• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Studi Sains Veteriner

DAFTAR LAMPIRAN Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Analisis ragam bobot realif bursa Fabricius, timus, dan limpa 20 hari p.i ………. Analisis ragam bobot realif bursa Fabricius, timus, dan limpa 40 hari p.i ... ………. Analisis ragam diameter folikel bursa Fabricius 20 hari p.i …. Analisis ragam diameter folikel bursa Fabricius 40 hari p.i …. Analisis ragam reaksi positif iNOS 20 hari p.i ……… Analisis ragam titer antibodi terhadap MDV……… Analisis ragam sel darah putih dan presentase limfosit pada 20 p.i……….. Analisis ragam sel darah putih dan presentase limfosit pada 40 ……….. Analisis ragam jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada 20 p.i. ………. Analisis ragam jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada 40 p.i ... 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Neoplasma atau tumor adalah transformasi sejumlah gen yang menyebabkan gen tersebut mengalami mutasi. Gen yang mengalami mutasi disebut proto-onkogen dan gen supresor tumor, yang dapat menimbulkan abnormalitas pada sel somatik. Usia sel normal ada batasnya, sementara sel tumor tidak mengalami kematian sehingga multiplikasi dan pertumbuhan sel berlangsung tanpa kendali. Sel neoplasma mengalami perubahan morfologi, fungsi, dan siklus pertumbuhan, yang akhirnya menimbulkan disintegrasi dan hilangnya komunikasi antarsel. Tumor diklasifikasikan sebagai benigna, yaitu kejadian neoplasma yang bersifat jinak dan tidak menyebar ke jaringan di sekitarnya. Sebaliknya, maligna disinonimkan sebagai tumor yang melakukan metastasis, yaitu menyebar dan menyerang jaringan lain.

Kanker adalah penyakit kompleks pada sejumlah besar gen seluler yang telah mengalami perkembangan malignansi. Gen tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai onkogen dan gen supresor tumor. Onkogen dikategorikan sebagai kanker yang disebabkan oleh virus yang terbagi dalam dua grup, yaitu virus tumor DNA dan virus tumor yang mengandung RNA yang disebut juga retrovirus (Benchimol dan Minden 1998). Virusherpes sangat tumorogenik pada hewan yang pada mulanya berada pada episom sel dan tidak terintegrasi pada genom inang. Pada kejadian penyakit tumor biasanya tidak ditemukan adanya virus di dalam sel, dan DNA virus herpes hanya sedikit berada sebagai herpes yang melakukan transformasi pada sel. Hal ini dinyatakan sebagai mekanisme hit and run pada onkogenesis sehingga menyebabkan kerusakan khromosom atau kerusakan lain (Hunt 2003). Herpes virus onkogenik termasuk virus DNA yang menyebabkan penyakit Marek pada ayam, virus herpes karsinoma pada katak, virus herpes

saimiri pada primata selain manusia, virus Epstein Bar (limfosarkoma) pada manusia, virus herpes 6 pada yang berasosiasi dengan human Kaposi’s sarcoma (Cheville 1999).

Marek’s disease (MD) herpesvirus (MDV) pada unggas diketahui sebagai virus onkogenik alami yang menyebabkan limfoma pada sel T. Identifikasi sel yang mengalami transformasi pada MD memberi kesempatan secara menyeluruh untuk menjelaskan patogenesis MD dan tingginya nilai

kegunaan MD sebagai model pada penelitian onkologi virus herpes (Burges dan Davison 2002). Infeksi MDV pada ayam dapat dijadikan sebagai model infeksi virusherpes onkogen untuk hewan lain.

Periode infeksi MDV meliputi tiga bentuk, yaitu infeksi akut (produktif) yang menimbulkan lisis sel limfosit B dan limfosit T, infeksi laten yang bersifat nonproduktif, dan infeksi transforming, yaitu transformasi gen pada limfosit T. Pada infeksi produktif terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein yang menghasilkan partikel virus secara lengkap. Virus menginfeksi, merusak, dan membunuh limfosit B maupun limfosit T. Selama infeksi terjadi sitolisis sehingga pada puncak replikasi virus terjadi imunosupresi dan peningkatan sensitivitas inang pada infeksi bersamaan dengan penurunan bobot relatif bursa Fabricius dan timus (Payne dan Venugopal 2000, Islam et al. 2002).

