• Tidak ada hasil yang ditemukan

cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Kerangka UNESCO tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi perkembangan anak...

142

2 Kerangka konseptual dan indikator umum ketahanan pangan... 143 3 Lampiran Gambar ... 144 4 Lampiran Tabel ... 146 5 Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sareal, Kota

Bogor ...

148

6 Kelurahan Tajur, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor... 149

Latar Belakang

Kasus gizi kurang, gizi buruk, maupun busung lapar pada balita yang banyak diangkat media massa akhir-akhir ini bukanlah kejadian yang sifatnya terjadi begitu saja, namun merupakan akibat menahun dari permasalahan yang multidimensional. Tidak hanya kekurangan asupan makanan dan juga zat gizi, kejadian gizi kurang dan gizi buruk juga kemungkinan disebabkan oleh pola pengasuhan yang salah dan juga pelayanan kesehatan dasar yang minim.

Berdasarkan data Susenas, pada tahun 1999 prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia mencapai 26.4%. Angka ini menurun menjadi 24.7% pada tahun 2000. Namun pada tahun 2001, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang kembali meningkat menjadi 26.1% dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2003, tercatat prevalensi gizi kurang dan gizi buruk balita mencapai 27.5% (Azwar 2004). Angka tersebut terus meningkat hingga tahun 2005 yang mana prevalensi gizi kurang dan gizi buruk mencapai 28% (Martianto et al. 2006a). Perkembangan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk yang cenderung meningkat bukan hanya ancaman untuk saat ini, namun juga untuk masa mendatang. Ancaman terjadinya loss generation menjadi semakin terbuka bila kasus-kasus gizi kurang dan gizi buruk tidak ditangani secara serius dan komprehensif. Kerangka UNICEF menyebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung dipengaruhi oleh tiga faktor utama (underlying determinant), yaitu ketahanan pangan rumah tangga, pola pengasuhan anak dan ibu, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan (Lampiran 1).

Kemiskinan telah menjadi akar masalah sehingga rumah tangga tidak mampu mengakses pangan secara baik. UNICEF juga menyebutkan bahwa akar masalah yang menyebabkan gizi kurang, gizi buruk, bahkan kematian pada anak pada suatu masyarakat adalah kemiskinan (Mason et al. 2001). Kemiskinan telah menyebabkan rumah tangga tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya bagi setiap anggota rumah tangga khususnya pada

kelompok-kelompok rawan seperti ibu hamil, ibu menyusui, balita, dan anak-anak.

Saat ini penanggulangan kemiskinan bukan saja menjadi program prioritas di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, namun sudah menjadi salah satu agenda utama Millenium Development Goals (MDGs) negara-negara di dunia untuk menurunkan setengah tingkat kemiskinan dan kelaparan dunia hingga tahun 2015. Menurut Bank Dunia (Martianto et al. 2006a), kemiskinan telah menyebabkan rendahnya kualitas asupan zat gizi, terjadinya penyakit infeksi, serta buruknya pengetahuan dan praktek keluarga berencana, sehingga menyebabkan rendahnya status gizi anak balita dan ibu hamil yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Rendahnya kualitas sumber daya manusia akan menyebabkan terbatasnya kemampuan dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang pada akhirnya menyebabkan manusia tetap miskin (Gambar 1). Perlu ada upaya yang komprehensif untuk dapat memutuskan lingkaran setan tersebut. Salah satunya adalah investasi gizi, yang menurut Bank Dunia sebagai investasi penting untuk memutuskan lingkaran setan antara kemiskinan dan kurang gizi (Martianto et al. 2006a).

