• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut"

Copied!
332
0
0

Teks penuh

(1)

PEN

UNTUK

IN

NGELOLA

GUGUS

K USAHA

AKH

SEKOLA

NSTITUT

AAN PER

S PULAU

A BUDIDA

HMAD M

AH PASC

T PERTA

BOGO

2010

RAIRAN

KALEDU

AYA RUM

MANSYUR

CASARJA

ANIAN BO

OR

0

PESISIR

UPA

MPUT LA

R

ANA

OGOR

R

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(3)

ABSTRACT

AKHMAD MANSYUR. Coastal Management of Kaledupa Islands for Phycoculture. Guided by Achmad Fahrudin and Irzal Effendi.

The aim of this study are: (1) the actual condition of the utilization coastal of Kaledupa Islands (CKI), Wakatobi Regency Southeast Sulawesi Province for phycoculture based on the suitability area and the seasons, (2) warranties parameters for optimizing area utilization, (3) the grand utilization strategy of CKI for supporting phycoculture. Suitability analysis, carrying capacity, utilization of regional strategies and optimizes scenario are used for that purpose. The results of this study are showed that 5 946.45 ha of CKI for supporting phycoculture were categorized to be three areas: good stabile, good dominant and not yet good stabile. The area utilization were showed over limited based on time period production and half of them had been decreasing return to scale. Condition of constant return to scale have been reached at areas through good stabile and some of not yet good stabile. There’s a potential warranties area for Rp 14 454 608 to 42 952 034 per ha per year and can reach the value Rp 14 431 399 per ha per season for importance rent or contract. The management strategies of CKI are to improve the satisfaction of phycoculturers with the scenario: (1) to repair structures of phycoculture methods, and time period of phycoculture production; (2) to increase user, to compose groups and to reinforce focus groups; and (3) to create guarantee access the capital and to improve input structures of phycoculture.

Keywords: Coastal management, Kaledupa archipelagos, phycoculture

(4)

RINGKASAN

AKHMAD MANSYUR. Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut. Dibimbing oleh Achmad Fahrudin dan Irzal Effendi.

Potensi perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk usaha budidaya memiliki rasio dengan sumberdaya manusia sebesar 1.55 ha/kk (Rp 58 802 901/kk/thn). Rasio ini menunjukkan perairan pesisir GPK, cukup bagi penciptaan kesejahteraan melalui kegiatan budidaya rumput laut. Namun demikian, aktivitas tersebut baru mencapai 9.70% dari 8 200 ha (KS & KSS) dan perkembangannya berjalan lambat (2.80%/thn).

Kajian potensi tanpa pertimbangan musim disinyalir sebagai penghambat usaha budidaya. Pemanfaatan seperti ini mendorong terjadinya produktivitas rendah (< 1 ton/ha/panen). Akibatnya, pelaku budidaya berada pada situasi sulit untuk mengembangkan modal usaha dan menimbulkan faktor ketidakpuasan. Selain itu, keterbatasan akses modal, ikut berperan dalam kondisi ini. Dengan demikian, penelitian ini ditujukan untuk mengkaji: (1) kondisi aktual pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut berdasarkan kesesuaian kawasan dan musim. (2) parameter agunan kawasan bagi akses modal dalam menunjang optimalisasi pemanfaatan. (3) strategi dan skenario pengelolaan perairan pesisir GPK sehingga tercipta kepuasan pelaku budidaya.

Survei lapang, wawancara dan studi literatur digunakan dalam pengumpulan informasi dari Juli hingga Desember 2008. Data yang terkumpul dianalisis dengan sistem informasi geografis (SIG) dengan mengintegrasikan persamaan laju pertumbuhan harian (LPH) rumput laut, uji anova, dan uji Duncan. Selain itu, digunakan pula analisis daya dukung budidaya efektif, rotasi produksi optimal, demand capacity ratio, kebutuhan tenaga kerja, indeks relatif input dan skala pengembalian usaha untuk mencapai tujuan pertama. Analisis net present value dan sphere rent digunakan untuk mencapai tujuan kedua. Analisis kepuasan pengguna dan titik impas pemanfaatan melalui excel solver dilibatkan untuk tujuan ketiga.

