PEN
UNTUK
IN
NGELOLA
GUGUS
K USAHA
AKH
SEKOLA
NSTITUT
AAN PER
S PULAU
A BUDIDA
HMAD M
AH PASC
T PERTA
BOGO
2010
RAIRAN
KALEDU
AYA RUM
MANSYUR
CASARJA
ANIAN BO
OR
0
PESISIR
UPA
MPUT LA
R
ANA
OGOR
R
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
ABSTRACT
AKHMAD MANSYUR. Coastal Management of Kaledupa Islands for Phycoculture. Guided by Achmad Fahrudin and Irzal Effendi.
The aim of this study are: (1) the actual condition of the utilization coastal of Kaledupa Islands (CKI), Wakatobi Regency Southeast Sulawesi Province for phycoculture based on the suitability area and the seasons, (2) warranties parameters for optimizing area utilization, (3) the grand utilization strategy of CKI for supporting phycoculture. Suitability analysis, carrying capacity, utilization of regional strategies and optimizes scenario are used for that purpose. The results of this study are showed that 5 946.45 ha of CKI for supporting phycoculture were categorized to be three areas: good stabile, good dominant and not yet good stabile. The area utilization were showed over limited based on time period production and half of them had been decreasing return to scale. Condition of constant return to scale have been reached at areas through good stabile and some of not yet good stabile. There’s a potential warranties area for Rp 14 454 608 to 42 952 034 per ha per year and can reach the value Rp 14 431 399 per ha per season for importance rent or contract. The management strategies of CKI are to improve the satisfaction of phycoculturers with the scenario: (1) to repair structures of phycoculture methods, and time period of phycoculture production; (2) to increase user, to compose groups and to reinforce focus groups; and (3) to create guarantee access the capital and to improve input structures of phycoculture.
Keywords: Coastal management, Kaledupa archipelagos, phycoculture
RINGKASAN
AKHMAD MANSYUR. Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut. Dibimbing oleh Achmad Fahrudin dan Irzal Effendi.
Potensi perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk usaha budidaya memiliki rasio dengan sumberdaya manusia sebesar 1.55 ha/kk (Rp 58 802 901/kk/thn). Rasio ini menunjukkan perairan pesisir GPK, cukup bagi penciptaan kesejahteraan melalui kegiatan budidaya rumput laut. Namun demikian, aktivitas tersebut baru mencapai 9.70% dari 8 200 ha (KS & KSS) dan perkembangannya berjalan lambat (2.80%/thn).
Kajian potensi tanpa pertimbangan musim disinyalir sebagai penghambat usaha budidaya. Pemanfaatan seperti ini mendorong terjadinya produktivitas rendah (< 1 ton/ha/panen). Akibatnya, pelaku budidaya berada pada situasi sulit untuk mengembangkan modal usaha dan menimbulkan faktor ketidakpuasan. Selain itu, keterbatasan akses modal, ikut berperan dalam kondisi ini. Dengan demikian, penelitian ini ditujukan untuk mengkaji: (1) kondisi aktual pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut berdasarkan kesesuaian kawasan dan musim. (2) parameter agunan kawasan bagi akses modal dalam menunjang optimalisasi pemanfaatan. (3) strategi dan skenario pengelolaan perairan pesisir GPK sehingga tercipta kepuasan pelaku budidaya.
Survei lapang, wawancara dan studi literatur digunakan dalam pengumpulan informasi dari Juli hingga Desember 2008. Data yang terkumpul dianalisis dengan sistem informasi geografis (SIG) dengan mengintegrasikan persamaan laju pertumbuhan harian (LPH) rumput laut, uji anova, dan uji Duncan. Selain itu, digunakan pula analisis daya dukung budidaya efektif, rotasi produksi optimal, demand capacity ratio, kebutuhan tenaga kerja, indeks relatif input dan skala pengembalian usaha untuk mencapai tujuan pertama. Analisis net present value dan sphere rent digunakan untuk mencapai tujuan kedua. Analisis kepuasan pengguna dan titik impas pemanfaatan melalui excel solver dilibatkan untuk tujuan ketiga.
Hasil analisis diperoleh bahwa perairan pesisir GPK tergolong alami dan menunjang LPH antara 2.01 hingga 3.93% per hari (musim pancaroba dan timur). Berdasarkan kriteria LPH 3% per hari dan jarak beda nyata pada taraf kepercayaan 95%, maka interaksi antara LPH, stasiun dan musim menunjukkan bahwa perairan ini terdapat pada kondisi stabil baik (KSB), dominan baik (KDB) dan stabil belum baik (KSBB). Pemanfaatan kawasan ini dicirikan dengan penggunaan input yang rendah, namun over limited berdasarkan periode waktu produksi. Demikian pula struktur metode budidaya sehingga skala pengembalian decreasing di sebagian besar lokasi pemanfaatan. Kondisi constant return to scale dicapai pada KDB dan sebagian KSBB.
v
produksi budidaya; (2) pembentukan dan penguatan fungsi kelompok pelaku budidaya; (3) pemberian jaminan akses modal melalui gabungan fitur perjanjian bank & grameen, dan insentif harga bagi komoditas rumput laut.
©
Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PENGELOLAAN PERAIRAN PESISIR
GUGUS PULAU KALEDUPA
UNTUK USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT
AKHMAD MANSYUR
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut
Nama Mahasiswa : Akhmad Mansyur
NIM : C251060051
Program Studi : Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. Ir. Irzal Effendi, M.Si Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian sejak Juni hingga Desember 2008 ini adalah pengelolaan perairan pesisir, dengan judul Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ir. Irzal Effendi, M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan kepada Penulis. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. selaku Dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta stafnya dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. selaku Ketua Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) beserta stafnya yang telah memberikan pelayanan administrasi secara baik. Demikian juga penulis ucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc. selaku penguji dosen penguji luar komisi yang telah memberikan sumbangsi positifnya. Ucapan ini, tidak lupa disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor terutama mahasiswa pada Program Studi SPL yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat dalam penulisan karya ini. Lebih khusus, ungkapan terima kasih dihaturkan kepada ayah, ibu, istri dan anaku, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga laporan ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambeua, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara pada 31 Maret 1974 sebagai anak pertama dari pasangan H. La Ane Erek dan Hj. Muhaeni. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, lulus 1999. Pada 2000 menikah dengan Nusriani, S.Pd. dan saat ini telah dikaruniahi seorang putra (Muhamat Julfikar Erek).
Penulis bekerja sebagai Dosen Tetap di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara sejak 2003 hingga sekarang. Pada 2006 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan dan menyelesaikannya pada Februari 2010.