KEMISKINAN Asupan makan rendah Sering sakit Infeksi Buruh/Pekerja Kasar Sering Hamil Besarnya Jumlah Anggota Status Gizi Tingginya pengeluaran untuk biaya kesehatan Menurunkan produktifitas karena status fisik

yang buruk Menurunkan produktifitas karena rendahnya status pendidikan dan kecerdasan

Gambar 1 Keterkaitan kemiskinan dan status gizi

Kemiskinan bukan saja dialami oleh masyarakat pedesaan. Masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan pun tidak luput dari kemiskinan. Pertumbuhan yang cepat di daerah-daerah perkotaan dihadapkan pada sebuah tantangan baru, yaitu penyebaran dan peningkatan kemiskinan di daerah perkotaan (urban). Kota merupakan simbol kemajuan peradaban, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Pusat kota telah menjadi sebuah “magnet” yang menarik orang untuk menggabungkan beragam kreativitas, menciptakan bentuk-bentuk baru dalam interaksi sosial maupun perkumpulan-perkumpulan kolektif (Beall 2000). Kota telah begitu menariknya, bukan hanya penduduk asli yang bertambah populasinya namun juga arus urbanisasi pun semakin tinggi.

BPS mencatat bahwa angka kemiskinan Indonesia di daerah perkotaan pada tahun 1980 mencapai angka 29.04%, lebih tinggi daripada angka kemiskinan di pedesaan (28.42%). Angka tersebut menurun pada tahun 1990, yaitu 16.75% di perkotaan dan 14.33% di pedesaan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada era 1980-an hingga 1990-an, angka kemiskinan di daerah perkotaan justru lebih tinggi daripada di daerah pedesaan. Hanya saja, pada tahun 1996 angka kemiskinan di daerah perkotaan menunjukkan penurunan yang cukup drastis yaitu mencapai 9.71%, dan lebih rendah daripada angka kemiskinan di daerah pedesaan (12.30%). Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 menyebabkan angka kemiskinan di Indonesia kembali naik, dan pada tahun 2004 mencapai 12.13% di daerah perkotaan dan 20.11% di daerah pedesaan.

Meskipun saat ini angka kemiskinan di daerah perkotaan lebih rendah daripada di daerah pedesaan, permasalahan masyarakat miskin di daerah perkotaan relatif lebih kompleks. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan persaingan untuk bertahan hidup yang lebih besar menyebabkan kesenjangan sosial di masyarakat perkotaan lebih terlihat jelas dibandingkan di daerah pedesaan (Maxwell et al. 2000). Kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangannya sangat bergantung kepada kemampuan ekonomi rumah tangga dalam mengakses pangan yang tersedia di pasar.

Dalam rangka pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, Departemen Pengembangan Internasional Inggris (Department for International Development of United Kingdom) mengembangkan sebuah

pendekatan yang disebutnya sebagai Sustainable Livelihoods Approach. Pendekatan ini menyandarkan pada lima modal yang dimiliki oleh masyarakat yaitu financial capital, human capital, natural capital, physical capital, dan social capital seperti yang tersaji pada Gambar 2 (Farrington et al. 1999).

H S N P F Keterbatasan Bencana mendadak Ketersediaan sumberdaya Variasi musim Outcomes / Hasil : ƒ Pendapatan bertambah ƒ Taraf hidup yang

meningkat ƒ Mengurangi keterbatasan yang ada ƒ Mengembangkan ketahanan pangan Transformasi Strutur dan Proses Struktur : Jenjang level pemerintah Sector private (swasta) Proses : Hukum Kebijakan Budaya/kultur Institusi/kelem bagaan STRATEGI Modal Masyarakat Pengaruh dan Akses Keterangan :

S : Social capital (modal sosial) H : Human capital (modal manusia) N : Natural capital (modal alam) F : Financial capital (modal keuangan) P : Physical capital (modal fisik)

Gambar 2 Sustainable Livelihoods Framework dalam rangka pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat

(Sumber : Farrington e. al. 1999).