Pada infeksi laten tidak terjadi replikasi DNA, transkripsi, maupun sintesis protein. Kejadian ini dialami pada infeksi MDV serotipe 2 dan 3 nononkogen. Sel T yang terinfeksi bisa berubah menjadi infeksi laten atau bisa merespons onkogenesitas gen virus yang mengalami transformasi. Infeksi

transforming hanya terjadi pada sel yang terinfeksi oleh MDV serotipe 1. Beberapa subset limfosit T, yaitu CD4 dan CD8 merupakan target transformasi karena bagian tersebut berperan sebagai tempat perlekatan awal infeksi sitolisis (Calnek et al. 1998, Payne dan Venugopal 2000).

Virus penyebab tumor disebut virus onkogen dan gen yang ada pada virus disebut viral oncogen (V-onc) yang homolog dengan sekuen DNA pada gen seluler inang, yaitu protooncogen (C-onc) yang dapat berinteraksi dengan gen virus. Terjadinya transformasi pada gen seluler inang oleh gen virus bergantung pada resistensi seluler inang, virulensi virus penyebab, dan kehadiran substansi kimia penyebab tumor, yaitu bahan karsinogen yang menginduksi terjadinya mutasi.

Ayam dalam kondisi normal memproduksi radikal bebas (prooksidan) sebagai proses fisiologis yang seimbang dengan antioksidan endogen yang tersedia. Infeksi MDV pada ayam diawali sitolisis pada limfosit B dan limfosit T, ayam memberikan respons imun yang didahului oleh respons imun nonspesifik, yaitu fagositosis oleh makrofag dan neutrofil yang menghasilkan bahan penghancur mikroorganisme patogen berupa peningkatan produksi radikal bebas yang memiliki efek samping, yaitu kerusakan molekul-molekul pada sel sehingga menimbulkan sitolisis termasuk pada limfosit B dan limfosit T.

3

Radikal bebas merupakan bahan karsinogen yang menimbulkan mutasi gen sehingga dapat menginduksi terjadinya kanker.

Tekanan oksidatif diinduksi secara luas oleh faktor lingkungan termasuk sinar ultraviolet, serangan patogen, reaksi hipersensitif, kerja herbisida, dan kekurangan oksigen. Spesies oksigen reaktif (ROS), hidrogen peroksida (H2O2), dan superoksida (O2-) dihasilkan oleh sejumlah reaksi seluler yang dikatalisis oleh besi (Fe-2) dan reaksi enzimatik seperti lipooksigenase, peroksidase, NADPH oksidase, dan santin oksidase. Sejumlah komponen seluler yang peka terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas adalah lipid, yaitu peroksidasi pada asam lemak tidak jenuh pada membran, denaturasi protein dan asam nukleat. Pembentukan ROS dapat dicegah oleh antioksidan. Pada tanaman beberapa senyawa fenolik merupakan antioksidan potensial: flavonoid, tanin, dan lignin merupakan prekursor yang bekerja pada penangkapan senyawa ROS (Blokhina et al. 2003).

Mekanisme penyerangan oleh radikal bebas termasuk ROS menginduksi peroksidasi pada asam lemak yang memiliki beberapa ikatan rangkap pada membran sel lipid bilayer yang menyebabkan reaksi berantai peroksidasi lipida sehingga terjadi kerusakan pada membran sel, oksidasi pada lipida membran dan protein, yang menyebabkan kerusakan pada bagian- bagian dari sel termasuk DNA (Miller 1996). Pada saat ini penggunaan antioksidan sintetik seperti Torlok C, Prowl galat, dan mono-tertiery-butyl- hidroquinone (TBHQ) sedang mendapat perhatian karena mempunyai efek mengurangi kerusakan oksidatif, namun mempunyai aktivitas yang dapat merugikan konsumen, antara lain gangguan fungsi hati, paru-paru, mukosa usus, dan keracunan. Untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya dipilih memanfaatkan antoksidan alami (Manampiring et al. 2001).

Sejumlah komponen seluler yang sensitif terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas adalah peroksidasi asam lemak tidak jenuh pada biomembran, denaturasi protein, karbohidrat, dan asam nukleat. Pada tumbuhan beberapa senyawa fenolat yang merupakan antioksidan kuat, yaitu flavonoid, tanin, dan lignin yang berfungsi sebagai prekursor menangkap (scavenger) senyawa radikal oksigen (ROS). Antioksidan bekerja secara bersama-sama dan berurutan pada reaksi redoks (Blokhina et al. 2003). Flavonoid telah menunjukkan perannya sebagai antioksidan, antimutagenik, antineoplastik, dan vasodilatator. Potensi antioksidan flavonoid pada kerusakan

oksidatif yang ditimbulkan oleh semua proses penyakit menyebabkan flavonoid layak digunakan untuk pengendalian sejumlah penyakit (Miller 1996).

