• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1 Data yang diperlukan untuk penelitian pengelolaan kawasan budidaya

rumput laut di Gugus Pulau Kaledupa ... 121 2 Nilai parameter kualitas perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa ... 122 3 Uji faktorial terhadap laju pertumbuhan harian rumput laut ... 123 4 Uji Duncan terhadap laju pertumbuhan harian rumput laut ... 124 5 Uji present value biomasa dan karaginan rumput laut pada kawasan

stabil baik ... 126 6 Uji present value biomasa dan karaginan pada kawasan stabil belum

baik ... 127 7 Insentif harga dasar dan atap biomasa basah pada kawasan stabil

belum baik dan stabil baik ... 128 8 Analisis keuntungan rata-rata pelaku budidaya rumput laut ... 129 9 Analisis net present value (NPV) kawasan usaha budidaya rumput laut ... 130 10 Analisis sphare rent (SR) kawasan usaha budidaya rumput laut ... 131 11 Analisis return to scale (RTS) usaha budidaya rumput laut ... 132 12 Analisis indeks relatif (IR) usaha budidaya rumput laut ... 134 13 Analisis strategi pengelolaan kawasan budidaya rumput laut ... 140 14 Analisis excel solver bagi optimasi pengelolaan kawasan budidaya

rumput laut ... 143 15 Analisis excel solver bagi titik impas penggunaan modal terhadap

produksi ... 144 15 Matriks ringkasan hasil penelitian ... 145

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gugus Pulau Kaledupa (GPK) merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Wakatobi berdasarkan UU nomor 29/2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana dan Wakatobi. Kabupaten Wakatobi melingkupi seluruh kawasan Taman Nasional Laut Wakatobi (TNLW) yang ditetapkan sebelumnya dengan SK

Menteri Kehutanan RI nomor 393/Kpts-VI/1996. Oleh karena itu, GPK memiliki

dua peranan dalam konteks pengelolaan sumberdaya. Pertama, sebagai daerah pemanfaatan sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat Wakatobi pada umumnya dan masyarakat GPK pada khususnya. Kedua, sebagai kawasan konservasi sumberdaya yang harus dipertahan keberadaanya bagi kepentingan daerah, nasional maupun internasional.

Salah satu bentuk kegiatan yang dapat menunjang kesejahteraan masyarakat

dan pelestarian sumberdaya adalah budidaya rumput laut. Menurut Anggadiredja et

al. (2006), rumput laut secara ekologi memegang peranan sebagai produsen primer

(penghasil bahan organik dan oksigen) di lingkungan perairan. Kedua bahan ini perupakan sumber penghidupan bagi manusia dan biota akuatik seperti ikan, bulu babi, penyu dan hewan herbivor lainnya. Dengan demikian rumput laut, disamping plankton, berfungsi sebagai penyangga kehidupan dalam suatu lingkungan ekologi.

Dalam pertimbangan sosial, budidaya rumput laut telah dikenal oleh masyarakat Kaledupa sebagai salah satu kegiatan yang mampu mempererat hubungan antara masyarakat dengan lingkungan perairan. Fox (2005) menilai bahwa pemanfataan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut mampu menumbuhkan rasa memiliki kawasan di kalangan masyarakat Kaledupa untuk dijaga dan dipertahankan. Pandangan tersebut mengasumsikan pentingnya keterlibatan sosial dalam pengelolaan perairan pesisir GPK melalui kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian, upaya konservasi terutama dari berbagai aktivitas pemanfaatan sumberdaya laut yang tidak berwawasan lingkungan seperti penggunaan racun dan atau bom dapat dilakukan secara bersama.