Hasil analisis diperoleh bahwa perairan pesisir GPK tergolong alami dan menunjang LPH antara 2.01 hingga 3.93% per hari (musim pancaroba dan timur). Berdasarkan kriteria LPH 3% per hari dan jarak beda nyata pada taraf kepercayaan 95%, maka interaksi antara LPH, stasiun dan musim menunjukkan bahwa perairan ini terdapat pada kondisi stabil baik (KSB), dominan baik (KDB) dan stabil belum baik (KSBB). Pemanfaatan kawasan ini dicirikan dengan penggunaan input yang rendah, namun over limited berdasarkan periode waktu produksi. Demikian pula struktur metode budidaya sehingga skala pengembalian decreasing di sebagian besar lokasi pemanfaatan. Kondisi constant return to scale dicapai pada KDB dan sebagian KSBB.

(5)

v

produksi budidaya; (2) pembentukan dan penguatan fungsi kelompok pelaku budidaya; (3) pemberian jaminan akses modal melalui gabungan fitur perjanjian bank & grameen, dan insentif harga bagi komoditas rumput laut.

(6)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

PENGELOLAAN PERAIRAN PESISIR

GUGUS PULAU KALEDUPA

UNTUK USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT

AKHMAD MANSYUR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut

Nama Mahasiswa : Akhmad Mansyur

NIM : C251060051

Program Studi : Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. Ir. Irzal Effendi, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian sejak Juni hingga Desember 2008 ini adalah pengelolaan perairan pesisir, dengan judul Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ir. Irzal Effendi, M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan kepada Penulis. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. selaku Dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta stafnya dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. selaku Ketua Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) beserta stafnya yang telah memberikan pelayanan administrasi secara baik. Demikian juga penulis ucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc. selaku penguji dosen penguji luar komisi yang telah memberikan sumbangsi positifnya. Ucapan ini, tidak lupa disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor terutama mahasiswa pada Program Studi SPL yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat dalam penulisan karya ini. Lebih khusus, ungkapan terima kasih dihaturkan kepada ayah, ibu, istri dan anaku, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga laporan ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambeua, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara pada 31 Maret 1974 sebagai anak pertama dari pasangan H. La Ane Erek dan Hj. Muhaeni. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, lulus 1999. Pada 2000 menikah dengan Nusriani, S.Pd. dan saat ini telah dikaruniahi seorang putra (Muhamat Julfikar Erek).

Penulis bekerja sebagai Dosen Tetap di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara sejak 2003 hingga sekarang. Pada 2006 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan dan menyelesaikannya pada Februari 2010.

(12)

xi

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xviiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

Ruang Lingkup Penelitian ... 9

Kerangka Pemikiran ... 9

TINJAUAN PUSTAKA ... 14

Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 14

Konsep Ruang dan Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 17

Integrasi Masyarakat dalam Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 24

Pendekatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Perairan pesisir ... 27

Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 31

METODE PENELITIAN ... 33

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 33

Jenis dan Sumber Data ... 34

Penentuan Stasiun dan Teknik Sampling ... 34

Penentuan Responden ... 36

Pengambilan Data ... 37

Analisis Data ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 49

Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 55

Daya Dukung Pemanfaatan Kawasan ... 69

Kondisi Pemanfaatan Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 86

Strategi dan Skenario Pengelolaan Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 91

Akses Modal bagi Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan ... 102

Pembahasan ... 110

KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

Kesimpulan ... 113

Saran... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115

(13)

xiii

Halaman 1 Matriks kesesuaian fisik kimia perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa

untuk budidaya rumput laut ... 18 2 Analisis budidaya Eucheuma cottonii sistem long line: satu KK (tiga

hingga empat orang anggota), delapan blok (0.20 ha) ... 26 3 Metode penentuan responden penelitian ... 36 4 Matriks persepsi pengguna kawasan berdasarkan dimensi ekologi,

sosial dan ekonomi ... 43 5 Matriks keunggulan dimensi keseluruhan yang dapat dipersepsi oleh