Daun dan batang benalu teh mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, terpenoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin (Nugroho et al. 2000, Santoso 2001, Tambunan et al. 2003). Benalu teh secara tradisional digunakan untuk penyembuhan berbagai penyakit diare, kanker, dan amandel. Beberapa publikasi penelitian telah melaporkan bahwa benalu teh mempunyai efek sebagai antidiare (Saroni et al. 1998), antioksidan (Leswara dan Kartin 1998, Santoso 2001, Susmandiri 2002, Simanjuntak et al. 2004), perbaikan sistem imun (Winarno et al. 2000), dan hambatan pertumbuhan sel tumor (Nugroho et al. 2000, Murwani 2003, Winarno 2003).

Sel WEHI-164 diketahui sensitif terhadap Tumour Necrosis Factor-α

(TNF-α) dan telah digunakan sebagai model dalam penelitian. Hasil pengujian menunjukkan bahwa baik ekstrak batang maupun daun Scurrula oortiana

mampu meningkatkan sensitivitas atau suseptibilitas pada sel WEHI-164 pada TNF-α, peningkatan sensitivitas lebih dari 160 kali dibanding dengan sel kontrol tanpa perlakuan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air S. oortiana

secara nyata sitotoksik pada sel tumor WEHI-164 dan meningkatnya sensitivitas sel tumor pada TNF-α sehingga mengalami lisis (Murwani 2003).

Kerangka Pemikiran

Rebusan benalu teh sudah dikenal oleh masayarakat sebagai obat kanker tetapi belum diketahui bagaimana mekanismenya. Karena itu perlu dilakukan studi yang terukur yang dapat mengungkapkan mekanisme antikanker dari benalu teh, seperti yang diuraikan pada penelitian ini.

Pertimbangan tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang potensi antioksidan dari ekstrak S. oortiana yang memiliki kemampuan sebagai imunomodulator dan mengurangi risiko tumor pada infeksi virusherpes onkogenik. Marek’s disease virus (MDV) menyebabkan infeksi akut produktif yang mampu memperbanyak diri dan menimbulkan sitolisis pada limfosit B maupun limfosit T sehingga menimbulkan imunosupresi yang ditandai dengan menurunnya bobot relatif organ bursa fabricius dan timus, rendahnya titer antibodi, dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Pada MDV onkogen infeksi berlanjut pada mutasi gen sehingga terjadi transformasi limfosit T baik

5

pada subset CD4 maupun CD8 yang menyebabkan kanker limfosit yang disebut limfoma.

Potensi antioksidan benalu teh diharapkan mampu berperan sebagai penghambat oksidasi radikal bebas sehingga mengurangi kerusakan sel-sel pada sistem imun. Potensi antioksidan dalam mengurangi risiko kanker dengan cara menghambat induksi mutasi gen oleh kelebihan produksi radikal bebas akibat infeksi. Pensghambatan induksi mutasi oleh radikal bebas diharapkan dapat mengurangi mutasi yang disebabkan oleh MDV onkogen. Secara ringkas keseluruhan latar belakang di atas dituangkan pada Gambar 1.

Keterkaitan MDV, ayam sebagai inang, dan ekstrak benalu teh sebagai antioksidan eksogen

Kondisi ayam normal Kondisi ayam terinfeksi MDV

1 1

Keseimbangan produk Produk radikal bebas radikal bebas dengan produk meningkat dan terjadi antioksidan internal kerusakan seluler

3 2 2

Peningkatan Antioksidan Menimbulkan sitolisis, Imunitas akibat ekstrak imunosupresi, dan imunomodulasi benalu teh transformasi sel.

