• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis ketahanan pangan rumah tangga miskin dan penerapan modal sosial (studi kasus pada rumah tangga miskin di kecamatan Tanah Sareal dan kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis ketahanan pangan rumah tangga miskin dan penerapan modal sosial (studi kasus pada rumah tangga miskin di kecamatan Tanah Sareal dan kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor )"

Copied!
346
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus pada Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sareal

dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)

ALFIASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul :

ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DAN PERANAN MODAL SOSIAL (Studi Kasus pada Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sareal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor) merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2007

(3)

ALFIASARI. Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin dan Peranan Modal Sosial (Studi Kasus pada Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sareal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor). Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan ARYA HADI DHARMAWAN.

Keterbatasan sumberdaya alam menyebabkan kemampuan rumah tangga di daerah perkotaan untuk memenuhi kebutuhan pangannya sangat bergantung kepada kemampuan ekonomi rumah tangganya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : (1) karakteristik sosio demografi dan ekonomi rumah tangga miskin; (2) ketahanan pangan pada rumah tangga miskin; (3) status gizi balita dan keterkaitannya dengan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan pada rumah tangga miskin; dan (4) kondisi modal sosial dan potensinya dalam menguatkan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di wilayah Kota Bogor yaitu di Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sareal dan Kelurahan Tajur, Kecamatan Bogor Timur. Penetapan kedua kelurahan tersebut sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive dan dilaksanakan selama 5 bulan (April-Agustus 2006). Populasi penelitian ini adalah seluruh rumah tangga miskin di Kota Bogor yang didata oleh BPS Kota Bogor sebagai data dasar untuk mencairkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) Tahap I Tahun 2005 dengan jumlah contoh 61 rumah tangga miskin.

Berdasarkan kondisi sosio demografi dan ekonomi, rumah tangga miskin yang menjadi responden penelitian ini mempunyai karakteristik rata-rata pengeluaran per kapita per bulannya adalah Rp 123 383.00 dengan rata-rata pendidikan kepala rumah tangga adalah SD dan sumber penghasilan utama adalah sektor jasa informal. Keragaan kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin yang dihasilkan adalah : (i) 63.3% responden di Kelurahan Kedung Jaya dan 67.6% responden di Kelurahan Tajur merupakan rumah tangga tidak tahan pangan; (ii) alokasi pengeluaran untuk pangan pada rumah tangga miskin responden di Kelurahan Kedung Jaya adalah 60.07% dari pengeluaran rumah tangga dan 58.03% di Kelurahan Tajur; dan (iii) alokasi pengeluaran rumah tangga untuk pangan terbesar adalah untuk beras yaitu mencapai 22.66%. Pada rumah tangga yang tidak tahan pangan dan mempunyai balita, status gizi balita akan cenderung normal bila kualitas pengasuhannya baik. Sebaliknya, meskipun rumah tangga berada dalam kondisi tahan pangan namun bila kualitas pengasuhannya buruk maka balita akan cenderung mengalami malnutrisi. Kecukupan modal sosial lebih terlihat di Kelurahan Kedung Jaya, dan keberadaan modal sosial tersebut berpotensi dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga miskin. Rumah tangga yang mempunyai kepercayaan lebih tinggi dalam menjalin hubungan tanpa rasa saling curiga, mempunyai kepercayaan lebih tinggi dalam menjaga lingkungan tetap langgeng (sustain), mempunyai hubungan sosialnya lebih banyak dalam pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangganya, dan istrinya bukan penduduk asli lingkungan tempat tinggal merupakan rumah tangga yang mempunyai tingkat ketahanan pangan lebih baik.

(4)

ABSTRACT

ALFIASARI. Analysis of Poor Household Food Security and the Role of Social Capital (Case Study of Kedung Jaya Village, Tanah Sareal Sub district and Tajur Village, East Bogor Sub district, Bogor). Under the direction of DRAJAT MARTIANTO and ARYA HADI DHARMAWAN.

The limitations of resources cause ability of households in urban area to fulfill the food depend on their economic ability. The purposes of this research are: (1) analyzing the characteristic of social, demography and economics of poor households; (2) analyzing the poor household food security; (3) analyzing the nutritional status of under-five children and the relation with household food security and caring; and (4) analyzing the existence of social capital and its potency to strengthen of poor household food security and caring.

The design of this research is cross sectional study. This research was conducted in Kedung Jaya Village, Tanah Sareal Sub district and Tajur Village, East Bogor Sub district, Bogor. These locations were chosen by purposive and conducted during 5 months (April-August 2006). The population of this research was poor households who received first aid from oil subsidized (Bantuan Langsung Tunai) for the 1st phase on 2005 that resulted from data of Statistic Bureau of Bogor District. The amounts of the samples are 61 poor households.

Regarding to the characteristic of social, demography and economics, the

households sample have average of expenditure per capita per month was Rp 123 383.00, the education of head of the households was elementary school and

the main source for their income was informal service sector. The condition of household food security are: (i) 63.3% households in Kedung Jaya Village and 67.6% households in Tajur Village are food insecurity households; (ii) the allocation of expenditure for food from the total households expenditure are 60.07% in Kedung Jaya Village and 58.03% in Tajur Village; and (iii) the biggest allocation of total households expenditure for food was used to buy rice that was 22.66%. Households that had food insecurity will tend to have normal of nutritional status of their under-five children, if they have better caring. On the contrary, though the households have food security but they have worse caring, their under-five children will tend to have malnutrition. The sufficiency of social capital more seen in Kedung Jaya Village, and existence of the social capital has potency to determine the household food security. Households that have better trust in social relation and trust to make the sustainability of their community, households that have more relations in their social networks, and also households that the wife was not native in the community will have a better condition of the household food security.

(5)

© Hak cipta milik Alfiasari, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut

Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik

(6)

(Studi Kasus pada Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sareal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)

Oleh : Alfiasari A551040051

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

SOSIAL (Studi Kasus pada Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sareal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)

Nama Mahasiswa : Alfiasari Nomor Pokok Mahasiswa : A551040051

Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Drajat Martianto, MS Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc. Agr

Ketua Anggota

Diketahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Gizi Masyarakat dan Sumberdaya

Keluarga

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Notodiputro, MS

(8)

Tiada kata yang bisa terucap kecuali rasa syukur penulis atas karunia, rahmat dan hidayah yang telah diberikan Allah SWT, Sang Penguasa atas segala sesuatu, sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dengan judul “ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN DAN PERANAN MODAL SOSIAL (Studi Kasus pada Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sareal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)” yang hasilnya dituangkan dalam tulisan (tesis) ini.

Sebagai bentuk penghargaan penulis, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dr. Ir. Drajat Martianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan keluasan wawasan befikir, bimbingan, kepercayaan, masukan, dan saran sehingga penyusunan tulisan hasil penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Sidang atas saran dan kesediaannya dalam membantu penulis untuk memperbaiki tulisan ini.

3. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr atas bimbingan, dorongan untuk selalu menjadi yang terbaik, dan kesempatannya untuk menimba ilmu dan melanjutkan tugas belajar ini.

4. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc atas bimbingan, saran dan masukan guna perbaikan tulisan ini.

5. Prof. Dr. Ir. Didy Sopandi, M.Agr, Dr. Ir. Sumardjo, MS, Dr. Ir. Sugeng Santoso, MS, dan Ir. Retnaningsih, MS atas bimbingan dan kesempatannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik di sela-sela tugas keadministrasian di Dekanat Fakultas Pertanian IPB.

(9)

7. Ibunda tercinta, Ny. Pariyah Biyati, atas “pelajaran” yang sangat berarti dalam hidup penulis. Terima kasih atas kepercayaan, pengertian dan semangat yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas belajar ini.

8. Pakbi, Lik Nung, Mas Pringgadi Kridiarto, dan Agil atas semangat, dorongan, dan pengertiannya kepada penulis untuk menyelesaikan tugas belajar ini dengan baik.

9. Aparat Pemerintah Kelurahan Kedung Jaya, Aparat Pemerintah Kelurahan Tajur, Aparat Pemerintah Kecamatan Tanah Sareal, Aparat Pemerintah Kecamatan Bogor Timur, serta Bapak/Ibu/Adik-adik responden penelitian ini. Tanpa beliau-beliau semua, penelitian ini tidak akan pernah terselesaikan.

10. Johani Nisma Yanti, A.Md, yang telah banyak membantu dalam pengumpulan dan entry data.

11. Segenap Staf Pengajar dan Staf Penunjang di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, FEMA IPB. Terimakasih atas penerimaan hangat yang telah diberikan dan dorongan yang cukup berarti bagi penulis untuk memperbaiki setiap langkah dalam mengemban amanah dengan baik. 12. Rekan-rekan mahasiswa PS GMK Angkatan 2004 : Uli, Inne, Kak

Maryam, Kak Leli, Ana, dan Pak Edi atas kebersamaan yang indah selama kuliah, semoga semakin sukses menapaki langkah hidup ke depan.

