saluran Telur ………. Inseminasi Buatan ……….……….……….

Penampungan Semen ……….……… Teknik Pelaksanaan Inseminasi ……… Dosis dan Interval Inseminasi ……… Waktu Pelaksanaan ……….. Fertilitas Telur ……….………..………. MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu ………..………. Materi Penelitian ……….……….. Ternak Itik ……….……….……… Kandang ………..………..……….……… Pakan ………..…………..………….…….. Bahan dan Alat Inseminasi Buatan .………..………….. Metode Penelitian ………..……… Pengumpulan Data Karakteristik Produktivitas ……….. Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan ……… Bobot Badan Pertama Bertelur dan Umur Masak Kelamin Produksi Telur ………... Jumlah Telur, Clutches dan Masa Istirahat ………...

(21)

Jarak Tulang Pubis ……….. Indeks Telur, Bobot Telur Pertama dan Rerata Bobot Telur Pengumpulan Data Karakteristik Reproduksi ……….

Alat Reproduks i ……….…………. Fertilitas ……… Peubah yang Diamati ………... Analisis Data ……….….. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Produktivitas …….……… Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan ……….. Bobot Badan Pertama Bertelur dan Umur Masak Kelamin … Produksi Telur ………..

Jumlah Telur, Clutch dan Masa Istirahat ………. Jarak Tulang Pubis ……….. Indeks Telur, Bobot Telur Pertama dan Rerata Bobot Telur Karakteristik Fertilitas ……….

Alat Reproduksi ………. Fertilitas ……… Keeratan Hubungan antar Sifat ………..……….. Bahasan Umum Performa Produksi dan Reproduksi Itik Cihateup SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ……… Saran ……….. DAFTAR PUSTAKA ………..…… LAMPIRAN ……….

(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kandungan nutrisi pakan komersial yang digunakan selama

penelitian ……….…..………….……... 2. Rerata bobot badan itik Cihateup betina umur 15 sampai 20 minggu 3. Pertambahan bobot badan mingguan itik Cihateup umur 16 sampai

20 minggu ………..

4. Rerata bobot badan pertama bertelur da n umur masak kelamin itik Cihateup ……….

5. Persentase itik Cihateup dan itik Tegal pada pengelompokan umur masak kelamin ………

6. Bobot badan masak kelamin (BBMK) dan pertambahan bobot badan masak kelamin (PBB) itik Cihateup dari minggu ke-15 ………

7. Kemampuan bertelur itik Cihateup selama 7 minggu produksi …..…

8. Rerata jumlah telur, clutches, dan masa istirahat itik Cihateup selama 7 minggu produksi ………..

9. Indeks telur, bobot telur pertama dan rerata bobot telur itik Cihateup 10. Rerata bobot ovari dan jumlah ovum itik Cihateup ……… 11. Rerata bobot meri dan nisbah meri jantan dan betina itik Cihateup .... 12. Nilai korelasi antara sifat produksi dan reproduksi itik Cihateup asal

Tasikmalaya dan Garut ….……….

14 21

22

24

25

26 28

29 32 35 37

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram kerangka pemikiran penelitian ………... 2. Pertambahan bobot badan mingguan itik Cihateup …..………. 3. Grafik produksi telur mingguan itik Cihateup .………

4. Pola bertelur itik Cihateup ……… 5. Pertambahan bobot telur mingguan itik Cihateup ………

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai korelasi (r) antara sifat produksi dan sifat reproduksi Itik Cihateup asal Tasikmalaya ……….……... 2. Nilai korelasi (r) antara sifat produksi dan sifat reproduksi Itik

Cihateup asal Garut ………..……. 3.Performa produksi dan reproduksi itik Cihateup ….………. 4.Foto-foto penelitian itik Cihateup ……….………

49

(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan memiliki peranan yang penting dalam ekonomi nasional terutama untuk penyediaan protein hewani, disamping untuk penyediaan lapangan kerja dan pendapatan petani. Pentingnya konsumsi protein hewani yang mulai berkembang di masyarakat mendorong peternak untuk meningkatkan produksinya. Sebelum tahun 1979, peranan ternak unggas lokal sebagai sumber pedaging dan telur masih mendominasi, namun permintaan akan protein hewani yang tinggi, maka untuk memenuhinya didatangkan ayam ras yang dalam waktu singkat dapat mengatasi kekurangan tersebut. Krisis ekonomi yang melanda negara kita membuat harga ayam ras yang tinggi, sehingga diperlukan upaya untuk menumbuhkan dan menggiatkan kembali potensi unggas lokal sebagai alternatifnya.

Unggas air sebagai salah satu bagian dari unggas lokal memiliki kemampuan untuk dijadikan tumpuan harapan masa depan. Keunggulan-keunggulan tersebut antara lain: 1) tahan terhadap gejolak ekonomi, keuangan maupun teknis disamping memiliki keunggulan komparatif berbasis pada kemampuan sendiri; 2) ketersediaan bibit yang mudah didapatkan; 3) volume produksi telur yang relatif cukup besar; 4) dalam usahatani terdapat saling keterkaitan dengan usahatani tanaman pangan, dan 5) tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia sebagai bagian dari kehidupan masyarakat.

Populasi itik di Indonesia menurut Dirjen Bina Produksi (2002) sebesar 33 627 000 ekor. Dilihat dari jumlah tersebut, sangatlah kecil dibandingkan dengan populasi ayam di Indonesia baik ayam lokal, ayam petelur (layer) dan ayam peranggang (broiler). Dari tahun ke tahun perkembangan ternak itik tersebut mengalami peningkatan yang cukup baik terutama setelah terjadi krisis moneter.

(26)

Banyak wilayah Indonesia yang memiliki itik dengan spesifik lokasi, maka pengetahuan mengenai itik lokal ini akan bermanfaat untuk pengembangan itik lokal di daerah tertentu. Itik Jawa Barat memiliki kesamaan genetik dengan itik Jawa Tengah namun berbeda dengan itik yang terdapat di Jawa Timur, Bali dan Lombok (Tanabe et al. 1984). Banyak wilayah Indonesia yang memiliki itik dengan spesifik lokasi, maka pengetahuan mengenai itik lokal ini akan bermanfaat untuk pengembangan itik lokal. Itik Cihateup merupakan itik unggulan Jawa Barat yang belum diketahui keunggulan produktivitasnya maupun karakteristik biologinya. Rintisan untuk pengembangan itik ini masih perlu dilakukan dalam ska la luas dengan menggunakan contoh lebih banyak. Karakteristik itik lokal yang jelas tersebut akan memudahkan dalam pembentukan itik unggul seperti pada ayam ras. Terciptanya galur -galur yang memiliki keunggulan-keunggulan genetik tertentu, dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, maka lahirlah itik komersial seperti lahirnya ayam komersial yang dibudidayakan saat ini.

Populasi itik Cihateup banyak dijumpai didaerah Tasikmalaya dan Garut. Hasil penelitian Wulandari (2005) mengatakan bahwa itik Cihateup asal Garut mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan itik asal Tasikmalaya apabila dilihat dari protein darahnya. Pola pertumbuhan kedua itik tersebut sama dengan ukuran dan bentuk tubuh itik jantan yang sama pula, namun untuk itik betina ukuran tubuh itik asal Tasikmalaya cenderung lebih kecil.

Tujuan Penelitian

Mendapatkan informasi produktivitas (pertumbuhan dan produksi telur) serta fertilitas itik Cihateup sebagai salah satu jenis itik di Jawa Barat terutama di dataran tinggi.

Manfaat Penelitian

(27)

Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran penelitian

Itik Cihateup

Pengumpulan informasi kajian produktivitas dan daya reproduksi

Karakteristik Produksi

Karakteristik Reproduksi

-sifat pertumbuhan -sifat produksi telur -kualitas telur

-alat reproduksi -fertilitas

Analisis :

-uji banding deskriptif -korelasi antar sifat kuantitatif

1. Penyimpulan Informasi Karakteristik Produksi dan Reproduksi Itik Cihateup

2. Rekomendasi Pengembangan Itik Cihateup

Permasalahan:

1. Informasi karakteristik biologis /standard masih kurang memadai 2. Program pengembangan dan

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Itik Lokal

Itik sebagai salah satu jenis unggas air (water fowls) termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, sub famili Anatinae, tribus Anatini, genus Anas dan termasuk spesies Anas javanica (Srigandono 1986). Itik -itik yang ada dan berkembang di Indonesia merupakan keturunan langsung itik liar Mallard berkepala hijau (Anas plathyrhynchos-plathyrhynchos) (Haase and Donham 1984).