Bagi rumah tangga miskin khususnya yang tinggal di daerah perkotaan, keberadaan modal berupa uang (financial capital) dan modal alam (natural capital) cukup terbatas. Mereka tidak mempunyai cukup uang untuk membeli kebutuhan pangan secara cukup baik jumlah maupun mutunya. Begitu pula dengan modal alam, padatnya pemukiman penduduk di daerah perkotaan menyebabkan lahan yang dapat dimanfaatkan rumah tangga untuk menghasilkan sumber bahan pangan secara langsung juga terbatas. Selain itu, keterbatasan akses terhadap sumberdaya fisik seperti pelayanan kesehatan publik, pelayanan transportasi publik, dan fasilitas-fasilitas pelayanan sosial lainnya seringkali dialami oleh rumah tangga miskin. Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan kualitas modal manusia yang ada pun menjadi terbatas kemampuannya untuk

melakukan upaya-upaya optimal dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Keterbatasan modal berupa uang, modal alam, modal fisik, dan modal manusia tersebut membutuhkan pendorong yang mampu membuat masyarakat miskin tetap dapat bertahan hidup bahkan memperbaiki tingkat kesejahteraannya dengan keterbatasan berbagai modal yang dimilikinya.

Kadangkala, meskipun tidak mempunyai uang ataupun hasil pertanian yang memadai, penduduk miskin masih bisa mengandalkan bantuan dari lingkungannya untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan rumah tangganya. Nilai sosial yang terpelihara baik seperti kerjasama, kepercayaan, maupun saling menolong yang terjalin antar masyarakat apabila ada yang mengalami kesulitan menjadi hal yang menguntungkan bagi interaksi antar anggota masyarakat. Ritme kehidupan yang serba cepat dan tuntutan untuk bertahan hidup (survive) di dalam kedinamisan pertumbuhan daerah perkotaan menyebabkan nilai sosial tersebut seringkali menjadi memudar, bergeser dengan nilai-nilai individualistis.

Kepercayaan, kerjasama, nilai budaya, kebersamaan sering dikenal sebagai bagian dari modal sosial. Modal sosial merupakan modal yang dimiliki oleh masyarakat sebagai hasil dari hubungan sosial yang terjalin di antara sesama anggota masyarakat. Robert Putnam, salah satu pelopor modal sosial, menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai tiga pilar utama yaitu kepercayaan, norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, serta jaringan sosial yang terjalin dalam sistem sosial (Winter 2000). Interaksi yang terbangun dalam jaringan sosial ini memungkinkan adanya pengembangan sense of belonging dari anggota masyarakat, yang membuka wilayah ”ke-aku-an” menjadi wilayah “ke-kita-an” yang menunjukkan adanya usaha untuk tujuan mencapai keuntungan kolektif (Dharmawan 2002a, 2002b).

Keterbatasan modal berupa uang, modal alam, modal fisik, dan juga modal manusia yang dimiliki rumah tangga miskin khususnya dalam pemenuhan pangan rumah tangga dan pengoptimalan kualitas pengasuhan balita kiranya membutuhkan pendorong berupa sumberdaya yang dimiliki dari hubungan sosial yang dimiliki anggota masyarakat, yang tidak lain adalah modal sosial. Oleh karenanya, dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki, masyarakat miskin masih dapat memanfaatkan modal sosial yang mereka miliki secara kolektif di tingkat

komunitas untuk tetap bertahan hidup (survive). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini menganalisis keragaan ketahanan pangan, kualitas pengasuhan, dan status gizi balita pada rumah tangga miskin, khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan, dan juga peranan modal sosial.

Perumusan Masalah

Masyarakat miskin, baik di perkotaan maupun di pedesaan, dengan pendapatannya yang kecil tentu saja mempunyai akses yang terbatas secara ekonomi untuk memperoleh pangan dengan jumlah dan kualitas yang cukup bagi anggota rumah tangganya. Oleh karenanya, kemiskinan yang ditandai dengan rendahnya pendapatan merupakan faktor mendasar rumah tangga tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan secara baik. Kondisi tersebut tentu saja menjadi ancaman untuk terjadinya gizi kurang dan gizi buruk pada balita rumah tangga miskin. Dengan kata lain, dengan pendapatan dan daya beli yang terbatas maka semakin memperbesar kesempatan untuk terjadinya ketidaktahanan pangan rumah tangga dan juga kerawanan gizi, khususnya pada balita.

