• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman

1. Gambar dan Klasifikasi ikan belida (Notopterus chitala ) ... 41 2. Teknik pengambilan darah ikan belida ... 42 3. Bahan dan alat RIA ... 43 4. Cara kerja RIA ... 44 5. Pengambilan sampel telur dengan cara dibedah ... 46 6. Cara pembuatan pelet berhormon dan kolesterol ... 47 7. Teknik implantasi ikan belida ... 48 8. Kadar hormon testosteron (?g/ml), estradiol-17ß (?g/ml) rata-rata

dalam plasma darah, diameter telur (mm) dan indeks gonad somatik

(%) selama percobaan ... 49 9. Anova hubungan dosis dengan kadar testosteron dalam darah ... 50 10. Anova hubungan Dosis dengan kadar estradiol da lam darah ... 57 11. Model linear hubungan dosis implantasi dengan diameter telur ... 65 12. Anova dan analisis regresi hubungan IGS dengan dosis implantasi .... 67

Latar Belakang

Ikan Belida (Notopterus chitala) adalah ikan asli perairan Indonesia dengan penyebaran meliputi wilayah Sumatera, Kalimantan dan sebagian Jawa. Ikan belida merupakan salah satu jenis ikan ekonomis tinggi. Ikan belida di beberapa daerah dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi. Selain itu ikan ini juga bagus digunakan sebagai ikan hias, sehingga banyak diburu oleh masyarakat. Penangkapan yang tidak terkendali dan rusaknya habitat ikan belida, maka akhir-akhir ini populasinya di alam semakin menyusut. Bila hal ini terus dibiarkan maka populasinya akan semakin berkurang dan akhirnya akan punah.

Penelitian mengenai ikan belida sampai saat ini belum banyak dilakukan, sehingga informasi tentang ikan belida ini sangat minim. Informasi yang ada baru sebatas kehidupan ikan belida di alam, belum banyak yang mengarah pada pemeliharaan di dalam wadah budidaya apalagi tentang pembenihannya.

Untuk melindungi dari kepunahan, saat ini telah dirintis beberapa penelitian untuk menghasilkan benih ikan belida melalui kegiatan budidaya. Salah satu masalah dalam usaha pengembangan budidaya ikan ini adalah ketersediaan benih. Untuk itu

diperlukan penelitian yang mengarah kepada produksi benih agar bisa

membudidayakan ikan belida.

Perumusan Masalah

Perpindahan ikan dari habitat asli ke habitat yang baru menyebabkan

hilangnya beberapa sinyal lingkungan yang berhubungan dengan reproduksi,

sehingga kemungkinan tidak dapat bereproduksi secara alami di dalam sistem budidaya (Zairin, 2003). Kejadian tersebut kemungkinan karena tidak tersedia atau kurangnya hormon-hormon yang berperan dalam proses vitelogenesis dan pematangan gonad terutama hormon gonadotropin yang berperan dalam merangsang ovari untuk tumbuh dan berkembang.

2

Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses vitelogenesis terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal seperti suhu, cahaya, curah hujan merupakan faktor yang memberikan pengaruh dengan memberikan sinyal kepada ikan untuk proses vitelogenesis. Namun demikian sinyal ini kadang tidak tersedia sepanjang tahun. Sedangkan faktor internal seperti tersedianya hormon steroid gonad yaitu testosteron sebagai prekursor estradiol-17ß yang berperan dalam mensintesis dan mensekresikan vitelogenin.

Pada banyak kasus, sinyal lingkungan untuk proses pematangan gonad dan pemijahan tidak diketahui. Kalaupun diketahui, faktor lingkungan tersebut sukar ditiru atau mahal. Manipulasi hormonal berupa suntikan dan implantasi hormon, tidak lain adalah upaya potong kompas mengganti sinyal lingkungan. Pada spesies yang tidak memijah secara spontan di dalam wadah budidaya, manipulasi homonal mutlak diperlukan (Zairin, 2003).