Dalam perspektif ekonomi, budidaya rumput laut dipandang sebagai kegiatan yang dapat mendatangkan keuntungan. Effendi (2004) menyatakan bahwa campur

tangan masyarakat untuk memproduksi biota (rumput laut) melalui pemeliharaan akan meningkatkan produktivitas perairan dan mendatangkan keuntungan secara

ekonomi. Anggadiredja et al. (2006) menambahkan bahwa tingkat permintaan akan

komoditas rumput laut (Eucheuma cottonii) terus mengalami peningkatan (rata-rata

10% per tahun). Demikian pula dengan harga yang mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0.07% per tahun. Perkiraan kebutuhan dunia akan produk ini dapat mencapai

274 100 ton dengan harga sekitar U$ 0.82 kg-1 pada 2010. Kemampuan luar negeri

untuk memenuhi kebutuhan tersebut mencapai 165 000 ton/tahun (Filiphina 77.2%; Tanzania 5.4% dan lainnya 0.7%). Sisanya diharapkan dari Indonesia sebanyak 16.7%. Dengan demikian, budidaya rumput laut dipandang sebagai salah usaha yang penting untuk dikembangkan dan dapat dijadikan salah satu matapencaharian utama masyarakat.

Tingginya kebutuhan dunia akan produk rumput laut dapat dikaitkan dengan dua hal pokok. Pertama, hidrokoloid yang berasal dari tumbuhan ini tidak mengakibatkan efek samping terhadap kesehatan bila dikonsumsi dalam bentuk makanan atau obat-obatan. Kedua, penggunaannya dalam industri nonpangan dan berbagai industri lainnya semakin meluas seperti tekstil, cat, keramik dan kertas.

Upaya pemenuhan kebutuhan dunia akan komoditas ini, Indonesia hanya menempati posisi kedua setelah Filiphina (77.2% berbanding 16.7%). Luas pemanfaatan perairan pesisir Indonesia baru mencapai 9.7% bagi usaha ini

(Anggadiredja et al. 2006). Rendahnya tingkat pemanfaatan tersebut, disebabkan oleh

beberapa hal seperti:

a. Keterbatasan permodalan untuk membantu petani nelayan yang

membutuhkannya.

b. Keterbatasan penerapan dan alih teknologi budidaya rumput laut yang

dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas hasil panen yang berkualitas melalui penelitian, percontohan, pelatihan, magang dan penyuluhan;

c. Kurangnya penyediaan sumberdaya manusia terlatih melalui kegiatan

pendidikan dan pelatihan terstruktur sesuai segmen budidaya yang diminati pembudidaya rumput laut.

d. Terbatasnya pola pengaman terpadu dengan mengikutsertakan masyarakat

e. Pengembangan Budidaya Rumput Laut masih dilaksanakan sendiri – sendiri secara sektoral.

Dengan demikian, kondisi ini dipandang sebagai faktor pemicu yang mengakibatkan Indonesia bukan sebagai negara produsen rumput laut dunia.

Pemanfaatan perairan pesisir untuk usaha budidaya rumput laut tergantung pada ketersediaan sumberdaya alam (lokasi & bibit) dan sumberdaya manusia (tenaga kerja). Salah satu potensi Indonesia untuk pengembangan usaha ini adalah GPK yang memiliki perairan pesisir sekitar 13 900 ha termasuk tubir karang datar (Duncan 2005). Perairan tersebut mengandung potensi untuk usaha budidaya rumput laut sekitar 8 200 ha (Manafi 2003). Di sisi lain, GPK memiliki populasi masyarakat dalam usia produktif secara ekonomi sekitar 60% dari total penduduk 17 604 jiwa. Dalam populasi ini terdapat 5 292 kepala keluarga yang berarti bahwa setiap keluarga beranggotakan empat orang (PDKW 2006). Perbandingan antara ketersediaan kawasan dan jumlah kepala keluarga adalah sekitar 1.55 ha/kk. Harapan tersebut melebihi standar ideal pemanfaatan (0.20 ha/kk) yang dapat mensejahterakan satu keluarga dengan jumlah anggota tiga hingga empat orang. Dala standar tersebut, keluarga atau pelaku budidaya bersangkutan dapat memperoleh tingkat pendapatan sebesar Rp 33 600 000 atau keuntungan sekitar

Rp 24 052 000/kk/panen (Anggadiredja et al. 2006).