Kondisi ekonomi yang rendah juga cenderung akan menyebabkan rendahnya tanggung jawab terhadap anak (Warren et al. 2001). Padahal ketersediaan sumberdaya pangan, pengasuhan, dan pelayanan kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat memegang peranan sangat penting untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak (Lampiran 1). Oleh karenanya, bila anak-anak dibesarkan dalam kondisi ketidaktahanan pangan (food insequrity), kualitas pengasuhan yang buruk, serta pelayanan kesehatan yang rendah maka anak tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal baik perkembangan fisik, kemampuan intelektual, maupun kematangan emosionalnya. Padahal masa depan bangsa ini terletak pada pundak anak-anak yang hidup pada masa sekarang ini.

Keterbatasan modal yang dimiliki rumah tangga miskin khususnya yang tinggal di daerah perkotaan, baik itu modal finansial (uang), modal alam, modal fisik (sarana dan prasarana), maupun modal manusia merupakan hambatan utama sehingga kebutuhan pangan anggota rumah tangga tidak dapat terpenuhi, baik jumlah maupun mutunya. Oleh karenanya, rumah tangga miskin perlu

mengoptimalkan potensi modal sosial yang terdapat dalam hubungan sosial yang dimiliki sebagai salah satu alternatif dalam menjaga rumah tangga tetap tahan pangan.

Berdasarkan uraian umum tentang permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, perumusan masalah secara rinci dalam penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik sosio demografi dan ekonomi rumah tangga miskin di lokasi penelitian sebagai contoh wilayah yang terletak di daerah perkotaan ?

2. Bagaimana keragaan ketahanan pangan pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian ?

3. Bagaimana keragaan status gizi balita dan keterkaitannya dengan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan balita pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian ?

4. Bagaimana kondisi modal sosial di lokasi penelitian dan apakah dapat berperan dalam menguatkan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan balita pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah disusun, maka tujuan penelitian yang dilakukan secara umum adalah menganalisis modal sosial dan potensinya dalam menguatkan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian. Sementara itu, tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian yang dilakukan adalah :

1. Menganalisis karakteristik sosio demografi dan ekonomi rumah tangga miskin di lokasi penelitian sebagai contoh wilayah yang terletak di daerah perkotaan.

2. Menganalisis keragaan ketahanan pangan pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian.

3. Menganalisis keragaan status gizi balita dan keterkaitannya dengan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian.

4. Menganalisis kondisi modal sosial dan potensinya dalam menguatkan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan mampu memberikan gambaran bahwa dalam memperkuat ketahanan pangan rumah tangga dan kualitas pengasuhan balita, khususnya rumah tangga miskin, perlu mempertimbangkan sebuah pendekatan yang menjamin adanya kesejahteraan yang sustainable untuk menjamin kesejahteraan pada tingkat individu. Oleh karenanya, penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan bahwa nilai kepercayaan (amanah), jaringan sosial, dan norma sosial sebagai bentuk modal sosial dapat berpotensi dalam menguatkan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan balita pada rumah tangga miskin.

Kemiskinan di Perkotaan

Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional, tidak hanya sekedar rendahnya tingkat pendapatan. Menurut World Bank (2000), kemiskinan mencakup empat dimensi yaitu :

(1) kurangnya kesempatan (lack of opportunity), yang terkait dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi -biasanya dipengaruhi oleh tingkat dan distribusi modal manusia serta aset sosial dan fisik, seperti kesempatan dalam penguasaan dan pemanfaatan lahan serta kesempatan di dalam pasar-, dan biasanya bersifat relatif terhadap garis kemiskinan suatu negara

(2) rendahnya kemampuan (low capabilities), yang menunjuk pada kecilnya atau stagnannya perkembangan indikator kesejahteraan dan pendidikan pada kelompok-kelompok sosial ekonomi tertentu

(3) rendahnya tingkat ketahanan (low level of security), yang mencakup permasalahan rendahnya pendapatan dan besarnya resiko ketidaktahanan yang muncul baik di level nasional, lokal, rumah tangga, maupun individu (4) pemberdayaan (empowerment), yang menunjuk pada kemampuan

masyarakat miskin dalam berpartisipasi, bernegosiasi, berperan dalam perubahan, dan terlibat dalam institusi sosial yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraannya.