pengguna kawasan ... 45 6 Matriks biaya pemanfaatan kawasan yang dikorbankan bagi kegiatan

budidaya ... 45 7 Matriks kepuasan pengguna yang memanfaatkan kawasan budidaya ... 46 8 Matriks excel solver bagi optimasi pengguna potensial ... 47 9 Matriks excel solver bagi titik impas penggunaan modal terhadap produksi ... 48 10 Luas pulau-pulau berpenghuni di Gugus Pulau Kaledupa ... 50 11 Data curah hujan selama sepuluh tahun (1995-2004) Kabupaten Wakatobi .... 52 12 Keadaan penduduk Gugus Pulau Kaledupa selama kurun waktu 1996

hingga 2008 ... 53 13 Keadaan penduduk Gugus Pulau Kaledupa berdasarkan kelompok umur

pada tahun 2008 ... 54 14 Rata-rata umum laju pertumbuhan harian rumput laut di setiap titik

sampel ... 59 15 Laju pertumbuhan harian rumput laut pada setiap stasiun berdasarkan

rataan musim dari jumlah kelompok thallus ... 61 16 Laju pertumbuhan harian rumput laut di setiap musim berdasarkan

rataan kelompok thallus ... 62 17 Klasifikasi kawasan berdasarkan interaksi antara laju pertumbuhan

harian (LPH), musim dan stasiun ... 65 18 Jumlah kepala keluarga pelaku budidaya rumput laut ... 74 19 Rata-rata jumlah tenaga kerja dalam satu unit usaha budidaya rumput

laut ... 75 20 Rata-rata alokasi waktu disetiap jenis kegiatan budidaya rumput laut

dalam satu siklus produksi (jam) ... 76 21 Rata-rata penggunaan input budidaya rumput laut dalam satu kali

(14)

xv

Halaman

1 Bagan kerangka pikir penelitian. ... 13

2 Trade-off tujuan antar komponen pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993). ... 31

3 Lokasi penelitian di Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara. ... 33

4 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut (sumber: Manfi 2003). ... 35

5 Peta stasiun penelitian (sumber: Smart 2005, Manafi 2003). ... 35

6 Titik pengambilan sampel rumput laut untuk satu stasiun. ... 36

7 Nilai rata-rata parameter fisik kimia perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa. ... 55

8 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut berdasarkan parameter fisik kimia perairan. ... 60

9 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut berdasarkan parameter rataan jumlah laju pertumbuhan harian kelompok thallus dalam suatu rataan musim. ... 63

10 Contoh Eucheuma cottonii yang rusak di perairan pesisir Sombano (Smart 2005)... 67

11 Perkembangan luas lokasi pemanfaatan kawasan budidaya Eucheuma cottonii secara kumulatif di GPK dalam kurun waktu 1993-2004 (Fox 2005). ... 67

12 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut berdasarkan parameter laju pertumbuhan harian dan perubahan musim. ... 68

13 Perubahan biomasa (Bms) dan karaginan (Krg) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil baik (KSB). ... 70

14 Perubahan biomasa (Bms) dan karaginan (Krg) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil belum baik (KSBB). ... 70

15 Present value karaginan (Krg) dan biomasa (Bms) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil baik (KSB). ... 71

16 Present value karaginan (Krg) dan biomasa (Bms) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil belum baik (KSBB). ... 72

17 Rerata pendapatan bersih pelaku budidaya rumput laut di setiap stasiun berdasarkan perubahan musim. ... 79

18 Nilai ekonomi kawasan budidaya rumput laut berdasarkan net present value dalam skala musim. ... 80

19 Nilai ekonomi kawasan budidaya rumput laut berdasarkan net present value dalam skala tahun. ... 81

(15)

xvi

22 Peta pemanfaatan kawasan budidaya rumput laut ... 85 23 Persentase keberadaan KK dan tingkat memanfaatkan kawasan

budidaya rumput laut. ... 88 24 Persentase keberadaan pengguna kawasan (KK) dan tingkat

penggunaan input budidaya rumput laut. ... 89 25 Skala pengembalian usaha pemanfaatan kawasan budidaya rumput