Untuk mengatasi ketiadaan atau kurangnya hormon gonadotropin dan steroid gonad di dalam tubuh ikan, perlu dilakukan rekayasa hormonal dengan cara memasukan hormon dari luar tubuh ikan. Pemberian hormon 17a-metiltestosteron selain dapat meningkatkan konsentrasi testosteron gonad yang diaromatasi menjadi estradiol-17ß juga dapat memberikan "feedback" positif terhadap pituitari untuk mensekresikan hormon gonadotropin. Meningkatnya kadar estradiol-17ß di dalam darah akan merangsang hati mensintesis vitelogenin (Nagahama, 1987). Vitelogenin selanjutnya dilepas ke dalam darah dan kemudian secara selektif diambil dari plasma darah untuk pengisian oosit. Konsentrasi estradiol-17ß dalam plasma darah yang meningkat selama periode pertumbuhan oosit dapat digunakan sebagai indikator vitelogenesis (Fostier et al., 1983). Supriyadi (2005) menyatakan pemberian hormon metiltestosteron, HCG dan kombinasinya efektif meningkatkan konsentrasi estradiol-17ß plasma darah ikan baung dan mampu mempercepat proses pematangan gonad dalam waktu 56-98 hari. Sementara itu, penggunaan 17α-metiltestosteron pada dosis 50 hingga 100 µg/kg bobot ikan pada ikan jambal siam (Pangasius hypopthalmus) mempunyai kecenderungan lebih baik dari dosis lainnya dalam pengaruhnya terhadap gonad Sarwoto (2001).

LHRH dapat merangsang pelepasan hormon gonadotropin (LH). Breton et al.

(1997) melaporkan penyuntikan LHRH secara intravena pada ikan mas (Cyprinus

carpio) menyebabkan peningkatan tajam konsentrasi LH plasma dalam waktu dua sampai enam menit setelah penyuntikan.

Selama ini pemberian hormon dilakukan dengan cara melarutkan hormon dalam larutan salin kemudian disuntikan ke dalam tubuh ikan. Cara ini kurang efisien dalam menyediakan hormon dalam tubuh ikan dalam jangka waktu yang lama karena hormon yang disuntikan bersama larutan salin akan cepat hilang dari peredaran darah dan kenaikan konsentrasinya sangat cepat namun cepat pula hilangnya. Sehingga untuk mendapatkan hormon yang terus menerus, diperlukan penyuntikan yang berulang, namun hal ini dapat menyebabkan stres pada ikan. Untuk menghindari stres yang berkelanjutan akibat penyuntikan yang berulang serta menyediakan hormon yang berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang maka digunakan media implantasi dengan pelet pembawa hormon dengan bahan kolesterol dan "cocoa butter": (Lee et al., 1986). Dengan sistem implantasi pelet berhormon mudah dibuat dan dengan menggunakan peralatan sederhana. Selain perkembangan awal gonad yang dirangsang dengan hormon, dalam pemeliharaan perlu diupayakan keadaan yang optimal baik dalam pemberian pakan, lingkungan tempat hidup ikan (kualitas air).

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis yang efektif dalam penggunaan hormon 17a-metiltestosteron dan LHRH-a terhadap kematangan gonad ikan belida sampai siap memijah.

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang perkembangan dan pamatangan gonad sampai siap memijah dalam usaha pembenihan ikan belida.

Hipotesis

Jika pemberian hormon 17a-metiltestosteron dan LHRH-a efektif meningkatkan kadar estradiol-17ß darah maka proses vitelogenesis meningkat secara

4

berkelanjutan sehingga dapat mempercepat proses pertumbuhan dan pematangan gonad.

Perkembangan Gonad

Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah, kemudian akan menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai selesai. Umumnya peningkatan bobot gonad ikan betina pada saat matang gonad dapat mencapai 10-25% dari bobot tubuh dan 5–10% pada ikan jantan. Semakin besar tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad semakin membesar (Effendie, 1997).

Perkembangan gonad ikan dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu

pertumbuhan gonad ikan sampai menjadi dewasa kelamin “sexually mature” dan

selanjutnya adalah pematangan gamet. Tahap pertama berlangsung mulai larva hingga mencapai dewasa kelamin dan tahap kedua dimulai setelah ikan mencapai dewasa, kemudian terus berkembang selama fungsi reproduksi berjalan normal Lagler et al. (1997); Harvey dan Carolsfeld (1993). Kematangan gonad pada ikan tertentu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang berpengaruh adalah suhu, arus, adanya lawan jenis dan lain- lain. Faktor dalam antara lain adalah perbedaan spesies, umur, serta sifat-sifat fisiologis lainnya Lagler