Beberapa jenis itik lokal yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia antara lain itik Cirebon, Mojosari, Alabio, Tegal, Bali, Magelang dan Cihateup. Pemberian nama tersebut disesuaikan dengan tempat asal atau keberadaan itik tersebut (Maria 1993). Menurut Srigandono (1986) masing-masing itik mempunyai morfologi yang bervariasi, seperti besar tubuh, konformasi dan warna bulu. Perbedaan ini sebagai akibat dari jarak waktu domestikasi dengan waktu pengembangan dan adanya campur tangan manusia dalam pemeliharaan. Sebagai contoh itik Tegal yang memperlihatkan penyimpangan yang cukup jauh, namun sebaliknya untuk itik Alabio justru masih mirip dengan tetuanya baik dalam bentuk badan maupun warna bulunya.

Itik Jawa Barat memiliki kesamaan genetik dengan itik Jawa Tengah, namun berbeda dengan itik yang terdapat di Jawa Timur, Bali dan Lombok. Itik Jawa Barat dan Jawa Tengah memiliki hubungan dengan kekerabatan dengan itik Khaki Campbell, yaitu itik hasil persilangan antara itik pedaging Rouen dengan itik Indian Runner (Tanabe et a l. 1984).

(29)

tubuh itik Cihatep jantan asal Tasikmalaya dan Garut adalah sama, sedangkan pada itik betina ukuran tubuh itik asal Tasikmalaya cenderung labih kecil (Wulandari 2005)

Produktivitas Itik Lokal

Sistem pemeliharaan itik selama ini umumnya masih bersifat tradisional, yang

lebih kita kenal dengan menggembalakan atau melepaskan di areal

persawahan. Kondisi ini yang mengakibatkan produktivitas itik rendah karena

kualitas pakan yang rendah dan sedikitnya pakan yang dikonsumsi dilapangan

(Prasetyo 1997).

Meskipun produktivitasnya rendah, namun bukan berarti potensi produksinya rendah. Potensi produksi dipengaruhi oleh genetik. Beberapa karakteristik genetik yang mempengaruhi produksi telur yaitu 1) masak kelamin dini (semakin cepat bertelur, produksi telurnya akan semakin tinggi dalam satu periode, namun telur yang dihasilkan lebih kecil); 2) intensitas bertelur yang tinggi (karakter ini dapat dilihat dari kemampuan peningkatan produksi yang cepat); 3) panjang masa bertelur (semakin lama bertelur sebelum ternak masuk periode rontok bulu produksi telurnya semakin tinggi); 4) lama istirahat, istirahat antar clutch lebih dari 2-3 hari akan mempengaruhi ju mlah telur dalam masa produksi (North 1984).

Pertumbuhan.

(30)

merupakan interaksi dari dua kekuatan yaitu kekuatan peningkatan pertumbuhan dan kekuatan hambatan pertumbuhan (Brody 1945).

Brody (1945) menyarankan bahwa untuk menghitung laju pertumbuhan pada periode pertumbuhan, saat kekuatan hambatan pertumbuhan berperan menggunakan rumus Wt = A – B e-kt ; dengan penjelasan Wt = bobot badan pada umur t, A = perkiraan bobot badan yang dapat dicapai pada saat dewasa, B = suatu konstanta, e = bilangan dasar untuk ln (2.7183), t = umur dalam minggu dan k = laju pertumbuhan.

Penelitian Hardjosworo (1989) pada itik Tegal menunjukkan bahwa setelah itik berumur empat minggu pertambahan bobot badan mulai menurun. Pada umur 14 minggu dengan pakan yang mengandung protein 16 % bobot badannya mencapai 1 325.23 g, dengan laju pertumbuhan (k) sebesar 0.203.

Bobot badan pertama bertelur dapat digunakan sebagai salah satu indikator itik telah siap bertelur atau belum. Bobot badan pertama bertelur itik Alabio, itik Mojosari, itik AxM (persilangan antara Alabio jantan dengan Mojosari betina) dan MxA (persilangan antara Mojosari jantan dan Alabio betina) berturut-turut 1 906 g, 1 616 g, 1 741 g dan 1 803 g (Hardjosworo et al. 2001). Rata-rata bobot badan masak kelamin itik Tegal berkisar antara 1 300 sampai 1 500 g (Hardjosworo 1989).

Produksi Telur.

Bertelur yang pertama merupakan tanda yang mudah dikenali bahwa unggas sudah masak kelamin, walaupun sebelumnya sudah terjadi ovulasi. itik Tegal mulai bertelur pada umur 113 hari, itik Mojosari mulai bertelur umur 145 hari, itik Bali mulai bertelur umur 157 hari, itik Alabio pada umur 170 hari dan untuk itik MA (Mojosari Alabio) pada umur kurang dari 119 hari (Hardjosworo et a l. 2001). Apabila umur mulai bertelur masih ter lalu muda, maka telur yang dihasilkan akan kecil-kecil. Umur masak kelamin yang baik untuk menghasilkan bobot telur yang baik pada itik Tegal antara 150-171 hari (Hardjosworo 1989).

(31)

Lasmini 1978). Menurut Setioko et a l. (2002) itik Bali putih total produksi telurnya 163.7 butir sedangkan yang coklat 168.8 butir per tahun.

Produksi telur itik gembalaan dapat ditingkatkan dengan memberi pakan tambahan, peningkatan produksi yang terjadi dari 38.3 % menjadi 48.9 % (Setioko 1992). Itik Mojosari pada bulan pertama produksi telurnya mencapai 40 % dan akan mencapai 80% sebagai produksi puncak pada bulan ke -empat (Mahmudi 2001). Menurut Setioko dan Rohaeni (2001) rataan produksi telur itik Alabio 66.86 % dengan puncak produksi mencapai 80.69 %.

Ovulasi ditandai dengan dilepaskannya ovum dari ovarium masuk ke oviduct. Ovum akan melewati oviduct dalam pembentukan telur, proses ini memakan waktu 23-26 jam. Pada hari ternak bertelur secara terus menerus tanpa berhenti inilah yang disebut clutches, sedangkan pada hari ternak tidak bertelur disebut pause (masa istirahat) (Bell and Weaver 2002).

Jarak antara ujung tulang pubis (lebar tulang pubis) digunakan sebagai tanda untuk mengenali itik yang sudah masak kelamin, telah dikembangkan oleh Hardjosworo (1994), pengukuran lebar peregangan pubis dilakukan pada itik dengan posisi terlentang, karena bentuk tulang pubis itik ujungnya melengkung kearah ventral dalam posisi tegak, sehingga kedua ujung tulang pubis ini meregang akibat tertekan oleh isi perut. Pada saat masak kelamin (bertelur pertama kali) dengan posisi terlentang didapatkan lebar peregangan pubis rata -rata 4.04±0.72 cm. Menurut Hardjosworo dan Rukmiasih (1993) tingkat produksi selama 20 minggu menunjukkan hubungan yang nyata dengan lebar peregangan pubis pada saat delapan minggu pertama produksi.

Kualitas Telur.

(32)

Bobot telur pertama itik Tegal menurut Subiharta et al. (2001) sebesar 48.07±17.93 g, tetapi melalui seleksi dapat meningkat sebesar 2.11 g menjadi 50.18±3.44 g. Bobot telur pertama pada itik Alabio dan itik Mojosari yang dipelihara pada kandang berbeda, dilaporkan bahwa itik yang dipelihara pada kandang battery baik itik Alabio maupun itik Mojosari memperlihatkan produksi yang lebih tinggi daripada yang dipelihara pada kandang beralas sekam.