Optimalisasi pemanfaatan kawasan ini berjalan lambat. Fox (2005) menyatakan bahwa tingkat pemanfaatan kawasan tersebut baru mencapai 795 ha dengan rata-rata peningkatan sekitar 2.80% per tahun sejak awal pemanfaatannya (1993). Optimalisasi pemanfaatan diperhadapkan pula dengan produktivitas kawasan yang berbeda-beda.

Smart (2005) menunjukkan kisaran produktivitas tersebut antara 0.02 hingga 8 (ton/ha)/panen kering dengan masa pemeliharaan rata-rata 41 hari. Sebagian besar

(97.30%) pemanfaatan kawasan ini masih tergolong dalam produktivitas < 1 (ton/ha)/panen kering atau 0.43 (ton/ha)/panen kering (jarak tanam 100x25 cm, biomas awal 25 g, LPH 3%, konversi basah : kering adalah 7 : 1). Kondisi ini memberikan contoh tentang pemilihan lokasi yang kurang baik sehingga dapat berimplikasi terhadap menurunnya minat masyarakat Kaledupa untuk memanfaatkan perairan pesisir dalam bidang usaha ini. Karenanya, diperlukan kajian pengelolaan perairan pesisir GPK bagi pengembangan usaha budidaya rumput laut.

Perumusan Masalah

perairan pesisir GPK ditetapkan sebagai salah satu kawasan Taman Nasional Laut Wakatobi (TNLW). Penetapan tersebut didasarkan atas tingkat keanekaragaman hayati yang tergolong tinggi. WWF dan TNC (2003)

menyatakan bahwa dalam TNLW terdapat 396 spesies karang Scleractinia, 10

spesies non Scleractinia dan 28 genera karang lunak. Selain itu, ditemukan 590

spesies ikan, 31 spesies Foraminifera dan 668 spesimen Stomopod.

Salah satu ketentuan yang memuat tentang pemanfaatan taman nasional adalah Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya. Dalam ketentuan umum UU tersebut dinyatakan bahwa taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Salah satu tujuan pemanfaatan taman ini adalah sebagai penunjang budidaya yang dapat mengusahakan kelestarian sumberdaya hayati dan lebih mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemanfaatan kawasan untuk usaha budidaya yang mengunakan plasma

nutfah lokal (garangga kanse atau Caulerpa lentillifera) tidak berhasil mendukung

upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat GPK. Jenis ini banyak dijumpai disekitar Pulau Hoga dan di sebelah timur perairan laut Fatuhari. Produksi terakhir mencapai 5 ton pada awal 1993, namun akibat turunannya harga

komoditas kering hingga mencapai Rp 50 kg-1, menjadikan usaha ini tidak

berkelanjutan sebagai penunjang kesejahteraan masyarakat.

Berkurangnya salah satu unsur penunjang kesejahteraan masyarakat berdampak pada peningkatan ekploitasi sumberdaya yang tidak ramah lingkungan. Di antaranya adalah pengambilan batu karang, penggunaan racun

(sianida) dan bom dalam upaya penangkapan ikan (Hidayati at al. 2007).

Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa kondisi terumbu karang hidup mengalami penurunan hingga mencapai rata-rata tutupan sekitar 31%. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan tutupan dari kondisi baik menjadi kriteria cukup bila didasarkan pada kategori sangat baik (75–100%), baik (50– 74.90%), cukup (25–49.90%). Demikian pula dengan kondisi penangkapan ikan yang dinyatakan bahwa 80, 49 dan 61% nelayan tradisional mengalami penurunan hasil dari segi ukuran, jumlah dan jenis ikan (Duncan 2005).

Dampak dari turunnya harga rumput laut asal Kaledupa adalah timbulnya upaya dari pedagang pengumpul lokal untuk memperolah bibit rumput luat yang banyak diminati pasar dan bernilai ekonomi tinggi. Melalui Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara, upaya itu diwujudkan dengan hadirnya rumput laut

dari jenis E. cottonii asal Sabah (Malaysia) di GPK. E. cottonii pertama kali

dibudidayakan oleh masyarakat Sombano di perairan sebalah Barat GPK, kemudian menyebar hingga ke sebelah Timur GPK. Memperhatikan minat masyarakat dan program perlindungan sumberdaya alam hayati, maka Pemerintah Daerah Wakatobi mencanangkan perairan pesisir GPK sebagai sentral produksi rumput kabupaten (PDKW 2006).

