• Tidak ada hasil yang ditemukan

Norma-norma yang membentuk modal sosial dapat bervariasi dari hubungan timbal balik antara dua teman sampai pada hubungan kompleks dan kemudian terelaborasi menjadi doktrin. Selain dibentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi sosial, dalam menjalin kerja sama dalam sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai yang dimaksud misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya. Nilai-nilai sosial seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang mengatur masyarakat untuk berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain (Fukuyama 2001). Productivity Commission (2003) mendefinisikan norma sosial dalam kerangka modal sosial sebagai sekumpulan aturan informal seperti nilai-nilai toleransi dan kejujuran secara timbal balik dari pihak-pihak yang berinteraksi.

Norma sebagai elemen penting dalam pembentukan modal sosial juga diutarakan oleh Fedderke et al. (1999) yang menyatakan bahwa sebuah asosiasi sosial (organisasi sosial) di dalamnya mengandung norma-norma berupa aturan-aturan informal dan nilai-nilai yang memfasilitasi adanya koordinasi di antara anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya tindakan-tindakan kerja sama dalam memudahkan pekerjaan guna mencapai keuntungan kolektif yang dirasakan bersama.

Definisi-definisi modal sosial yang telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa modal sosial merupakan sumberdaya untuk aksi kolektif. Sumberdaya berupa social capital tersebut termasuk di dalamnya norma-norma dan sanksi-sanksi yang muncul dari kepercayaan dan hubungan timbal balik yang beroperasi di dalam sebuah jaringan sosial (Winter 2000). Warren et al. (2001) juga

menyebutkan bahwa modal sosial merupakan aset kolektif yang terlihat dalam komunitas daripada sebagai sebuah properti individu anggota komunitas. Oleh karenanya, peranan modal sosial sebagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk mencapai keuntungan kolektif hanya bisa berjalan baik bila muncul sebagai sebuah aksi kolektif dalam sebuah jaringan sosial yang dibangun dengan kepercayaan dan hubungan timbal balik yang mengandung norma dan sanksi yang mengikat.

Modal Sosial sebagai Aset dalam Mengatasi Kerawanan Pangan

Dalam mengatasi kemiskinan, komunitas dapat menjadi aset penting untuk mengurangi kerawanan yang diakibatkan oleh kemiskinan. Aset pada tingkat komunitas ini tergantung pada keberadaan simpanan modal sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama guna mencapai keuntungan kolektif. Sebuah penelitian di Filipina tentang respon rumah tangga terhadap kemiskinan dan kerawanan, dilaporkan bahwa terdapat tiga isu penting dalam menganalisis keberadaan simpanan modal sosial pada tingkat rumah tangga dan komunitas daerah perkotaan, yaitu : (1) kekuatan jaringan sosial yang bersifat timbal balik antar rumah tangga di dalam komunitas; (2) kekuatan hubungan (linkages) antara rumah tangga di desa dan kota sebagai komponen penting dalam jaringan sosialnya; dan (3) peningkatan ketidakefektifan kekerasan dan perusakan hubungan timbal balik dalam level komunitas (Moser dan Mcllwaine 1997).

Modal sosial menjadi penting dalam mengatasi kemiskinan dan mengurangi kerawanan yang diakibatkan oleh kemiskinan tersebut. Meskipun begitu, perlu dipahami bahwa rumah tangga dan kelompok sosial yang berbeda di dalam komunitas mempunyai beragam simpanan modal sosial untuk dimanfaatkan. Modal sosial akan meningkat dalam suatu komunitas miskin bila rumah tangga dalam komunitas tersebut yakin bahwa simpanan modal sosial yang ada di antara mereka apabila dimanfaatkan akan mendatangkan keuntungan bagi rumah tangganya dalam mengatasi kemiskinan. Namun, bila dalam sebuah komunitas terjadi tingkat kekerasan tinggi sehingga anggota komunitas merasa tidak aman, maka kepercayaan di dalam komunitas pun akan menghilang dan bergeser dengan tingkat kerawanan yang lebih besar dan kemungkinan simpanan

modal sosial pun akan menurun (Moser dan Mcllwaine 1997). Oleh karenanya, berkurangnya simpanan modal sosial dalam komunitas akibat hilangnya rasa kepercayaan dan kerja sama antar anggota komunitas maupun antara komunitas dengan lingkungannya (pemerintah, masyarakat lebih luas) dalam krisis ekonomi yang terjadi, dapat merusak sistem berbasis komunitas untuk memanfaatkan dan memelihara infrastruktur sosial dan fisik (Moser 1996).