Menurut Srigandono dan Sarengat (1990) itik Tegal, itik Alabio dan itik silangan antara itik Alabio dan itik Magelang, bobot telur bisa mencapai masing-masing 66.7; 63.72; 68.29 dan 64.95 g. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Setioko dan Rohaeni (2001) yang menyatakan bahwa dengan pakan lokal bobot telur bisa mencapai 68.46 g/butir.

Reproduksi

Sistem reproduksi itik betina terdiri dari dua ovari yang terletak di sebelah kiri dan kanan, tetapi yang berfungsi hanya satu, disertai oviduct (Bell and Weaver 2002).

Alat Reproduksi.

Ovari. Ovari kiri terletak dalam rongga badan bagian ventral diantara aorta dan vena kava bagian depan dan kranial sampai ke ginjal (Gilbelt 1971). Ovari melekat pada dinding tubuh di bagian tulang mesoovarian yang kecil, dan vena kava dengan tangkai ovari, sedangkan ovari kanan merupakan ovari yang tidak berkembang sempurna (Gilbelt 1971).

Dalam ovari masak terdapat sekitar 2 500 oosit yang dapat dilihat dengan mata telanjang, dan sekitar 12 000 yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop, dan diperkirakan hanya sekitar 200– 300 butir yang dapat masak dan diovulasikan pada spesies yang sudah didomestikasi (Sturkie 1976). Rata-rata bobot ovari itik Tegal pada umur 20 minggu lebih kecil dibandingkan dengan bobot ovari pada umur diatas 20 minggu. Dari tiga perlakuan yang diterapkan, yaitu kadar protein pakan 9.12 dan 15 %; bobot ovari berturut -turut 1.43±0.97; 0.87±0.45 dan 0.80±0.52 g (Hardjosworo 1989).

(33)

diperoleh bobot ovari berturut -turut 0.2; 0.2; 0.2; 2.0 dan 3.4 g, sedangkan pada umur 20, 26 dan 30 minggu masing-masing mencapai 12.2; 36.6 dan 45.0 g.

Panjang saluran telur itik Pekin 47.2±4.6 cm, dengan rincian 4.8±1.4 cm infundibulum; 24.4±3.1 cm magnum; 10.6±2.3 cm isthmus dan 7.3±1.0 cm uterus sampai vagina. Panjang saluran telur itik Campbell adalah 45.0±4.9 cm dengan rincian 6.9±1.2 cm infundibulum; 24.3±2.9 cm magnum; 7.9±1.1 cm isthmus dan 5.9±1.0 cm uterus sampai vagina (Shen 1986).

Iseminasi Buatan

Inseminasi Buatan (IB) menghasilkan fertilitas yang lebih baik daripada perkawinan alami. Beberapa keuntungan apabila menggunakan IB antara lain adalah pejantan yang digunakan sedikit, dapat menghasilkan keturunan yang sesuai keinginan peternak, misalnya mendapatkan bobot badan yang lebih tinggi untuk ternak pedaging. Disa mping itu IB sangat tepat untuk sistem pemeliharaan dalam kandang individu, karena perkawinan alami dalam kandang individu tidak efisien dan tidak mungkin (Ensminger 1992).

Penampungan Semen. Inseminasi buatan sangat terkait dengan teknik penampungan semen, penampungan semen yang baik akan menghasilkan kualitas sperma yang baik pula. Ada tiga metode penampungan semen pada itik yang kita kenal menurut Setioko (1981), serta Chelmonska and Lukaszewicz (1995), yaitu metode rangsangan urut, rangsangan listrik dan vagina buatan. Beberapa peneliti membuat kombinasi antara ketiga metode tersebut, namun yang paling banyak dilakukan adalah rangsangan urut kemudian diikuti rangsangan listrik, sedangkan penggunaan vagina buatan masih belum banyak dikenal.

Hasil penelitian Setioko dan Hetzel (1984) melaporkan bahwa penampungan semen dengan menggunakan teknik vagina buatan menghasilkan volume semen, konsentrasi sperma dan jumlah sperma per ejakulat tertinggi, bila dibandingkan dengan teknik rangsangan listrik dan rangsangan urut.

(34)

Inseminasi Buatan dapat dilakukan dengan dua cara intravagina dan intrauterin (Michell dan Buckland 1976). Menurut Lake dan Stewart (1978) IB intravagina dilakukan dengan cara mengeluarkan vagina dan mendeposisikan semen disekitar vagina pada kedalaman 2-6 cm, sedangkan menurut Bahr dan Bakst (1987) pada kedalaman 4-6 cm. Inseminasi Buatan intrauterin dilakukan dengan cara mengeluarkan vagina dan memasukkan jari tangan kedalam utero-vaginal junction (UVJ) sebagai penuntun dalam mendeposisikan semen disekitar UVJ (Michell dan Buckland 1976).

Cara intrauterin bermanfaat untuk meningkatkan fertilitas semen yang mempunyai viabilitas spermatozoa yang rendah, seperti semen beku dan semen yang telah disimpan (Smyth 1968). Selain itu, dapat digunakan untuk

mendapatkan fertilitas telur yang lebih tinggi daripada intravagina, karena sebagian besar spermatozoa yang diposisikan dapat tersimpan dalam UVJ (Lake dan Stewart 1978). Inseminasi intravagina hanya sekitar satu sampai dua persen dari total spermatozoa yang dideposisikan yang dapat ters impan dalam UVJ, sedangkan yang lainnya tertahan di daerah vagina (Brillard 1983).

Dosis dan Interval Inseminasi. Menurut Setioko (1981) inseminasi pada itik dapat dilakukan dengan dosis 50 dan 100 juta spermatozoa untuk setiap empat hari atau dosis 150 dan 200 juta spermatozoa untuk setiap lima hari. Menurut Chelmonska (1967) pada itik Pekin fertilitas yang tinggi diperoleh dengan dosis 200 juta spermatozoa.

Setioko (1981) melaporkan bahwa inseminasi setiap empat hari dapat dilakukan pada daerah vagina. Menurut Liu et al. (1980 dalam Tai et al. 1997) interval antara inseminasi pertama dan berikutnya dengan semen cair pada intragenerik (itik Pekin dan Tsaiya) empat hari, sedangkan dengan inseminasi intergenetik (Entog dan itik Tsauya atau Pekin) tiga hari. Inseminasi intrauterin menggunakan semen beku

(35)

rendah, karena sebagian besar spermatozoa yang dideposisikan akan didorong keluar vagina oleh adanya kontraksi oviduk yang berhubungan dengan proses oviposisi (Christensen dan Johnston 1977 dalam Brillard 1983). Menurut Sturkie (1976) IB yang dilakukan empat jam sebelum oviposisi dan satu jam setelah oviposisi menghasilkan fertilitas telur yang rendah.

Telur dengan kulit yang keras dalam uterus dapat menghambat gerakan progresif spermatozoa, oleh karena itu IB yang dilakukan setelah terbentuknya kulit telur yang keras akan menghasilkan fertilitas yang rendah (Toelihere 1985). Untuk mendapatkan fertilitas telur yang tinggi dan menghindari adanya kulit telur yang keras dalam uterus, IB hendaknya dilakukan segera setelah bertelur (Utami 1995)

Fertilitas Telur.

Fertilitas merupakan faktor yang mempengaruhi kapasitas reproduksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah jumlah induk yang dikawini oleh satu pejantan, umur induk, panjang waktu penyimpanan antara saat bertelur sampai telur tersebut ditetaskan dan kemampuan pengelolaan telur yang dihasilkan (Ensminger 1992)

Telur yang dihasilkan 24 jam setelah perkawinan kemungkinan sudah menghasilkan telur fertil namun secara umum pada perkawinan alami dibutuhkan waktu dua minggu setelah perkawinan akan didapat telur fertil. Perpindahan jantan kedalam kandang betina menurunkan fertilitas. Penurunan ini akibat cekaman karena perpindahan kandang (Ensminger 1992).