Potensi perairan pesisir GPK untuk budidaya rumput laut dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu sesuai (KS) dan sangat sesuai (KSS). Kedua kawasan ini memiliki luas sekitar 4 500 dan 3 700 ha. Hal ini didasarkan atas parameter fisik kimia perairan seperti pH, salinitas, suhu permukaan laut, kecepatan arus, kecerahan, kekeruhan dan material dasar perairan dengan skor yang lebih tinggi bagi KSS (Manafi 2003). Dalam pemanfaatannya, Smart (2005) menunjukkan adanya perbedaan produksi di kedua kawasan. Namun demikian, keduanya belum mempertimbangkan peranan musim yang dapat berpengaruh terhadap perubahan

produktivitas kawasan sebagaimana yang dibuktikan Sedana at al. (1985) di Pulau

Serangan, Provinsi Bali.

Sedana at al. (1985) menyatakan bahwa selama kurun waktu Oktober-November

(bulan kering) pertumbuhan rumput laut cenderung lebih cepat daripada Desember– Maret (bulan basah). Pengamatan setiap empat minggu tercatat laju pertumbuhan harian (LPH) antara 0.90–8.80% per hari. Romimohtarto (1985) dan Nontji (2005) bahwa udara basah memperkuat pendinginan, akibatnya tingkat penguapan menurun sehingga kadar salinitas rendah di lapisan permukaan. Dalam kondisi seperti ini, rumput laut mengalami proses osmoregulasi (mekanisme penyerapan air tawar terjadi) sehingga menyebabkan terhambatnya proses pertumbuhan. Selain itu, diperolah bahwa perubahan LPH rumput laut dipengaruhi oleh usia pemeliharaan. LPH tertinggi terdapat pada minggu-minggu awal, kemudian kecepatannya berkurang dan setelah dua bulan laju pertumbuhannya menurun. LPH yang diperoleh berkisar antara

4.00–6.00% per hari. Perubahan ini sangat penting artinya untuk mengetahui waktu optimal pemanfaatan kawasan selama satu kali proses produksi rumput laut.

Pengelolaan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut yang tidak mempertimbangkan usia pemeliharaan optimal (panen lebih awal atau lebih lambat) akan diperhadapkan dengan beberapa kendala. Pertama, tidak terpetakannya fungsi kawasan penunjang (penyedia bibit) dan fungsi kawasan pembesaran. Biasanya, pelaku budidaya di GPK melakukan panen pada usia 45 hari untuk mengejar kepentingan pasar yang memberikan standar tersebut tanpa memperhatikan kemampuan kawasan dalam menunjang LPH rumput laut. Indikator biomasa dan karaginan dapat digunakan dalam menyatakan suatu kawasan sebagai penyedia bibit

dan atau pembesaran. Sulistijo (1985) berpendapat bahwa tanaman Eucheuma dengan

LPH 2% per hari pada pemeliharaan di Bali selama 35 hari sudah dapat dilakukan panenan karena tanaman sudah menjadi dua kali lipat biomasa semula. Demikian

pula Sulistijo, Syafri (1991) menyatakan bahwa tanaman E. cottonii di Pulau Pari

dengan LPH 3 hingga 5% per hari dapat mencapai kadar karaginan 35 hingga 45% pada usia pemeliharaan enam minggu. Pernyataan ini memberikan pendekatan bahwa ketika suatu kawasan hanya mampu menunjang LPH 2% per hari, maka usia pemeliharaan optimal dalam kawasan tersebut dapat memberikan keuntungan dari sisi biomasa (penyedia bibit). Ketika suatu kawasan mampu menunjang LPH 3% per hari, maka kuntungan dari pengguna kawasan tersebut dapat diperoleh dari kadar karaginan pada batas pemeliharaan optimal.

Kendala kedua adalah tidak terpetakannya mutu produksi dengan baik.