laut. ... 90 26 Indeks relatif dari atribut dimensi ekologi pada setiap kawasan

budidaya rumput laut. ... 93 27 Indeks relatif dari atribut dimensi sosial pada setiap kawasan budidaya

rumput laut. ... 95 28 Indeks relatif dari atribut dimensi ekonomi pada setiap kawasan

budidaya rumput laut. ... 96 29 Indeks manfaat total dari keseluruhan dimensi pada setiap kawasan

budidaya rumput laut. ... 98 30 Indeks relatif atribut biaya pada setiap kawasan pemanfaatan untuk

budidaya rumput laut. ... 98 31 Indeks kompetisi atribut biaya pada setiap kawasan pemanfaatan

untuk budidaya rumput laut. ... 99 32 Indeks kepuasan pengguna kawasan budidaya rumput laut. ... 100 33 Perubahan pengguna dan struktur biaya pemanfaatan kawasan ketika

akses modal direalisasikan. ... 105 34 Optimalisasi pengguna dan struktur pemberian modal dalam

pemanfaatan kawasan ketika akses modal direalisasikan. ... 106 35 Rata-rata biaya per unit bibit berdasarkan biomasa dan kadar

karaginan pada kawasan stabil belum baik (KSBB). ... 107 36 Rata-rata biaya per unit bibit berdasarkan biomasa dan kadar

(16)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Data yang diperlukan untuk penelitian pengelolaan kawasan budidaya

rumput laut di Gugus Pulau Kaledupa ... 121

2 Nilai parameter kualitas perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa ... 122

3 Uji faktorial terhadap laju pertumbuhan harian rumput laut ... 123

4 Uji Duncan terhadap laju pertumbuhan harian rumput laut ... 124

5 Uji present value biomasa dan karaginan rumput laut pada kawasan stabil baik ... 126

6 Uji present value biomasa dan karaginan pada kawasan stabil belum baik ... 127

7 Insentif harga dasar dan atap biomasa basah pada kawasan stabil belum baik dan stabil baik ... 128

8 Analisis keuntungan rata-rata pelaku budidaya rumput laut ... 129

9 Analisis net present value (NPV) kawasan usaha budidaya rumput laut ... 130

10 Analisis sphare rent (SR) kawasan usaha budidaya rumput laut ... 131

11 Analisis return to scale (RTS) usaha budidaya rumput laut ... 132

12 Analisis indeks relatif (IR) usaha budidaya rumput laut ... 134

13 Analisis strategi pengelolaan kawasan budidaya rumput laut ... 140

14 Analisis excel solver bagi optimasi pengelolaan kawasan budidaya rumput laut ... 143

15 Analisis excel solver bagi titik impas penggunaan modal terhadap produksi ... 144

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gugus Pulau Kaledupa (GPK) merupakan bagian dari wilayah Kabupaten

Wakatobi berdasarkan UU nomor 29/2003 tentang pembentukan Kabupaten

Bombana dan Wakatobi. Kabupaten Wakatobi melingkupi seluruh kawasan

Taman Nasional Laut Wakatobi (TNLW) yang ditetapkan sebelumnya dengan SK

Menteri Kehutanan RI nomor 393/Kpts-VI/1996. Oleh karena itu, GPK memiliki

dua peranan dalam konteks pengelolaan sumberdaya. Pertama, sebagai daerah

pemanfaatan sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat Wakatobi pada

umumnya dan masyarakat GPK pada khususnya. Kedua, sebagai kawasan

konservasi sumberdaya yang harus dipertahan keberadaanya bagi kepentingan

daerah, nasional maupun internasional.

Salah satu bentuk kegiatan yang dapat menunjang kesejahteraan masyarakat

dan pelestarian sumberdaya adalah budidaya rumput laut. Menurut Anggadiredja et

al. (2006), rumput laut secara ekologi memegang peranan sebagai produsen primer

(penghasil bahan organik dan oksigen) di lingkungan perairan. Kedua bahan ini

perupakan sumber penghidupan bagi manusia dan biota akuatik seperti ikan, bulu

babi, penyu dan hewan herbivor lainnya. Dengan demikian rumput laut, disamping

plankton, berfungsi sebagai penyangga kehidupan dalam suatu lingkungan ekologi.