xi
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xviiii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Perumusan Masalah ... 4
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8
Ruang Lingkup Penelitian ... 9
Kerangka Pemikiran ... 9
TINJAUAN PUSTAKA ... 14
Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 14
Konsep Ruang dan Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 17
Integrasi Masyarakat dalam Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 24
Pendekatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Perairan pesisir ... 27
Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 31
METODE PENELITIAN ... 33
Waktu dan Lokasi Penelitian ... 33
Jenis dan Sumber Data ... 34
Penentuan Stasiun dan Teknik Sampling ... 34
Penentuan Responden ... 36
Pengambilan Data ... 37
Analisis Data ... 37
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49
Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 49
Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 55
Daya Dukung Pemanfaatan Kawasan ... 69
Kondisi Pemanfaatan Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 86
Strategi dan Skenario Pengelolaan Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 91
Akses Modal bagi Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan ... 102
Pembahasan ... 110
KESIMPULAN DAN SARAN ... 113
Kesimpulan ... 113
Saran... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 115
xiii
Halaman 1 Matriks kesesuaian fisik kimia perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa
untuk budidaya rumput laut ... 18 2 Analisis budidaya Eucheuma cottonii sistem long line: satu KK (tiga
hingga empat orang anggota), delapan blok (0.20 ha) ... 26 3 Metode penentuan responden penelitian ... 36 4 Matriks persepsi pengguna kawasan berdasarkan dimensi ekologi,
sosial dan ekonomi ... 43 5 Matriks keunggulan dimensi keseluruhan yang dapat dipersepsi oleh
pengguna kawasan ... 45 6 Matriks biaya pemanfaatan kawasan yang dikorbankan bagi kegiatan
budidaya ... 45 7 Matriks kepuasan pengguna yang memanfaatkan kawasan budidaya ... 46 8 Matriks excel solver bagi optimasi pengguna potensial ... 47 9 Matriks excel solver bagi titik impas penggunaan modal terhadap produksi ... 48 10 Luas pulau-pulau berpenghuni di Gugus Pulau Kaledupa ... 50 11 Data curah hujan selama sepuluh tahun (1995-2004) Kabupaten Wakatobi .... 52 12 Keadaan penduduk Gugus Pulau Kaledupa selama kurun waktu 1996
hingga 2008 ... 53 13 Keadaan penduduk Gugus Pulau Kaledupa berdasarkan kelompok umur
pada tahun 2008 ... 54 14 Rata-rata umum laju pertumbuhan harian rumput laut di setiap titik
sampel ... 59 15 Laju pertumbuhan harian rumput laut pada setiap stasiun berdasarkan
rataan musim dari jumlah kelompok thallus ... 61 16 Laju pertumbuhan harian rumput laut di setiap musim berdasarkan
rataan kelompok thallus ... 62 17 Klasifikasi kawasan berdasarkan interaksi antara laju pertumbuhan
harian (LPH), musim dan stasiun ... 65 18 Jumlah kepala keluarga pelaku budidaya rumput laut ... 74 19 Rata-rata jumlah tenaga kerja dalam satu unit usaha budidaya rumput
laut ... 75 20 Rata-rata alokasi waktu disetiap jenis kegiatan budidaya rumput laut
dalam satu siklus produksi (jam) ... 76 21 Rata-rata penggunaan input budidaya rumput laut dalam satu kali
xv
Halaman
1 Bagan kerangka pikir penelitian. ... 13
2 Trade-off tujuan antar komponen pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993). ... 31
3 Lokasi penelitian di Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara. ... 33
4 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut (sumber: Manfi 2003). ... 35
5 Peta stasiun penelitian (sumber: Smart 2005, Manafi 2003). ... 35
6 Titik pengambilan sampel rumput laut untuk satu stasiun. ... 36
7 Nilai rata-rata parameter fisik kimia perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa. ... 55
8 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut berdasarkan parameter fisik kimia perairan. ... 60
9 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut berdasarkan parameter rataan jumlah laju pertumbuhan harian kelompok thallus dalam suatu rataan musim. ... 63
10 Contoh Eucheuma cottonii yang rusak di perairan pesisir Sombano (Smart 2005)... 67
11 Perkembangan luas lokasi pemanfaatan kawasan budidaya Eucheuma cottonii secara kumulatif di GPK dalam kurun waktu 1993-2004 (Fox 2005). ... 67
12 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut berdasarkan parameter laju pertumbuhan harian dan perubahan musim. ... 68
13 Perubahan biomasa (Bms) dan karaginan (Krg) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil baik (KSB). ... 70
14 Perubahan biomasa (Bms) dan karaginan (Krg) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil belum baik (KSBB). ... 70
15 Present value karaginan (Krg) dan biomasa (Bms) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil baik (KSB). ... 71
16 Present value karaginan (Krg) dan biomasa (Bms) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil belum baik (KSBB). ... 72
17 Rerata pendapatan bersih pelaku budidaya rumput laut di setiap stasiun berdasarkan perubahan musim. ... 79
18 Nilai ekonomi kawasan budidaya rumput laut berdasarkan net present value dalam skala musim. ... 80
19 Nilai ekonomi kawasan budidaya rumput laut berdasarkan net present value dalam skala tahun. ... 81
xvi
22 Peta pemanfaatan kawasan budidaya rumput laut ... 85 23 Persentase keberadaan KK dan tingkat memanfaatkan kawasan
budidaya rumput laut. ... 88 24 Persentase keberadaan pengguna kawasan (KK) dan tingkat
penggunaan input budidaya rumput laut. ... 89 25 Skala pengembalian usaha pemanfaatan kawasan budidaya rumput
laut. ... 90 26 Indeks relatif dari atribut dimensi ekologi pada setiap kawasan
budidaya rumput laut. ... 93 27 Indeks relatif dari atribut dimensi sosial pada setiap kawasan budidaya
rumput laut. ... 95 28 Indeks relatif dari atribut dimensi ekonomi pada setiap kawasan
budidaya rumput laut. ... 96 29 Indeks manfaat total dari keseluruhan dimensi pada setiap kawasan
budidaya rumput laut. ... 98 30 Indeks relatif atribut biaya pada setiap kawasan pemanfaatan untuk
budidaya rumput laut. ... 98 31 Indeks kompetisi atribut biaya pada setiap kawasan pemanfaatan
untuk budidaya rumput laut. ... 99 32 Indeks kepuasan pengguna kawasan budidaya rumput laut. ... 100 33 Perubahan pengguna dan struktur biaya pemanfaatan kawasan ketika
akses modal direalisasikan. ... 105 34 Optimalisasi pengguna dan struktur pemberian modal dalam
pemanfaatan kawasan ketika akses modal direalisasikan. ... 106 35 Rata-rata biaya per unit bibit berdasarkan biomasa dan kadar
karaginan pada kawasan stabil belum baik (KSBB). ... 107 36 Rata-rata biaya per unit bibit berdasarkan biomasa dan kadar
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Data yang diperlukan untuk penelitian pengelolaan kawasan budidaya
rumput laut di Gugus Pulau Kaledupa ... 121
2 Nilai parameter kualitas perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa ... 122
3 Uji faktorial terhadap laju pertumbuhan harian rumput laut ... 123
4 Uji Duncan terhadap laju pertumbuhan harian rumput laut ... 124
5 Uji present value biomasa dan karaginan rumput laut pada kawasan stabil baik ... 126
6 Uji present value biomasa dan karaginan pada kawasan stabil belum baik ... 127
7 Insentif harga dasar dan atap biomasa basah pada kawasan stabil belum baik dan stabil baik ... 128
8 Analisis keuntungan rata-rata pelaku budidaya rumput laut ... 129
9 Analisis net present value (NPV) kawasan usaha budidaya rumput laut ... 130
10 Analisis sphare rent (SR) kawasan usaha budidaya rumput laut ... 131
11 Analisis return to scale (RTS) usaha budidaya rumput laut ... 132
12 Analisis indeks relatif (IR) usaha budidaya rumput laut ... 134
13 Analisis strategi pengelolaan kawasan budidaya rumput laut ... 140
14 Analisis excel solver bagi optimasi pengelolaan kawasan budidaya rumput laut ... 143
15 Analisis excel solver bagi titik impas penggunaan modal terhadap produksi ... 144
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gugus Pulau Kaledupa (GPK) merupakan bagian dari wilayah Kabupaten
Wakatobi berdasarkan UU nomor 29/2003 tentang pembentukan Kabupaten
Bombana dan Wakatobi. Kabupaten Wakatobi melingkupi seluruh kawasan
Taman Nasional Laut Wakatobi (TNLW) yang ditetapkan sebelumnya dengan SK
Menteri Kehutanan RI nomor 393/Kpts-VI/1996. Oleh karena itu, GPK memiliki
dua peranan dalam konteks pengelolaan sumberdaya. Pertama, sebagai daerah
pemanfaatan sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat Wakatobi pada
umumnya dan masyarakat GPK pada khususnya. Kedua, sebagai kawasan
konservasi sumberdaya yang harus dipertahan keberadaanya bagi kepentingan
daerah, nasional maupun internasional.
Salah satu bentuk kegiatan yang dapat menunjang kesejahteraan masyarakat
dan pelestarian sumberdaya adalah budidaya rumput laut. Menurut Anggadiredja et
al. (2006), rumput laut secara ekologi memegang peranan sebagai produsen primer
(penghasil bahan organik dan oksigen) di lingkungan perairan. Kedua bahan ini
perupakan sumber penghidupan bagi manusia dan biota akuatik seperti ikan, bulu
babi, penyu dan hewan herbivor lainnya. Dengan demikian rumput laut, disamping
plankton, berfungsi sebagai penyangga kehidupan dalam suatu lingkungan ekologi.
Dalam pertimbangan sosial, budidaya rumput laut telah dikenal oleh
masyarakat Kaledupa sebagai salah satu kegiatan yang mampu mempererat
hubungan antara masyarakat dengan lingkungan perairan. Fox (2005) menilai
bahwa pemanfataan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut
mampu menumbuhkan rasa memiliki kawasan di kalangan masyarakat Kaledupa
untuk dijaga dan dipertahankan. Pandangan tersebut mengasumsikan pentingnya
keterlibatan sosial dalam pengelolaan perairan pesisir GPK melalui kegiatan
budidaya rumput laut. Dengan demikian, upaya konservasi terutama dari berbagai
aktivitas pemanfaatan sumberdaya laut yang tidak berwawasan lingkungan seperti
penggunaan racun dan atau bom dapat dilakukan secara bersama.
Dalam perspektif ekonomi, budidaya rumput laut dipandang sebagai kegiatan
tangan masyarakat untuk memproduksi biota (rumput laut) melalui pemeliharaan
akan meningkatkan produktivitas perairan dan mendatangkan keuntungan secara
ekonomi. Anggadiredja et al. (2006) menambahkan bahwa tingkat permintaan akan
komoditas rumput laut (Eucheuma cottonii) terus mengalami peningkatan (rata-rata
10% per tahun). Demikian pula dengan harga yang mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 0.07% per tahun. Perkiraan kebutuhan dunia akan produk ini dapat mencapai
274 100 ton dengan harga sekitar U$ 0.82 kg-1 pada 2010. Kemampuan luar negeri
untuk memenuhi kebutuhan tersebut mencapai 165 000 ton/tahun (Filiphina 77.2%;
Tanzania 5.4% dan lainnya 0.7%). Sisanya diharapkan dari Indonesia sebanyak
16.7%. Dengan demikian, budidaya rumput laut dipandang sebagai salah usaha yang
penting untuk dikembangkan dan dapat dijadikan salah satu matapencaharian utama
masyarakat.