et al., (1997). Ikan belida (N notopterus) di Thailand pertama kali matang kelamin pada ukuran 20 cm. Ikan N chitala matang kelamin pada berat 4 kg (Ondara & Dharyani, 1995). Ikan belida berkembang biak secara alami di perairan umum pada awal musim penghujan. Telur-telur diletakan pada tonggak pada kedalaman 1-2 m (Widyastuti, 1993). Jumlah telur yang dikeluarkan untuk satu kali pemijahan berkisar antara 5000–10.000 butir. Masa pengeraman sebelum menetas 5–6 hari pada suhu 33 °C (Ondara dan Dharyani, 1995). Ikan belida di India dan Thailand, jantan menjaga telur dan betina diperkirakan memijah tiga kali dalam musim- musim April-Juli, menghasilkan 10.000 butir telur (Lowe-McConnel, 1975 dalam Madang, 1999).

6

Perkembangan gonad ikan (ovarium), dapat dievaluasi berdasarkan atas pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengelompokan berdasarkan morfologi telah dilaporkan oleh Cassie dalam Efendie, 1985 seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria penilaian kematangan gonad ikan (Cassie dalam Effendie, 1985)

TKG Ovari Testis

I Ovari kecil memanjang seperti

benang, warna jernih dan permukaan licin

Testis kecil memanjang warna jernih

II Ukuran ovari lebih besar, warna

lebih gelap, kekuningan. Telur belum terlihat dengan mata telanjang

Ukuran testis jauh lebih besar, warna putih seperti susu, bentuk lebih jelas daripada tingkat satu

III Ovari berwarna kuning, butir-butir

telur mulai kelihatan dengan mata telanjang

Permukaan testis bagian ventral tampak berlekuk, warna semakin putih dan ukuran semakin besar.

IV Butir-butir telur besar berwarna

kuning, mengisi setengah sampai duapertiga bagian rongga perut.

Seperti pada tingkat tiga tampak lebih jelas. Testis semakin pejal.

V Ovari berkerut, dinding tebal, butir

telur sisa terdapat didekat pelepasan. Banyak telur seperti pada tingkat II

Testis bagian belakang kosong dan dibagian dekat pelepasan masih berisi sperma

Pada tahap perkembangan awal oogonia terlihat sangat kecil, berbentuk bulat dengan inti sel yang sangat besar dibandingkan dengan sitoplasmanya. Oogonia terlihat bekelompok, tapi kadang-kadang ada juga yang berbentuk tunggal. Sementara itu oogonia terus memperbanyak diri dengan cara mitosis. Pada ikan yang mempunyai siklus reproduksi tahunan atau tengah tahunan akan terlihat adanya puncak-puncak pembelahan oogonia. Pada ikan yang berpijah sepanjang tahun, perbanyakan oogonia akan terjadi teus menerus sepanjang tahun. Transformasi oogonia menjadi oosit primer pada tahap pertumbuhan kedua dikenal dengan munculnya kromosom. Segera setelah itu folikel berubah bentuk dari semula berbentuk skuamosa menjadi bentuk kapsul oosit. Inti sel terletak pada bagian sentral dibungkus oleh lapisan sitoplasma yang sangat tipis. Pada perkembangan selanjutnya oosit membentuk lapisan chorion, granulosa, membran dan teka. Oosit dike lilingi oleh lapisan sel-sel folikel yang membentuk dua lapisan yaitu lapisan granulosa di

sebelah dalam yang menempel dengan oosit dan lapisan teka di sebelah luarnya. Juga butir-butir lemak mulai terlihat ditumpuk pada sitoplasma dan bersama dengan itu muncul alveoli codical. Butir-butir lemak ini selanjutnya akan bertambah besar pada proses vitelogenesis yang diawali dengan pembentukan vakuola-vakuola kemudian diikuti dengan munculnua globul- globul kuning telur karena adanya rangsangan vitelogenin dan hati (Hoar & Nagahama 1978; Ernawati 1999).