Dalam pertimbangan sosial, budidaya rumput laut telah dikenal oleh

masyarakat Kaledupa sebagai salah satu kegiatan yang mampu mempererat

hubungan antara masyarakat dengan lingkungan perairan. Fox (2005) menilai

bahwa pemanfataan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut

mampu menumbuhkan rasa memiliki kawasan di kalangan masyarakat Kaledupa

untuk dijaga dan dipertahankan. Pandangan tersebut mengasumsikan pentingnya

keterlibatan sosial dalam pengelolaan perairan pesisir GPK melalui kegiatan

budidaya rumput laut. Dengan demikian, upaya konservasi terutama dari berbagai

aktivitas pemanfaatan sumberdaya laut yang tidak berwawasan lingkungan seperti

penggunaan racun dan atau bom dapat dilakukan secara bersama.

Dalam perspektif ekonomi, budidaya rumput laut dipandang sebagai kegiatan

(18)

tangan masyarakat untuk memproduksi biota (rumput laut) melalui pemeliharaan

akan meningkatkan produktivitas perairan dan mendatangkan keuntungan secara

ekonomi. Anggadiredja et al. (2006) menambahkan bahwa tingkat permintaan akan

komoditas rumput laut (Eucheuma cottonii) terus mengalami peningkatan (rata-rata

10% per tahun). Demikian pula dengan harga yang mengalami peningkatan rata-rata

sebesar 0.07% per tahun. Perkiraan kebutuhan dunia akan produk ini dapat mencapai

274 100 ton dengan harga sekitar U$ 0.82 kg-1 pada 2010. Kemampuan luar negeri

untuk memenuhi kebutuhan tersebut mencapai 165 000 ton/tahun (Filiphina 77.2%;

Tanzania 5.4% dan lainnya 0.7%). Sisanya diharapkan dari Indonesia sebanyak

16.7%. Dengan demikian, budidaya rumput laut dipandang sebagai salah usaha yang

penting untuk dikembangkan dan dapat dijadikan salah satu matapencaharian utama

masyarakat.

Tingginya kebutuhan dunia akan produk rumput laut dapat dikaitkan dengan

dua hal pokok. Pertama, hidrokoloid yang berasal dari tumbuhan ini tidak

mengakibatkan efek samping terhadap kesehatan bila dikonsumsi dalam bentuk

makanan atau obat-obatan. Kedua, penggunaannya dalam industri nonpangan dan

berbagai industri lainnya semakin meluas seperti tekstil, cat, keramik dan kertas.

Upaya pemenuhan kebutuhan dunia akan komoditas ini, Indonesia hanya

menempati posisi kedua setelah Filiphina (77.2% berbanding 16.7%). Luas

pemanfaatan perairan pesisir Indonesia baru mencapai 9.7% bagi usaha ini

(Anggadiredja et al. 2006). Rendahnya tingkat pemanfaatan tersebut, disebabkan oleh

beberapa hal seperti:

a. Keterbatasan permodalan untuk membantu petani nelayan yang

membutuhkannya.

b. Keterbatasan penerapan dan alih teknologi budidaya rumput laut yang

dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas hasil panen yang berkualitas

melalui penelitian, percontohan, pelatihan, magang dan penyuluhan;

c. Kurangnya penyediaan sumberdaya manusia terlatih melalui kegiatan

pendidikan dan pelatihan terstruktur sesuai segmen budidaya yang diminati

pembudidaya rumput laut.

d. Terbatasnya pola pengaman terpadu dengan mengikutsertakan masyarakat

(19)

e. Pengembangan Budidaya Rumput Laut masih dilaksanakan sendiri – sendiri

secara sektoral.

Dengan demikian, kondisi ini dipandang sebagai faktor pemicu yang mengakibatkan

Indonesia bukan sebagai negara produsen rumput laut dunia.