Tingginya kebutuhan dunia akan produk rumput laut dapat dikaitkan dengan
dua hal pokok. Pertama, hidrokoloid yang berasal dari tumbuhan ini tidak
mengakibatkan efek samping terhadap kesehatan bila dikonsumsi dalam bentuk
makanan atau obat-obatan. Kedua, penggunaannya dalam industri nonpangan dan
berbagai industri lainnya semakin meluas seperti tekstil, cat, keramik dan kertas.
Upaya pemenuhan kebutuhan dunia akan komoditas ini, Indonesia hanya
menempati posisi kedua setelah Filiphina (77.2% berbanding 16.7%). Luas
pemanfaatan perairan pesisir Indonesia baru mencapai 9.7% bagi usaha ini
(Anggadiredja et al. 2006). Rendahnya tingkat pemanfaatan tersebut, disebabkan oleh
beberapa hal seperti:
a. Keterbatasan permodalan untuk membantu petani nelayan yang
membutuhkannya.
b. Keterbatasan penerapan dan alih teknologi budidaya rumput laut yang
dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas hasil panen yang berkualitas
melalui penelitian, percontohan, pelatihan, magang dan penyuluhan;
c. Kurangnya penyediaan sumberdaya manusia terlatih melalui kegiatan
pendidikan dan pelatihan terstruktur sesuai segmen budidaya yang diminati
pembudidaya rumput laut.
d. Terbatasnya pola pengaman terpadu dengan mengikutsertakan masyarakat
e. Pengembangan Budidaya Rumput Laut masih dilaksanakan sendiri – sendiri
secara sektoral.
Dengan demikian, kondisi ini dipandang sebagai faktor pemicu yang mengakibatkan
Indonesia bukan sebagai negara produsen rumput laut dunia.
Pemanfaatan perairan pesisir untuk usaha budidaya rumput laut tergantung
pada ketersediaan sumberdaya alam (lokasi & bibit) dan sumberdaya manusia
(tenaga kerja). Salah satu potensi Indonesia untuk pengembangan usaha ini adalah
GPK yang memiliki perairan pesisir sekitar 13 900 ha termasuk tubir karang datar
(Duncan 2005). Perairan tersebut mengandung potensi untuk usaha budidaya
rumput laut sekitar 8 200 ha (Manafi 2003). Di sisi lain, GPK memiliki populasi
masyarakat dalam usia produktif secara ekonomi sekitar 60% dari total penduduk
17 604 jiwa. Dalam populasi ini terdapat 5 292 kepala keluarga yang berarti
bahwa setiap keluarga beranggotakan empat orang (PDKW 2006). Perbandingan
antara ketersediaan kawasan dan jumlah kepala keluarga adalah sekitar 1.55
ha/kk. Harapan tersebut melebihi standar ideal pemanfaatan (0.20 ha/kk) yang
dapat mensejahterakan satu keluarga dengan jumlah anggota tiga hingga empat
orang. Dala standar tersebut, keluarga atau pelaku budidaya bersangkutan dapat
memperoleh tingkat pendapatan sebesar Rp 33 600 000 atau keuntungan sekitar
Rp 24 052 000/kk/panen (Anggadiredja et al. 2006).
Optimalisasi pemanfaatan kawasan ini berjalan lambat. Fox (2005) menyatakan
bahwa tingkat pemanfaatan kawasan tersebut baru mencapai 795 ha dengan rata-rata
peningkatan sekitar 2.80% per tahun sejak awal pemanfaatannya (1993). Optimalisasi
pemanfaatan diperhadapkan pula dengan produktivitas kawasan yang berbeda-beda.
Smart (2005) menunjukkan kisaran produktivitas tersebut antara 0.02 hingga
8 (ton/ha)/panen kering dengan masa pemeliharaan rata-rata 41 hari. Sebagian besar
(97.30%) pemanfaatan kawasan ini masih tergolong dalam produktivitas < 1
(ton/ha)/panen kering atau 0.43 (ton/ha)/panen kering (jarak tanam 100x25 cm,
biomas awal 25 g, LPH 3%, konversi basah : kering adalah 7 : 1). Kondisi ini
memberikan contoh tentang pemilihan lokasi yang kurang baik sehingga dapat
berimplikasi terhadap menurunnya minat masyarakat Kaledupa untuk memanfaatkan
perairan pesisir dalam bidang usaha ini. Karenanya, diperlukan kajian pengelolaan
Perumusan Masalah
perairan pesisir GPK ditetapkan sebagai salah satu kawasan Taman
Nasional Laut Wakatobi (TNLW). Penetapan tersebut didasarkan atas tingkat
keanekaragaman hayati yang tergolong tinggi. WWF dan TNC (2003)
menyatakan bahwa dalam TNLW terdapat 396 spesies karang Scleractinia, 10
spesies non Scleractinia dan 28 genera karang lunak. Selain itu, ditemukan 590
spesies ikan, 31 spesies Foraminifera dan 668 spesimen Stomopod.
Salah satu ketentuan yang memuat tentang pemanfaatan taman nasional
adalah Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam
dan ekosistemnya. Dalam ketentuan umum UU tersebut dinyatakan bahwa taman
nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli dan
dikelola dengan sistem zonasi. Salah satu tujuan pemanfaatan taman ini adalah
sebagai penunjang budidaya yang dapat mengusahakan kelestarian sumberdaya
hayati dan lebih mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemanfaatan kawasan untuk usaha budidaya yang mengunakan plasma
nutfah lokal (garangga kanse atau Caulerpa lentillifera) tidak berhasil mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat GPK. Jenis ini
banyak dijumpai disekitar Pulau Hoga dan di sebelah timur perairan laut Fatuhari.
Produksi terakhir mencapai 5 ton pada awal 1993, namun akibat turunannya harga
komoditas kering hingga mencapai Rp 50 kg-1, menjadikan usaha ini tidak
berkelanjutan sebagai penunjang kesejahteraan masyarakat.
Berkurangnya salah satu unsur penunjang kesejahteraan masyarakat
berdampak pada peningkatan ekploitasi sumberdaya yang tidak ramah
lingkungan. Di antaranya adalah pengambilan batu karang, penggunaan racun
(sianida) dan bom dalam upaya penangkapan ikan (Hidayati at al. 2007).
Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa kondisi terumbu karang hidup mengalami
penurunan hingga mencapai rata-rata tutupan sekitar 31%. Hal ini
mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan tutupan dari kondisi baik menjadi
kriteria cukup bila didasarkan pada kategori sangat baik (75–100%), baik (50–
74.90%), cukup (25–49.90%). Demikian pula dengan kondisi penangkapan ikan
yang dinyatakan bahwa 80, 49 dan 61% nelayan tradisional mengalami penurunan
Dampak dari turunnya harga rumput laut asal Kaledupa adalah timbulnya
upaya dari pedagang pengumpul lokal untuk memperolah bibit rumput luat yang
banyak diminati pasar dan bernilai ekonomi tinggi. Melalui Dinas Pertanian
Provinsi Sulawesi Tenggara, upaya itu diwujudkan dengan hadirnya rumput laut
dari jenis E. cottonii asal Sabah (Malaysia) di GPK. E. cottonii pertama kali
dibudidayakan oleh masyarakat Sombano di perairan sebalah Barat GPK,
kemudian menyebar hingga ke sebelah Timur GPK. Memperhatikan minat
masyarakat dan program perlindungan sumberdaya alam hayati, maka Pemerintah
Daerah Wakatobi mencanangkan perairan pesisir GPK sebagai sentral produksi
rumput kabupaten (PDKW 2006).
Potensi perairan pesisir GPK untuk budidaya rumput laut dapat dibagi menjadi
dua kategori yaitu sesuai (KS) dan sangat sesuai (KSS). Kedua kawasan ini memiliki
luas sekitar 4 500 dan 3 700 ha. Hal ini didasarkan atas parameter fisik kimia
perairan seperti pH, salinitas, suhu permukaan laut, kecepatan arus, kecerahan,
kekeruhan dan material dasar perairan dengan skor yang lebih tinggi bagi KSS
(Manafi 2003). Dalam pemanfaatannya, Smart (2005) menunjukkan adanya
perbedaan produksi di kedua kawasan. Namun demikian, keduanya belum
mempertimbangkan peranan musim yang dapat berpengaruh terhadap perubahan
produktivitas kawasan sebagaimana yang dibuktikan Sedana at al. (1985) di Pulau
Serangan, Provinsi Bali.