3 4 Imunomodulasi, imunostimulasi, risiko kanker berkurang

Gambar 1 Hubungan keterkaitan MDV, ayam sebagai inang, dan eksktrak benalu teh sebagai antioksidan eksogen

Ekstrak benalu teh (Scurrula oortiana) diberikan secara oral, dan bertujuan untuk meningkatkan imunitas tubuh serta mengurangi risiko kanker pada ayam ras petelur betina yang diuji tantang dengan MDV. Ayam yang terinfeksi MDV memberikan respons imun nonspesifik berupa radikal bebas yang merusak sel-sel yang termasuk sel-sel limfosit sehingga menimbulkan sitolisis dan dapat menginduksi kejadian mutasi gen sebagai penyebab awal kejadian kanker. Peningkatan produksi radikal bebas memerlukan peningkatan antioksidan yang disuplai dari luar tubuh, yang disebut antioksidan eksogen. Benalu teh mengandung flavonoid, terpenoid, yang memiliki potensi sebagai antioksidan eksogen yang dapat dijadikan sebagai suplai antioksidan.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh ekstrak benalu teh Scurrula oortiana pada fenomena imunologis dan risiko kanker pada ayam yang diinfeksi virusherpes MDV onkogen, sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah:

1. Pembuktian secara ilmiah khasiat ekstrak S. oortiana sebagai imunomodulator dan mengurangi risiko kanker.

2. Untuk memperjelas mekanisme antitumor dari benalu teh, menggunakan parameter imunologi dari ayam ras petelur yang diinfeksi MDV onkogenik.

3. Menjadikan benalu teh S. oortiana sebagai obat herbal berstandar melalui uji in vivo menggunakan ayam sebagai hewan percobaan.

Manfaat Penelitian

1. Metode dan hasil pada kajian imunitas dan onkogenisitas dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengkaji onkogenik virus herpes pada spesies lain.

2. Membuat simulasi ayam sebagai hewan model penanggulangan kanker yang disebabkan oleh virus herpes menggunakan bahan asal tumbuhan lainnya.

3. Meningkatkan kepercayaan masyarakat tentang manfaat benalu teh yang berkhasiat mengurangi risiko kanker.

4. Memperkaya bahan alternatif pengendali tumor dari bahan alam non- pangan yang diaplikasikan menjadi bahan pangan fungsional.

TINJAUAN PUSTAKA

Imunitas Tubuh

Resistensi dan pemulihan pada infeksi virus bergantung pada interaksi antara virus dan inangnya. Pertahanan inang bekerja langsung pada virus atau secara tidak langsung pada replikasi virus untuk merusak atau membunuh sel yang terinfeksi. Fungsi pertahanan nonspesifik inang pada awal infeksi untuk menghancurkan virus adalah mencegah atau mengendalikan infeksi, kemudian adanya fungsi pertahanan spesifik dari inang termasuk pada infeksi virus bervariasi bergantung pada virulensi virus, dosis infeksi, dan jalur masuknya infeksi (Mayer 2003).

Sistem imun pada unggas bekerja secara umum seperti sistem imun pada mamalia. Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan sistem seluler secara bersama-sama diperankan oleh makrofag, limfosit B, dan limfosit T. Makrofag memproses antigen dan menyerahkannya kepada limfosit. Limfosit B, yang berperan sebagai mediator imunitas humoral, yang mengalami transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Limfosit T mengambil peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang berbeda sebagai subpopulasi (Sharma 1991).

Antigen eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau fagositosis. Antigen-presenting cell (APC) yaitu makrofag, sel denrit, dan limfosit B merombak antigen eksogen menjadi fragmen peptida melalui jalan endositosis. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD4, untuk mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor Hystocompatablity Complex (MHC) kelas II dan dikatakan sebagai MHC kelas II restriksi. Antigen endogen dihasilkan oleh tubuh inang. Sebagai contoh adalah protein yang disintesis virus dan protein yang disintesis oleh sel kanker. Antigen endogen dirombak menjadi fraksi peptida yang selanjutnya berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum endoplasma. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD8, mengenali antigen endogen untuk berikatan dengan MHC kelas I, dan ini dikatakan sebagai MHC kelas I restriksi (Kuby 1999, Tizard 2000).

Limfosit adalah sel yang ada di dalam tubuh hewan yang mampu mengenal dan menghancurkan bebagai determinan antigenik yang memiliki dua sifat pada respons imun khusus, yaitu spesifitas dan memori. Limfosit memiliki beberapa subset yang memiliki perbedaan fungsi dan jenis protein

yang diproduksi, namun morfologinya sulit dibedakan (Abbas et al. 2000). Limfosit berperan dalam respons imun spesifik karena setiap individu limfosit dewasa memiliki sisi ikatan khusus sebagai varian dari prototipe reseptor antigen. Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan dengan antibodi yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami diferensiasi menjadi sel fungsional, yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai membran imunoglobulin. Reseptor antigen pada limfosit T bekerja mendeteksi bagian protein asing atau patogen asing yang masuk sel inang (Janeway et al. 2001). Mekanisme kerja sistem imun disajikan pada Gambar 2 (Cann 1977).