Di Indonesia, tradisi-tradisi yang bersifat lokalitas seperti gotong royong merupakan sebuah potensi modal sosial yang dapat dijadikan sebagai aset menguntungkan dalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi akibat kemiskinan, termasuk kerawanan pangan. Salah satu contohnya adalah tradisi rereongan sarupi yang terdapat di Propinsi Jawa Barat (Hikmat 2001). Dalam tradisi ini, falsafah yang mendasari adalah silih asih, silih asuh, dan silih asah. Bentuk-bentuk aktivitas sosial sebagai manifestasi nilai-nilai tersebut berupa kerja sama dan gotong royong dalam pembangunan sosial, musyawarah dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan dalam forum rapat maupun pengajian, saling menolong antar tetangga, dan saling mengingatkan apabila ada tetangga yang berbuat hal-hal yang merugikan masyarakat. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan sebuah modal sosial yang apabila dikembangkan mampu menjadi aset komunitas yang penting untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan yang dialami rumah tangga anggotanya. Falsafah nilai budaya tersebut tentu saja bukan hanya milik masyarakat Jawa Barat saja, namun pada dasarnya berlaku univesal bagi masyarakat Indonesia secara umum.

Contoh lain aset modal sosial yang dapat berperan dalam mengatasi kerawanan pangan adalah tradisi ”beas parelek” yang telah dikenal masyarakat khususnya di Jawa Barat sejak 1940-an (Hikmat 2001). Tradisi ”beas parelek” ini melibatkan aktivitas berupa pengumpulan beras sekitar satu sendok (satu ”canting”) setiap bulan, dan biasanya sering dilakukan oleh masyarakat pedesaan. Hasil pengumpulan tersebut akan digunakan untuk menghadapi musim paceklik, menolong anggota masyarakat lainnya termasuk fakir miskin, mengatasi kelaparan, dan permasalahan sosial lainnya yang membutuhkan dana dan sarana yang siap pakai. Tradisi ini tentu saja sarat dengan nilai-nilai kepercayaan (trust),

norma sosial, dan bahkan juga jaringan sosial yang dapat dimanfaatkan dalam menghadapi kerawanan pangan akibat kemiskinan.

Sebuah penelitian yang menunjukkan manfaat ekonomis dari modal sosial pada pedagang angkringan di kota Yogyakarta (Brata 2004), juga menunjukkan bahwa modal sosial dapat menjadi aset dalam mengatasi kemiskinan sehingga rumah tangga tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, khususnya kebutuhan pangan. Manfaat ekonomis modal sosial terlihat dari hubungan sosial kekerabatan, yang mana pengalaman teman ataupun kerabat dekat yang telah menjadi pedagang angkringan tentang peluang usaha warung angkring merupakan salah satu faktor pendorong beberapa orang lebih memilih beralih profesi menjadi pedagang angkringan.

Sebagai contoh simpanan modal sosial (stock of social capital), tradisi rereongan sarupi, beas parelek, maupun modal sosial dalam jaringan pedagang angkringan di Kota Yogyakarta, bersifat potensial. Artinya, apabila nilai-nilai kepercayaan (trust), norma sosial, dan jaringan sosial yang ada di dalam masyarakat mampu dimanfaatkan secara optimal maka simpanan modal sosial ini akan menguntungkan bagi kehidupan masyarakat, termasuk dalam memperbaiki kondisi ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan dan lebih lanjut menjadi potensi dalam mengatasi kerawanan pangan yang muncul sebagai dampak dari kemiskinan.