Sedana at al. (1985) menyatakan bahwa selama kurun waktu Oktober-November
(bulan kering) pertumbuhan rumput laut cenderung lebih cepat daripada Desember–
Maret (bulan basah). Pengamatan setiap empat minggu tercatat laju pertumbuhan
harian (LPH) antara 0.90–8.80% per hari. Romimohtarto (1985) dan Nontji (2005)
bahwa udara basah memperkuat pendinginan, akibatnya tingkat penguapan
menurun sehingga kadar salinitas rendah di lapisan permukaan. Dalam kondisi
seperti ini, rumput laut mengalami proses osmoregulasi (mekanisme penyerapan air
tawar terjadi) sehingga menyebabkan terhambatnya proses pertumbuhan. Selain itu,
diperolah bahwa perubahan LPH rumput laut dipengaruhi oleh usia pemeliharaan. LPH
tertinggi terdapat pada minggu-minggu awal, kemudian kecepatannya berkurang dan
4.00–6.00% per hari. Perubahan ini sangat penting artinya untuk mengetahui waktu
optimal pemanfaatan kawasan selama satu kali proses produksi rumput laut.
Pengelolaan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut yang tidak
mempertimbangkan usia pemeliharaan optimal (panen lebih awal atau lebih lambat)
akan diperhadapkan dengan beberapa kendala. Pertama, tidak terpetakannya fungsi
kawasan penunjang (penyedia bibit) dan fungsi kawasan pembesaran. Biasanya,
pelaku budidaya di GPK melakukan panen pada usia 45 hari untuk mengejar
kepentingan pasar yang memberikan standar tersebut tanpa memperhatikan
kemampuan kawasan dalam menunjang LPH rumput laut. Indikator biomasa dan
karaginan dapat digunakan dalam menyatakan suatu kawasan sebagai penyedia bibit
dan atau pembesaran. Sulistijo (1985) berpendapat bahwa tanaman Eucheuma dengan
LPH 2% per hari pada pemeliharaan di Bali selama 35 hari sudah dapat dilakukan
panenan karena tanaman sudah menjadi dua kali lipat biomasa semula. Demikian
pula Sulistijo, Syafri (1991) menyatakan bahwa tanaman E. cottonii di Pulau Pari
dengan LPH 3 hingga 5% per hari dapat mencapai kadar karaginan 35 hingga 45%
pada usia pemeliharaan enam minggu. Pernyataan ini memberikan pendekatan bahwa
ketika suatu kawasan hanya mampu menunjang LPH 2% per hari, maka usia
pemeliharaan optimal dalam kawasan tersebut dapat memberikan keuntungan dari
sisi biomasa (penyedia bibit). Ketika suatu kawasan mampu menunjang LPH 3% per
hari, maka kuntungan dari pengguna kawasan tersebut dapat diperoleh dari kadar
karaginan pada batas pemeliharaan optimal.
Kendala kedua adalah tidak terpetakannya mutu produksi dengan baik.
Kualitas E. cottonii ditentukan oleh kadungan karaginan yang terbentuk pada
dinding sel. Kandungan ini cenderung meningkat seiring dengan pertambahan
usia pemeliharaan, namun demikian, pada usia tertentu sebagian kadar karaginan
akan terurai menjadi cadangan energi bagi pembentukan cabang baru (Apriyana,
2006). Penambahan usia pemeliharaan yang lebih lama menyebabkan gel yang
terbentuk dari kappa karaginan menjadi rapuh akibat efek ion potasium yang terus
berlanjut (Guiseley diacu dalam Apriyana 2006). Dengan demikian, pemutusan
rantai produksi yang lebih cepat dan atau lebih lambat akan berdampak pada
kundungan karaginan yang tidak optimal. Tambahannya adalah harga yang dapat
Ketiga, tidak terpetakannya insentifikasi harga yang dapat terjadi pada pasar di
tingkat lokal (pasaran bibit). Dalam hal ini, terdapat pengalaman pelaku bahwa
pergantian penggunaan bibit dari kawasan kurang subur ke lebih subur atau
sebaliknya dapat memberikan pertumbuhan rumput laut yang lebih baik. Pola
pemanfaatan seperti ini dapat menciptakan kondisi surplus dan defisit produksi bibit
apabila tidak memperhatikan usia pemeliharaan yang optimal. Dalam kondisi surplus
harga dapat berada di bawah harga dasar, sementara pada kondisi defisit, dapat
melebihi harga atap. Akibatnya, insentif harga ditingkat pelaku tidak teratur dan
perencanaan akan kebutuhan bibit baik untuk lokasi yang telah dimanfaatkan maupun
bagi program pengembangan kawasannya tidak dapat berjalan dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas, maka keterkaitan antara pengelolaan kawasan
dan usia pemeliharaan rumput laut adalah terjadi dalam hubungan perencanaan
bagi penentuan periode pemanfaatan kawasan (sekali proses produksi).
Munculnya usia pemeliharaan optimal, memudahkan dalam pengorganisasian
kawasan berdasarkan kemampuannya dalam menunjang produk rumput laut pada
titik optimal pemeliharaan. Akhirnya indikator kontrol dalam pemanfaatan
kawasan dapat ditentukan berdasarkan kualitas rumput laut pada titik
pemeliharaan optimal.
Harapan hidup bagi masyarakat Kaledupa yang mengantungkan hidupnya pada
pemanfaatan perairan pesisir GPK semakin terbuka. Sebagaimana UU No. 5 tahun
1990 yang menyatakan bahwa pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem
zonasi, maka Pemda Wakatobi menetapkan zona penggunaan lokal sebesar 54% dari
total wilayahnya. Harapan ini muncul pula dari UU No. 27 tahun 2007 tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menggariskan hak
pengusahaan perairan pesisir (HP-3) dalam bentuk sertifikat. Namun demikian,
ketentuan tersebut membutuhkan kelengkapan indikator pemanfaatan seperti nilai-nilai
produksi dan biaya yang diperlukan bagi ketentuan pengalihan hak, beban tanggungan
dan besarnya jaminan modal yang dapat diperuntukkan bagi pengguna kawasan.
Kriteria pemanfaatan perairan pesisir GPK sangat ditentukan oleh besarnya
partisipasi masyarakat. Berdasarkan jumlah KK sebagaimana disebutkan
sebelumnya, maka pemanfaatan perairan pesisir GPK dapat didistribusikan
Distribusi kepala keluarga (KK) pada masing-masing kawasan dapat mencapai 2
911 dan 2 382 KK. Peruntukan lokasi pemanfaatan bagi masing-masing KK dapat
mencapai 1.54 dan 1.55 ha/KK. Dalam pandangan umum bahwa setiap KK akan
lebih memilih KSS dari pada KS, namun demikian, Fox (2005) menyatakan
bahwa masyarakat Kaledupa lebih memilih KS akibat faktor keamanan dari akses
transportasi dan kedekatan dengan lokasi pemukiman. Hal ini ditunjukkan dengan
tingginya tingkat pemanfaatan KS (> 41 KK/lokasi), sedangkan lainnya masih
berada dibawah 30 KK/lokasi.
Tingkat pemanfaatan kawasan yang tinggi dan terpusat pada satu lokasi dapat
menyebabkan berkurangnya produktivitas dan distribusi luasan pemanfaatan per KK.
Hal tersebut dapat mempengaruhi keuntungan yang diperoleh pengguna. Fox (2005)
menilai bahwa kondisi tersebut cenderung membuat pengguna meninggalkan usaha
budidaya rumput laut, terutama pada musim-musim tertentu. Menyadari hal tersebut,
maka dalam pengelolaan perairan pesisir GPK perlu mempertimbangkan skala
pengembalian usaha dan jumlah pengguna kawasan dalam perumusan strategi dan
skenario untuk meningkatkan kepusan pelaku budidaya.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalah yang diangkat adalah:
1. Bagaimanakah kondisi aktual pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha
budidaya rumput laut berdasarkan kesesuaian kawasan dan musim?,
2. Bagaimanakah akses modal bagi optimalisasi pemanfaatan perairan pesisir GPK
untuk usaha budidaya rumput laut? dan
3. Bagaimanakah strategi dan skenario pengelolaan perairan pesisir GPK untuk
meningkatkan kepuasan pelaku budidaya?.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji kondisi aktual pemanfaatan perairan
pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut berdasarkan pertimbangan kesesuaian
kawasan dan musim. (2) mengkaji parameter agunan kawasan budidaya rumput laut
agar dapat dimanfaatkan secara optimal. (3) mengkaji strategi dan skenario pengelolaan
perairan pesisir GPK untuk meningkatkan kepuasan pelaku budidaya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai: (1) basis data
pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut sehingga
landasan akses modal bagi pengembangan pemanfaatan kawasan dalam usaha
budidaya rumput laut; dan (3) landasan strategis pengelolaan perairan pesisir GPK
untuk usaha budidaya rumput laut di GPK agar tetap menguntungkan dan
menjamin kepuasan pelaku budidaya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian dibatasi pada perairan pesisir laut yang sesuai dan sangat sesuai untuk
budidaya rumput laut menurut Manafi (2003) di Gugus Pulau Kaledupa (GPK),
2. Budidaya rumput laut dibatasi pada metode long line,
3. Parameter pertumbuhan rumput laut dibatasi pada pertambahan biomasa dan
kadar karaginan rumput laut (E. cottonii) berdasarkan usia pemeliharaan pada
Musim Timur, Barat dan Pancaroba dan
4. Kajian pengelolaan didasarkan pada pendekatan ekologi (luas ketersediaan &
alokasi waktu pemanfaatan kawasan optimal), sosial (ketersediaan tenaga &
alokasi waktu kerja serta demand capacity ratio), ekonomi (input: penggunaan
bibit, fasilitas produksi, luas pemanfaatan kawasan, operasional, tenaga kerja &
alokasi waktu kerja; output: nilai manfaat biomasa & keraginan).