Sumsum Tulang Bursa Fabricius Timus Sel T Sel B Th Sel Sel NK CTL plasma memori

<

Antibodi

Imunitas berperantara sel imunitas humoral

Gambar 2 Mekanisme secara umum sistem imun (Cann 1997) Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan mengalami pendewasaan pada jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10 dan 15%. Setiap limfosit B memiliki 105 B cell receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua tempat pengikatan yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein yang memiliki struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk aslinya. Hal ini

9 membedakan antara sel B dan sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel (Kresno 2004).

Jajaran ketiga sel limfoid adalah natural killer cells (sel NK) yang tidak memiliki reseptor antigen spesifik dan merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik. Sel ini beredar dalam darah sebagai limfosit besar yang khusus memiliki granula spesifik yang memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler (Janeway et al. 2001).

Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada pemulihan pada infeksi virus dan pertahanan pada serangan infeksi virus. Sel T lebih berperan pada pemulihan infeksi virus. Sitotoksik sel T (CTLs) atau CD8 berperan pada respons imun terhadap antigen virus pada sel yang diinfeksi dengan cara membunuh sel yang terinfeksi untuk mencegah penyebaran infeksi virus. Sel T helper (CD4) adalah subset sel T yang berperan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Limfokin disekresikan oleh sel T untuk mempengaruhi dan mengaktivasi makrofag dan sel NK sehingga meningkat secara nyata pada penyerangan virus (Mayer 2003).

Patogen yang mampu dijangkau oleh antibodi adalah hanya antigen yang berada pada peredaran darah dan di luar sel, padahal beberapa bakteri patogen, parasit, dan virus perkembangan replikasinya berada di dalam sel sehingga tidak dapat dideteksi oleh antibodi. Penghancuran patogen ini membutuhkan peran limfosit T sebagai imunitas yang diperantarai oleh sel. Limfosit T mengenal sel yang terinfeksi virus, virus yang menginfeksi sel bereplikasi di dalam sel dengan memanfaatkan sistem biosintesis sel inang. Derivat antigen dari replikasi virus dikenal oleh limfosit T sitotoksik. Sel tersebut mampu mengontrol sel yang terinfeksi sebelum replikasi virus dilangsungkan secara lengkap. Sel T sitotoksik merupakan ekspresi dari molekul CD8 pada permukaannya (Janeway et al. 2001).

Kanker

Pada keadaan normal pergantian dan peremajaan sel terjadi sesuai kebutuhan melalui proliferasi sel dan apoptosis di bawah pengaruh proto- onkogen dan gen supresor tumor (Silalahi 2006). Tumor adalah penyakit kompleks dari berbagai akumulasi mutasi genetik yang manifestasi penyakitnya

memerlukan waktu yang lama. Hal inilah yang menyebabkan keterbatasan efektivitas kemoterapi tumor. Fenomena ini akan meningkatkan jumlah kematian (Flora dan Ferguson 2005).

Perbedaan pokok antara sel normal dan sel kanker yang teridentifikasi bahwa sel normal usianya terbatas, sedangkan sel kanker adalah immortal. Sel neoplastik tidak berkembang secara terintegrasi dan tidak ada ketergantungan pada populasi. Regulasi pada kontrol mitosis, diferensiasi, dan interaksi antarsel mengalami gangguan (Cheville 1999, Cambel dan Smith 2000).

Gen seluler inang yang homolog dengan onkogen virus disebut protoonkogen. Gen tersebut mampu memproduksi protein yang memiliki kemampuan menginduksi transformasi seluler setelah mengalami mutasi, yaitu perubahan di bawah kontrol promotor yang memiliki aktivitas tinggi. Biasanya protoonkogen berperan mengkode produksi protein pada replikasi DNA atau mengontrol perkembangan pada beberapa stadium pertumbuhan normal. C-

onc adalah gen seluler yang diekspresikan pada beberapa stadium

perkembangan sel. Produk onkogen adalah protein inti misalnya myc, myb. (King 2001, Hunt 2003).

Gen pengatur dapat mengalami mutasi, menjadikan gen tersebut tidak peka terhadap sinyal regulasi normal. Gen supresor yang mengalami mutasi, mengakibatkan gen tersebut menjadi inaktif. Untuk mengatasi penyakit kompleks diperlukan pertahanan dengan berbagai cara yang strategis dan pencegahan diperlukan untuk mengurangi metastasis pada kanker (Steele dan Kellof 2005).