Fertilitas yang optimal diperoleh apabila dosis spermatozoa yang diberikan sesuai dengan kebutuhan. Sexton dan Fewlass (1978) menyatakan bahwa inseminasi dengan dosis 50 juta spermatozoa per minggu menghasilkan fertilitas 82 sampai 88 %. Inseminasi dengan dosis 100 juta spermatozoa per minggu menurut Bootwalla dan Miles (1992) bisa menghasilkan fertilitas telur lebih dari 90 %.

(36)
(37)

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, serta Laboratorium Penetasan Balai Penelitian Tern ak, Departemen Pertanian Ciawi, Bogor. Penelitian akan dilaksanakan selama 4 (empat) bulan mulai bulan Juni sampai Oktober 2004.

Materi Penelitian

Ternak Itik

Itik yang digunakan dalam penelitian ini 43 (empat puluh tiga) ekor itik

Cihateup betina dan 24 (dua puluh empat) ekor itik Cihateup jantan. Dua belas

ekor itik betina dan 5 ekor itik jantan dari Desa Sukamaju, Kecamatan Kaler,

Kecamatan Indihiang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; dan 31 ekor itik

betina dan 19 ekor itik jantan yang diperole h dari peternak di Desa Padaasih,

Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Itik yang digunakan

berumur 14 (empat belas) minggu.

Kandang

Kandang yang digunakan berupa kandang baterai individual berjumlah 67 buah yang terbuat dari besi dengan ukuran lebar 30 cm; panjang 50 cm dan tinggi 56 cm. Masing-masing kandang berisi satu ekor itik.

Setiap kandang masing-masing dilengkapi dengan satu buah tempat pakan dan tempat minum. Sebagai penerang setiap kandang kelompok diberi lampu pijar dengan kekua tan 60 watt

Pakan

(38)
[image:38.612.159.474.184.287.2]

mengurangi pakan yang terbuang, pemberian pakan ditambah dengan sedikit air. Pemberian ransum dan air minum ad libitum. Kandungan nutrisi pakan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan nutrisi pakan komersial yang digunakan selama penelitian

Kandungan Nutrisi Komposisi (%) Air

Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar

Kalsium Fosfor

Maksimal 12 Minimal 16

Minimal 4 Maksimal 6 3.25 – 3.80 0.70 – 0.95 Sumber : PT. Japfa Comfeed Indonesia (2004)

Bahan dan Alat Inseminasi Buatan.

Bahan yang digunakan untuk Inseminasi Buatan NaCl fisiologis, yang digunakan untuk mencuci peralatan penampungan semen dan alat inseminasi, Lisol 0.025 % digunakan untuk membersihkan telur yang akan ditetaskan.

Peralatan yang digunakan untuk penampungan semen, inseminasi buatan dan penetasan telur antara lain tabung penampung semen, termos, alat suntik ukuran 1 ml, baki telur dan mesin tetas.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan menggunakan itik Cihateup yang dipelihara dari itik berumur satu hari. Sebelum berumur 14 minggu itik ditempatkan pada kandang kelompok menggunakan kandang berlantai bilah kayu berkisi (slat) yang masing-masing kandang berisi 5 ekor itik. Pakan yang

(39)

tiga kandang individu. Itik ditempatkan pada kandang individu dengan setiap ekor itik berfungsi sebagai ulangan.

Pemeliharaan itik jantan sebanyak 24 ekor yang ditempatkan pada satu rumah kandang sama dengan pemeliharaan itik betina. Pakan yang diberikan ransum komersial ayam petelur dewasa yang diberikan dua kali dalam sehari. Sebelum digunakan sebagai pejantan yang diambil spermanya untuk Inseminasi Buatan dilakukan pengujian terhadap kualitas semennya. Hasil evaluasi semen menunjukkan kualitas yang baik dengan motilitas antara 50-75 %, konsentrasi antara 480-1 970 juta/ml, sperma hidup 51-79 % dan abnormalitas yang rendah yaitu 7.8-22.9 %.

Penempatan itik betina pada tiga rumah kandang berdasarkan bobot badan awal penelitian. Bobot badan itik dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu bobot badan tinggi (>1 400 g), sedang (1 300-1 400 g) dan rendah (<1 300 g). Penempatan itik pada kandang individu masing-masing rumah kandang secara acak, supaya pengaruh lingkungan terhadap dua kelompok itik (asal Tasikmalaya dan asal Garut) sama.

Data produktivitas diperoleh dengan melakukan pengukuran pertumbuhan dan pencatatan produksi telur. Sedangkan data fertilitas itik Cihateup diperoleh dengan melakukan IB dua kali dalam seminggu. IB dilaksanakan setelah produksi telur mencapai 70 % dan itik jantan sudah berumur 24 minggu. Spermatozoa yang digunakan untuk IB dikoleksi dari itik jantan yang dikumpulkan tanpa

memperhatikan individunya dengan cara pemijatan. Itik jantan diambil spermanya secara bergantian. Sperma yang terkumpul langsung digunakan untuk IB tanpa pengenceran, dengan volume untuk masing-masing induk 0.1 ml.

Telur hasil IB yang ditetaskan diambil dua hari setelah pelaksanaan IB pertama kali. Hal ini untuk meyakinkan bahwa telur yang dihasilkan telah dibuahi oleh sperma hasil IB. Penetasan telur hasil IB dilaksanakan enam hari sekali untuk memudahkan penanganan dan telur masih bagus untuk ditetaskan.

(40)

intensitas bertelur sampai akhir penelitian dari masing-masing itik. Intensitas bertelur tinggi adalah itik yang bertelur setiap minggunya sampai akhir penelitian dengan kemampuan produksi setiap minggunya sebesar 70-100 %, untuk

kelompok sedang intensitas bertelur setiap minggunya dengan kemampuan produksi mingguannya sebesar 40-70 %, sedangkan yang rendah adalah itik yang intensitas bertelurnya tidak setiap minggu dan kemampuan produksinya < 40 %. Pemotongan dilakukan untukmenge tahui bobot ovari, bobot saluran reproduksi dan jumlah ovum.

Penelitian ini untuk mengetahui produktivitas dan fertilitas itik Cihateup asal Tasikmalaya dan asal Garut serta perbedaan antara kedua kelompok itik tersebut. Sehingga data yang dikumpulkan dikelompokkan menurut asal itik, yaitu itik asal Tasikmalaya dan itik asal Garut. Pengelompokkan data ini memudahkan dalam analisa data.

Pengumpulan Data Karakteristik Produktivitas

Pengumpulan data kuantitatif tentang karakteristik produksi dimulai pada minggu ke-15 sampai akhir penelitian

1. Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan

Itik yang telah ditempatkan pada kandang individu diamati pertumbuhannya dengan menimbang bobot badan (g) seminggu sekali pada hari yang sama, sampai itik tersebut bertelur untuk pertama kalinya. Penimbangan mulai dilakukan sejak awal penelitian yaitu saat itik berumur 14 minggu. Pertambahan bobot badan mingguan (g) didapat dengan menghitung selisih bobot badan minggu berikutnya dengan bobot badan minggu sebelumnya.

2. Bobot Badan Pertama Bertelur dan Umur Masak Kelamin

(41)

pertambahan bobot badan masak kelamin untuk mengetahui laju pertumbuhan dilihat dengan membandingkan antara keduanya setiap minggu masak kelamin

3. Produksi telur

Pengamatan produksi telur dimulai dengan mencatat telur yang dihasilkan masing-masing itik baik jumlah maupun harinya. Produksi telur mingguan (%) diperoleh dengan menjumlahkan seluruh telur yang dihasilkan selama satu minggu dibagi dengan jumlah hari dalam satu minggu dikalikan dengan 100 %. Pengamatan produksi telur dilakukan selama 7 minggu produksi.

Selain itu selama 7 minggu produksi tersebut dilakukan penghitungan kemampuan produksi itik dari kedua kelompok itik. Kemampuan produksi telur dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu itik yang berproduksi kurang dari 60% dan lebih dari 60 %. Kemampuan produksi (%) diperoleh dengan menjumlahkan telur yang didapat selama 7 minggu produksi dibagi dengan jumlah hari selama 7 minggu produksi dikalikan dengan 100 %.