Kerangka Pemikiran
Pengelolaan perairan pesisir GPK diperhadapkan pada dua hal pokok, yaitu
kebijakan nasional dan daerah. Secara nasional, perairan pesisir GPK harus dilestarikan
berdasarkan keaslian ekosistem sumberdaya hayati yang dimilikinya. Di sisi lain,
Pemerintah Daerah Wakatobi dituntut mensejahterakan masyarakatnya melalui
pemanfaatan semua potensi daerah. Salah satu aplikasi pemanfaatan perairan pesisir
GPK yang dapat mengadopsi kedua hal tersebut adalah budidaya E. cottonii dengan
sistem zonasi. Hal ini disebabkan oleh berperanan E. cottonii sebagai produsen primer
dalam lingkungan ekologi, penjalin hubungan yang erat antara masyarakat dan
lingkungan perairan pesisir. Selain itu, diharapkan mampu menciptakan kondisi
perekonomian yang mensejahterakan masyarakat. Dalam sistem zonasi, dimana
wilayah perairan dibagi menjadi kawasan-kawasan tertentu seperti kawasan budidaya
rumput laut berdasarkan karakteristik fisik kimia yang ada dapat memudahkan
Pengelolaan perairan pesisir untuk usaha budidaya rumput laut perlu
mempertimbangkan dua hal yaitu kawasan budidaya dan populasi masyarakat
GPK. Kawasan, dipertimbangkan melalui keberadaan KSS dan KS dalam skala
luas (ha) berdasarkan parameter kualitas perairan laut dan pengaruh musim.
Masuknya peranan musim kedalam pengklasifikasian KSS dan KS dapat
memberikan gambaran tentang tingkat kestabilan kawasan dalam menunjang
produksi rumput laut di semua musim. Dengan demikian, kondisi aktualnya dapat
dibedakan berdasarkan produktivitas masing-masing kawasan di setiap musim.
Populasi masyarakat dipertimbangkan melalui ketersediaan tenaga kerja dan
modal. Tenaga kerja mengandung dua asumsi yaitu kepala keluarga (KK) sebagai
pemegang keputusan dan tenaga pendukung aktivitas KK dalam menjalankan usaha
budidaya E. cottonii. Tenaga pendukung dapat berasal dari anggota keluarga dan luar
keluarga yang didekati berdasarkan usia produktif secara ekonomi dan kebiasaan
masyarakat dalam melibatkan tenaga kerja. Modal dibangun berdasarkan dua asumsi.
(1) Alokasi waktu yang tersedia dalam satu keluarga untuk berpartisipasi dalam
kegiatan budidaya. Asumsi ini memberikan batasan kerja setiap orang yang
berpartisipasi pada suatu unit usaha sehingga sumbangsinya dapat berlangsung
beberapa unit usaha. (2) Kemampuan finansial keluarga untuk membangun usaha
tersebut. Asumsi ini memberikan batas terhadap kesediaan pelaku budidaya untuk
meraih kepuasan melalui usaha budidaya E. cottonii.
Hubungan antara kedua pertimbangan pengelolaan tersebut membentuk
karakteristik pemanfaatan yang tergabung kedalam skala pengembalian usaha.
komponen-komponen penyusun dalam gabungan ini adalah luas penggunaan
kawasan, bibit, fasilitas produksi, oprasional, tenaga dan alokasi waktu kerja
(input) serta jumlah produksi (output). Masing-masing komponen selanjutnya
diestimasi untuk merumuskan strategi pengelolaan perairan pesisir GPK untuk
usaha budidaya E. cottonii berdasarkan pendekatan ekologi, sosial dan ekonomi.
Terdapat dua aspek yang digunakan sebagai atribut dimensi dalam pendekatan
ekologi yaitu ketersediaan kawasan dan produksi E. cottonii. Ketersediaan
merupakan perbandingan antara luas masing-masing kawasan dengan luas blok
budidaya yang kemudian disesuaikan dengan koefisien budidaya efektif.
menunjang metoda budidaya (long line) yang digunakan. Aspek produksi (AP)
merupakan produktivitas E. cottonii dalam mencapai titik optimal (TO) biomasa dan
karaginan. Perhatian utama diantara keduanya adalah periode waktu pencapaian TO
manfaat karaginan karena kualitas dari E. cottonii ditentukan oleh kandungan ini.
Dengan demikian atribut AP memberikan batasan terhadap periode waktu optimal
pemanfaatan kawasan dalam sekali proses produksi sehingga diharapkan dapat
membantu proses perencanaan terutama penentuan fungsi kawasan.
Pendekatan sosial menggunakan dua atribut dari komponen skala
pengembalian usaha yang dilengkapi dengan atribut demand capacity ratio (DCR)
sebagai penghubung atau interaksi antara pendekatan sosial-ekologi. Dua atribut
pertama adalah beban kerja budidaya dan penggunaan tenaga kerja dalam satu
siklus produksi. Atribut ini menggambarkan tentang alokasi waktu yang perlu
dikorbankan untuk menekuni kegiatan budidaya dan tingkat penyerapan tenaga
kerja dalam satu unit usaha. Dalam hubungannya, kedua atribut memiliki
keterkaitan dengan asumsi modal pertama sebagaimana disebutkan di atas. DCR
menggambarkan tentang tingkat kepadatan pemanfaatan suatu kawasan. Dalam
hal ini, peluang distribusi atau penambahan unit usaha (KK) adalah terdapat pada
kawasan yang memiliki tingkat kepadatan rendah, sedangkan pada kepadatan
tinggi perlu mendapat pertimbangan menurut pendekatan ekologi-ekonomi.
Pendekatan ekonomi didasarkan atas komponen-komponen skala pengembalian
usaha yang dinyatakan dalam bentuk nilai tukar atau harga. Dalam hal ini, komponen
luas penggunaan kawasan (LPK) terlebih dahulu dipisahkan untuk sementara akibat
nilai tukarnya yang belum dapat dinyatakan. Selain LPK, komponen input merupakan
kekuatan modal yang dialokasikan pelaku bagi usaha budidaya E. cottonii. Besarnya
nilai-nilai atribut ini memberikan gambaran tentang skala biaya ditingkat pelaku yang
dapat dinyatakan dalam indeks relatif rendah, sedang dan tinggi untuk kepemilikan
masing-masing komponen input. Demikian pula dengan atribut output yang merupakan
tingkat produksi sebagai penerimaan setelah dikonfersi dengan harga penjualan.
Dengan demikian, pemetaan ekonomi berdasarkan indeks relatif diharapkan mampu
memudahkan penentuan prioritas perencanaan dalam mendorong tingkat kepuasan
Hubungan pendekatan ekologi-ekonomi diharapkan dapat menyatakan nilai
agunan suatu kawasan pemanfaatan. Dalam hubungan ini, terdapat selisih antara
biaya dan tingkat penerimaan yang merupakan nilai keuntungan dari bentuk usaha
budidaya E. cottonii. Di sisi lain, usaha tersebut dilakukan pada sebidang kawasan
dalam bentuk hektar (ha) yang menyatakan bahwa keuntungan tersebut diperoleh
akibat komplementaritas antara input dalam pendekatan ekonomi dengannya.
Dengan demikian, perbandingan antara nilai keuntungan dengan luas kawasan
pemanfaatan diharapkan dapat menjadi nilai tukar yang diposisikan sebagai
tawaran nilai agunan kawasan.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hubungan antara dua pertimbangan
pengelolaan adalah tergabung dalam skala pengembalian usaha, maka interaksi
antara pendekatan ekologi-sosial-ekonomi juga terkait dengannya. Skala tersebut
yang merupakan skala kerja beberapa faktor input untuk membentuk skala hasil,
dimana perbandingannya dapat membentuk nilai pengembalian yang disebut
dengan nilai manfaat dari suatu penggunaan input. Dalam penggunaan yang
efisien terdapat komplementaritas penggunaan input yang membentuk skala
pengembalian manfaat yang berjumlah satu. Kelebihan dan kekurangan dari total
ini dapat memberikan arti bahwa skala tersebut telah berada dalam kondisi over
limited dan belum efesien. Dengan demikian perencanaan pengelolaan suatu
kawasan untuk usaha budidaya rumput laut didasarkan pada indikator ini.