Kualitas E. cottonii ditentukan oleh kadungan karaginan yang terbentuk pada

dinding sel. Kandungan ini cenderung meningkat seiring dengan pertambahan usia pemeliharaan, namun demikian, pada usia tertentu sebagian kadar karaginan akan terurai menjadi cadangan energi bagi pembentukan cabang baru (Apriyana, 2006). Penambahan usia pemeliharaan yang lebih lama menyebabkan gel yang terbentuk dari kappa karaginan menjadi rapuh akibat efek ion potasium yang terus berlanjut (Guiseley diacu dalam Apriyana 2006). Dengan demikian, pemutusan rantai produksi yang lebih cepat dan atau lebih lambat akan berdampak pada kundungan karaginan yang tidak optimal. Tambahannya adalah harga yang dapat

Ketiga, tidak terpetakannya insentifikasi harga yang dapat terjadi pada pasar di tingkat lokal (pasaran bibit). Dalam hal ini, terdapat pengalaman pelaku bahwa pergantian penggunaan bibit dari kawasan kurang subur ke lebih subur atau sebaliknya dapat memberikan pertumbuhan rumput laut yang lebih baik. Pola pemanfaatan seperti ini dapat menciptakan kondisi surplus dan defisit produksi bibit apabila tidak memperhatikan usia pemeliharaan yang optimal. Dalam kondisi surplus harga dapat berada di bawah harga dasar, sementara pada kondisi defisit, dapat melebihi harga atap. Akibatnya, insentif harga ditingkat pelaku tidak teratur dan perencanaan akan kebutuhan bibit baik untuk lokasi yang telah dimanfaatkan maupun bagi program pengembangan kawasannya tidak dapat berjalan dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas, maka keterkaitan antara pengelolaan kawasan dan usia pemeliharaan rumput laut adalah terjadi dalam hubungan perencanaan bagi penentuan periode pemanfaatan kawasan (sekali proses produksi). Munculnya usia pemeliharaan optimal, memudahkan dalam pengorganisasian kawasan berdasarkan kemampuannya dalam menunjang produk rumput laut pada titik optimal pemeliharaan. Akhirnya indikator kontrol dalam pemanfaatan kawasan dapat ditentukan berdasarkan kualitas rumput laut pada titik pemeliharaan optimal.

Harapan hidup bagi masyarakat Kaledupa yang mengantungkan hidupnya pada pemanfaatan perairan pesisir GPK semakin terbuka. Sebagaimana UU No. 5 tahun 1990 yang menyatakan bahwa pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi, maka Pemda Wakatobi menetapkan zona penggunaan lokal sebesar 54% dari total wilayahnya. Harapan ini muncul pula dari UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menggariskan hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) dalam bentuk sertifikat. Namun demikian, ketentuan tersebut membutuhkan kelengkapan indikator pemanfaatan seperti nilai-nilai produksi dan biaya yang diperlukan bagi ketentuan pengalihan hak, beban tanggungan dan besarnya jaminan modal yang dapat diperuntukkan bagi pengguna kawasan.

Kriteria pemanfaatan perairan pesisir GPK sangat ditentukan oleh besarnya partisipasi masyarakat. Berdasarkan jumlah KK sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka pemanfaatan perairan pesisir GPK dapat didistribusikan berdasarkan persentase kawasan budidaya rumput laut (55% KS dan 45% KSS).

Distribusi kepala keluarga (KK) pada masing-masing kawasan dapat mencapai 2 911 dan 2 382 KK. Peruntukan lokasi pemanfaatan bagi masing-masing KK dapat mencapai 1.54 dan 1.55 ha/KK. Dalam pandangan umum bahwa setiap KK akan lebih memilih KSS dari pada KS, namun demikian, Fox (2005) menyatakan bahwa masyarakat Kaledupa lebih memilih KS akibat faktor keamanan dari akses transportasi dan kedekatan dengan lokasi pemukiman. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya tingkat pemanfaatan KS (> 41 KK/lokasi), sedangkan lainnya masih berada dibawah 30 KK/lokasi.