4. Jumlah Telur, Clutches dan Masa Istirahat

Jumlah telur didapatkan dengan menghitung jumlah telur (butir) keseluruhan selama 7 minggu produksi pada masing-masing itik. Clutches merupakan jumlah hari ketika itik terus-menerus bertelur, sedangkan Pause (masa istirahat) merupakan jumlah hari ketika itik tidak bertelur secara terus -menerus. Clutches dan masa istirahat dihitung selama 7 minggu produksi.

5. Jarak Tulang Pubis

Jarak tulang pubis (cm) sebagai tanda itik telah masak kelamin diperoleh dengan mengukur jarak antara ujung tulang pubis. Pada saat itik masak kelamin ujung tulang pubis akan meregang karena pengaruh hormone estrogen.

6. Indeks Telur, Bobot Telur Pertama dan Rerata Bobot Telur.

Selain dicatat jumlah telur dan hari bertelur, telur yang dihasilkan juga diukur panjang dan lebarnya. Pencatatan ini berguna untuk mengetahui kualitas telur yang didapat. Indeks telur (%) didapat dari perbandingan antara panjang bagian telur terlebar (mm) dengan bagian telur terpanjang (mm) dikalikan 100.

(42)

(g) untuk masing-masing individu didapatkan dengan menjumlahkan seluruh bobot telur selama penelitian, kemudian dibagi dengan jumlah telur selama penelitian. Pertambahan bobot telur (g) per minggu dihitung berdasarkan selisish rata-rata bobot telur setiap minggunya.

Pengumpulan Data Karakteristik Reproduksi

Pengukuran data kuantitatif tentang karakteristik reproduksi dilakukan setelah ternak diberi perlakuan IB

1. Alat Reproduksi

Penelitian berakhir setelah produksi telur menurun sampai 50 %. Akhir penelitian diambil tiga ekor itik sebagai sampel dari masing-masing daerah asal itik, tiga sampel tersebut diambil itik yang berproduksi tinggi, sedang dan rendah, kemudian diseleksi dan diamati alat reproduksinya. Ovari ditimbang, serta diamati kemudian dihitung jumlah ovumnya (buah) yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Saluran telur ditimbang (g) untuk mengetahui bobotnya.

2. Fertilitas

Setelah produksi telur mencapai 80 % per hari, dilakukan inseminasi buatan. Inseminasi Buatan dilakukan dua kali dalam seminggu untuk mendapatkan hasil fertilitas yang tinggi. Telur yang dihasilkan dari hasil IB ditetaskan menggunakan mesin tetas yang sebelumnya dibersihka n menggunakan lisol 0.025 %, kemudian difumigasi dengan larutan kalium permanganat-formalin. Larutan terdiri dari 4 g kalium permanganat (KmnO4) dan 5 cc formalin untuk luasan satu meter kubik selama 15 menit.

(43)

sarang laba -laba dengan bintik ditengah, untuk telur infertil ditandai dengan telur yang bening kekuning-kuningan. Apabila terdapat bintik yang dikelilingi oleh cincin merah yang melekat pada salah satu sisi, maka telur tersebut embrionya mati. Persentase fertilitas adalah perbandingan antara telur fertil dengan telur yang ditetaskan dikalikan dengan 100 %.

Mulai hari ke -25 telur dipindahkan ke dalam rak yang telah disekat, sehingga diketahui asal anak itik (meri). Telur akan menetas pada hari ke -28, setelah menetas meri ditimbang untuk mengetahui bobot meri (g) yang baru menetas dan diperiksa jenis kelaminnya dengan melipat kloaka ke atas. Apabila terdapat tonjolan adalah jantan dan apabila terdapat lubang bulat adalah betina. Nisbah jantan betina meri didapat dengan membandingkan meri jantan dengan meri betina.

Peubah yang Diamati

1. Karakteristik produktivitas meliputi: bobot badan (g); pertambahan bobot badan (g); bobot badan pertama bertelur (g); umur masak kelamin (hari); produksi telur mingguan (%); jumlah telur (butir); clutches; masa istirahat; lebar tulang pubis (cm); indeks telur (%); bobot telur pertama (g); bobot telur (g) dan pertambahan bobot telur (g)

2. Karakteristik fertilitas : bobot ovari (g); jumlah ovum (butir); bobot saluran reproduksi (g); fertilitas (%); bobot meri (g); nisbah meri jantan dan meri betina.

Analisis Data

Karakteristik produktivitas meliputi bobot badan, pertambahan bobot badan, bobot badan pertama bertelur, umur masak kelamin, jumlah telur, produksi telur mingguan, clutches, masa istirahat, lebar tulang pubis, indeks telur, bobot telur pertama, rerata bobot telur, dan pertambahan bobot telur; karakteristik fertilitas meliputi bobot ovari, jumlah ovum, bobot saluran reproduksi, fertilitas, dan bobot meri dari dua lokasi asal itik (Tasikmalaya dan Garut) dianalisis ragam dengan menggunakan uji-t dengan bantuan program minitab release 13.20.

(44)

e

E

2

)

e

E

o

S(E

2

X

=

X2 = peluang diperolehnya rasio sifat reproduksi yang diharapkan. Eo = jumlah yang diamati

Ee = jumlah harapan

Apabila hasil penghitungan X2 lebih kecil dari nilai tabel untuk peluang 0.25, maka dilakukan penghitungan X2 terkoreksi. Penghitungan ini hanya berlaku untuk rasio yang diharapkan 1 : 1.

[

]

Ee

2

0,5

Ee)

(Eo

S

terkoreksi

2

X

=

Keeratan hubungan antar sifat produksi dan antar sifat reproduksi dicari keeratannya menggunakan analisis korelasi (Steel dan Torrie 1993), dengan model matematik sebagai berikut :

2

)

y

_

S(yi

2

)

x

_

S(xi

)

_

y

(yi

)

_

x

S(xi

r

=

r = koefisien korelasi antar sifat produksi dengan sifat reproduksi xi = sifat pertumbuhan/ produksi telur/ kualitas telur

_

x

= rerata sifat pertumbuhan/ produksi telur/ kualitas telur yi = sifat organ reproduksi/ fertilitas/ daya tetas

y _

= rerata sifat organ reproduksi/ fertilitas/ daya tetas

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS

Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan

[image:45.612.133.506.355.649.2]

Pertumbuhan itik Cihateup yang terjadi akibat perubahan bentuk dan komposisi tubuh dapat diketahui dengan melakukan penimbangan bobot badan. Penimbangan dilakukan setiap minggu sekali sampai itik tersebut masak kelamin atau bertelur pertama kali. Setelah itik masak kelamin tidak dilakukan penimbangan supaya tidak mengalami cekaman. Hasil penimbangan bobot badan itik Cihateup betina asal Tasikmalaya dan Garut dari umur 15 sampai umur 20 minggu disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rerata bobot badan itik Cihateup betina umur 15 sampai 20 minggu.

Tasikmalaya Garut

Umur (minggu

) n ± SB KK n ± SB KK

15 16 17 18 19 20 (ekor ) 12 12 12 12 12 12 (g) 1

293.08±112. 60

1

319.25±102. 80

1

375.83±114. 97

1

398.50±129. 32

1

412.33±161. 74

1

434.25±150. 08 (%) 8.71 7.79 8.36 9.23 11.4 5 10.4 6 (eko r) 30 30 30 30 30 30 (g) 1

271.07±117. 62

1

337.97±110. 50

1

367.43±124. 99

1

401.47±131. 94

1

431.37±129. 73

1

496.20±126. 25 (%) 9.2 5 8.2 6 9.1 4 9.4 1 9.0 6 8.4 4

Keterangan : KK = koefisien keragaman; SB = simpangan baku.