13. Mas Rena dan Pak Ugan atas bantuan dalam mengurusi segala urusan administrasi dalam penyelesaian tugas akhir ini.

14. Keluarga di Grha Matudilipa : Mbak Uwi, Mbak Dewi, Dina, pendatang baru Niken dan Nurul atas kebersamaan yang mengesankan sehingga penulis selalu nyaman menyelesaikan tulisan ini di kos tercinta.

15. Keluarga di Loji : Bang Jack, Teh Sri, Lulu, dan Lala atas perhatiannya yang selalu mengingatkan penulis untuk segera lulus. Terimakasih telah menjadi keluarga yang hangat bagi penulis.

(10)

Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Ibu Pariyah Biyati dan Bapak Isbachul Munir. Penulis dilahirkan di Kota Salatiga, Jawa Tengah pada tanggal 18 Desember 1981. Riwayat pendidikan penulis diawali selama dua tahun di bangku Taman Kanak-Kanak LKMD Teras Boyolali. Selanjutnya pada tahun 1987 hingga 1993 penulis menjadi siswi di Sekolah Dasar Negeri Randusari, Teras, Boyolali. Selama tiga tahun selanjutnya penulis menempuh pendidikan di SLTP Negeri 1 Surakarta pada tahun 1993-1996. Pada tahun 1996-1999 penulis terdaftar sebagai siswi SMU Negeri 8 Yogyakarta. Pada tahun 1999, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Mahasiswa IPB) di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus menjadi Sarjana Pertanian pada tahun 2004.

(11)

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 6

Tujuan Penelitian ... 7

Manfaat Penelitian ... 8

TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan di Perkotaan ... 9

Modal Sosial ... 12

Ketahanan Pangan... 21

Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 25

Pengasuhan Anak... 26

Status Gizi Balita ... 28

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Konseptual... 30

Kerangka Pemikiran... 39

Hipotesis Penelitian ... 42

METODE PENELITIAN Desain Penelitian ... 43

Teknik Penarikan Contoh ... 43

Jenis dan Cara Pengambilan Data... 45

Variabel Penelitian... 46

Pengolahan dan Analisis Data ... 48

Definisi Operasional ... 50

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kota Bogor dan Kemiskinan... 55

Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sareal ... 59

(12)

KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RESPONDEN Karakteristik Sosio Demografi Rumah Tangga

Miskin Responden ... 65

Kondisi Ekonomi Rumah Tangga Miskin Responden... 67

POTRET KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN PERKOTAAN Kemampuan Ekonomi Rumah Tangga Miskin dalam Memenuhi Kebutuhan Pangannya ... 76

Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin Perkotaan... 79

Ikhtisar ... 90

POTRET STATUS GIZI BALITA, KETAHANAN PANGAN, DAN KUALITAS PENGASUHAN RUMAH TANGGA MISKIN DI LOKASI PENELITIAN Status Gizi Balita Anggota Rumah Tangga Miskin Responden . 93

Status Gizi Balita dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 98

Kualitas Pengasuhan, Status Gizi Balita, dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin... 100

Ikhtisar ... 107

ANALISIS KETAHANAN PANGAN DAN PENGASUHAN BERBASIS MODAL SOSIAL DI LOKASI PENELITIAN Hubungan Sosial ... 111

Modal Sosial dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin.... 113

Mekanisme Modal Sosial dalam Penguatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Kualitas Pengasuhan... 116

Kecukupan Modal Sosial di Kelurahan Kedung Jaya dan Defisiensi Modal Sosial di Kelurahan Tajur... 132

Ikhtisar ... 134

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 135

Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 139

LAMPIRAN ... 144

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) ...

11

2 Variabel penelitian ... 46

3 Interpretasi status gizi balita dari indikator gabungan ... 54

4 Jumlah rumah tangga, jumlah penduduk di Kota Bogor tahun 2003 dan 2005... 55

5 Jumlah rumah tangga miskin di Kota Bogor berdasarkan data peluncuran dana BLT Tahap I tahun 2005... 57

6 Jumlah penduduk miskin Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor berdasarkan data peluncuran dana BLT Tahap I tahun 2005... 58 7 Status gizi balita di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor tahun 2005... 60

8 Jumlah penduduk miskin Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor berdasarkan data peluncuran dana BLT Tahap I tahun 2005... 61 9 Status gizi balita di Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor tahun 2005... 62

10 Karakteristik sosio demografi rumah tangga miskin di 2 (dua kelurahan) ... 65

11 Kondisi pengeluaran tunai rumah tangga miskin responden ... 69

12 Karakteristik ekonomi rumah tangga miskin di 2 (dua) kelurahan... 73

13 Angka Kecukupan Energi (AKE) anak dan remaja ... 79

14 Angka Kecukupan Energi (AKE) dewasa ... 79

15 Angka Kecukupan Protein (AKP)... 80

16 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan protein rumah tangga miskin responden ... 81

17 Rata-rata konsumsi energi dan protein/kapita/hari rumah tangga miskin responden menurut golongan pengeluaran untuk pangan ... 82

(14)

18 Ketahanan pangan rumah tangga miskin responden

berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi rumah tangga ... 84 19 Sebaran rumah tangga miskin responden berdasarkan

ketahanan pangan dan pengeluaran rumah tangga per kapita per bulan ...

85

20 Sebaran rumah tangga miskin responden berdasarkan

ketahanan pangan dan jumlah anggota rumah tangga ... 87 21 Karakteristik ketahanan pangan rumah tangga miskin di 2

(dua) kelurahan ... 89 22 Sebaran anak balita anggota rumah tangga miskin responden

berdasarkan jenis kelamin dan umur... 93 23 Kondisi status gizi balita (berdasarkan indeks status gizi

gabungan) menurut kondisi ketahanan pangan rumah tangga

miskin responden ... 98 24 Kondisi ketahanan pangan rumah tangga menurut keberadaan

balita... 99 25 Persentase sebaran balita menurut ketahanan pangan rumah

tangga, pola asuh makan, dan status gizi balita (indeks)

gabungan ... 101 26 Persentase sebaran balita menurut ketahanan pangan rumah

tangga, pola asuh kesehatan, dan status gizi balita (indeks)

gabungan ... 103 27 Persentase sebaran balita menurut ketahanan pangan rumah

tangga, lingkungan pengasuhan, dan status gizi balita

(indeks) gabungan ... 105 28 Karakteristik status gizi balita rumah tangga miskin dan

keterkaitannya dengan ketahanan pangan dan kualitas

pengasuhan di 2 (dua) kelurahan ... 107 29 Matriks modal sosial dan peranannya dalam penguatan

ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan balita pada rumah tangga miskin responden...

132

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1 Keterkaitan kemiskinan dan status gizi... 2 2 Sustainable Livelihoods Framework dalam rangka

pengentasan kemiskinan dan peningkaan kesejahteraan

masyarakat ... 4 3 Hubungan antara ikatan sosial (cross-cutting ties) dengan

pemerintahan ... 36 4 Kerangka pemikiran penelitian ... 41 5 Alur penetapan lokasi penelitian... 45 6 Sebaran pengeluaran per kapita per bulan rumah tangga

miskin responden ... 68 7 Sebaran jumlah anggota rumah tangga miskin responden

yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah

tangga ... 72 8 Sebaran tempat pembelian kebutuhan pangan rumah tangga

miskin responden ... 78 9 Sebaran status gizi balita responden (BB/U) ... 95 10 Sebaran status gizi balita responden (BB/U) berdasarkan

kelompok umur ... 95 11 Sebaran status gizi balita responden (TB/U)... 96 12 Sebaran status gizi balita responden (TB/U) berdasarkan

kelompok umur ... 96 13 Sebaran status gizi balita responden (BB/TB) ... 97 14 Sebaran status gizi balita responden (BB/TB) berdasarkan

kelompok umur ... 97 15 Sebaran basis hubungan sosial rumah tangga miskin

responden dengan rumah tangga lain di lingkungan tempat

tinggal... 111 16 Keragaan ketahanan pangan rumah tangga miskin responden

berdasrkan indeks modal sosial... 114 17 Basis hubungan sosial responden dalam pemenuhan

kebutuhan pangan ... 120 18 Basis hubungan sosial responden dalam pengasuhan balita ... 124

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Kerangka UNESCO tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi perkembangan anak...

142

2 Kerangka konseptual dan indikator umum ketahanan pangan... 143 3 Lampiran Gambar ... 144 4 Lampiran Tabel ... 146 5 Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sareal, Kota

Bogor ...

148

6 Kelurahan Tajur, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor... 149

(17)

Latar Belakang

Kasus gizi kurang, gizi buruk, maupun busung lapar pada balita yang banyak diangkat media massa akhir-akhir ini bukanlah kejadian yang sifatnya terjadi begitu saja, namun merupakan akibat menahun dari permasalahan yang multidimensional. Tidak hanya kekurangan asupan makanan dan juga zat gizi, kejadian gizi kurang dan gizi buruk juga kemungkinan disebabkan oleh pola pengasuhan yang salah dan juga pelayanan kesehatan dasar yang minim.