Ketahanan Pangan

Negara atau wilayah mempunyai ketahanan pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduknya, dan masing-masing rumah tangga mampu memperoleh pangan sesuai kebutuhannya. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem ketersediaan dan distribusi pangan serta subsistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah, sedangkan subsistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. (Suryana 2004a). Webb, Coates, dan Houser (2002) menyebutkan bahwa konsep

ketahanan pangan yang dibangun dari tiga elemen utama tersebut (ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan/konsumsi pangan) saling terkait dan mempunyai indikator yang berbeda dalam setiap elemennya (Lampiran 2).

Isu tentang situasi pangan senantiasa mengalami perkembangan. Pada dekade 1970-an, fokus utama tentang situasi pangan adalah dunia dihadapkan pada periode terbatasnya ketersediaan pangan dan masalah kelaparan massal. Para delegasi dalam World Food Conference di Roma pada tahun 1974 meyakini bahwa negara-negara produsen pangan penting di dunia tidak akan dapat memenuhi permintaan pangan dunia, sehingga produksi pangan dunia harus ditingkatkan. Selanjutnya, dalam konferensi tersebut dirumuskan tentang ketahanan pangan, yaitu sebagai kemampuan suatu negara dan wilayah-wilayah di dalamnya untuk memenuhi target konsumsi pangan dari tahun ke tahun. Dampaknya, ketahanan pangan pada dekade 1970-an lebih berorientasi pada suplai pangan sehingga erat kaitannya dengan harga pangan dan ketersediaan secara fisik daripada isu tentang permintaan dan konsumsi masyarakat miskin atau kecukupan gizi kelompok-kelompok rawan (Falcon et al. 1987,Valdes 1997).

Pada akhir dekade 1970-an, surplus pangan secara besar-besaran terjadi dan harga komoditas padi-padian mencapai harga terendah dalam 30 tahun. Surplus produksi pangan pada dekade tersebut memang telah membantu negara-negara atau wilayah-wilayah yang mempunyai permasalahan pangan akut, namun kondisi tersebut tidak mampu mengatasi permasalahan situasi pangan dunia. Sekitar 400 juta hingga 800 juta penduduk, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin masih hidup tanpa pangan yang cukup. Oleh karenanya pada awal 1980-an, konsep ketahanan pangan mengalami perluasan makna. Ketahanan pangan bukan hanya ditinjau dari aspek suplai (ketersediaan) saja namun juga dari aspek demand, dalam hal ini konsumsi pangan. Aspek suplai (ketersediaan) pangan mencakup kestabilan stok pangan, impor, dan bahkan pemanfaatan pangan di masa depan, termasuk juga peningkatan produksi domestik. Sementara itu, aspek konsumsi pangan menunjuk pada pencapaian peningkatan pendapatan ekonomi bagi penduduk miskin. Oleh karenanya, salah satu kebijakan yang ditawarkan pada dekade 1980-an adalah kebijakan harga pangan, yang diyakini mampu menghubungkan antara

ketersediaan pangan dan tujuan konsumsi pangan di suatu wilayah (Falcon et al. 1987).

Karakter multidimensional dari ketahanan pangan menyebabkan konsep ketahanan pangan terus mengalami perkembangan. Hasil World Food Summit pada tahun 1996 di Roma menghasilkan rumusan tentang ketahanan pangan, yaitu kondisi dimana semua orang, setiap saat, mempunyai akses fisik dan ekonomi untuk memperoleh pangan yang cukup, aman, dan bergizi guna memenuhi kebutuhan pangan dan preferensinya untuk kehidupan aktif dan sehat. Ketahanan pangan mencakup level individu, rumah tangga, nasional, regional, maupun global sehingga setiap negara harus dapat merumuskan strategi untuk mencapai ketahanan pangan individu dan pada waktu yang sama mampu mengorganisasi solusi secara kolektif untuk mengatasi isu ketahanan pangan global (FAO 1997).