Selanjutnya, interaksi antara ketiga dimensi pendekatan
(ekologi-sosial-ekonomi), dapat memberikan keunggulan relatif pemanfaatan masing-masing
kawasan budidaya rumput laut. Dalam hal ini, keunggulan relatif masing-masing
atribut dimensi dapat mempengaruhi total nilai indeks dimensi yang
mengambarkan aspek manfaat kawasan. Selisih antara indeks manfaat total
dengan indeks kompetisi biaya pemanfaatan melahirkan indeks kepuasan
pengguna kawasan. Dengan demikian, strategi pengelolaan dapat difokuskan pada
kawasan yang dipersepsikan belum memberikan kepuasan kepada pelaku
budidaya rumput laut.
Konsep pemikiran tersebut tersebut dapat disusun dalam bentuk bagan alir
Keterangan:
(dokumen), (keputusan), (input keputusan),
(penekanan keputusan), (proses keputusan),
(multi dokumen), (interaksi)
Gambar 1 Bagan kerangka pikir penelitian.
Taman Nasional Laut Wakatobi Kebijakan Pemda Wakatobi
Pemanfaatan yang konservatif
Luas kawasan KSS & KS Populasi masyarakat GPK
Perubahan musim (Timur, Pancaroba, Barat)
Produksi
Produktifitas
Modal (waktu kerja, finansial)
Tenaga kerja
Kriteria pemanfaatan kawasan
Pendekatan ekonomi (Input & output)
Pendekatan sosial (beban & tenaga kerja, DCR) Pendekatan ekologi
(luas & produksi kawasan)
Interaksi (return to scale)
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Wilayah Pesisir
Pengelolaan wilayah pesisir membutuhkan definisi dan penentuan
batas-batas wilayah. Sampai saat ini, belum ada definisi wilayah pesisir yang baku.
Beatley et al. (1994) menyatakan bahwa kesepakatan internasional tentang
wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Cakupan
ke arah darat meliputi daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau
pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua.
Bengen (2005) memberikan batasan terhadap wilayah pesisir sebagai
berikut: (1) Ke arah darat, meliputi bagian daratan kering maupun basah yang
mendapat pengaruh sifat-sifat air seperti pasang surut, angin laut dan perembesan
air asin. (2) Ke arah laut, mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar.
Isard (1975) menganggap pengertian suatu wilayah pada dasarnya bukan
sekedar areal dengan batas-batas tertentu, namun suatu areal yang memiliki arti
karena adanya masalah-masalah di dalamnya. Masalah tersebut terjadi sedemikian
rupa dan pada akhirnya membutuhkan penanganan, khususnya permasalahan
sosial-ekonomi. Sejalan dengan itu, Bengen (2005) menyatakan bahwa penetapan
batas-batas fisik suatu wilayah pesisir secara kaku kurang begitu penting untuk kepentingan
pengelolaan. Lebih berarti jika penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan
atas faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan dan pengelolaan ekosistem
pesisir dan laut beserta segenap sumber daya yang ada di dalamnya.
Bengen (2005) melanjutkan pernyataannya bahwa batas-batas suatu wilayah
pesisir bagi kepentingan pengelolaan lebih utama ditentukan berdasarkan tujuan dari
pengelolaan itu sendiri. Dalam kepentingan tersebut, wilayah pesisir dapat ditetapkan
berdasarkan dua pendekatan, yaitu wilayah perencanaan dan pengaturan. Wilayah
perencanaan merupakan seluruh daerah yang di dalamnya terdapat kegiatan manusia
(pembangunan) dan dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan
dan sumberdaya pesisir. Wilayah pengaturan adalah wilayah yang diberikan izin
Bengen (2005) menyatakan pula bahwa dalam pengelolaan wilayah
pengaturan, pemerintah (pihak pengelola) memiliki kewenangan penuh untuk
mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan. Kewenangan semacam
ini diluar batas wilayah pengaturan, sehingga menjadi tanggung jawab bersama
antara instansi pengelolaan wilayah pesisir dalam zona pengaturan dengan instansi
yang mengelola daerah hulu atau laut lepas. Rustiadi et al. (2007) menyatakan
bahwa wilayah kesatuan unit-unit koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada
tujuan dan penyelesaian masalah tertentu disebut sebagai wilayah perencanaan.
Rustiadi et al. (2007) menyatakan bahwa dalam sistem perencanaan wilayah
pesisir dilandasi oleh entitas wilayah. Entitas tersebut terdiri dari
komponen-komponen yang merupakan satu kesatuan, memiliki keterkaitan, ketergantungan dan
interaksi satu dengan lainnya. Komponen-komponen ekosistem wilayah pesisir
dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah baik sifat alamiah
maupun non alamiah.
Budiharsono (2005) menyatakatan bahwa sifat-sifat yang ada di wilayah pesisir
didasarkan atas pendekatan homogen, nodal, administratif dan perencanaan. Dalam
konteks homogen, Pesisir merupakan penghasil ikan dan memiliki kepadatan
penduduk yang tergolong dibawah garis kemisikinan. Dalam konteks nodal, pesisir
merupakan wilayah belakang (plasma) dari perkotaan (inti). Kenyataannya adalah
pesisir sebagai penyedia input bagi inti dan merupakan pasar barang-barang jadi
(output) dari inti. Sebagai wilayah administratif, pesisir merupakan wilayah yang
relatif kecil, dapat berupa kecamatan atau desa dan kabupaten atau kota yang berupa
pulau kecil. Dalam konteks perencanaan, pesisir merupakan wilayah yang memiliki
hubungan keterkaitan berdasarkan kriteria ekologis.
Menurut Bengen (2005) bahwa wilayah pengelolaan sehari-hari harus
dimasukkan ke dalam wilayah perencanaan. Penerapan wilayah homogen menjadi
wilayah perencanaan sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan
permasalahan spesifik yang seragam. Rustiadi et al. (2007) mengemukakan bahwa
penerapan lebih jauh konsep wilayah homogen menjadi wilayah perencanaan sangat
bermanfaat dalam aktifitas:
1. Penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi atau daya
2. Pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan
masing-masing wilayah.
Konsep Ruang dan Kawasan Budidaya Rumput Laut
Penggunaan istilah ruang di Indonesia termuat dalam UU No. 26/2007
tentang penataan ruang. Istilah tersebut dinyatakan sebagai wadah yang meliputi
daratan, perairan (laut dan air tawar) dan udara. Kesatuan wadah ini disebut
sebagai wilayah tempat manusia dan mahluk lainnya untuk hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Berpedoman pada UU
tersebut, maka ruang merupakan suatu informasi penting tentang keberadaan
suatu wadah secara komprehensif dalam kaitannya dengan keterlibatan manusia
yang melakukan aktifitas didalamnya.
Rustiadi et al. (2007) menyatakan bahwa penekanan suatu ruang kedalam
fungsi tertentu untuk menunjang aktifitas manusia disebut dengan kawasan. Istilah
kawasan muncul dari adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan
komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah atau ruang. Dengan demikian,
setiap kawasan atau sub kawasan memiliki fungsi-fungsi khusus yang tentunya
memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan.
Johnston (1976) menyatakan bahwa pengklasifikasian ruang kedalam kawasan
tertentu memiliki dua manfaat dasar yakni : (1) sebagai alat penyederhanaan
fenomena dunia nyata, dan (2) sebagai alat pendeskripsian. Rustiadi et al. (2007)
menambahkan bahwa hal ini juga memberikan manfaat terhadap penjelasan yang
sederhana terhadap keragaman dan perbedaan karakteristik sumberdaya-sumberdaya
serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya.
Terkait dengan pernyataan di atas, maka fenomena pengklasifikasian dunia
nyata dapat disederhanakan menjadi faktor-faktor ekologi yang meliputi substrat
perairan, kualitas air, iklim, dan geografis dasar perairan. Faktor lain yang tidak kalah
pentingnya adalah faktor kemudahan (aksesibilitas), resiko (masalah keamanan) dan
konflik kepentingan (pariwisata, perhubungan, dan taman laut nasional)
(Anggadiredja et al. 2006). Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa faktor-faktor tersebut
dapat mendeskipsikan suatu perairan menjadi kawasan budidaya Eucheuma sp ketika
a. Faktor fisika perairan: terlindung dari ombak besar, pergerakan air (arus)
0.2-0.4 m/detik, suhu perairan antara 20-30 0C dengan fluktuasi harian maksimum
4 0C, tingkat transparansi 2-5 meter, dasar perairan yang stabil terdiri dari
patahan karang mati dan pasir kasar serta bebas dari lumpur, kedalaman air
minimal 0.4 m hingga batas daya tembus sinar matahari dan pelaku budidaya
mampu memanfaatkannya.
b. Faktor kimia perairan: salinitas 28-33 o/oo, DO 3-8 mg/l, pH 6.5-8, kandungan
fosfat antara 0.10-0.20 mg/l, kandungan nitrat antara 0.01-0.7 mg/l (Joshimura
dalam Wardoyo 1978; Ditjenkan 1982; Anggadiredja et al. 2006).