Menurut Mommsen & Walsh (1988) pembentukan vitelogenin di hati terjadi pada bagian retikulum endoplasma, dikumpulkan pada aparatus golgi dan disekresikan ke dalam aliran darah. Selanjutnya akan terikat dengan protein reseptor spesifik yang terdapat pada membran oosit kemudian diserap melalui mikropinosis dan dipindahkan ke microvesicular body. Sebelum penimbunan akhir dalam kuning telur vitelogenin dipecah menjadi omponen-komponen lipovitelin dan phosvitin (Gambar 1.). Proses pembentukan vitelogenin ini terus berlangsung di dalam tubuh ikan yang dinamakan proses vitelogenesis (Nagahama 1987; Yaron 1995; Cerda et al. 1996). Selama terjadinya proses ini menyebabkan meningkatnya volume granula kuning telur yang sekaligus menyebabkan meningkatnya ukuran oosit serta nilai

indeks gonado somatik (IGS) dan indeks hepatosomaik (IHS) ikan (Cerda et al.

1996).

Prosentase komposisi tingkat kematangan pada setiap saat dapat dipakai untuk menduga terjadinya pemijahan. Ikan yang mempunyai satu musim pemijahan yang pendek dalam satu tahun atau saat pemijahannya panjang, akan ditandai dengan peningkatan prosentase tingkat kematangan gonad yang tinggi pada setiap akan mendekati musim pemijahan. Bagi ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun, pada pengambilan contoh setiap saat akan didapatkan komposisi tingkat kematangan gonad terdiri dari berbagai tingkat dengan prosentase yang tidak sama. Prosentase tinggi dari tingkat kematangan gonad yang besar merupakan puncak pemijahan walaupun pemijahan sepanjang tahun. Jadi dari komposisi tingkat kematangan gonad ini dapat diperoleh keterangan waktu mulai dan berakhirnya kejadian pemijahan dengan puncaknya (Efendie, 2002).

8

Gambar 1. Sistem umpan balik antara oosit dan hati dalam proses vitelogenesis (Mommsen & Walsh 1988)

Peran Hormon dalam Reproduksi Ikan

Seperti pada hewan bertulang belakang lain, proses reproduksi pada ikan dikontrol oleh ritme biologi dalam seperti isyarat lingkungan (Munro, 1990 dalam Patino, 1997). Isyarat lingkungan penting untuk terjadinya reproduksi sebagai faktor penentu (kualitas air, ketersediaan pakan, pemangsaan), di dalam konteks evolusi, sudah ditentukan ketika dan di mana pemijahan terjadi, dan isyarat penyelaras (potoperiod dan temperature dan perubahan langsung, keberadaan tempat pemijahan, peromon) .

Sistem reproduksi ikan betina dikontrol oleh poros hipothalamus–pituitari– gonad. Sebagai respon terhadap perubahan lingkungan, hipothalamus melepaskan GnRH yang merangsang sekresi gonadotropin oleh kelenjar pituitari menuju organ sasaran yaitu gonad. Dibawah pengaruh gonadotropin folikel ovari memproduksi androgen terutama testosteron yang selanjutnya diubah menjadi estradiol-17β dengan

bantuan enzim aromatase. Hormon estradiol-17β kemudian merangsang proses

vitelogenesis. Menurut Tyleret al. (1991) vitelogenesis adalah proses induksi dan sintesis vitelogenin di hati sebagai respon dari hormon estradiol-17β dan selanjutnya

OOSIT DARAH HATI

Reseptor Nukleus Vitelogenin mRNA Estrogen(E) Reseptor Vitelogenin Reseptor vitelogenin Sel Folikel Yolk Phosvitin Lipovitelin Vitelogenin Aparatus golgi DNA E – R- Complex Microvesicular Body

43

Lampiran 4. Cara kerja RIA

Prosedur pengukuran konsentrasi hormo n estradiol 17ß dan testosteron plasma berdasarkan manual dari Diagnostic Product Corporation (DPC).

1. Persiapan zat-zat pereaksi atau reagens :

a. Estradiol mempunyai tendensi kuatmenyerap permukaan wadah plastik yang

tidak diberi perlakuan. Oleh sebab itu penggunaan wadah atau penutup yang terbuat dari bahan platik haru dihindari.

b. Tabung estradiol dan testosteron total yang sudh dilapisi antibodi, disimpan dalam refrigerator dn jauh dari tempat lembab atau berair. Bila sgelnya sudah dibuka, tabung dapat disimpan pada suhu 2 – 8 °C sampai waktu kadaluwarsa yang tertera pada kantung pembungkusnya.