Pemanfaatan perairan pesisir untuk usaha budidaya rumput laut tergantung

pada ketersediaan sumberdaya alam (lokasi & bibit) dan sumberdaya manusia

(tenaga kerja). Salah satu potensi Indonesia untuk pengembangan usaha ini adalah

GPK yang memiliki perairan pesisir sekitar 13 900 ha termasuk tubir karang datar

(Duncan 2005). Perairan tersebut mengandung potensi untuk usaha budidaya

rumput laut sekitar 8 200 ha (Manafi 2003). Di sisi lain, GPK memiliki populasi

masyarakat dalam usia produktif secara ekonomi sekitar 60% dari total penduduk

17 604 jiwa. Dalam populasi ini terdapat 5 292 kepala keluarga yang berarti

bahwa setiap keluarga beranggotakan empat orang (PDKW 2006). Perbandingan

antara ketersediaan kawasan dan jumlah kepala keluarga adalah sekitar 1.55

ha/kk. Harapan tersebut melebihi standar ideal pemanfaatan (0.20 ha/kk) yang

dapat mensejahterakan satu keluarga dengan jumlah anggota tiga hingga empat

orang. Dala standar tersebut, keluarga atau pelaku budidaya bersangkutan dapat

memperoleh tingkat pendapatan sebesar Rp 33 600 000 atau keuntungan sekitar

Rp 24 052 000/kk/panen (Anggadiredja et al. 2006).

Optimalisasi pemanfaatan kawasan ini berjalan lambat. Fox (2005) menyatakan

bahwa tingkat pemanfaatan kawasan tersebut baru mencapai 795 ha dengan rata-rata

peningkatan sekitar 2.80% per tahun sejak awal pemanfaatannya (1993). Optimalisasi

pemanfaatan diperhadapkan pula dengan produktivitas kawasan yang berbeda-beda.

Smart (2005) menunjukkan kisaran produktivitas tersebut antara 0.02 hingga

8 (ton/ha)/panen kering dengan masa pemeliharaan rata-rata 41 hari. Sebagian besar

(97.30%) pemanfaatan kawasan ini masih tergolong dalam produktivitas < 1

(ton/ha)/panen kering atau 0.43 (ton/ha)/panen kering (jarak tanam 100x25 cm,

biomas awal 25 g, LPH 3%, konversi basah : kering adalah 7 : 1). Kondisi ini

memberikan contoh tentang pemilihan lokasi yang kurang baik sehingga dapat

berimplikasi terhadap menurunnya minat masyarakat Kaledupa untuk memanfaatkan

perairan pesisir dalam bidang usaha ini. Karenanya, diperlukan kajian pengelolaan

(20)

Perumusan Masalah

perairan pesisir GPK ditetapkan sebagai salah satu kawasan Taman

Nasional Laut Wakatobi (TNLW). Penetapan tersebut didasarkan atas tingkat

keanekaragaman hayati yang tergolong tinggi. WWF dan TNC (2003)

menyatakan bahwa dalam TNLW terdapat 396 spesies karang Scleractinia, 10

spesies non Scleractinia dan 28 genera karang lunak. Selain itu, ditemukan 590

spesies ikan, 31 spesies Foraminifera dan 668 spesimen Stomopod.

Salah satu ketentuan yang memuat tentang pemanfaatan taman nasional

adalah Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam

dan ekosistemnya. Dalam ketentuan umum UU tersebut dinyatakan bahwa taman

nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli dan

dikelola dengan sistem zonasi. Salah satu tujuan pemanfaatan taman ini adalah

sebagai penunjang budidaya yang dapat mengusahakan kelestarian sumberdaya

hayati dan lebih mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemanfaatan kawasan untuk usaha budidaya yang mengunakan plasma

nutfah lokal (garangga kanse atau Caulerpa lentillifera) tidak berhasil mendukung

upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat GPK. Jenis ini

banyak dijumpai disekitar Pulau Hoga dan di sebelah timur perairan laut Fatuhari.

Produksi terakhir mencapai 5 ton pada awal 1993, namun akibat turunannya harga

komoditas kering hingga mencapai Rp 50 kg-1, menjadikan usaha ini tidak

berkelanjutan sebagai penunjang kesejahteraan masyarakat.