Terkait dengan peranan suhu dan salinitas, Apriyana (2006) menyatakan
bahwa salinitas yang tinggi (lebih dekat dengan batas baku mutu tertinggi yaitu
35 o
/oo) dapat menunjang laju pertumbuhan yang lebih baik. Demikian pula GESAMP
(1984) diacu dalam Romimohtarto (1985) bahwa kisaran suhu di daerah tropis
sedemikian rupa sehingga banyak organisme hidup lebih baik dekat dengan batas
suhu tertinggi (30 oC).
Sejalan dengan pernyataan di atas, Manafi (2003) mendeskripsikan kawasan
budidaya rumput laut GPK ke dalam bentuk matriks kesesuaian dengan skor
tertinggi pada kisaran yang mendekati batas optimal (Tabel 1). Dalam hasil
analisisnya diperoleh bahwa potensi kawasan budidaya rumput laut di perairan
tersebut terdapat seluas 8 200 ha dengan rincian 3 700 haberada dalam kategori
sangat sesuai (KSS) dan 4 500 ha dalam kategori sesuai (KS).
Tabel 1 Matriks kesesuaian fisik kimia perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk budidaya rumput laut
Parameter Kelas Skor Kelas Skor Bobot
pH 7.5 - 8 8 7 - <7,5 6 10
Salinitas (o/oo) 32 - 35 8 30 - <32 6 10 Suhu permukaan laut (oC) 24 - 30 8 20 - <24 6 10 Kecepatan arus 13m (m/s) 0.3 – 0.4 8 >0.2 – 0.3 6 20 Kekeruhan (JTU) ≤ 28 8 >28 – 30 6 10 Material dasar perairan Pasir Karang 8 Pasir, batuan Karang 6 20 Sumber: Manafi 2003
Sebagaimana tabel di atas dapat dilihat bahwa kecepatan arus dan material
dasar perairan merupakan dua parameter yang diberi bobot tertinggi. Hal ini
dikarenakan arus sebagai faktor ekologis utama yang mengontrol kondisi komunitas
untuk menghindari fluktuasi suhu. Dinyatakan pula bahwa arus dapat menghindarkan
thallus dari akumulasi benda-benda asing yang melekat padanya serta mempercepat
metabolisme dan perpanjangan thallus sehingga menambah kemampuannya dalam
menyerap nutrien (Sulistidjo 1985, Sinaga 1999, Apriyana 2006, Anggdiredja et al.
2006). Dengan demikian, parameter ini mendapat bobot yang setingkat lebih tinggi
dalam kelipatan angka 10 jika banding parameter lainnya.
Mubarak dan Wahyuni (1981) menyatakan bahwa jenis-jenis substrat yang
dapat ditumbuhi oleh alga laut adalah pasir, lumpur, dan pecahan karang. Tipe
substrat yang paling baik bagi pertumbuhan alga laut adalah campuran pasir, karang
dan pecahan karang. Pada substrat perairan yang lunak seperti pasir dan lumpur, akan
banyak dijumpai jenis-jenis alga Halimeda sp., Caulerpa sp., Gracillaria sp., dan
hypnea. Pada dasar perairan yang bersubstrat keras seperti karang hidup, batu karang
dan pecahan karang akan banyak dijumpai jenis-jenis alga Sargasum sp., Turbinaria
sp., Ulva sp., dan Enteromorpha sp. Nontji (2005) menyatakan bahwa alga laut
Eucheuma sp. Paling baik pertumbuhannya pada pasir berkarang. Jenis ini,
membutuhkan benda-benda keras yang cukup kokoh untuk tempat melekatnya.
Dengan demikian material dasar perairan dalam pengklasifikasian kawasan bagi
kegiatan budidaya Eucheuma sp. diberikan bobot yang sama dengan arus.
Scharwz et al. (1976) diacu dalam Notohadinegoro (1999) menyatakan
bahwa kondisi suatu kawasan memiliki ambang batas kesanggupan bertahan
terhadap dampak penggunaan atau pemanfaatannya. Dahuri et al. (1996), Dahuri
(2000) menambahkan bahwa ambang batas ini tidaklah mutlak (obsolute)
melainkan luwes (flexible) bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi
atas pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima
dampak kegiatan manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan ruang yang
hendaknya diarahkan bagi terjaminnya keberlangsungan ekosistem yang ada
sebagai penyangga kehidupan di wilayah tersebut.
Legalitas Pemanfaatan Kawasan Bagi Usaha Budidaya Rumput Laut Tata ruang
Dalam UU No. 26/2007 tentang penataan ruang dinyatakan bahwa tata ruang
adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang direncanakan. Darwanto
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, termasuk dunia
usaha. Sugandhy (1999), Prayitno (1999) menambahkannya dengan ukuran kualitas
tata ruang ditentukan oleh terwujudnya harmonisasi antara kegiatan mengeksploitasi
dengan kegiatan memelihara yang mengindahkan kekhasan ekologis.
Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan
ekosistemnya dinyatakan bahwa pengelolaan tanam nasional bagi usaha budidaya
dilakukan dengan sistem zonasi. Dahuri et al. (1996) menyatakan bahwa setiap
kegiatan pembangunan yang diantaranya adalah budidaya perikanan termasuk E.
cottonii dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara
biofisik sesuai dan mendukung secara sosekbud sehingga membentuk suatu
mosaik yang harmonis. Dengan demikian, pemanfaatan suatu kawasan bagi usaha
budidaya E. cottonii dapat dilakukan dengan sistem zonasi yang ditempatkan pada
lokasi yang secara biofisik sesuai dan mendukung secara sosekbud serta tidak
mengesampingkan kekhasan ekologis.
Sebagai daerah kepulauan, maka Pemda Wakatobi menjabarkan sistem zonasi
yang konsisten dengan penataan ruang secara terpadu dan prinsip pembangunan
berkelanjutan kedalam satuan wilayah pulau (SWP). Dalam hal ini, GPK ditetapkan
sebagai SWP-II dengan salah satu sektor basis perikanan tangkap dan budidaya.
Komoditas unggulan dalam pemanfaatan kawasan bagi sektor ini adalah E. cottonii
yang dihasilkan dari kegiatan memelihara (PDKW 2006).
Kebijakan pembangunan perikanan
Salah satu ketentuan yang memuat kebijakan pembangunan perikanan adalah
UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa
perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan (termasuk rumput laut) dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengelolaan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Penjelasan berikutnya adalah pembudidayaan ikan (rumput laut) yang dinyatakan
sebagai kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan serta
memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. Kegiatan tersebut dinyatakan
pula secara implisit di dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
Pemerintah No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha perikanan. Selanjutnya disebutkan
bahwa setiap warga negara Republik Indonesia atau badan hukum termasuk koperasi
yang melakukan usaha pembudidayaan yang dilakukan secara terpisah maupun terpadu
dan wajib memiliki izin usaha perikanan (IUP).
IUP di bidang usaha budidaya rumput laut dapat dikeluarkan oleh: (1)
Dirjen Perikanan Budidaya, apabila usaha dilakukan di laut lepas dengan batas di
atas 12 mil laut; (2) Gubernur, apabila usaha dilakukan di laut dengan batas antara
4 mil s/d 12 mil laut; (3) Bupati/walikota, apabila usaha dilakukan dengan batas
kurang dari 4 mil laut.
Usaha budidaya yang dibebaskan tanpa IUP adalah: (1) Budidaya rumput laut
yang menggunakan metode lepas dasar dengan jumlah unit tidak lebih dari 8 unit,
masing-masing unit berukuran 100x5 m2. (2) Budidaya rumput laut yang
menggunakan metode rakit apung dengan jumlah unit tidak lebih dari 20 unit,
masing-masing unit terdiri dari 20 rakit dan masing-masing rakit berikuran 5x2.5 m2.
(3) Budidaya rumput laut yang menggunakan metode long line dengan jumlah unit
tidak lebih dari dua unit, masing-masing unit berukuran 1 ha.
Setiap usaha budidaya rumput laut yang telah memiliki IUP wajib: (1)
melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam IUP; (2) memohon persetujuan
tertulis apabila akan memindahtangankan IUP-nya; (3) menyampaikan laporan
kegiatan usaha setiap enam bulan sekali; (4) menyesuaikan rencana usaha apabila
melakukan perluasan usaha.
Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pembudidayaan rumput laut
dilakukan oleh Dirjen Perikanan Budidaya, gubernur, bupati atau walikota secara
teratur dan berkesinambungan. Kepada perusahaan budidaya rumput laut yang
melakukan pelanggaran ketentuan diberikan peringatan atau teguran tertulis,
pembekuan sementara IUP sampai dengan pencabutan IUP.
UU RI No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, dinyatakan bahwa hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) diberikan
dalam bentuk sertifikat HP-3 kepada pengusahaan atas permukaan laut dan kolom
air sampai dengan permukaan dasar laut. HP-3 dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebankan hak tanggungan. Hal ini memberikan harapan bagi pelaku
dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Ditjenkan Budidaya (2005)
menambahkan bahwa hal itu juga memberikan harapan bagi arahan alokasi
investasi pembangunan yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat
maupun dunia usaha.