Berdasarkan data Susenas, pada tahun 1999 prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia mencapai 26.4%. Angka ini menurun menjadi 24.7% pada tahun 2000. Namun pada tahun 2001, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang kembali meningkat menjadi 26.1% dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2003, tercatat prevalensi gizi kurang dan gizi buruk balita mencapai 27.5% (Azwar 2004). Angka tersebut terus meningkat hingga tahun 2005 yang mana prevalensi gizi kurang dan gizi buruk mencapai 28% (Martianto et al. 2006a). Perkembangan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk yang cenderung meningkat bukan hanya ancaman untuk saat ini, namun juga untuk masa mendatang. Ancaman terjadinya loss generation menjadi semakin terbuka bila kasus-kasus gizi kurang dan gizi buruk tidak ditangani secara serius dan komprehensif. Kerangka UNICEF menyebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung dipengaruhi oleh tiga faktor utama (underlying determinant), yaitu ketahanan pangan rumah tangga, pola pengasuhan anak dan ibu, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan (Lampiran 1).

(18)

kelompok-kelompok rawan seperti ibu hamil, ibu menyusui, balita, dan anak-anak.

Saat ini penanggulangan kemiskinan bukan saja menjadi program prioritas di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, namun sudah menjadi salah satu agenda utama Millenium Development Goals (MDGs) negara-negara di dunia untuk menurunkan setengah tingkat kemiskinan dan kelaparan dunia hingga tahun 2015. Menurut Bank Dunia (Martianto et al. 2006a), kemiskinan telah menyebabkan rendahnya kualitas asupan zat gizi, terjadinya penyakit infeksi, serta buruknya pengetahuan dan praktek keluarga berencana, sehingga menyebabkan rendahnya status gizi anak balita dan ibu hamil yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Rendahnya kualitas sumber daya manusia akan menyebabkan terbatasnya kemampuan dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang pada akhirnya menyebabkan manusia tetap miskin (Gambar 1). Perlu ada upaya yang komprehensif untuk dapat memutuskan lingkaran setan tersebut. Salah satunya adalah investasi gizi, yang menurut Bank Dunia sebagai investasi penting untuk memutuskan lingkaran setan antara kemiskinan dan kurang gizi (Martianto et al. 2006a).

KEMISKINAN

(19)

Kemiskinan bukan saja dialami oleh masyarakat pedesaan. Masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan pun tidak luput dari kemiskinan. Pertumbuhan yang cepat di daerah-daerah perkotaan dihadapkan pada sebuah tantangan baru, yaitu penyebaran dan peningkatan kemiskinan di daerah perkotaan (urban). Kota merupakan simbol kemajuan peradaban, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Pusat kota telah menjadi sebuah “magnet” yang menarik orang untuk menggabungkan beragam kreativitas, menciptakan bentuk-bentuk baru dalam interaksi sosial maupun perkumpulan-perkumpulan kolektif (Beall 2000). Kota telah begitu menariknya, bukan hanya penduduk asli yang bertambah populasinya namun juga arus urbanisasi pun semakin tinggi.

BPS mencatat bahwa angka kemiskinan Indonesia di daerah perkotaan pada tahun 1980 mencapai angka 29.04%, lebih tinggi daripada angka kemiskinan di pedesaan (28.42%). Angka tersebut menurun pada tahun 1990, yaitu 16.75% di perkotaan dan 14.33% di pedesaan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada era 1980-an hingga 1990-an, angka kemiskinan di daerah perkotaan justru lebih tinggi daripada di daerah pedesaan. Hanya saja, pada tahun 1996 angka kemiskinan di daerah perkotaan menunjukkan penurunan yang cukup drastis yaitu mencapai 9.71%, dan lebih rendah daripada angka kemiskinan di daerah pedesaan (12.30%). Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 menyebabkan angka kemiskinan di Indonesia kembali naik, dan pada tahun 2004 mencapai 12.13% di daerah perkotaan dan 20.11% di daerah pedesaan.

Meskipun saat ini angka kemiskinan di daerah perkotaan lebih rendah daripada di daerah pedesaan, permasalahan masyarakat miskin di daerah perkotaan relatif lebih kompleks. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan persaingan untuk bertahan hidup yang lebih besar menyebabkan kesenjangan sosial di masyarakat perkotaan lebih terlihat jelas dibandingkan di daerah pedesaan (Maxwell et al. 2000). Kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangannya sangat bergantung kepada kemampuan ekonomi rumah tangga dalam mengakses pangan yang tersedia di pasar.

(20)

pendekatan yang disebutnya sebagai Sustainable Livelihoods Approach. Pendekatan ini menyandarkan pada lima modal yang dimiliki oleh masyarakat yaitu financial capital, human capital, natural capital, physical capital, dan social capital seperti yang tersaji pada Gambar 2 (Farrington et al. 1999).

N : Natural capital (modal alam) F : Financial capital (modal keuangan) P : Physical capital (modal fisik)

Gambar 2 Sustainable Livelihoods Framework dalam rangka pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat

(Sumber : Farrington e. al. 1999).

(21)

melakukan upaya-upaya optimal dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Keterbatasan modal berupa uang, modal alam, modal fisik, dan modal manusia tersebut membutuhkan pendorong yang mampu membuat masyarakat miskin tetap dapat bertahan hidup bahkan memperbaiki tingkat kesejahteraannya dengan keterbatasan berbagai modal yang dimilikinya.

Kadangkala, meskipun tidak mempunyai uang ataupun hasil pertanian yang memadai, penduduk miskin masih bisa mengandalkan bantuan dari lingkungannya untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan rumah tangganya. Nilai sosial yang terpelihara baik seperti kerjasama, kepercayaan, maupun saling menolong yang terjalin antar masyarakat apabila ada yang mengalami kesulitan menjadi hal yang menguntungkan bagi interaksi antar anggota masyarakat. Ritme kehidupan yang serba cepat dan tuntutan untuk bertahan hidup (survive) di dalam kedinamisan pertumbuhan daerah perkotaan menyebabkan nilai sosial tersebut seringkali menjadi memudar, bergeser dengan nilai-nilai individualistis.

Kepercayaan, kerjasama, nilai budaya, kebersamaan sering dikenal sebagai bagian dari modal sosial. Modal sosial merupakan modal yang dimiliki oleh masyarakat sebagai hasil dari hubungan sosial yang terjalin di antara sesama anggota masyarakat. Robert Putnam, salah satu pelopor modal sosial, menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai tiga pilar utama yaitu kepercayaan, norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, serta jaringan sosial yang terjalin dalam sistem sosial (Winter 2000). Interaksi yang terbangun dalam jaringan sosial ini memungkinkan adanya pengembangan sense of belonging dari anggota masyarakat, yang membuka wilayah ”ke-aku-an” menjadi wilayah “ke-kita-an” yang menunjukkan adanya usaha untuk tujuan mencapai keuntungan kolektif (Dharmawan 2002a, 2002b).

(22)

komunitas untuk tetap bertahan hidup (survive). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini menganalisis keragaan ketahanan pangan, kualitas pengasuhan, dan status gizi balita pada rumah tangga miskin, khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan, dan juga peranan modal sosial.

Perumusan Masalah

Masyarakat miskin, baik di perkotaan maupun di pedesaan, dengan pendapatannya yang kecil tentu saja mempunyai akses yang terbatas secara ekonomi untuk memperoleh pangan dengan jumlah dan kualitas yang cukup bagi anggota rumah tangganya. Oleh karenanya, kemiskinan yang ditandai dengan rendahnya pendapatan merupakan faktor mendasar rumah tangga tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan secara baik. Kondisi tersebut tentu saja menjadi ancaman untuk terjadinya gizi kurang dan gizi buruk pada balita rumah tangga miskin. Dengan kata lain, dengan pendapatan dan daya beli yang terbatas maka semakin memperbesar kesempatan untuk terjadinya ketidaktahanan pangan rumah tangga dan juga kerawanan gizi, khususnya pada balita.

Kondisi ekonomi yang rendah juga cenderung akan menyebabkan rendahnya tanggung jawab terhadap anak (Warren et al. 2001). Padahal ketersediaan sumberdaya pangan, pengasuhan, dan pelayanan kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat memegang peranan sangat penting untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak (Lampiran 1). Oleh karenanya, bila anak-anak dibesarkan dalam kondisi ketidaktahanan pangan (food insequrity), kualitas pengasuhan yang buruk, serta pelayanan kesehatan yang rendah maka anak tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal baik perkembangan fisik, kemampuan intelektual, maupun kematangan emosionalnya. Padahal masa depan bangsa ini terletak pada pundak anak-anak yang hidup pada masa sekarang ini.

(23)

mengoptimalkan potensi modal sosial yang terdapat dalam hubungan sosial yang dimiliki sebagai salah satu alternatif dalam menjaga rumah tangga tetap tahan pangan.