Tingkat pemanfaatan kawasan yang tinggi dan terpusat pada satu lokasi dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas dan distribusi luasan pemanfaatan per KK. Hal tersebut dapat mempengaruhi keuntungan yang diperoleh pengguna. Fox (2005) menilai bahwa kondisi tersebut cenderung membuat pengguna meninggalkan usaha budidaya rumput laut, terutama pada musim-musim tertentu. Menyadari hal tersebut, maka dalam pengelolaan perairan pesisir GPK perlu mempertimbangkan skala pengembalian usaha dan jumlah pengguna kawasan dalam perumusan strategi dan skenario untuk meningkatkan kepusan pelaku budidaya.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalah yang diangkat adalah:

1. Bagaimanakah kondisi aktual pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha

budidaya rumput laut berdasarkan kesesuaian kawasan dan musim?,

2. Bagaimanakah akses modal bagi optimalisasi pemanfaatan perairan pesisir GPK

untuk usaha budidaya rumput laut? dan

3. Bagaimanakah strategi dan skenario pengelolaan perairan pesisir GPK untuk

meningkatkan kepuasan pelaku budidaya?. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji kondisi aktual pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut berdasarkan pertimbangan kesesuaian kawasan dan musim. (2) mengkaji parameter agunan kawasan budidaya rumput laut agar dapat dimanfaatkan secara optimal. (3) mengkaji strategi dan skenario pengelolaan perairan pesisir GPK untuk meningkatkan kepuasan pelaku budidaya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai: (1) basis data pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut sehingga pola pemanfaatannya dapat lebih terarah dan memiliki indikator nilai manfaat; (2)

landasan akses modal bagi pengembangan pemanfaatan kawasan dalam usaha budidaya rumput laut; dan (3) landasan strategis pengelolaan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut di GPK agar tetap menguntungkan dan menjamin kepuasan pelaku budidaya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian dibatasi pada perairan pesisir laut yang sesuai dan sangat sesuai untuk

budidaya rumput laut menurut Manafi (2003) di Gugus Pulau Kaledupa (GPK),

2. Budidaya rumput laut dibatasi pada metode long line,

3. Parameter pertumbuhan rumput laut dibatasi pada pertambahan biomasa dan

kadar karaginan rumput laut (E. cottonii) berdasarkan usia pemeliharaan pada

Musim Timur, Barat dan Pancaroba dan

4. Kajian pengelolaan didasarkan pada pendekatan ekologi (luas ketersediaan &

alokasi waktu pemanfaatan kawasan optimal), sosial (ketersediaan tenaga &

alokasi waktu kerja serta demand capacity ratio), ekonomi (input: penggunaan

bibit, fasilitas produksi, luas pemanfaatan kawasan, operasional, tenaga kerja &

alokasi waktu kerja; output: nilai manfaat biomasa & keraginan).

Kerangka Pemikiran

Pengelolaan perairan pesisir GPK diperhadapkan pada dua hal pokok, yaitu kebijakan nasional dan daerah. Secara nasional, perairan pesisir GPK harus dilestarikan berdasarkan keaslian ekosistem sumberdaya hayati yang dimilikinya. Di sisi lain, Pemerintah Daerah Wakatobi dituntut mensejahterakan masyarakatnya melalui pemanfaatan semua potensi daerah. Salah satu aplikasi pemanfaatan perairan pesisir

GPK yang dapat mengadopsi kedua hal tersebut adalah budidaya E. cottonii dengan

sistem zonasi. Hal ini disebabkan oleh berperanan E. cottonii sebagai produsen primer

dalam lingkungan ekologi, penjalin hubungan yang erat antara masyarakat dan lingkungan perairan pesisir. Selain itu, diharapkan mampu menciptakan kondisi perekonomian yang mensejahterakan masyarakat. Dalam sistem zonasi, dimana wilayah perairan dibagi menjadi kawasan-kawasan tertentu seperti kawasan budidaya rumput laut berdasarkan karakteristik fisik kimia yang ada dapat memudahkan penentuan batas pengelolaan sektoral dan inter koneksi antar sektor sumberdaya.