Sektor perikanan merupakan matapencaharian utama masyarakat Wakatobi,
terutama pada ekosistem terumbu karang dan lamun. PDKW (2006) menyatakan
bahwa untuk menunjang hal tersebut, kebijakan pengembangan perikanan
kelautan Wakatobi diarahkan pada:
a.Peningkatan kemampuan nelayan dalam menghasilkan komoditas yang berdaya
saing tinggi,
b.Peningkatan skala produksi produk perikanan,
c.Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk perikanan,
d.Penyediaan akses masyarakat terhadap sumber-sumber produktif seperti
permodalan, pasar dan informasi,
e.Peningkatan keberdayaan serta peran lembaga perikanan kelautan dan
pariwisata,
f. Pengembangan jaringan distribusi pemasaran dari dan keluar Kabupaten
Wakatobi yang efisien & efektif dan
g.Peningkatan nilai tambah produk perikanan kelautan dan komoditas unggulan
lainnya guna peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya dinyakatan pula bahwa arah kebijakan dalam rangka
meningkatkan pengembangan perikanan kelautan Wakatobi dijabarkan dalam
program pembangunan peningkatan kesejahteraan nelayan dalam bentuk kegiatan:
a) Pengembangan budidaya laut khususnya bagi komoditas unggulan Wakatobi,
b) Peningkatan pengolahan hasil dan pasca panen,
c) Peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-sumber produksi seperti
permodalan, pasar dan informasi,
d) Pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia perikanan dan pariwisata,
e) Pengembangan sistem penyuluhan perikanan,
f) Pengembangan jaringan distribusi pemasaran dari dan keluar kabupaten yang
g) Pengembangan sarana dan prasarana penangkapan laut dalam untuk
meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pelestarian terumbu karang Wakatobi.
Peraturan desa
Desa Darawa, Lentea, Sama Bahari dan Sombano merupakan desa-desa
percontohan dalam pengelolaan dan pemanfaatan PERAIRAN PESISIR GPK.
Duncan (2005) dalam laporannya menyatakan bahwa kendala yang dihadapi oleh
masyarakat desa tersebut adalah menurunnya hasil produksi sektor perikanan baik
dari segi jumlah, ukuran maupun spesies. Hal ini disebabkan oleh pola pemanfaatan
kawasan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti
bom dan sianida. Dinyatakan bahwa 70 dan 61% penggunaan kedua alat tangkangkap
ini berasal dari nelayan luar dan 38 & 34% berasal dari nelayan lokal. Pembahasan
kedua hal ini di tingkat kecataman diperoleh simpulan bahwa setiap kepala desa
sepakat untuk membentuk aturan penomoran atau registrasi perahu bermotor demi
menjamin daya kontrol terhadap pemanfaatan kawasan.
Setelah memperoleh persetujuan akan diadakannya registrasi ini, maka dua
nelayan dari setiap desa tersebut dipekerjakan untuk penulisan nomor dibawah
pengawasan kepala desa. Keduanya memberikan nomor khusus kepada setiap
sampan bermotor, mencatat pemiliknya serta rincian dari perahu bermotor tersebut.
Kode ini tersusun atas tiga komponen yaitu kode untuk mengidentifikasi nama pulau
(K=Kaledupa), kemudian tiga digit angka sebagai kode khusus pada setiap perahu
bermotor di desa tersebut dan terakhir adalah kode desa dengan mengacu pada kode
administratif pemerintah kecamatan dimana M = Darawa, J = Lentea, O = Sombano
dan P = Sama Bahari.
Kebijakan lokal
Budidaya rumput laut merupakan istilah baru bagi masyarakat Kaledupa.
Namun demikian, kegiatan memelihara rumput laut telah lama dikenal oleh
masyarakat ini. Dalam era tahun 1970-an rumput laut dijadikan sebagai salah satu
indikator pemanfaatan kawasan bagi penempatan sero untuk mendapatkan ikan target
baronang. Ketika itu, rumput laut yang ada di sekitarnya dikumpulkan kemudian
ditebar di dalam sero sebagai umpan untuk memancing ikan masuk ke dalamnya.
dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Garangga kanse. Sebagian hasil panennya
dijadikan sebagai bahan konsumsi makanan terutama dari jenis Latu (C. Lentillifera).
Sebagaimana diketahui bahwa E. cottonii bukan merupakan plasma nutfah
lokal, namun dapat memberikan sumbangsi kesejahteraan yang lebih besar (56%)
dibanding unit-unit ekonomi lainnya seperti penangkapan (36.50%) dan pertanian
(7.50%) (Duncan 2005). Dalam era usaha budidaya E. cottonii (1993 hingga
sekarang), masyarakat pelaku budidaya mengenal pola pemanfaatan kawasan
dengan menggilir penggunaan bibit dari kawasan kurang subur ke kawasan lebih
subur. Demikian pula sebaliknya, komoditas basah kawasan lebih subur sebagian
dijadikan bibit pada kawasan kurang subur. Menurut pelaku budidaya, dikatakan
bahwa pola pemanfaatan seperti ini memberikan manfaat terutama bagi
pertumbuhan rumput laut yang lebih baik di kedua kawasan dan tingkat kegagalan
panen yang berkurang.
Integrasi Masyarakat dalam Kawasan Budidaya Rumput Laut
White et al. (2006) menyatakan bahwa pemanfaatan ruang wilayah pesisir
bagi pengembangan budidaya rumput laut merupakan salah satu alternatif
pemberdayaan masyarakat. Keunggulan dari pengembangan ini adalah: (1) produk
yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang beragam, (2) lokasi budidaya tersedia
cukup luas serta (3) teknologi budidaya tersedia.
Cahyono (1993) menyatakan bahwa sasaran dibangunnya suatu usaha
adalah: (1) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan
merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam dan sumber daya manusia
yang memperhatikan keseimbangan dan kelestarian bagi lingkungan, (2)
meningkatkan keikutsertaan masyarakat golongan ekonomi lemah agar berperan
secara aktif dalam pembangunan, (3) memperluas dan meratakan kesempatan
kerja dan berusaha serta meningkatkan peran koperasi.
Effendi (2004) menyatakan bahwa campur tangan masyarakat untuk
memproduksi biota (rumput laut) melalui pemeliharaan akan meningkatkan
produktivitas perairan dan mendatangkan keuntungan secara ekonomi. Smart (2005)
menyatakan bahwa kegiatan seperti ini dikenal sebagai phycoculture.
Bardach et al. (1972) menyatakan bahwa pemanfaatan lokasi untuk budidaya
yang sangat cukup, suhu, salinitas dan kesuburan yang sesuai. Kenyataannya
faktor-faktor tersebut sulit untuk diatasi oleh manusia sehingga menyebabkan senjang
produktivitas dalam budidaya rumput laut (Sedana et al. 1985).
Soekartawi (2002) mengenal dua jenis perbedaan produktivitas yaitu yield
gap I dan yield gap II. Yield gap I merupakan perbedaan dari hasil eksperimen
dengan hasil dari potensi suatu usaha tani. Yield gap ini disebabkan oleh adanya
teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan adanya perbedaan lingkungan. Sebagai
contoh, Ditjenkan Budidaya (2005) menyatakan bahwa teknologi budidaya
dengan metode kantong jaring merupakan solusi budidaya rumput laut dalam
mengatasi serangan hama ikan (baronang) dan penyu. Kenyataannya, teknologi ini
tidak dapat diterapkan pada suatu perairan yang lebih subur seperti perairan GPK.
Hal ini dikatakan oleh pelaku budidaya lokal bahwa tidak berhasilnya penerapan
teknologi kantong jaring disebabkan oleh adanya biota penempel yang cepat penutupi
mata jaring sehingga menghalangi pergerakan air yang dibutuhkan rumput laut.
Dalam kondisi tersebut, rumput laut cepat terserang penyakit yang ditandai dengan
perubahan warna menjadi cokelat kehitam-hitaman dan akhirnya mati.
Yield gap II merupakan perbedaan produktivitas dari suatu potensi usaha tani
dengan yang dihasilkan oleh pelaku. Dalam usaha budidaya rumput laut, terdapat
dua faktor utama penyebab yield gap II yaitu: (1) karena kendala biologi seperti
perbedaan spesies, serangan hama dan penyakit, perbedaan parameter fisik kimia
perairan dan sebagainya); (2) karena kendala sosial-ekonomi seperti perbedaan
besarnya biaya yang muncul dari faktor jarak sehingga meningkatkan biaya
operasional, faktor kedalaman perairan yang dapat meningkatkan penggunaan tali
jangkar, harga produksi akibat kebiasaan dan sikap pelaku budidaya yang tidak
memperhatikan kualitas rumput laut, adanya faktor ketidakpastian, dan sebagainya.
Integrasi masyarakat dalam kawasan budidaya rumput laut idealnya
memperhatikan daya dukung dalam tata