Gen supresor tumor yang mengalami perubahan antara lain gen p53, adalah produk protein yang memiliki bobot molekul 53 kD. Protein tersebut berfungsi sebagai pengatur proliferasi sel dan mediator pada apoptosis, yaitu program kematian sel. Gen ini juga merupakan gen yang menginduksi kerusakan DNA dengan cara menghambat mekanisme atau proses perbaikan kembali DNA. Hilangnya fungsi gen p53 atau terjadinya mutasi gen tersebut menjadikan sel terhindar dari kerusakan DNA, pertumbuhan dan kematian sel tidak terkontrol, pembelahan sel terjadi secara terus menerus tanpa mengalami apoptosis (Williamson et al. 1999, Silalahi 2006). Apoptosis berperan penting pada fisiologi normal pada spesies hewan, termasuk program kematian sel pada perkembangan embrio dan metamorfosis, homeostasis

11 jaringan, pendewasaan sel imun, dan beberapa aspek penuaan (Reed et al. 2004).

Apoptosis adalah program kematian sel yang mekanismenya diorganisir secara fisiologis untuk merusak sel abnormal atau mengalami kerusakan. Keadaan ini merupakan respons sel normal yang terjadi selama pertumbuhan dan metamorfosis semua hewan multiseluler, yang merupakan hasil kerja enzim proteolitik, yaitu caspase dimana semua enzim ini memiliki sistin sebagai sisi aktif dan pembelahan protein target pada asam aspartat spesifik sebagai derivat dari sistin aspartase. Sel normal dapat mengalami transformasi oleh onkogen dan proses ini dapat dicegah oleh produk yang dihasilkan gen lainnya yang disebut tumour suppressor genes. Satu di antara gen ini adalah p53 yang menghasilkan 393 residu asam amino inti fosfoprotein yang berikatan dengan DNA yang transkripsinya diaktivasi oleh beberapa

promotor. Protein p53 mampu menghambat pertumbuhan sel dan

mempengaruhi apoptosis (Cambel dan Smith 2000, Taraphdar et al. 2001).

Feng et al. (2003) pertumbuhan dan metastasis tumor bergantung pada

bertambahnya suplai darah melalui angiogenesis, ekspresi yang berlebihan dari iNOS dan vascular endothelial growth factor (VEGF) menginduksi angiogenesis pada tumor. P53 menekan angiogenesis dengan cara menurunkan VEGF dan iNOS.

Transformasi sering menimbulkan hilangnya kontrol pertumbuhan, kemampuan untuk menginvasi matriks ekstraseluler dan dediferensiasi. Pada karsinoma, beberapa sel epitel yang mengalami transformasi adalah mesenchimal epitelial. Pada transformasi sel sering terjadi kerusakan kromosom. Bagian genom virus yang menyebabkan tumor disebut onkogen. Gen asing ini dapat bergabung pada sel dan menyebabkan sel tidak mengalami kematian sehingga menjadikan pertumbuhan tidak terkendali (Hunt 2003).

Fusi genetik dengan kromosom lain dinyatakan sebagai translokasi. Sejumlah translokasi menimbulkan gangguan ekspresi dan fungsi gen yang berkaitan dengan kontrol pertumbuhan sel. Translokasi terkarakterisasi pada reseptor atau lokus sel T terlihat pada tumor sel T. Rearangement ini sering bersamaan dengan translokasi kromosom termasuk pada lokus yang menghasilkan reseptor antigen dan seluler proto-onkogen. Gen seluler

penyebab kanker yang menyebabkan fungsi dan ekspresi terganggu sehingga disebut onkogen (Janeway et al. 2001).

Onkogen adalah istilah untuk agen aktif oleh gen virus onkogenik, karena pada bentuk kanker yang lain tidak jelas. Selanjutnya ekspresi yang berlebihan pada beberapa proto-onkogen telah ditunjukkan kejadiannya pada transformasi beberapa tipe sel dan kanker, dan level beberapa proto-onkogen ternyata mengalami kenaikan (Cambel dan Smith 2000).

Kerusakan oksidatif pada DNA akibat radiasi, radikal bebas, dan senyawa oksigen yang bersifat oksidatif merupakan penyebab terpenting kanker (Silalahi 2006). Transfomasi seluler oleh virus DNA menghasilkan protein yang berinteraksi dengan protein seluler. Terjadinya transformasi DNA

Dokumen terkait