Berkurangnya salah satu unsur penunjang kesejahteraan masyarakat

berdampak pada peningkatan ekploitasi sumberdaya yang tidak ramah

lingkungan. Di antaranya adalah pengambilan batu karang, penggunaan racun

(sianida) dan bom dalam upaya penangkapan ikan (Hidayati at al. 2007).

Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa kondisi terumbu karang hidup mengalami

penurunan hingga mencapai rata-rata tutupan sekitar 31%. Hal ini

mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan tutupan dari kondisi baik menjadi

kriteria cukup bila didasarkan pada kategori sangat baik (75–100%), baik (50–

74.90%), cukup (25–49.90%). Demikian pula dengan kondisi penangkapan ikan

yang dinyatakan bahwa 80, 49 dan 61% nelayan tradisional mengalami penurunan

(21)

Dampak dari turunnya harga rumput laut asal Kaledupa adalah timbulnya

upaya dari pedagang pengumpul lokal untuk memperolah bibit rumput luat yang

banyak diminati pasar dan bernilai ekonomi tinggi. Melalui Dinas Pertanian

Provinsi Sulawesi Tenggara, upaya itu diwujudkan dengan hadirnya rumput laut

dari jenis E. cottonii asal Sabah (Malaysia) di GPK. E. cottonii pertama kali

dibudidayakan oleh masyarakat Sombano di perairan sebalah Barat GPK,

kemudian menyebar hingga ke sebelah Timur GPK. Memperhatikan minat

masyarakat dan program perlindungan sumberdaya alam hayati, maka Pemerintah

Daerah Wakatobi mencanangkan perairan pesisir GPK sebagai sentral produksi

rumput kabupaten (PDKW 2006).

Potensi perairan pesisir GPK untuk budidaya rumput laut dapat dibagi menjadi

dua kategori yaitu sesuai (KS) dan sangat sesuai (KSS). Kedua kawasan ini memiliki

luas sekitar 4 500 dan 3 700 ha. Hal ini didasarkan atas parameter fisik kimia

perairan seperti pH, salinitas, suhu permukaan laut, kecepatan arus, kecerahan,

kekeruhan dan material dasar perairan dengan skor yang lebih tinggi bagi KSS

(Manafi 2003). Dalam pemanfaatannya, Smart (2005) menunjukkan adanya

perbedaan produksi di kedua kawasan. Namun demikian, keduanya belum

mempertimbangkan peranan musim yang dapat berpengaruh terhadap perubahan

produktivitas kawasan sebagaimana yang dibuktikan Sedana at al. (1985) di Pulau

Serangan, Provinsi Bali.

Sedana at al. (1985) menyatakan bahwa selama kurun waktu Oktober-November

(bulan kering) pertumbuhan rumput laut cenderung lebih cepat daripada Desember–

Maret (bulan basah). Pengamatan setiap empat minggu tercatat laju pertumbuhan

harian (LPH) antara 0.90–8.80% per hari. Romimohtarto (1985) dan Nontji (2005)

bahwa udara basah memperkuat pendinginan, akibatnya tingkat penguapan

menurun sehingga kadar salinitas rendah di lapisan permukaan. Dalam kondisi

seperti ini, rumput laut mengalami proses osmoregulasi (mekanisme penyerapan air

tawar terjadi) sehingga menyebabkan terhambatnya proses pertumbuhan. Selain itu,

diperolah bahwa perubahan LPH rumput laut dipengaruhi oleh usia pemeliharaan. LPH

tertinggi terdapat pada minggu-minggu awal, kemudian kecepatannya berkurang dan

(22)

4.00–6.00% per hari. Perubahan ini sangat penting artinya untuk mengetahui waktu

optimal pemanfaatan kawasan selama satu kali proses produksi rumput laut.