Hasil analisis uji-t terhadap bobot badan pada umur 15 sampai dengan 20 minggu itik Cihateup betina asal Tasikmalaya dan asal Garut tidak menunjukkan

(46)

perbedaan yang nyata (P>0.05). Hasil penelitian Wulandari (2005) menyatakan bahwa, ukuran dan bentuk tubuh itik betina asal Tasikmalaya lebih kecil daripada itik asal Garut. Tetapi pada umur 15 sampai 20 minggu tidak terdapat perbedaan bobot badan keduanya. Artinya itik asal Garut mengalami pertumbuhan dini cepat dan itik asal Tasikmalaya mengalami pertumbuhan dini lambat. Perbedaan pertumbuhan ini yang menyebabkan itik asal Garut mengalami perlambatan

pertambahan bobot badan sedangkan itik asal Tasikmalaya mengalami percepatan pertambahan bobot badan. Sehingga akhirnya keduanya memiliki bobot badan yang sama.

Laju pertumbuhan dianalisis berdasarkan

pertambahan bobot badan dapat dilihat pada Tabel 3 dan

[image:46.612.133.503.383.584.2]

diilustrasikan pada Gambar 2.

Tabel 3. Pertambahan bobot badan mingguan itik Cihateup umur 16 sampai 20 minggu.

Tasikmalaya Garut

Umur (mingg

u) n ± SB KK n ± SB KK

15-16 16-17 17-18 18-19 19-20 (eko r) 12 12 12 12 12 (g) 26.17±50.

9 3a

56.58±42. 45 22.67±32. 74 13.83±80. 92 21.92±35.

0 2a

(%) 194. 61 75.0 3 144. 42 585. 10 159. 76 (eko r) 30 30 30 30 30 (g) 66.90±42. 66b 29.47±50. 21 34.03±35. 87 29.90±51. 72 64.83±74. 11b (%) 63.7 7 170. 38 105. 41 172. 98 114. 31

Keterangan : KK = koefisien keragaman; SB = simpangan baku, Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05).

Hasil analisis uji-t menunjukkan tid ak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) antara kedua kelompok itik, kecuali pada minggu ke-16 dan minggu ke -20 pertambahan bobot badan itik asal Garut nyata lebih besar (P<0.05) daripada itik asal Tasikmalaya. Pada umur 16 minggu pertambahan bobot badan itik asal Garut 2.5 kali lipat itik asal Tasikmalaya, pada minggu ke-17 pertambahan bobot badan itik asal Tasikmalaya 2 kali itik asal Garut. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

(47)

perbedaan pertambahan bobot badan yang terjadi pada minggu 16, karena itik asal Garut mengalami perkembangan organ reproduksi cepat. Perkembangan organ reproduksi cepat pada itik asal Tasikmalaya terjadi lebih lambat pada minggu 17, namun tidak menyebabkan perbedaan pertambahan bobot badan pada minggu ini. Seperti hasil penelitian Tamzil (1995) yang menyatakan bahwa, percepatan perkembangan organ reproduksi itik Cirebon dapat dilihat dari panjang saluran telur, bobot saluran telur dan bobot ovari dimulai pada umur 14 minggu.

Pertambahan bobot badan itik asal Garut pada minggu 20 ternyata 3 kali lebih besar dari itik asal Tasikmalaya. Perbedaan pertambahan bobot badan tersebut akibat itik asal Garut sudah mulai masak kelamin sehingga terjadi

pembesaran ovarium dan ovum sudah berkembang menjadi kuning telur yang siap diovulasikan. 0 10 20 30 40 50 60 70 80

16 17 18 19 20

Umur (minggu)

Pertambahan Bobot Badan (g)

Taikmalaya Garut

Gambar 2. Pertambahan bobot badan mingguan itik Cihateup.

Pertambahan bobot badan mingguan tertinggi itik Cihateup dari umur 16 sampai 20 minggu untuk itik asal Tasikmalaya dicapai pada minggu ke 17 (56.58 g), untuk itik asal Garut sudah dicapai pada minggu ke 16 (66.90 g). Pertambahan bobot badan tertinggi ini terjadi saat percepatan perkembangan organ reproduksi.

Pertambahan bobot badan pada Gambar 2 di atas untuk itik asal Garut setelah percepatan perkembangan organ reproduksi menurun menjelang masak kelamin, kemudian naik pada saat ternak masak kelamin. Itik asal Tasikmalaya, pertambahan bobot badan juga menurun menjelang masak kelamin setelah percepatan perkembangn organ reproduksi. Penurunan pertambahan bobot badan ini akibat penurunan perkembangan organ reproduksi.

(48)

asal Garut, kecuali pada minggu 17. Ini menunjukkan respon bilogi terhadap lingkungan itik asal Tasikmalaya lebih beragam daripada itik asal Garut. Selain itu sampel yang digunakan pada itik asal Tasikmalaya lebih sedikit

Bobot Badan Pertama Bertelur dan Umur Masak Kelamin

Bobot badan pertama bertelur dan umur masak kelamin yang mer upakan tanda itik telah dewasa kelamin disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rerata bobot badan pertama bertelur dan umur masak kelamin itik Cihateup

Asal Itik Peubah

Tasikmalaya Garut Bobot badan pertama bertelur (g)

Umur masak kelamin (hari)

1 503.17±161.19 145.75±9.99

1 531.97±146.81 139.94±7.89

Hasil analisis uji-t terhadap bobot badan pertama bertelur itik Cihateup asal Tasikmalaya (1 503.17±161.19 g) sama dengan itik asal Garut (1 531.97±146.81 g). Nilai koefisien keragaman menunjukkan bobot badan pertama bertelur itik asal Garut (9.58 %) lebih seragam dibandingkan itik asal Tasikmalaya (10.72 %). Koefisien keragaman kedua kelompok itik termasuk kecil karena dibawah 20 %, artinya bobot badan pertama bertelur kedua kelompok itik seragam.

Bobot badan pertama bertelur itik Cihateup hasil penelitian ini lebih besar apabila dibandingkan dengan bobot badan pertama bertelur itik Tegal (1 447.69±55.52 g) yang diberi pakan ad libitum dengan kandungan protein 18% hasil penelitian Hardjosworo (1989). Perbedaan bobot badan bertelur pertama ini dipengaruhi oleh genetik dari masing-masing itik, meskipun hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa itik Cihateup mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan itik Tegal.

Itik asal Garut bertelur sekitar 6 hari lebih awal dibanding itik asal Tasikmalaya, namun rerata umur masak kelamin itik Cihateup asal Tasikmalaya (145.75±9.99 hari) tidak berbeda (P>0.05) dengan itik asal Garut

(139.94±7.89 hari), meskipun itik asal Garut. Umur masak kelamin itik Cihateup asal Tasikmalaya dan asal Garut yang diperoleh berada dibawah kisaran ideal umur masak kelamin itik Tegal hasil tabulasi pengelompokan umur masak kelamin yang dilakukan oleh Hardjosworo (1989) yaitu 150-171 hari.

(49)

pengelompokkan umur masak kelamin itik Tegal menurut Hardjosworo (1989). Pengelompokan berdasarkan umur masak kelamin itik Cihateup dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Persentase itik Cihateup pada pengelompokan umur masak kelamin

Persentase itik masak kelamin (%) Kelompok umur

masak kelamin Tasikmalay

a

Garut Tegal

a. <151 hari

b. 151 – 170

hari

c. >170 hari

66.67 87.10 54.00 33.32 12.90 36.00

- - 10.00

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa itik Cihateup asal T asikmalaya maupun Garut sebagian besar mengalami masak kelamin dini (<151 hari) yaitu 66.67 % dan 87.10 %. Jumlah itik yang masak kelamin dini pada itik asal Garut lebih banyak dibandingkan yang berasal dari Tasikmalaya. Menunjukkan itik asal Garut lebih serempak bertelur dibandingkan itik asal Tasikmalaya. Hasil sama juga dilaporkan oleh Hardjosworo (1989) yang melakukan penelitian terhadap itik Tegal yang diberi pakan dengan kandungan protein 18 %, bahwa sebagian besar mengalami masak kelamin dini (54.00 %), sedangkan yang masak kelamin ideal sebanyak 46 %.