Berdasarkan uraian umum tentang permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, perumusan masalah secara rinci dalam penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik sosio demografi dan ekonomi rumah tangga miskin di lokasi penelitian sebagai contoh wilayah yang terletak di daerah perkotaan ?

2. Bagaimana keragaan ketahanan pangan pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian ?

3. Bagaimana keragaan status gizi balita dan keterkaitannya dengan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan balita pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian ?

4. Bagaimana kondisi modal sosial di lokasi penelitian dan apakah dapat berperan dalam menguatkan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan balita pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah disusun, maka tujuan penelitian yang dilakukan secara umum adalah menganalisis modal sosial dan potensinya dalam menguatkan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian. Sementara itu, tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian yang dilakukan adalah :

1. Menganalisis karakteristik sosio demografi dan ekonomi rumah tangga miskin di lokasi penelitian sebagai contoh wilayah yang terletak di daerah perkotaan.

2. Menganalisis keragaan ketahanan pangan pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian.

(24)

4. Menganalisis kondisi modal sosial dan potensinya dalam menguatkan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan pada rumah tangga miskin di lokasi penelitian.

Manfaat Penelitian

(25)

Kemiskinan di Perkotaan

Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional, tidak hanya sekedar rendahnya tingkat pendapatan. Menurut World Bank (2000), kemiskinan mencakup empat dimensi yaitu :

(1) kurangnya kesempatan (lack of opportunity), yang terkait dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi -biasanya dipengaruhi oleh tingkat dan distribusi modal manusia serta aset sosial dan fisik, seperti kesempatan dalam penguasaan dan pemanfaatan lahan serta kesempatan di dalam pasar-, dan biasanya bersifat relatif terhadap garis kemiskinan suatu negara

(2) rendahnya kemampuan (low capabilities), yang menunjuk pada kecilnya atau stagnannya perkembangan indikator kesejahteraan dan pendidikan pada kelompok-kelompok sosial ekonomi tertentu

(3) rendahnya tingkat ketahanan (low level of security), yang mencakup permasalahan rendahnya pendapatan dan besarnya resiko ketidaktahanan yang muncul baik di level nasional, lokal, rumah tangga, maupun individu (4) pemberdayaan (empowerment), yang menunjuk pada kemampuan

masyarakat miskin dalam berpartisipasi, bernegosiasi, berperan dalam perubahan, dan terlibat dalam institusi sosial yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraannya.

(26)

lebih makro, termasuk penghitungan dana perimbangan pusat-daerah (Cahyat 2004).

Indikator yang kedua yaitu kemiskinan diukur dengan menggunakan model kesejahteraan keluarga yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh BKKBN. Kemiskinan menurut indikator kesejahteraan keluarga ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial psikologis. Data hasil pengukuran dengan menggunakan indikator kesejahteraan keluarga ini biasanya digunakan sebagai data dasar untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Keluarga miskin menurut BKKBN adalah keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih dari enam indikator penentu kemiskinan alasan ekonomi. Keenam indikator tersebut, yaitu : (1) pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih; (2) anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian; (3) bagian lantai yang terluas bukan dari tanah; (4) paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor; (5) setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru; (6) luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi untuk tiap penghuni. Mengacu pada berbagai tingkat kebutuhannya, baik yang menyangkut kebutuhan dasar, sosial psikologis, maupun kebutuhan pengembangannya maka tahapan keluarga menurut BKKBN dibagi dalam lima tahapan, yaitu : (1) keluarga Pra-Sejahtera; (2) keluarga Sejahtera I; (3) keluarga Sejahtera II; (4) keluarga Sejahtera III; dan (5) keluarga Sejahtera III Plus (Cahyat 2004, www.bkkbn.go.id).

Model ketiga adalah pengukuran kemiskinan dengan Indeks Pembangunan Manusia UNDP (Human Development Index), yang mana kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memperluas pilihan-pilihan hidup. Data hasil pengukuran Indeks Pembangunan Manusia UNDP (Human Development Index) digunakan untuk menaksir transisi ekonomi dan demokrasi yang terjadi di Indonesia yang dikumpulkan setiap tiga tahun sekali (Cahyat 2004).

(27)

Pada awal tahun 2005, pemerintah mengeluarkan kebijakan pencabutan subsidi BBM. Sebagai gantinya, pemerintah menyelenggarakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Program BLT tersebut ditujukan untuk memberikan bantuan uang tunai sebesar Rp 100 000.00 setiap bulannya bagi rumah tangga miskin. BPS telah merumuskan empat belas kriteria rumah tangga miskin sebagai kriteria rumah tangga penerima BLT (Tabel 1). Suatu rumah tangga layak memperoleh BLT apabila rumah tangga tersebut memenuhi sembilan atau lebih dari empat belas kriteria rumah tangga miskin tersebut. Sementara itu, rumah tangga yang tidak layak memperoleh BLT adalah : (a) rumah tangga yang tidak memenuhi sembilan atau lebih kriteria rumah tangga miskin; (b) PNS/TNI/Polri/Pensiunan PNS/TNI/Polri; (c) pengungsi yang diurus oleh pemerintah; dan (d) penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap.

Tabel 1. Kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) menurut Badan Pusat Statistik (BPS)

No Variabel Kriteria Rumah Tangga Miskin

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal Kurang dari 8 m2 per orang 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal Tanah/ bambu/kayu murahan

3. Jenis dinding tempat tinggal Bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester

4. Fasilitas tempat buang air besar Tidak punya/bersama-sama dengan rumah tangga lain 5. Sumber penerangan rumah tangga Bukan listrik

6. Sumber air minum Sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan 7. Bahan bakar untuk memasak

sehari-hari

Kayu bakar/arang/minyak tanah 8. Konsumsi daging/susu/ayam per

minggu

Tidak pernah mengkonsumsi/hanya satu kali dalam seminggu

9. Pembelian pakaian baru untuk setiap anggota rumah tangga dalam setahun

Tidak pernah membeli/hanya membeli satu stel dalam setahun

10. Makan dalam sehari untuk setiap anggota rumah tangga

Hanya satu kali makan/ dua kali makan dalam sehari 11. Kemampuan untuk membayar berobat

ke Puskesmas/Poliklinik

Tidak mampu membayar untuk berobat 12. Lapangan pekerjaan utama kepala

rumah tangga

Petani dengan luas lahan 0.5 ha/buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600 000.00 per bulan

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga

Tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD

14. Pemilikan asset/tabungan Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500 000.00 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya

(28)

Beberapa penelitian di Afrika menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan bukan lagi sebuah masalah yang hanya timbul di daerah pedesaan saja namun juga menjadi permasalahan di daerah perkotaan (urban poverty). Pada akhir abad ke-20 dilaporkan bahwa tingkat urbanisasi yang cepat di daerah Sub-Sahara, Afrika telah menyebabkan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan semakin parah sehingga menyebabkan ketidaktahanan rumah tangga, pangan, dan gizi. Pertambahan penduduk yang pesat dan juga tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di daerah perkotaan menyebabkan permasalahan kemiskinan di daerah perkotaan menjadi lebih kompleks daripada pedesaan (Maxwell et al. 2002). Perubahan harga barang-barang pokok, khususnya pangan, yang relatif tinggi mempengaruhi kemampuan rumah tangga untuk dapat mengkonsumsi barang dan jasa lainnya. Selain itu, terbatasnya kesempatan kerja dan jumlah angkatan kerja yang terus meningkat mempengaruhi tingkat pendapatan dan juga status pekerjaan masyarakat di perkotaan. Begitu juga kehidupan sosial di perkotaan yang menuntut adanya pengeluaran-pengeluaran sosial untuk kehidupan bermasyarakat

berdampak juga terhadap alokasi pengeluaran rumah tangga di perkotaan (Moser 1996). Kondisi-kondisi tersebut telah menimbulkan adanya peningkatan

kesenjangan sosial dan juga peningkatan jumlah kelompok rawan (miskin) di daerah perkotaan.

Modal Sosial Definisi dan Ukuran

(29)

di Italia dalam perluasan kelembagaan-kelembagaan yang ada dalam masyarakat (Narayan 1998).

Layaknya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, konsep modal sosial pun terus berkembang. Bourdieu mendifinisikan modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang dimiliki seseorang berkat adanya jaringan hubungan secara kelembagaan yang terpelihara dengan baik, yang mana setiap anggota dalam kelembagaan tersebut memperoleh keuntungan dari modal yang dimiliki secara kolektif (Syahra et al. 2000, Winter 2000, http://www.viet-studies.org/Bourdieu_capital.htm). Bourdieu juga menyebutkan bahwa modal sosial yang dibentuk oleh adanya jaringan-jaringan ini, pada kondisi tertentu dapat diubah menjadi modal ekonomi dan biasanya secara kelembagaan terlihat pada kelompok komunitas yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam suatu masyarakat. Bourdieu menekankan bahwa modal sosial yang dibentuk oleh jaringan hubungan, tidak begitu saja ada secara alami (natural given) atau begitu saja ada dalam suatu masyarakat (social given). Modal sosial merupakan hasil dari investasi strategi-strategi baik dari tindakan individu maupun kolektif dalam waktu sesaat ataupun berkelanjutan yang bertujuan untuk menstabilkan atau menghasilkan hubungan-hubungan sosial yang secara langsung berguna, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Winter 2000).