Dalam penetapan angka kemiskinan di Indonesia, pro dan kontra senantiasa muncul dalam setiap indikator yang digunakan. Selama ini, pengukuran kemiskinan di Indonesia dilakukan dengan tiga model pengukuran yang masing-masing model mempunyai cara pandang dan lingkup pengertian yang berbeda. Pertama adalah model pengukuran konsumsi kebutuhan dasar BPS yang mana kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pengukuran kemiskinan dengan mendasarkan pada pengukuran tingkat konsumsi ini biasanya digunakan untuk perencanaan yang

lebih makro, termasuk penghitungan dana perimbangan pusat-daerah (Cahyat 2004).

Indikator yang kedua yaitu kemiskinan diukur dengan menggunakan model kesejahteraan keluarga yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh BKKBN. Kemiskinan menurut indikator kesejahteraan keluarga ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial psikologis. Data hasil pengukuran dengan menggunakan indikator kesejahteraan keluarga ini biasanya digunakan sebagai data dasar untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Keluarga miskin menurut BKKBN adalah keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih dari enam indikator penentu kemiskinan alasan ekonomi. Keenam indikator tersebut, yaitu : (1) pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih; (2) anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian; (3) bagian lantai yang terluas bukan dari tanah; (4) paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor; (5) setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru; (6) luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi untuk tiap penghuni. Mengacu pada berbagai tingkat kebutuhannya, baik yang menyangkut kebutuhan dasar, sosial psikologis, maupun kebutuhan pengembangannya maka tahapan keluarga menurut BKKBN dibagi dalam lima tahapan, yaitu : (1) keluarga Pra-Sejahtera; (2) keluarga Sejahtera I; (3) keluarga Sejahtera II; (4) keluarga Sejahtera III; dan (5) keluarga Sejahtera III Plus (Cahyat 2004, www.bkkbn.go.id).

Model ketiga adalah pengukuran kemiskinan dengan Indeks Pembangunan Manusia UNDP (Human Development Index), yang mana kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memperluas pilihan-pilihan hidup. Data hasil pengukuran Indeks Pembangunan Manusia UNDP (Human Development Index) digunakan untuk menaksir transisi ekonomi dan demokrasi yang terjadi di Indonesia yang dikumpulkan setiap tiga tahun sekali (Cahyat 2004).

Pada awal tahun 2005, pemerintah mengeluarkan kebijakan pencabutan subsidi BBM. Sebagai gantinya, pemerintah menyelenggarakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Program BLT tersebut ditujukan untuk memberikan bantuan uang tunai sebesar Rp 100 000.00 setiap bulannya bagi rumah tangga miskin. BPS telah merumuskan empat belas kriteria rumah tangga miskin sebagai kriteria rumah tangga penerima BLT (Tabel 1). Suatu rumah tangga layak memperoleh BLT apabila rumah tangga tersebut memenuhi sembilan atau lebih dari empat belas kriteria rumah tangga miskin tersebut. Sementara itu, rumah tangga yang tidak layak memperoleh BLT adalah : (a) rumah tangga yang tidak memenuhi sembilan atau lebih kriteria rumah tangga miskin; (b) PNS/TNI/Polri/Pensiunan PNS/TNI/Polri; (c) pengungsi yang diurus oleh pemerintah; dan (d) penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap.

Tabel 1. Kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) menurut Badan Pusat Statistik (BPS)

No Variabel Kriteria Rumah Tangga Miskin

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal Kurang dari 8 m2 per orang 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal Tanah/ bambu/kayu murahan

3. Jenis dinding tempat tinggal Bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester

4. Fasilitas tempat buang air besar Tidak punya/bersama-sama dengan rumah tangga lain 5. Sumber penerangan rumah tangga Bukan listrik