Di Indonesia sendiri rumusan ketahanan pangan dituangkan dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan dalam UU tersebut mempunyai pengertian sebagai berikut :

1. Pangan bukan berarti hanya beras atau komoditas tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, dll), namun juga mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan termasuk ikan, baik produk primer maupun turunannya. Dengan demikian, proses produksi pangan tidak hanya dihasilkan oleh kegiatan subsektor pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan tetapi juga hasil industri pengolahan pangan.

2. Penyediaan pangan yang cukup diartikan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan setiap individu untuk memenuhi asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak) dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral), yang bermanfaat bagi pertumbuhan, kesehatan, dan daya tahan jasmani maupun rohani. Dengan demikian ketahanan pangan tidak hanya berupa pemenuhan konsumsi pangan saja tetapi haris memperhatikan juga kualitas dan keseimbangan konsumsi gizi (Suryana 2004b).

Ketahanan Pangan dan Kemiskinan. Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia tahun 1996 menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan penyebab utama kerawanan pangan, dan kemajuan yang berkesinambungan dalam mengurangi kemiskinan merupakan titik kritis dalam meningkatkan akses pangan. Kemiskinan telah menyebabkan ketidakmampuan memproduksi pangan maupun membeli cukup pangan karena penduduk miskin mempunyai keterbatasan dalam mengakses faktor produksi seperti lahan, air, input pertanian, teknologi maupun kredit pertanian. Selain itu disebutkan bahwa kemiskinan, kelaparan dan kekurangan gizi adalah penyebab mendasar terjadinya urbanisasi di negara-negara berkembang (FAO 1997). Keterkaitan antara ketahanan pangan dan kemiskinan menyangkut aspek yang kompleks. Adelman (1999) menyebutkan kebijakan ketahanan pangan yang berorientasi pada suplai pangan akan mempengaruhi tingkat pendapatan dan permintaan terhadap pangan pada penduduk miskin. Apabila penduduk miskin merupakan penjual/produsen pangan, maka suplai/produksi pangan yang tinggi justru akan mengurangi tingkat pendapatan karena suplai/produksi pangan yang tinggi akan menurunkan harga pangan. Sebaliknya, jika penduduk miskin merupakan pihak pembeli pangan maka suplai/produksi pangan yang rendah akan mengurangi pendapatan riil karena suplai/produksi pangan yang tinggi akan menurunkan harga pangan. Oleh karenanya, sebagian besar negara harus menerapkan kebijakan harga pangan ganda, yaitu produsen pangan di pedesaan diberlakukan harga jual yang lebih tinggi daripada harga pasar dan konsumen miskin di perkotaan diberlakukan harga beli di bawah keseimbangan harga pasar. Jutaan penduduk miskin menderita kerawanan pangan yang disebabkan oleh rendahnya kekuatan untuk membeli/mengakses pangan. Kerawanan pangan dapat berupa kerawanan pangan kronis maupun kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan kronis menunjuk pada kondisi ketidakcukupan pangan secara terus menerus karena kurangnya sumberdaya untuk menghasilkan atau memenuhi pangan. Sementara itu, kerawanan pangan sementara menunjuk pada penurunan sementara akses rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup. Kedua kondisi kerawanan pangan tersebut merupakan hasil dari ketidakstabilan produksi dan harga pangan

maupun tidak mencukupinya pendapatan rumah tangga. Akibatnya akan menyebabkan terjadinya kelaparan dan atau kurang gizi (Shlomo 1987).

Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Dalam UU No. 7 tahun 1996 telah dinyatakan bahwa rumah tangga merupakan level terpenting dalam konsep ketahanan pangan. Ketahanan pangan dinilai dari suatu kondisi apabila rumah tangga telah tercukupi pangannya secara kuantitas dan kualitas. Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan sehari-hari, serta harus dapat diterima oleh budaya setempat (International Congres of Nutrition 1992 dan Sidang Committee on World Food Security 1995 dalam Wahidah 2004).