(30)

modal sosial dalam jaringan keluarga dan komunitas sebagai sumberdaya bagi modal manusia (human capital) (Winter 2000).

Bila Bourdie dan Coleman mendefinisikan modal sosial dari ranah individu, keluarga, dan komunitas, Robert Putnam mendefinisikan modal sosial dari ranah regional dan nasional yang mana modal sosial dinilai sebagi pendorong dalam kelembagaan demokrasi dan pengembangan ekonomi. Menurut Putnam, rencana dan aksi penguatan ekonomi pasar dan kelembagaan demokratis di negara-negara berkembang hampir semuanya terpusat pada defisiensi modal manusia dan modal finansial, sehingga pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah pembangunan di negara-negara berkembang lebih terfokus pada pemberian pinjaman dan pemberian pelatihan-pelatihan (technical assistance). Namun tidak banyak dibahas tentang defisiensi modal sosial yang terjadi, sehingga pendekatan yang ada tidak pernah membahas tentang bagaimana usaha-usaha untuk mendorong pembentukan modal sosial. Landasan pemikiran tersebut lah yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menjanjikan ketika teori-teori modernisasi dan kapitalisasi tidak mampu menghubungkan antara teori dengan aplikasinya. Menurut kelompok pengkritik modernisasi dan kapitalisasi, modal sosial merupakan sesuatu yang menarik dan menjanjikan karena menawarkan strategi-strategi potensial dalam rencana dan aksi penguatan ekonomi dan kelembagaan demokratis. Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai kepercayaan (trust), norma (norms), dan jaringan (networks) yang memfasilitasi adanya kerjasama untuk mencapai keuntungan bersama (Woolcock 1998). Konsep modal sosial yang dikembangkan oleh Putnam pada ranah regional dan nasional ini memunculkan banyak kritikan. Apalagi penelitian yang dilakukan Putnam dilakukan di Italia yang identik dengan kekuatan “mafia”. Modal sosial bagi komunitas “mafia” mungkin akan memberi keuntungan bagi keluarga “mafia”, namun bagi orang di luar komunitas “mafia” modal sosial justru akan merugikan. Kerugian yang disebabkan oleh modal sosial tersebut yang oleh Putzel disebut sebagai dark side of sosial capital –sisi gelap modal sosial- (Winter 2000).

(31)

konsep ilmu pengetahuan. Narayan (1998), dalam analisanya tentang keterkaitan antara modal sosial dengan kemiskinan dalam pembangunan ekonomi, menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai dua aspek penting yaitu ikatan sosial yang saling terkait (cross-cutting ties) dan interaksi antara institusi formal dan informal. Ikatan sosial yang saling terkait (cross-cutting ties) yang terbangun antar kelompok sosial tersebut membuka peluang-peluang ekonomi yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan.

Sementara itu, masih terkait antara peranan modal sosial dengan pembangunan ekonomi, Fedderke et al. (1999) menyebutkan bahwa mendefinisikan modal sosial memerlukan pertimbangan pada level analisis apa konsep tersebut digunakan. Semua bentuk modal sosial tidak sama, dan pada kondisi tertentu beberapa bentuk modal sosial lebih cocok digunakan untuk tujuan pengembangan ekonomi daripada untuk tujuan lainnya. Fedderke et al. (1999) menekankan peranan modal sosial yang bermanfaat dalam pengembangan ekonomi adalah berbentuk pertukaran informasi yang dapat mengurangi biaya transaksi (transactions costs). Dalam menelaah peranan modal sosial dalam pengembangan ekonomi, tidak cukup hanya sekedar kuantitas informasi yang dapat dimanfaatkan namun juga harus melihat kualitas informasi yang dipertukarkan sehingga bermanfaat dalam pengurangan biaya transaksi dalam pertukaran ekonomi yang terjadi. Kualitas informasi yang dimaksud mencakup dua komponen utama yaitu rasionalisasi (rationalization) dan transparansi (transparency).

World Bank pun telah banyak menghasilkan hasil-hasil penelitian tentang modal sosial. Menurut World Bank, modal sosial mencakup kelembagaan-kelembagaan, hubungan, perilaku, dan nilai yang membangun interaksi antar manusia dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Modal sosial bukan hanya sekedar sekumpulan norma dan nilai yang membangun sebuah masyarakat tapi juga merupakan perekat yang menyatukan masyarakat (Productivity Commission 2003).

(32)

1. Kepercayaan (trust)

Dalam membangun ikatan sosialnya, modal sosial dilandasi oleh “trust” (kepercayaan) sehingga modal sosial akan menjadi infrastruktur komunitas yang dibentuk secara sengaja (Fukuyama 2001). Fedderke et al. (1999) menjelaskan bahwa modal sosial mencakup kepercayaan sosial yang memfasilitasi adanya koordinasi dan komunikasi. Koordinasi dan komunikasi yang terjalin ini akan mempengaruhi terhadap tindakan kolektif yang dilakukan dalam rangka mencapai keuntungan kolektif juga. Menurutnya, “trust” dapat mengurangi adanya insentif dalam memanfaatkan kesempatan/peluang ekonomi yang ada.

Trust atau kepercayaan bagi sebagian analis sosial disebut sebagai bagian tak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan yang menjadi ‘ruh” dari modal sosial. Kepercayaan adalah sesuatu yang terbangun dari hubungan-hubungan sosial dimana terdapat peraturan yang dapat dirundingkan dalam arti terdapat “ruang terbuka” dari peraturan-peraturan tersebut untuk mencapai harapan-harapan yang ingin dicapainya (Seligman 2000 dalam Dharmawan 2002a, 2002b). Secara sederhana, trust adalah tingkat kepercayaan yang dimiliki masyarakat yang mana orang lain akan bertindak seperti apa yang mereka katakan atau mereka harapkan (Productivity Commission 2003).

(33)

sebagai modal sosial yang menjamin struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien.

2. Jaringan sosial (networks)

Productivity Commission (2003), menyebutkan bahwa jaringan sosial merujuk pada kesalinghubungan di dalam kelompok yang biasanya mempunyai atribut tertentu sebagai ciri kebersamaan. Coleman sebagai salah seorang penggagas konsep modal sosial, melihat bahwa jaringan (networks) dalam modal sosial merupakan konsekuensi yang telah ada ketika kepercayaan diterapkan secara meluas dan di dalamnya terdapat hubungan timbal balik yang terjalin dalam masyarakat dengan adanya harapan-harapan dalam masyarakat (Brown 1999).

(34)

sama lainnya, masyarakat setempat saling mengetahui satu sama lainnya. Keragaman, jaringan sosial dikarakteristikkan misalnya dari keragaman etnik teman, dari perbedaan pendidikan dalam sebuah group atau dari pencampuran budaya dalam wilayah setempat.

3. Norma Sosial

Norma-norma yang membentuk modal sosial dapat bervariasi dari hubungan timbal balik antara dua teman sampai pada hubungan kompleks dan kemudian terelaborasi menjadi doktrin. Selain dibentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi sosial, dalam menjalin kerja sama dalam sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai yang dimaksud misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya. Nilai-nilai sosial seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang mengatur masyarakat untuk berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain (Fukuyama 2001). Productivity Commission (2003) mendefinisikan norma sosial dalam kerangka modal sosial sebagai sekumpulan aturan informal seperti nilai-nilai toleransi dan kejujuran secara timbal balik dari pihak-pihak yang berinteraksi.

Norma sebagai elemen penting dalam pembentukan modal sosial juga diutarakan oleh Fedderke et al. (1999) yang menyatakan bahwa sebuah asosiasi sosial (organisasi sosial) di dalamnya mengandung norma-norma berupa aturan-aturan informal dan nilai-nilai yang memfasilitasi adanya koordinasi di antara anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya tindakan-tindakan kerja sama dalam memudahkan pekerjaan guna mencapai keuntungan kolektif yang dirasakan bersama.

(35)

menyebutkan bahwa modal sosial merupakan aset kolektif yang terlihat dalam komunitas daripada sebagai sebuah properti individu anggota komunitas. Oleh karenanya, peranan modal sosial sebagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk mencapai keuntungan kolektif hanya bisa berjalan baik bila muncul sebagai sebuah aksi kolektif dalam sebuah jaringan sosial yang dibangun dengan kepercayaan dan hubungan timbal balik yang mengandung norma dan sanksi yang mengikat.