c. Botol yang berisi105 ml estradiol 125I atau testosteron total yang sudah teriodisasi dalam bentuk cair, disimpan dalam refrigerator pada suhu 2 – 8 °C untuk 30 hari setelah segel dibuka atau sampai waktu kadaluwarsa yang tertera pada vial.

d. Kalibrator estradiol dan testosteron total terdiri dari tujuh kalibrator yaitu tabung A (kalibrator nol, 0 ?g/ml) berisi 5 ml dan sisanya tabung B (20 ?g/ml), C (50 ?g/ml), D (150 ?g/ml), E (500 ?g/ml), F (1800 ?g/ml) dan G (3600 ?g/ml) berisi masing-masing 2 ml. Tabung-tabung yang sudah dibuka segelnya disimpan dalam refrigerator pada suhu 2 – 8 °C maksimal 30 hari setelah dibuka. Untuk penyimpanan lebih lama 9sampai 6 bulan), tabung dapat disimpan dalam feezer bersuhu minus 20 °C.

e. Persiapan tabung reaksi di dalam rak dan masukan ke dalamnya unsur-unsur

antibodi (Ab), antigen radioaktif (Ag*), sampel plasma atau standar: Untuk analisis Estradiol 17 da testosteron

a. Label 4 tabung polipropilen polos (plain tube), untuk jumlah total binding dan (NSB, son spesifik binding) ukuran 12 x 5 mm dalam duplo.

b. Label 14 tabung kalibrator sudah dilapisi antibodi estradiol masing-masing taung A untuk ikatan maksimum (konsentrasi 0 ?g/ml), B (20 ?g/ml), C (50

45

?g/ml), D (150 ?g/ml), E (500 ?g/ml), F (1800 ?g/ml) dan G (3600 ?g/ml) dalam duplo.

c. Label tabung tambahan yang sudah dilapisi antiobodi estradiol atau

testosteron dalam duplo untuk smpel plasma standar.

d. Pipet 100 µl kalibrator nl A untuk analisis estradiol ke dalam tabung NSB dan tabung A, dan 100 µl kalibrator B, C, D, E, F, dan G (untuk analisis estradiol) ke dalam tabung yang sudah dilabel.

e. Pipet 100 µl iap-tiap sampel plasma (untuk analisis estradiol) ke dalam tabung yang sudah disiapkan. Pipet diletakkan langsung sampai dasar tabung.

f. Tambahkan 1 ml total estradiol 125I ke setiap tabung dan diaduk selama 10 menit.

g. Inkubasikan selama 3 jam pada suhu ruangan.

h. Ikatan Ag*-Ab dari Ag8 bebas dipisah dengan metode penuangan.

2. Perhitungan hasil ; konsentrasi estradiol tau testosteron total dihitung berdasrkan kurva kalibrasi logit-log dengan menentukan ;

a. jumlah rata-rata ikatan per menit untuk setiap pasang tabung NSB dengan

rumus :

Jumlah bersih = CPM (countper menit) – rata-rata NSB CPM

b. Menetukan ikatan setiap pasangan tabung sebagai persen ikatan maksimum

(MB), dengan jumlah NSB tabung A sebagai 00%.

Dengan kertas gambar logit-log, plot sumbu vertikal (sumbu y) untuk konsentrasi hormon dan sumbu horizontal (sumbu x) untuk setiap kalibrator B sampai G dan Gambar garis lurus mendekati bagian titik tersebut. Konsentrasi estradiol atau testosteron total untuk sampel kemudian diperkirakan dari garis dengan interpolasi.

47

Lampiran 6. Cara pembuatan pelet berhormon dan kolesterol (Cholik et al 1990). 1. Ambil sedikit cocoa butter (6 tetes) dalam test tube, masukan dalam beaker

glass 50 ml yang berisi air dan panaskan dengan alat pemanas.

2. Timbang sejumlah 190 mg cholesterol powdr masukan dalam mortal.

3. Dengan pipet ependorof ambil 0,2 ml larutan alkohol dan campur dengan

hormon 17a - metiltestosteron, masukan dalm mortal berisi kolesterol, larutkan dan lumatkan.

4. Inkubasikan selama satu jam atau lebih pada suhu 37 °C.

5. Dengan sendok logam (spatula) keruk campuran tersebut dan satukan.

6. Tambahkan satu tetes cocoa butter dan aduk berkali-kali hingga homogen.

7. Diamkan satu malam (24 jam) dalam refrigerator.

8. Cetak dengan alat yang sudah dibuat dan pres dengan paku dan pukul hingga

padat betul.