6. Sumber air minum Sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan 7. Bahan bakar untuk memasak

sehari-hari

Kayu bakar/arang/minyak tanah 8. Konsumsi daging/susu/ayam per

minggu

Tidak pernah mengkonsumsi/hanya satu kali dalam seminggu

9. Pembelian pakaian baru untuk setiap anggota rumah tangga dalam setahun

Tidak pernah membeli/hanya membeli satu stel dalam setahun

10. Makan dalam sehari untuk setiap anggota rumah tangga

Hanya satu kali makan/ dua kali makan dalam sehari 11. Kemampuan untuk membayar berobat

ke Puskesmas/Poliklinik

Tidak mampu membayar untuk berobat 12. Lapangan pekerjaan utama kepala

rumah tangga

Petani dengan luas lahan 0.5 ha/buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600 000.00 per bulan

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga

Tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD

14. Pemilikan asset/tabungan Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500 000.00 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya

Beberapa penelitian di Afrika menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan bukan lagi sebuah masalah yang hanya timbul di daerah pedesaan saja namun juga menjadi permasalahan di daerah perkotaan (urban poverty). Pada akhir abad ke-20 dilaporkan bahwa tingkat urbanisasi yang cepat di daerah Sub-Sahara, Afrika telah menyebabkan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan semakin parah sehingga menyebabkan ketidaktahanan rumah tangga, pangan, dan gizi. Pertambahan penduduk yang pesat dan juga tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di daerah perkotaan menyebabkan permasalahan kemiskinan di daerah perkotaan menjadi lebih kompleks daripada pedesaan (Maxwell et al. 2002). Perubahan harga barang-barang pokok, khususnya pangan, yang relatif tinggi mempengaruhi kemampuan rumah tangga untuk dapat mengkonsumsi barang dan jasa lainnya. Selain itu, terbatasnya kesempatan kerja dan jumlah angkatan kerja yang terus meningkat mempengaruhi tingkat pendapatan dan juga status pekerjaan masyarakat di perkotaan. Begitu juga kehidupan sosial di perkotaan yang menuntut adanya pengeluaran-pengeluaran sosial untuk kehidupan bermasyarakat

berdampak juga terhadap alokasi pengeluaran rumah tangga di perkotaan (Moser 1996). Kondisi-kondisi tersebut telah menimbulkan adanya peningkatan

kesenjangan sosial dan juga peningkatan jumlah kelompok rawan (miskin) di daerah perkotaan.

Modal Sosial Definisi dan Ukuran

Salah satu isu menarik yang banyak dikaji saat ini adalah modal sosial. Perdebatan secara akademik mengenai konsep modal sosial sebenarnya sudah dimulai pada awal 1980-an ketika seorang sosiolog Perancis bernama Pierre Bourdieu menelaah modal sosial pada masyarakat Eropa. Meskipun begitu, modal sosial mulai dikenal khalayak luas semenjak dipublikasikannya tulisan sosiolog asal Amerika bernama James Coleman yang berjudul Social Capital in The Creation of Human Capital pada tahun 1988. Perdebatan mengenai modal sosial mulai menghangat setelah Robert Putnam pada tahun 1993 mempublikasikan bukunya yang berjudul Making Democracy Work : Civic Traditions in Modern Italy yang melihat mata rantai perbedaan performance dari 20 pemerintah regional

di Italia dalam perluasan kelembagaan-kelembagaan yang ada dalam masyarakat (Narayan 1998).

Layaknya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, konsep modal sosial pun terus berkembang. Bourdieu mendifinisikan modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang dimiliki seseorang berkat adanya jaringan hubungan secara kelembagaan yang terpelihara dengan baik, yang mana setiap anggota dalam kelembagaan tersebut memperoleh keuntungan dari modal yang dimiliki secara kolektif (Syahra et al. 2000, Winter 2000, http://www.viet-studies.org/Bourdieu_capital.htm). Bourdieu juga menyebutkan bahwa modal sosial yang dibentuk oleh adanya jaringan-jaringan ini, pada kondisi tertentu dapat diubah menjadi modal ekonomi dan biasanya secara kelembagaan terlihat pada kelompok komunitas yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam suatu masyarakat. Bourdieu menekankan bahwa modal sosial yang dibentuk oleh jaringan hubungan, tidak begitu saja ada secara alami (natural given) atau begitu saja ada dalam suatu masyarakat (social given). Modal sosial

Dokumen terkait