Modal Sosial sebagai Aset dalam Mengatasi Kerawanan Pangan

Dalam mengatasi kemiskinan, komunitas dapat menjadi aset penting untuk mengurangi kerawanan yang diakibatkan oleh kemiskinan. Aset pada tingkat komunitas ini tergantung pada keberadaan simpanan modal sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama guna mencapai keuntungan kolektif. Sebuah penelitian di Filipina tentang respon rumah tangga terhadap kemiskinan dan kerawanan, dilaporkan bahwa terdapat tiga isu penting dalam menganalisis keberadaan simpanan modal sosial pada tingkat rumah tangga dan komunitas daerah perkotaan, yaitu : (1) kekuatan jaringan sosial yang bersifat timbal balik antar rumah tangga di dalam komunitas; (2) kekuatan hubungan (linkages) antara rumah tangga di desa dan kota sebagai komponen penting dalam jaringan sosialnya; dan (3) peningkatan ketidakefektifan kekerasan dan perusakan hubungan timbal balik dalam level komunitas (Moser dan Mcllwaine 1997).

(36)

modal sosial pun akan menurun (Moser dan Mcllwaine 1997). Oleh karenanya, berkurangnya simpanan modal sosial dalam komunitas akibat hilangnya rasa kepercayaan dan kerja sama antar anggota komunitas maupun antara komunitas dengan lingkungannya (pemerintah, masyarakat lebih luas) dalam krisis ekonomi yang terjadi, dapat merusak sistem berbasis komunitas untuk memanfaatkan dan memelihara infrastruktur sosial dan fisik (Moser 1996).

Di Indonesia, tradisi-tradisi yang bersifat lokalitas seperti gotong royong merupakan sebuah potensi modal sosial yang dapat dijadikan sebagai aset menguntungkan dalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi akibat kemiskinan, termasuk kerawanan pangan. Salah satu contohnya adalah tradisi rereongan sarupi yang terdapat di Propinsi Jawa Barat (Hikmat 2001). Dalam tradisi ini, falsafah yang mendasari adalah silih asih, silih asuh, dan silih asah. Bentuk-bentuk aktivitas sosial sebagai manifestasi nilai-nilai tersebut berupa kerja sama dan gotong royong dalam pembangunan sosial, musyawarah dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan dalam forum rapat maupun pengajian, saling menolong antar tetangga, dan saling mengingatkan apabila ada tetangga yang berbuat hal-hal yang merugikan masyarakat. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan sebuah modal sosial yang apabila dikembangkan mampu menjadi aset komunitas yang penting untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan yang dialami rumah tangga anggotanya. Falsafah nilai budaya tersebut tentu saja bukan hanya milik masyarakat Jawa Barat saja, namun pada dasarnya berlaku univesal bagi masyarakat Indonesia secara umum.

(37)

norma sosial, dan bahkan juga jaringan sosial yang dapat dimanfaatkan dalam menghadapi kerawanan pangan akibat kemiskinan.

Sebuah penelitian yang menunjukkan manfaat ekonomis dari modal sosial pada pedagang angkringan di kota Yogyakarta (Brata 2004), juga menunjukkan bahwa modal sosial dapat menjadi aset dalam mengatasi kemiskinan sehingga rumah tangga tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, khususnya kebutuhan pangan. Manfaat ekonomis modal sosial terlihat dari hubungan sosial kekerabatan, yang mana pengalaman teman ataupun kerabat dekat yang telah menjadi pedagang angkringan tentang peluang usaha warung angkring merupakan salah satu faktor pendorong beberapa orang lebih memilih beralih profesi menjadi pedagang angkringan.

Sebagai contoh simpanan modal sosial (stock of social capital), tradisi rereongan sarupi, beas parelek, maupun modal sosial dalam jaringan pedagang angkringan di Kota Yogyakarta, bersifat potensial. Artinya, apabila nilai-nilai kepercayaan (trust), norma sosial, dan jaringan sosial yang ada di dalam masyarakat mampu dimanfaatkan secara optimal maka simpanan modal sosial ini akan menguntungkan bagi kehidupan masyarakat, termasuk dalam memperbaiki kondisi ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan dan lebih lanjut menjadi potensi dalam mengatasi kerawanan pangan yang muncul sebagai dampak dari kemiskinan.

Ketahanan Pangan

(38)

ketahanan pangan yang dibangun dari tiga elemen utama tersebut (ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan/konsumsi pangan) saling terkait dan mempunyai indikator yang berbeda dalam setiap elemennya (Lampiran 2).

Isu tentang situasi pangan senantiasa mengalami perkembangan. Pada dekade 1970-an, fokus utama tentang situasi pangan adalah dunia dihadapkan pada periode terbatasnya ketersediaan pangan dan masalah kelaparan massal. Para delegasi dalam World Food Conference di Roma pada tahun 1974 meyakini bahwa negara-negara produsen pangan penting di dunia tidak akan dapat memenuhi permintaan pangan dunia, sehingga produksi pangan dunia harus ditingkatkan. Selanjutnya, dalam konferensi tersebut dirumuskan tentang ketahanan pangan, yaitu sebagai kemampuan suatu negara dan wilayah-wilayah di dalamnya untuk memenuhi target konsumsi pangan dari tahun ke tahun. Dampaknya, ketahanan pangan pada dekade 1970-an lebih berorientasi pada suplai pangan sehingga erat kaitannya dengan harga pangan dan ketersediaan secara fisik daripada isu tentang permintaan dan konsumsi masyarakat miskin atau kecukupan gizi kelompok-kelompok rawan (Falcon et al. 1987,Valdes 1997).

(39)

ketersediaan pangan dan tujuan konsumsi pangan di suatu wilayah (Falcon et al. 1987).

Karakter multidimensional dari ketahanan pangan menyebabkan konsep ketahanan pangan terus mengalami perkembangan. Hasil World Food Summit pada tahun 1996 di Roma menghasilkan rumusan tentang ketahanan pangan, yaitu kondisi dimana semua orang, setiap saat, mempunyai akses fisik dan ekonomi untuk memperoleh pangan yang cukup, aman, dan bergizi guna memenuhi kebutuhan pangan dan preferensinya untuk kehidupan aktif dan sehat. Ketahanan pangan mencakup level individu, rumah tangga, nasional, regional, maupun global sehingga setiap negara harus dapat merumuskan strategi untuk mencapai ketahanan pangan individu dan pada waktu yang sama mampu mengorganisasi solusi secara kolektif untuk mengatasi isu ketahanan pangan global (FAO 1997).

Di Indonesia sendiri rumusan ketahanan pangan dituangkan dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan dalam UU tersebut mempunyai pengertian sebagai berikut :

1. Pangan bukan berarti hanya beras atau komoditas tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, dll), namun juga mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan termasuk ikan, baik produk primer maupun turunannya. Dengan demikian, proses produksi pangan tidak hanya dihasilkan oleh kegiatan subsektor pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan tetapi juga hasil industri pengolahan pangan.

(40)
(41)

maupun tidak mencukupinya pendapatan rumah tangga. Akibatnya akan menyebabkan terjadinya kelaparan dan atau kurang gizi (Shlomo 1987).

Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Dalam UU No. 7 tahun 1996 telah dinyatakan bahwa rumah tangga merupakan level terpenting dalam konsep ketahanan pangan. Ketahanan pangan dinilai dari suatu kondisi apabila rumah tangga telah tercukupi pangannya secara kuantitas dan kualitas. Ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan sehari-hari, serta harus dapat diterima oleh budaya setempat (International Congres of Nutrition 1992 dan Sidang Committee on World Food Security 1995 dalam Wahidah 2004).

Berbagai agen pembangunan mendefinisikan ketahanan pangan rumah tangga sebagai suatu kondisi kecukupan akses untuk memperoleh pangan sepanjang waktu dari tahun ke tahun. Faktor yang cukup menentukan dalam terwujudnya ketahanan pangan tingkat rumah tangga bukan hanya dari ketersediaan pangan yang cukup, namun lebih ditentukan oleh kemampuan daya beli rumah tangga untuk dapat mengakses pangan. Penelitian Saliem et al. 2001 dalam Rachman 2004 melaporkan bahwa tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga. Penelitian tersebut dilakukan di empat provinsi, yaitu di Lampung, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara yang merupakan wilayah dengan status tahan pangan terjamin. Namun pada tingkat rumah tangga, di keempat wilayah tersebut masih terdapat prevalensi rumah tangga rawan pangan berkisar 22-30%. Hal tersebut dikarenakan rumah tangga mempunyai keterbatasan dalam aspek distribusi dan daya beli dalam mengakses pangan yang tersedia di tingkat wilayah.

(42)

Pengasuhan Anak

Berdasarkan kerangka pemikiran UNESCO, seperti yang disajikan pada Lampiran 1, determinan tidak langsung yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah ketahanan pangan rumah tangga, praktek pengasuhan, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Hal tersebut membuktikan bahwa kondisi lingkungan anak, mulai dari keluarga sampai kepada lingkungan yang lebih luas memiliki peran terhadap pengoptimalan pertumbuhan dan perkembangan anak. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada institusi keluarga, termasuk di dalamnya interkasi antar anggota keluarga. Hal tersebut selanjutnya akan berdampak terhadap pengalaman dan perkembangan anak (Berns 1997).