Berbagai agen pembangunan mendefinisikan ketahanan pangan rumah tangga sebagai suatu kondisi kecukupan akses untuk memperoleh pangan sepanjang waktu dari tahun ke tahun. Faktor yang cukup menentukan dalam terwujudnya ketahanan pangan tingkat rumah tangga bukan hanya dari ketersediaan pangan yang cukup, namun lebih ditentukan oleh kemampuan daya beli rumah tangga untuk dapat mengakses pangan. Penelitian Saliem et al. 2001 dalam Rachman 2004 melaporkan bahwa tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga. Penelitian tersebut dilakukan di empat provinsi, yaitu di Lampung, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara yang merupakan wilayah dengan status tahan pangan terjamin. Namun pada tingkat rumah tangga, di keempat wilayah tersebut masih terdapat prevalensi rumah tangga rawan pangan berkisar 22-30%. Hal tersebut dikarenakan rumah tangga mempunyai keterbatasan dalam aspek distribusi dan daya beli dalam mengakses pangan yang tersedia di tingkat wilayah.

Dalam mengukur ketahanan pangan rumah tangga tidak ada indikator tunggal sebagai ukuran terbaik. Salah satu indikator yang sering digunakan dalam berbagai penelitian ketahanan pangan rumah tangga adalah kecukupan kalori. Ukuran kecukupan kalori ini menunjukkan kecukupan pangan secara kuantitas namun tidak dapat menggambarkan kualitas konsumsi pangan ataupun akses rumah tangga pangan secara berkelanjutan (Maxwell et al. 2000).

Pengasuhan Anak

Berdasarkan kerangka pemikiran UNESCO, seperti yang disajikan pada Lampiran 1, determinan tidak langsung yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah ketahanan pangan rumah tangga, praktek pengasuhan, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Hal tersebut membuktikan bahwa kondisi lingkungan anak, mulai dari keluarga sampai kepada lingkungan yang lebih luas memiliki peran terhadap pengoptimalan pertumbuhan dan perkembangan anak. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada institusi keluarga, termasuk di dalamnya interkasi antar anggota keluarga. Hal tersebut selanjutnya akan berdampak terhadap pengalaman dan perkembangan anak (Berns 1997).

ICN (International Conference on Nutrition) menyebutkan bahwa pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga/rumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu, dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (Engle et al. 1997). Sunarti (2004) menyebutkan bahwa tujuan pengasuhan diantaranya berkaitan dengan pengembangan konsep diri anak, mengajarkan disiplin, serta mengajarkan keterampilan perkembangan. Pengasuhan yang diimplemantasikan melalui interaksi antara orang tua dan anak dapat menghasilkan pengembangan konsep diri anak. Interaksi yang dibangun anak dengan orang-orang di sekitarnya membuat anak mulai mengidentifikasi dirinya, menemukan dan mencari persamaan dan perbedaan antara dirinya dengan orang lain. Mengajarkan anak melalui pengasuhan yang membangun kepercayaan anak terhadap perlunya aturan dan penilaian bahwa suatu aturan itu baik sehingga perlu dijalankan, mengajarkan anak untuk menyadari pentingnya disiplin dan belajar untuk berperilaku disiplin. Selain itu, pengasuhan mengajarkan anak berbagai keterampilan hidup baik keterampilan kognitif, sosial, maupun emosional yang memungkinkan anak berkembang secara optimal.

Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktivitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak

menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktivitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi, dan pengasuhan sosial.