9. Berdasarkan pengalaman dari satu resep dapat dibuat pelet ukura diameter 1 mm dan panjng 3 mm sebanyak 29 pelet.

49

Lampiran 8. Kadar hormon testosteron (?g/ml), estradiol (?g/ml) rata-rata dalam plasma darah, diameter telur (mm) dan indeks gonad somatik (%) selama percobaan.

Kadar testosteron (?g/ml) dalam darah Hari ke

Implantasi testosteron µg/kg 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 0 0,560 0,750 0,850 0,550 0,380 0,225 0,115 0,140 0,375 0,240 0,160 0,185 0,205 50 0,970 1,355 1,250 1,405 0,500 0,375 0,115 0,275 0,320 0,465 0,180 0,360 0,465 100 0,180 0,260 0,385 0,420 0,450 0,190 0,215 0,405 0,210 0,240 0,140 0,345 0,405 150 0,665 1,830 1,715 1,840 1,355 0,280 0,785 0,405 0,200 0,725 0,385 0,240 0,395

Kadar estradiol ?g/ml Hari ke

Implantasi testosteron µ g/kg 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 0 17736,0 698,0 650,0 560,0 310,5 133,0 201,0 220,0 135,5 344,5 152,5 111,0 176,0 50 399,0 372,0 898,0 35,0 411,0 93,5 464,0 304,0 183,5 72,0 168,5 50,7 115,5 100 289,0 163,5 133,0 214,0 222,0 145,0 586,0 166,0 117,5 311,5 174,0 188,0 112,5 150 10624,0 2731,0 1047,0 176,0 525,0 324,5 750,0 550,0 256,5 407,5 23,0 127,0 289,0 Hari ke Implantasi testosteron µg/kg 0 60 120 0 0,83 0,36 50 0,50 0,44 100 0,81 0,57 150 0,63 0,63 0,68 IGS hari ke Implantasi testosteron µ g/kg 0 60 120 0 1.37 0.65 50 0,68 0.95 100 1,28 1.03 150 0,99 1,01 1.61

Lampiran 9. Anova hubungan Dosis dengan kadar testosteron dalam darah

General Linear Model: Testosteron Hari ke 0 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari ke 0, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 0.6379 0.6379 0.2126 1.48 0.347 Error 4 0.5753 0.5753 0.1438

Total 7 1.2132

S = 0.379226 R-Sq = 52.58% R-Sq(adj) = 17.02%

General Linear Model: Testosteron Hari ke10 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari ke10, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 2.8310 2.8310 0.9437 2.20 0.231 Error 4 1.7155 1.7155 0.4289

Total 7 4.5465

S = 0.654876 R-Sq = 62.27% R-Sq(adj) = 33.97%

General Linear Model: Testosteron Hari ke 20 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari ke 20, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 1.9289 1.9289 0.6430 2.54 0.195 Error 4 1.0131 1.0131 0.2533

Total 7 2.9420

51

General Linear Model: Hari ke 30 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari ke 30, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 2.7939 2.7939 0.9313 3.73 0.118 Error 4 0.9979 0.9979 0.2495

Total 7 3.7918

S = 0.499462 R-Sq = 73.68% R-Sq(adj) = 53.95%

General Linear Model: Testosteron Hari ke 40 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari ke 40, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 1.2612 1.2612 0.4204 3.92 0.110 Error 4 0.4287 0.4287 0.1072

Total 7 1.6899

S = 0.327357 R-Sq = 74.63% R-Sq(adj) = 55.61%

General Linear Model: Testosteron Hari ke 50 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari ke 50, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 0.03905 0.03905 0.01302 0.51 0.698 Error 4 0.10250 0.10250 0.02563

Total 7 0.14155

General Linear Model: Testosteron Hari 60 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari 60, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 0.62135 0.62135 0.20712 51.14 0.001 Error 4 0.01620 0.01620 0.00405

Total 7 0.63755

S = 0.0636396 R-Sq = 97.46% R-Sq(adj) = 95.55%

Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable Hari 60

All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from:

Dosis Lower Center Upper ---+---+---+--- 50 -0.2592 -0.000000 0.2592 ( ---*---)

100 -0.1592 0.100000 0.3592 (---* ---)