ICN (International Conference on Nutrition) menyebutkan bahwa pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga/rumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu, dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (Engle et al. 1997). Sunarti (2004) menyebutkan bahwa tujuan pengasuhan diantaranya berkaitan dengan pengembangan konsep diri anak, mengajarkan disiplin, serta mengajarkan keterampilan perkembangan. Pengasuhan yang diimplemantasikan melalui interaksi antara orang tua dan anak dapat menghasilkan pengembangan konsep diri anak. Interaksi yang dibangun anak dengan orang-orang di sekitarnya membuat anak mulai mengidentifikasi dirinya, menemukan dan mencari persamaan dan perbedaan antara dirinya dengan orang lain. Mengajarkan anak melalui pengasuhan yang membangun kepercayaan anak terhadap perlunya aturan dan penilaian bahwa suatu aturan itu baik sehingga perlu dijalankan, mengajarkan anak untuk menyadari pentingnya disiplin dan belajar untuk berperilaku disiplin. Selain itu, pengasuhan mengajarkan anak berbagai keterampilan hidup baik keterampilan kognitif, sosial, maupun emosional yang memungkinkan anak berkembang secara optimal.

(43)

menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktivitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi, dan pengasuhan sosial.

Pengasuhan fisik mencakup semua aktivitas yang bertujuan agar anak dapat bertahan hidup dengan baik dengan menyediakan kebutuhan dasarnya seperti makan, kehangatan, kebersihan, ketenangan waktu tidur, dan kepuasan ketika membuang sisa metabolisme dalam tubuhnya. Pola asuh makan merupakan salah satu faktor penting dalam pengasuhan fisik seorang anak (Hoghughi 2004). Pola asuh makan merupakan praktek-praktek yang diterapkan ibu (pengasuh) kepada anak dengan cara dan situasi makan. Engle et al. (1997) menyebutkan bahwa dalam pola asuh makan perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain : (1) karakteristik anak yang terkait dengan kemampuan psikomotorik (termasuk makan dengan tangan, kemampuan menggunakan sendok, kemampuan mengunyah); (2) kepekaan akan situasi, termasuk mengetahui kapan waktu makan anak, apakah anak memerlukan kudapan/camilan, bagaimana nafsu makan anak, serta membangun interaksi yang positif ketika waktu makan; dan (3) menciptakan situasi yang nyaman ketika waktu makan, termasuk pengorganisasian waktu makan, mendampingi ketika anak makan, memonitor dengan siapa anak makan, serta berusaha menghilangkan hal-hal yang mengganggu anak ketika makan. Selain pola asuh makan, pola asuh kesehatan juga merupakan pengasuhan fisik yang penting bagi seorang anak. Pola asuh kesehatan terkait dengan keterampilan dan kemampuan dalam bidang kesehatan yang meliputi praktek kesehatan di rumah, kemampuan mendapat akses kesehatan (media kesehatan dan promosi kesehatan), mendapatkan pelayanan kesehatan (imunisasi, menimbang berat badan, konseling, dan pengobatan), serta pengetahuan orang tua (pengasuh) terhadap berbagai tanda-tanda penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak seperti ISPA dan diare, serta tanda-tanda lain yang memerlukan pengobatan dan konseling (LIPI 2000 dalam Widiyawati 2004).

(44)

mengalami trauma. Pengasuhan emosi ini mencakup pengasuhan agar anak merasa dihargai sebagai seorang individu, mengetahui rasa dicintai, serta memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan dan mengetahui resikonya. Pengasuhan emosi ini bertujuan agar anak mempunyai kemampuan yang stabil dan konsisten dalam berinteraksi dengan lingkungannya, menciptakan rasa aman, serta menciptakan rasa optimistik atas hal-hal baru yang akan ditemui oleh anak. Sementara itu pengasuhan sosial bertujuan agar anak tidak merasa terasing dari lingkungan sosialnya yang akan berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa-masa selanjutnya. Pengasuhan sosial ini menjadi sangat penting karena hubungan sosial yang dibangun dalam pengasuhan akan membentuk sudut pandang terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Pengasuhan sosial yang baik berfokus pada memberikan bantuan kepada anak untuk dapat terintegrasi dengan baik di lingkungan rumah maupun sekolahnya dan membantu mengajarkan anak akan tanggung jawab sosial yang harus diembannya (Hoghughi 2004).

Status Gizi Balita

Status gizi, khususnya pada balita, merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi status gizi masyarakat. Berdasarkan kerangka pemikiran UNICEF, konsumsi pangan yang rendah dan penyakit infeksi merupakan penyebab langsung (immediate determinants) terjadinya kegagalan pertumbuhan pada anak, yang salah satunya dapat dilihat dari rendahnya status gizi anak (Lampiran 1). Status gizi (nutritional status/nutriture) menunjuk pada kondisi tubuh yang dihasilkan dari proses makan, pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, dan efek metabolisme pada sel-sel tubuh (McLaren 1981 dalam Jelliffe et al. 1989). Pembahasan mengenai status gizi tidak terlepas dari permasalahan gizi yang sering dikenal dengan istilah malnutrisi (malnutrition). Malnutrisi didefinisikan sebagai keadaan patologis sebagai akibat dari kekurangan ketersediaan gizi-gizi penting pada level seluler dalam jangka waktu yang lama, yang termanifestasikan dalam ketidaknormalan baik secara fisik, fisiologi, maupun biokimia (Mata 1978 dalam Jelliffe et al. 1989).

(45)

dilakukan melalui metode : (a) antropometri, (b) biokimia, (c) klinis, dan (d) biofisik. Sementara itu, penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan melalui : (a) survei konsumsi, (b) statistik vital, dan (c) faktor ekologi. Salah satu metode yang sering digunakan dalam penilaian status gizi balita adalah dengan metode antropometri.

Penilaian status gizi secara antropometri menunjuk pada pengukuran variasi dimensi, proporsi, dan berbagai aspek dari komposisi tubuh manusia pada umur dan level gizi yang berbeda. Metode ini dinilai sangat bermanfaat untuk menilai status gizi pada anak-anak dikarenakan pertumbuhan yang cepat pada anak-anak dan kasus Kurang Energi dan Protein (KEP) biasanya terjadi pada kelompok anak-anak. Indeks antropometri yang biasa digunakan pada penilaian status gizi pada anak adalah : (a) indeks berat badan menurut umur (BB/U), (b) indeks berat badan menurut panjang/tinggi badan (BB/TB), (c) indeks tinggi badan menurut umur (TB/U), (d) indeks gabungan (BB/U, BB/TB, dan TB/U), (e) indeks lingkar lengan atas (LILA), (f) indeks lingkar kepala menurut umur (LK/U), dan (g) tebal lipatan lemak di bawah kulit (TLBK) (Jelliffe et al. 1989, Riyadi 2003).

(46)

Kerangka Konseptual

Kemiskinan, Ketahanan Pangan, Pengasuhan, dan Status Gizi

Kemiskinan menyebabkan masyarakat mempunyai keterbatasan akses secara ekonomi untuk mendapatkan pangan secara cukup, baik jumlah maupun mutunya. Dengan pendapatan yang rendah, sulit kiranya bagi rumah tangga untuk mendapatkan pangan yang cukup dan berkualitas, meskipun mereka tinggal di daerah yang surplus pangan. Hal ini tentu saja akan mengancam terjadinya kerawanan pangan pada rumah tangga. Warren et al. (2001) menyebutkan bahwa kondisi ekonomi yang rendah cenderung akan menyebabkan rendahnya tanggung jawab terhadap anak. Hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan telah menyebabkan rendahnya tanggung jawab terhadap anak sehingga kualitas pengasuhan pun cenderung rendah. Padahal, ketahanan pangan rumah tangga, pengasuhan ibu dan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan merupakan penyebab tidak langsung (underlying determinants) yang mempengaruhi status gizi pada anak (Lampiran 1). Ketiga faktor tersebut menentukan tercukupinya kebutuhan pangan anak dan status kesehatannya, yang pada akhirnya akan menentukan pertumbuhan, perkembangan, dan kemampuan anak untuk bertahan hidup (Engle et al. 1997).

(47)

mengalami gizi kurang dan gizi buruk yang tercatat di Dinas Kesehatan Kota Bogor masing-masing adalah 10.9% dan 0.5% pada tahun 2002, 10.0% dan 0.5% pada tahun 2003, 8.9% dan 0.4% pada tahun 2004, dan 8.7% dan 0.6% pada tahun 2005. Kondisi tersebut, baik gambaran di tingkat nasional, provinsi Jawa Barat, maupun Kota Bogor sendiri menunjukkan bahwa kekurangan gizi pada balita masih merupakan ancaman bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas di masa yang akan datang. Balita merupakan salah satu kelompok rawan, yang mana keadaan status gizinya sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta status kesehatannya. Keadaan status gizi balita dapat menjadi salah satu indikator baik buruknya kondisi ketahanan pangan rumah tangga.