Jumlah itik yang mempunyai umur masak kelamin ideal yaitu berada pada kisaran 150-170 hari itik asal Tasikmalya (33.32 %) lebih banyak dari itik asal Garut (12.90 %). Umur masak kelamin yang baik akan menghasilkan telur yang lebih besar. Penelitian ini menunjukkan itik yang lebih banyak mengalami masak kelamin baik itik yaitu asal Tasikmalaya ternyata tidak mempengaruhi bobot telur yang dihasilkan. Rerata bobot telur itik asal Tasikmalaya (56.72±3.00 g) sama dengan rerata bobot telur itik asal Garut (58.47±3.76 g).

(50)

Itik yang mempunyai bakat masak kelamin dini memiliki laju

pertumbuhan yang tinggi dapat dibuktikan pada penelitian ini, dengan melihat hubungan antara bobot badan masak kelamin (BBMK) dan pertambahan bobot badan masak kelamin (PBB). Rerata pertambahan bobot badan masak kelamin dengan bobot badan masak kelamin dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rerata bobot badan masak kelamin (BBMK) dan pertambahan bobot badan masak kelamin (PBB) itik Cihateup dari minggu ke-15.

Tasikmalaya Garut

Minggu n BBMK PBB n BBMK PBB (ekor) (%) --- (g) --- (ekor) (%) --- (g) --- 20

21 22 >22

4 33.33 3 25.00 3 25.00 2 16.67

1 539.75

1 409.67a

1 573.33 1 465.00 222.75 187.00 296.00 90.00

23 74.19 3 9.68 3 9.68 2 6.45

1 497.26

1 675.33b

1 600.67 1 613.00 244.22 369.33 275.67 229.50 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang nyata (P<0.05)

Hasil analisis ragam terhadap bobot badan masak kelamin dan

pertambahan bobot masak kelamin minggu ke -20, ke-21, ke-22 dan diatas minggu ke-22 untuk itik asal Tasikmalaya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Hasil yang sama terjadi pada itik asal Garut. Artinya dengan umur masak kelamin yang semakin tua ternyata bobot badan masak kelamin dan pertambahan bobot badan masak kelamin kedua kelompok itik sama. Dengan demikian terbukti bahwa itik yang masak kelamin muda mempunyai laju

pertumbuhan yang lebih tinggi dari itik yang masak kelamin minggu selanjutnya.

(51)

Hasil uji-t menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) bobot badan masak kelamin antara itik Cihateup asal Tasikmalaya dan asal Garut kecuali minggu ke -21. Pertambahan bobot badan masak kelamin antara kedua kelompok itik sama. Pada minggu ke-21 bobot badan masak kelamin itik asal Garut lebih besar dari asal Tasikmalaya, namun pertambahan bobot badan masak kelaminnnya sama. Hasil ini menunjukkan pada minggu ke-21 laju pertumbuhan itik asal Garut lebih tinggi daripada itik asal T asikmalaya.

Produksi Telur

Produksi telur mingguan itik Cihateup asal Tasikmalaya dan asal Garut diilustrasikan dalam grafik pada Gambar 3. Produksi awal atau produksi minggu pertama itik asal Tasikmalaya (70.13±35.26 %) tidak berbeda (P>0.05) dengan itik asal Garut (72.91±29.16 %). Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan produksi awal itik Alabio (82.14 %) dan itik Mojosari (79.00 %) hasil penelitian Purba (2004). Perbedaan produksi telur diantara ketiga galur tersebut disebabkan faktor genetik potensi produksi telur. Potensi produksi telur itik Alabio dan itik Mojosari lebih besar dari itik Cihateup.

60 65 70 75 80 85 90 95

1 2 3 4 5 6 7

Minggu Produksi

Produksi Telur (%)

Tasikmalaya Garut

Gambar 3. Grafik produksi telur mingguan itik Cihateup.

Produksi telur mingguan tertinggi itik Cihateup asal Tasikmalaya selama 7 minggu produksi dicapai pada minggu ke -7 dengan produksi sebesar

(52)

Kemampuan bertelur itik Cihateup selama 7 minggu produksi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kemampuan bertelur itik Cihateup selama 7 minggu produksi.

Jumlah Itik (%)

Produksi Telur Tasikmalaya Garut

<60 %

>60 %

36.36 17.24

63.64 82.76

Total produksi 71.99 77.97

Kemampuan be rtelur telur itik Cihateup pada Tabel 6 menunjukkan kedua kelompok itik sebagian besar berproduksi diatas 60 %. Dengan rerata total

produksi 71.99 % untuk itik asal Tasikmalaya dan 77.97 % untuk itik asal Garut. Hasil ini memperkuat pendapat masyarakat daerah Tasikmalaya dan Garut yang mengenal itik Cihateup sebagai itik petelur.

Produksi yang baik dari kedua kelompok itik juga ditandai dengan intensitas bertelur kedua kelompok itik yang terus menerus setiap minggunya. Sebanyak 72.73 % itik asal Tasikmalaya yang berproduksi setiap minggunya dan hanya 27.27 % yang tidak berproduksi setiap setiap minggu. Itik asal Garut yang berproduksi setiap minggunya lebih besar dari itik asal Tasikmalaya yaitu 86.21 %, yang tidak berproduksi setiap minggunya seba nyak 13.79 % itik.

Jumlah Telur, Clutch dan Masa Istirahat

(53)

clutch dan masa istirahat itik Cihateup asal Tasikmalaya dan asal Garut disajikan pada Tabel 8.

Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0.05) jumlah telur yang dihasilkan selama penelitian antara kedua itik tersebut. Jumlah telur yang dihasilkan selama produksi dipengaruhi ole h panjang clutches dan panjang pause (North 1984).

Tabel 8. Rerata jumlah telur, clutches, dan masa istirahat itik Cihateup selama 7 minggu produksi

Peubah Tasikmalaya Garut

n (ekor) 12 31

Jumlah telur ± SB (butir/ekor) 35.27±11.57 38.21±9.34 KK (%) 32.80 24.44

n (ekor) 12 31

Clutches ± SB (hari) 7.92±6.52 6.84±3.22 KK (%) 82.32 47.08

n (ekor) 12 31

Masa Istirahat ± SB (hari) 2.90±2.25 1.97±1.35 KK (%) 77.59 68.53 Keterangan : SB = simpangan baku, KK = koefisien keragaman

Berdasarkan Tabel 8 clutch itik Cihateup asal Tasikmalaya lebih tinggi dari clutch itik asal Garut, namun keduanya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Hasil penelitian terhadap clutch pada itik Cihateup yang

merupakan itik lokal menunjukkkan hasil panjang clutch kedua kelompok ini berada pada kisaran panjang clutch ayam ras unggul pada peternakan komersial dalam North (1984) yaitu antara tiga sampai delapan.

Panjang clutch merupakan faktor genetik yang sangat penting dalam produksi telur. Semakin panjang clutch pada masa produksi, maka jumlah telur yang diproduksi akan semakin banyak. Pada saat produksi mencapai 80% itik harus bertelur empat butir setiap lima hari. Faktor genetik ini yang harus diperhatikan oleh peternak sebagai salah satu indikator agar peternakannya mendatangkan keuntungan yang maksimal.

X

X

(54)

Hasil analisis uji-t terhadap masa istirahat menunjukkan tidak ada

perbedaan yang nyata (P>0.05). Masa istirahat dari itik Cihateup asal Tasikmalaya (3.27 hari) lebih panjang dibanding masa istirahat dari itik asal Garut (2.12 hari)

Panjang masa istirahat yang melebihi 2 atau 3 hari diantara clutch

memberikan pengaruh yang besar terhadap jumlah total dari telur yang dihasilkan selama produksi (North 1984). Panjang masa istirahat pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah total produksi karena berada pada kisaran 2 sampai 3.