150 0.4108 0.670000 0.9292 (---*---) ---+---+---+--- 0.00 0.35 0.70

Dosis = 50 subtracted from:

Dosis Lower Center Upper ---+---+---+--- 100 -0.1592 0.1000 0.3592 (---*---)

150 0.4108 0.6700 0.9292 (---*---) ---+---+---+--- 0.00 0.35 0.70

Dosis = 100 subtracted from:

Dosis Lower Center Upper ---+---+---+--- 150 0.3108 0.5700 0.8292 (---*---) ---+---+---+--- 0.00 0.35 0.70

Tukey Simultaneous Tests Response Variable Hari 60

All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from:

Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value 50 -0.000000 0.06364 -0.0000 1.0000 100 0.100000 0.06364 1.5713 0.4815 150 0.670000 0.06364 10.5280 0.0016 Dosis = 50 subtracted from:

53

Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value 100 0.1000 0.06364 1.571 0.4815 150 0.6700 0.06364 10.528 0.0016 Dosis = 100 subtracted from:

Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value 150 0.5700 0.06364 8.957 0.0030

General Linear Model: Testosteron Hari ke 70 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari ke 70, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 0.11705 0.11705 0.03902 0.47 0.717 Error 4 0.32950 0.32950 0.08238

Total 7 0.44655

S = 0.287010 R-Sq = 26.21% R-Sq(adj) = 0.00%

General Linear Model: Testosteron Hari ke 80 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari ke 80, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 0.04374 0.04374 0.01458 0.34 0.802 Error 4 0.17385 0.17385 0.04346

Total 7 0.21759

S = 0.208477 R-Sq = 20.10% R-Sq(adj) = 0.00%

General Linear Model: Testosteron Hari ke 90 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari ke 90, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 0.31965 0.31965 0.10655 9.29 0.028 Error 4 0.04590 0.04590 0.01148

S = 0.107121 R-Sq = 87.44% R-Sq(adj) = 78.03% Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable Hari ke 90

All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from:

Dosis Lower Center Upper ---+---+---+---+--- 50 -0.2113 0.225000 0.6613 (---*---)

100 -0.4363 -0.000000 0.4363 ( ---*---)

150 0.0487 0.485000 0.9213 (---*---) ---+---+---+---+--- - 0.50 0.00 0.50 1.00

Dosis = 50 subtracted from:

Dosis Lower Center Upper ---+---+---+---+--- 100 -0.6613 -0.2250 0.2113 (--- *---)

150 -0.1763 0.2600 0.6963 (--- *---)

---+---+---+---+--- -0.50 0.00 0.50 1.00

Dosis = 100 subtracted from:

Dosis Lower Center Upper ---+ ---+ ---+---+--- 150 0.04870 0.4850 0.9213 (---*---) ---+ ---+ ---+---+--- -0.50 0.00 0.50 1.00

Tukey Simultaneous Tests Response Variable Hari ke 90

All Pairwise Comparisons among Levels of Dosis Dosis = 0 subtracted from:

Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value 50 0.225000 0.1071 2.10042 0.2922 100 -0.000000 0.1071 -0.00000 1.0000 150 0.485000 0.1071 4.52757 0.0353

Dosis = 50 subtracted from:

Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value 100 -0.2250 0.1071 -2.100 0.2922 150 0.2600 0.1071 2.427 0.2132

Dosis = 100 subtracted from:

Difference SE of Adjusted Dosis of Means Difference T-Value P-Value 150 0.4850 0.1071 4.528 0.0353

55

General Linear Model: Testosteron Hari ke 100 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari k e 100, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 0.07754 0.07754 0.02585 0.51 0.699 Error 4 0.20445 0.20445 0.05111

Total 7 0.28199

S = 0.226081 R-Sq = 27.50% R-Sq(adj) = 0.00%

General Linear Model: Testosteron Hari ke 110 versus Dosis

Factor Type Levels Values

Dosis fixed 4 0, 50, 100, 150

Analysis of Variance for Hari ke 110, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Dosis 3 0.04245 0.04245 0.01415 0.63 0.631 Error 4 0.08930 0.08930 0.02233

Total 7 0.13175

S = 0.149416 R-Sq = 32.22% R-Sq(adj) = 0.00%

General Linear Model: Testosteron Hari ke 120 versus Dosis

Dokumen terkait