Rumah tangga miskin yang tinggal di daerah perkotaan menghadapi permasalahan yang sangat kompleks dan sulit untuk dikarakteristikkan (Maxwell et al. 2000). Penelitian yang dilakukan pada masyarakat miskin perkotaan di kota Accra, sebuah kota di negara Ghana, Afrika menunjukkan bahwa 90% pangan dalam rumah tangga adalah hasil pembelian. Angka ini menunjukkan bahwa pendapatan yang dimiliki rumah tangga di daerah perkotaan merupakan unsur penting untuk mencukupi kebutuhan pangan anggota rumah tangganya. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa pada rumah tangga miskin di daerah perkotaan menghabiskan lebih dari setengah anggaran rumah tangganya untuk pangan. Bahkan terdapat 15% rumah tangga miskin yang menghabiskan 70% anggaran rumah tangganya untuk pangan (Maxwell et al. 2000).

(48)

World Bank (2000) menyebutkan bahwa kemiskinan mempunyai empat dimensi, yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low capabilities), rendahnya tingkat ketahanan (low level of security), dan rendahnya pemberdayaan (empowerment). Ciri utama yang terlihat dari keempat dimensi kemiskinan tersebut adalah rendahnya pendapatan dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia akibat ketidakmampuan orang miskin untuk mengakses kesempatan ekonomi dan pendidikan yang tersedia. Terkait dengan upaya-upaya penguatan ketahanan pangan rumah tangga miskin, hal mendasar yang menentukan tercukupinya pangan di tingkat rumah tangga baik jumlah maupun mutunya secara aman dan terjangkau adalah bagaimana mengubah sumberdaya-sumberdaya yang pada rumah tangga miskin dan lingkungannya menjadi modal-modal ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk mengakses pangan sesuai norma gizi yang berlaku. Modal ekonomi di sini tentu saja tidak hanya dalam bentuk uang yang kasat mata namun juga mencakup modal-modal lain yang ada di dalam masyarakat yang dalam kondisi tertentu dapat dikonversi dalam bentuk uang (Bourdieu dalam Winter 2000). Keterbatasan modal berupa uang, modal alam, modal fisik, dan juga modal manusia yang dimiliki rumah tangga miskin khususnya dalam pemenuhan pangan rumah tangga dan pengoptimalan kualitas pengasuhan balita kiranya membutuhkan pendorong berupa sumberdaya yang dimiliki dari hubungan-hubungan sosial yang dimiliki anggota masyarakat, yang dikenal sebagai modal sosial.

Modal Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

(49)

Pertama, menggunakan pendekatan teori Marx dan Engels yang menghasilkan ”perspektif komunitarian”, yang mana asumsi dasar yang digunakan dalam perspektif ini adalah bahwa sistem sosial terikat dalam etika bounded solidarity yang merujuk pada adanya kondisi yang tidak memuaskan yang kemudian dapat berperan sebagai sumber keterikatan kelompok sosial, misalnya keterikatan solidaritas antara orang-orang yang terasing. Ideologi dasar yang mendasari pengertian modal sosial dengan ”perspektif komunitarian” adalah kolektivitas dengan basis modal sosial berupa aksi kolektivitas di dalam komunitas. Bentuk riil modal sosial dalam perspektif ini adalah kolektivitas yang terbangun dalam kegiatan gotong-royong, kolektivitas dalam lingkungan RT dan RW (Woolcock 1998; Dharmawan 20071).

Kedua, modal sosial didekati dengan teori pertukaran (exchange theory) yang dikembangkan oleh Georg Simmel yang menghasilkan ”perspektif jejaring dan pertukaran”. Dalam pendekatan ini, modal sosial mencakup adanya transaksi timbal balik (reciprocity transactions), norma-norma, dan kewajiban-kewajiban yang dipertukarkan dalam jaringan antar individu. Asumsi dasar yang digunakan dalam perspektif ini adalah bahwa sistem sosial terbentuk karena adanya perbedaan basis materiil, sehingga untuk mencapai kesejahteraan memerlukan adanya hubungan sosial yang melakukan pertukaran materiil yang berbeda tersebut. Sesuai dengan pendekatan teori ini, maka ideologi dasar pengertian modal sosial dalam kerangka ”perspektif jejaring dan pertukaran” adalah incentive behaviorisme yang dapat diartikan bahwa pertukaran yang terjadi dalam hubungan sosial didasari oleh perilaku untuk memperoleh sesuatu dengan basis modal sosialnya berupa material atau barang dan jasa yang dimiliki. Bentuk modal sosial menurut perspektif ini misalnya barang dan jasa yang dipertukarkan dalam hubungan saling membantu antar tetangga, termasuk juga kemitraan, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), bapak angkat, dan kontrak dagang (Woolcock 1998; Dharmawan 20071).

Ketiga, Portes dan Sensenbrenner mendefinisikan modal sosial dengan menggunakan pendekatan teori Emile Durkheim dan Talcott Parsons yang

1

(50)

melahirkan ”perspektif kelembagaan” dalam mendekati konsep modal sosial. Ide dasar dari perspektif ini adalah tentang pentingnya nilai, moral, dan komitmen dibandingkan hubungan yang berdasarkan kontrak dan lebih menginformasikan tujuan yang harus dicapai oleh individu daripada hal-hal yang memaksa dalam suatu hubungan sosial. Asumsi dasar yang digunakan dalam perspektif ini adalah bahwa sistem sosial dibangun dan dipelihara oleh pranata sosial sehingga membentuk struktur sosial yang mantap dengan ideologi dasar adalah institusionalisme. Basis modal sosial menurut perspektif ini adalah nilai dan norma dengan bentuk riil modal sosial misalnya pada institusionalisasi nilai dan norma oleh orang tua pada anaknya, sistem subak di Bali, dan sistem nagari di Minangkabau (Woolcock 1998; Dharmawan 20072).

Keempat, modal sosial didekati dengan ”perspektif sinergisme” yang lahir dari teori Max Weber dengan ide dalam teori tersebut tentang kepercayaan yang mampu membuat seseorang mau mematuhi hukum dan peraturan yang ada dan adanya kelembagaan-kelembagaan formal yang mampu meyakinkan kelompok-kelompok sosial sebagai bagian dari kelembagaan tersebut mematuhi hukum dan peraturan yang ada dengan mekanisme legal/rasional. Dalam perspektif ini, asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa sistem sosial dibangun oleh kerjasama dan pertukaran kekhasan yang memberikan manfaat bersama. Berdasarkan pendekatan Weber maka ”perspektif sinergisme” mendasarkan ideologinya pada utilitarianisme dengan basis modal sosial berupa norma, nilai, dan sebagian properti. Bentuk riil modal sosial menurut perspektif ini adalah norma, nilai, dan properti yang terbangun dalam hubungan asosiasi usaha, koperasi, dan Kelompok Usaha Bersama/KUBE (Woolcok 1998; Dharmawan 20073).

Keempat perspektif tentang modal sosial tersebut menunjukkan bahwa dalam menentukan keberadaan modal sosial di dalam suatu masyarakat dapat memunculkan hasil yang berbeda, tergantung perspektif apa yang digunakan. Keempat perspektif tersebut merupakan pendekatan teoritis yang dapat digunakan sebagai alat analisis tentang keberadaan modal sosial.

2

ibid 3

Gambar

Gambar 2    Sustainable Livelihoods Framework  dalam rangka pengentasan
Tabel 1. Kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai
Gambar 4  Kerangka pemikiran penelitian.
Tabel 3. Interpretasi status gizi balita dari indikator gabungan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah metode predictor- corrector, dimana kita pertama-tama memprediksikan solusi numerik dari suatu persamaan differensial

Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah-masalah tersebut diatas, perlu adanya perancangan proses fraksinasi Minyak Sereh Wangi dan isolasi Sitronelal yang tidak

Uji pengaruh suhu terhadap nilai swelling gel dilakukan untuk mengetahui kestabilan gel terhadap temperatur dengan variasi 30ºC, 40ºC dan 50ºC untuk mengetahui

Variabel gaya hidup tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku penukaran point reward kartu kredit, artinya bahwa konsumen yang bergaya hidup outdoor dan

Satuan peta lahan ini apabila digunakan untuk budidaya pertanian maka diperlukan tindakan konservasi tanah seperti pembuatan teras gulud atau teras gulud bersaluran, penanaman

Berdasarkan uraian dari berbagai teori dan hasil-hasil penelitian yang mendukung penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada interaksi antara model

The Government of the Democratic Republic of Timor-Leste has adopted, in the preparation and presentation of its financial statements, the Cash Basis of

2 Ada siswa menanyakan hal-hal yang belum dipahami namun kurang sesuai dengan materi yang dipelajari.. 1 Tidak ada siswa yang menanyakan hal-hal yang belum dipahami sesuai