Pengelolaan perairan pesisir untuk usaha budidaya rumput laut perlu mempertimbangkan dua hal yaitu kawasan budidaya dan populasi masyarakat GPK. Kawasan, dipertimbangkan melalui keberadaan KSS dan KS dalam skala luas (ha) berdasarkan parameter kualitas perairan laut dan pengaruh musim. Masuknya peranan musim kedalam pengklasifikasian KSS dan KS dapat memberikan gambaran tentang tingkat kestabilan kawasan dalam menunjang produksi rumput laut di semua musim. Dengan demikian, kondisi aktualnya dapat dibedakan berdasarkan produktivitas masing-masing kawasan di setiap musim.

Populasi masyarakat dipertimbangkan melalui ketersediaan tenaga kerja dan modal. Tenaga kerja mengandung dua asumsi yaitu kepala keluarga (KK) sebagai pemegang keputusan dan tenaga pendukung aktivitas KK dalam menjalankan usaha

budidaya E. cottonii. Tenaga pendukung dapat berasal dari anggota keluarga dan luar

keluarga yang didekati berdasarkan usia produktif secara ekonomi dan kebiasaan masyarakat dalam melibatkan tenaga kerja. Modal dibangun berdasarkan dua asumsi. (1) Alokasi waktu yang tersedia dalam satu keluarga untuk berpartisipasi dalam kegiatan budidaya. Asumsi ini memberikan batasan kerja setiap orang yang berpartisipasi pada suatu unit usaha sehingga sumbangsinya dapat berlangsung beberapa unit usaha. (2) Kemampuan finansial keluarga untuk membangun usaha tersebut. Asumsi ini memberikan batas terhadap kesediaan pelaku budidaya untuk

meraih kepuasan melalui usaha budidaya E. cottonii.

Hubungan antara kedua pertimbangan pengelolaan tersebut membentuk karakteristik pemanfaatan yang tergabung kedalam skala pengembalian usaha. komponen-komponen penyusun dalam gabungan ini adalah luas penggunaan kawasan, bibit, fasilitas produksi, oprasional, tenaga dan alokasi waktu kerja (input) serta jumlah produksi (output). Masing-masing komponen selanjutnya diestimasi untuk merumuskan strategi pengelolaan perairan pesisir GPK untuk

usaha budidaya E. cottonii berdasarkan pendekatan ekologi, sosial dan ekonomi.

Terdapat dua aspek yang digunakan sebagai atribut dimensi dalam pendekatan

ekologi yaitu ketersediaan kawasan dan produksi E. cottonii. Ketersediaan

merupakan perbandingan antara luas masing-masing kawasan dengan luas blok budidaya yang kemudian disesuaikan dengan koefisien budidaya efektif. Perbandingan ini manggambarkan kemampuan efektif suatu kawasan dalam

menunjang metoda budidaya (long line) yang digunakan. Aspek produksi (AP)

merupakan produktivitas E. cottonii dalam mencapai titik optimal (TO) biomasa dan

karaginan. Perhatian utama diantara keduanya adalah periode waktu pencapaian TO

manfaat karaginan karena kualitas dari E. cottonii ditentukan oleh kandungan ini.

Dengan demikian atribut AP memberikan batasan terhadap periode waktu optimal pemanfaatan kawasan dalam sekali proses produksi sehingga diharapkan dapat membantu proses perencanaan terutama penentuan fungsi kawasan.

Pendekatan sosial menggunakan dua atribut dari komponen skala

pengembalian usaha yang dilengkapi dengan atribut demand capacity ratio (DCR)

sebagai penghubung atau interaksi antara pendekatan sosial-ekologi. Dua atribut pertama adalah beban kerja budidaya dan penggunaan tenaga kerja dalam satu siklus produksi. Atribut ini menggambarkan tentang alokasi waktu yang perlu dikorbankan untuk menekuni kegiatan budidaya dan tingkat penyerapan tenaga kerja dalam satu unit usaha. Dalam hubungannya, kedua atribut memiliki keterkaitan dengan asumsi modal pertama sebagaimana disebutkan di atas. DCR

Dokumen terkait