Pengasuhan fisik mencakup semua aktivitas yang bertujuan agar anak dapat bertahan hidup dengan baik dengan menyediakan kebutuhan dasarnya seperti makan, kehangatan, kebersihan, ketenangan waktu tidur, dan kepuasan ketika membuang sisa metabolisme dalam tubuhnya. Pola asuh makan merupakan salah satu faktor penting dalam pengasuhan fisik seorang anak (Hoghughi 2004). Pola asuh makan merupakan praktek-praktek yang diterapkan ibu (pengasuh) kepada anak dengan cara dan situasi makan. Engle et al. (1997) menyebutkan bahwa dalam pola asuh makan perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain : (1) karakteristik anak yang terkait dengan kemampuan psikomotorik (termasuk makan dengan tangan, kemampuan menggunakan sendok, kemampuan mengunyah); (2) kepekaan akan situasi, termasuk mengetahui kapan waktu makan anak, apakah anak memerlukan kudapan/camilan, bagaimana nafsu makan anak, serta membangun interaksi yang positif ketika waktu makan; dan (3) menciptakan situasi yang nyaman ketika waktu makan, termasuk pengorganisasian waktu makan, mendampingi ketika anak makan, memonitor dengan siapa anak makan, serta berusaha menghilangkan hal-hal yang mengganggu anak ketika makan. Selain pola asuh makan, pola asuh kesehatan juga merupakan pengasuhan fisik yang penting bagi seorang anak. Pola asuh kesehatan terkait dengan keterampilan dan kemampuan dalam bidang kesehatan yang meliputi praktek kesehatan di rumah, kemampuan mendapat akses kesehatan (media kesehatan dan promosi kesehatan), mendapatkan pelayanan kesehatan (imunisasi, menimbang berat badan, konseling, dan pengobatan), serta pengetahuan orang tua (pengasuh) terhadap berbagai tanda-tanda penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak seperti ISPA dan diare, serta tanda-tanda lain yang memerlukan pengobatan dan konseling (LIPI 2000 dalam Widiyawati 2004).

Selain pengasuhan fisik, pengasuhan anak juga mencakup adanya pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial. Pengasuhan emosi mencakup pendampingan ketika anak mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan seperti merasa terasing dari teman-temannya, takut, atau

mengalami trauma. Pengasuhan emosi ini mencakup pengasuhan agar anak merasa dihargai sebagai seorang individu, mengetahui rasa dicintai, serta memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan dan mengetahui resikonya. Pengasuhan emosi ini bertujuan agar anak mempunyai kemampuan yang stabil dan konsisten dalam berinteraksi dengan lingkungannya, menciptakan rasa aman, serta menciptakan rasa optimistik atas hal-hal baru yang akan ditemui oleh anak. Sementara itu pengasuhan sosial bertujuan agar anak tidak merasa terasing dari lingkungan sosialnya yang akan berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa-masa selanjutnya. Pengasuhan sosial ini menjadi sangat penting karena hubungan sosial yang dibangun dalam pengasuhan akan membentuk sudut pandang terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Pengasuhan sosial yang baik berfokus pada memberikan bantuan kepada anak untuk dapat terintegrasi dengan baik di lingkungan rumah maupun sekolahnya dan membantu mengajarkan anak akan tanggung jawab sosial yang harus diembannya (Hoghughi 2004).

Status Gizi Balita

Status gizi, khususnya pada balita, merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi status gizi masyarakat. Berdasarkan kerangka pemikiran UNICEF, konsumsi pangan yang rendah dan penyakit infeksi merupakan penyebab langsung (immediate determinants) terjadinya kegagalan pertumbuhan pada anak, yang salah satunya dapat dilihat dari rendahnya status gizi anak (Lampiran 1). Status gizi (nutritional status/nutriture) menunjuk pada kondisi tubuh yang dihasilkan dari proses makan, pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, dan efek metabolisme pada sel-sel tubuh (McLaren 1981 dalam Jelliffe et al. 1989). Pembahasan mengenai status gizi tidak terlepas dari permasalahan gizi yang sering dikenal dengan istilah malnutrisi (malnutrition). Malnutrisi didefinisikan sebagai keadaan patologis sebagai akibat dari kekurangan ketersediaan gizi-gizi penting pada level seluler dalam jangka waktu yang lama, yang termanifestasikan dalam ketidaknormalan baik secara fisik, fisiologi, maupun biokimia (Mata 1978 dalam Jelliffe et al. 1989).

Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (Jelliffe et al. 1989). Penilaian status gizi secara langsung dapat

Dokumen terkait