Dilihat secara deskriptif, itik asal Tasikmalaya mempunyai panjang clutch (7.92±6.52) yang lebih panjang namun memiliki panjang masa istirahat

(2.90±2.25) juga lebih panjang. Itik asal Garut meskipun mempunyai panjang clutch (6.84±3.22) yang lebih pendek tetapi mempunyai panjang masa istirahat yang lebih pendek pula (1.97±1.35). Apabila dilihat jumlah telur yang dihasilkan itik asal Garut (38.21±9.34) menghasilkan jumlah telur yang lebih banyak dari itik asal Tasikmalaya (35.27±11.57). Dapat diambil kesimpulan bahwa memelihara itik Cihateup asal Garut lebih menguntungkan, meskipun panjang clutch yang lebih pendek tetapi dengan diikuti panjang masa istirahat yang pendek

menghasilkan telur yang lebih banyak.

Secara jelas dapat dilihat pada ilustrasi pola bertelur itik Cihateup asal Tasikmalaya dan asal Garut berdasarkan panjang clutch dan masa istirahat dapat dilihat paga Gambar 4.

Gambar 4. Pola bertelur itik Cihateup

clutch masa istirahat clutch Itik asal Tasikmalaya

8 3 5

clutch masa istirahat clutch Itik asal Garut

(55)

Gambar 4 menunjukkan selama 16 hari produksi, itik asal Tasikmalaya menghasilkan telur sebanyak 13 butir sedangkan itik asal Garut menghasilkan 14 butir telur. Selama 16 hari produksi telur yang dihasilkan itik asal garut lebih banyak daripada itik asal Tasikmalaya. Hasil ini menunjukkan bahwa,

pemeliharaan itik asal Garut lebih efisien daripada itik asal Tasikmalaya, karena dengan biaya pemeliharaan yang sama itik asal Garut dapat menghasilkan telur yang lebih banyak.

Respon biologi jumlah telur, panjang clutch dan panjang masa istirahat itik asal Garut terhadap lingkungan lebih seragam dibanding itik asal Tasikmalaya. Nilai koefisien keragaman yang tinggi pada kedua kelompok itik terjadi pada panjang clutch dan panjang masa istirahat yaitu diatas 30 %. Koefisien keragaman yang tinggi ini dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan seleksi, sehingga seleksi terhadap panjang clutch dan panjang masa istirahat akan efektif.

Jarak Tulang Pubis

Itik telah siap bertelur dapat dikenali dari bobot badan dan lebar tulang pubis. Lebar tulang pubis dijadikan salah satu tanda itik telah siap bertelur karena tulang ini akan meregang menjelang masak kelamin akibat pengaruh hormon estrogen. Lebar tulang pubis itik Cihateup asal T asikmalaya 6.33±1.23 cm tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) dengan itik asal Garut 6.34±1.04 cm. Lebar tulang pubis hasil penelitian ini lebih besar dibandingkan hasil penelitian Hardjosworo (1984) terhadap itik lokal sebesar 4.4±0.72 cm. Artinya hormon estrogen pada itik Cihateup menyebabkan peregangan tulang pubis yang lebih lebar.

(56)

Apabila dilihat dari koefisie n keragaman, jarak pubis itik Cihateup asal Garut (16.40 %) lebih seragam dibanding asal Tasikmalaya (19.43 %). Jarak tulang pubis yang lebih seragam pada itik asal Garut menyebabkan itik asal Garut bersamaan masak kelamin pada umur kurang dari 150 hari. Menurut Hardjosworo (1994) jarak tulang pubis dapat digunakan sebagai indikator bahwa itik telah masak kelamin. Untuk itik Cihateup asal Tasikmalaya dan Garut pada jarak tulang pubis 6 cm merupakan tanda itik telah siap bertelur dengan bobot badan pertama bertelur berkisar 1 500-1 550 g.

Indeks Telur, Bobot Telur Pertama dan Rerata Bobot Telur

Hasil uji-t terhadap indeks telur, bobot telur pertama dan rerata bobot telur dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil analisis uji-t menunjukkan indeks telur selama 7 minggu produksi antara itik Cihateup asal Tasikmalaya (80.18 %) dan asal Garut (81.37 %) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Bila dilihat koefisien keragaman kedua itik tersebut relatif sama seragam. Nilai indeks telur itik Cihateup dala m penelitian ini baik asal Tasikmalaya dan asal Garut masuk dalam kisaran normal, karena menurut Srigandono (1991) indeks telur itik yang normal berkisar antara 63.6 sampai 81.7 %.

Tabel 9. Indeks telur, bobot telur pertama dan rerata bobot telur itik Cihateup

Peubah Tasikmalaya Garut

n (ekor) 12 31

± SB (%) 80.18±2.20 81.37±2.16 Indeks telur

(7 minggu produksi) KK (%) 2.74 2.65

n (ekor) 12 31

Bobot telur pertama ± SB (gram) 51.75±5.63 52.90±6.84 KK (%) 10.88 12.93

n (ekor) 12 31

± SB (gram) 56.72±3.00 58.47±3.76 Rerata bobot telur

(7 minggu produksi) KK (%) 5.29 6.43 Keterangan : Sb = simpangan baku, KK = koefisien keragaman

X

X

(57)

Penampilan telur itik Cihateup pada penelitian ini

adalah lebih bulat, karena menurut Romanof dan Romanof

(1963) indeks telur dibawah 79 % akan memberi

penampilan lebih panjang dan indeks telur diatas 79 %

penampilannya lebih bulat.

Hasil indeks telur pada penelitian ini untuk itik

asal Tasikmalaya (80.18±2.20 %) sama dibandingkan

dengan indeks telur itik Cihateup asal Tasikmalaya

(80.19±2.26 %) hasil penelitian Wulandari (2005), namun

untuk itik asal Garut (81.37±2.16 %) hasil penelitian

ini secara deskriptif lebih besar dari hasil penelitian

Wulandari (2005) yaitu (79.67±2.12 %). Indeks telur

dari kedua penelitian ini nilainya diatas 79 %, karena

genetik dan bangsa keduanya sama. Seperti dinyatakan

oleh Romanof dan Romanof (1963) bahwa, indeks telur

yang mencerminkan bentuk telur sangat dipengaruhi oleh

genetik, bangsa dan proses-proses yang terjadi selama

pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui

magnum dan isthmus.

Bobot telur pertama itik Cihateup asal Garut (52.90 g) lebih besar dari bobot telur pertama itik Cihateup asal Tasikmalaya (51.75 g). Namun hasil analisis uji-t yang dilakukan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). antara keduanya. Bobot telur pertama yang sama ini ada hubungannya dengan bobot badan pertama bertelur dari induknya, hasil analisis ragam menunjukkan bobot badan pertama bertelur itik Cihateup asal Garut (1 531 g) dan asal Tasikmalaya (1 505

Gambar

Tabel 1. Kandungan nutrisi pakan komersial yang digunakan selama penelitian
Tabel 2. Rerata bobot badan itik Cihateup betina umur 15 sampai 20 minggu.
Tabel 3.  Pertambahan  bobot  badan  mingguan  itik  Cihateup  umur  16  sampai 20 minggu
Gambar 5.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa performa sapi kuantan jantan unggul dapat dilihat dari klasifikasi kriteria ukuran testis yang berkolerasi positif kadar hormon

Menurut laporan Jaringan Sistem Peringatan Dini Konflik Aceh (CEWS, 2007) mereka menemukan adanya indikasi penyelewengan dana reintegrasi yang diimplementasikan oleh

Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2014 hingga Mei 2014 bertempat di Rumah Tempe Indonesia di Bogor, Jawa Barat. Jenis data yang digunakan pada

Menurut Nelson (2000), kendala utama untuk keberhasilan imunisasi bayi dan anak dalam sistem perawatan kesehatan yaitu rendahnya kesadaran yang berhubungan dengan

Bu çalışmada, yapılan diğer çalışmalardan farklı olarak fen bilimleri ve sınıf öğretmenlerinin kavram öğretimleri için hangi öğretim yöntemini

 Guru bertanya jawab tentang video pengolahan kayu hingga menjadi barang jadi, misalnya dari mana bahan kayu diperoleh.. (dari pohon/tanaman), bagian pohon mana

Kemudian Rekomendasi Bagi para pelaku olahraga hendaknya memperhatihkan latihan yang tepat untuk digunakan dalam meningkatkan kondisi fisik khususnya dalam