Pengelolaan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut yang tidak

mempertimbangkan usia pemeliharaan optimal (panen lebih awal atau lebih lambat)

akan diperhadapkan dengan beberapa kendala. Pertama, tidak terpetakannya fungsi

kawasan penunjang (penyedia bibit) dan fungsi kawasan pembesaran. Biasanya,

pelaku budidaya di GPK melakukan panen pada usia 45 hari untuk mengejar

kepentingan pasar yang memberikan standar tersebut tanpa memperhatikan

kemampuan kawasan dalam menunjang LPH rumput laut. Indikator biomasa dan

karaginan dapat digunakan dalam menyatakan suatu kawasan sebagai penyedia bibit

dan atau pembesaran. Sulistijo (1985) berpendapat bahwa tanaman Eucheuma dengan

LPH 2% per hari pada pemeliharaan di Bali selama 35 hari sudah dapat dilakukan

panenan karena tanaman sudah menjadi dua kali lipat biomasa semula. Demikian

pula Sulistijo, Syafri (1991) menyatakan bahwa tanaman E. cottonii di Pulau Pari

dengan LPH 3 hingga 5% per hari dapat mencapai kadar karaginan 35 hingga 45%

pada usia pemeliharaan enam minggu. Pernyataan ini memberikan pendekatan bahwa

ketika suatu kawasan hanya mampu menunjang LPH 2% per hari, maka usia

pemeliharaan optimal dalam kawasan tersebut dapat memberikan keuntungan dari

sisi biomasa (penyedia bibit). Ketika suatu kawasan mampu menunjang LPH 3% per

hari, maka kuntungan dari pengguna kawasan tersebut dapat diperoleh dari kadar

karaginan pada batas pemeliharaan optimal.

Kendala kedua adalah tidak terpetakannya mutu produksi dengan baik.

Kualitas E. cottonii ditentukan oleh kadungan karaginan yang terbentuk pada

dinding sel. Kandungan ini cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

usia pemeliharaan, namun demikian, pada usia tertentu sebagian kadar karaginan

akan terurai menjadi cadangan energi bagi pembentukan cabang baru (Apriyana,

2006). Penambahan usia pemeliharaan yang lebih lama menyebabkan gel yang

terbentuk dari kappa karaginan menjadi rapuh akibat efek ion potasium yang terus

berlanjut (Guiseley diacu dalam Apriyana 2006). Dengan demikian, pemutusan

rantai produksi yang lebih cepat dan atau lebih lambat akan berdampak pada

kundungan karaginan yang tidak optimal. Tambahannya adalah harga yang dapat

(23)

Ketiga, tidak terpetakannya insentifikasi harga yang dapat terjadi pada pasar di

tingkat lokal (pasaran bibit). Dalam hal ini, terdapat pengalaman pelaku bahwa

pergantian penggunaan bibit dari kawasan kurang subur ke lebih subur atau

sebaliknya dapat memberikan pertumbuhan rumput laut yang lebih baik. Pola

pemanfaatan seperti ini dapat menciptakan kondisi surplus dan defisit produksi bibit

apabila tidak memperhatikan usia pemeliharaan yang optimal. Dalam kondisi surplus

harga dapat berada di bawah harga dasar, sementara pada kondisi defisit, dapat

melebihi harga atap. Akibatnya, insentif harga ditingkat pelaku tidak teratur dan

perencanaan akan kebutuhan bibit baik untuk lokasi yang telah dimanfaatkan maupun

bagi program pengembangan kawasannya tidak dapat berjalan dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas, maka keterkaitan antara pengelolaan kawasan

dan usia pemeliharaan rumput laut adalah terjadi dalam hubungan perencanaan

bagi penentuan periode pemanfaatan kawasan (sekali proses produksi).

Munculnya usia pemeliharaan optimal, memudahkan dalam pengorganisasian

kawasan berdasarkan kemampuannya dalam menunjang produk rumput laut pada

titik optimal pemeliharaan. Akhirnya indikator kontrol dalam pemanfaatan

kawasan dapat ditentukan berdasarkan kualitas rumput laut pada titik

pemeliharaan optimal.

Harapan hidup bagi masyarakat Kaledupa yang mengantungkan hidupnya pada

pemanfaatan perairan pesisir GPK semakin terbuka. Sebagaimana UU No. 5 tahun

1990 yang menyatakan bahwa pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem

zonasi, maka Pemda Wakatobi menetapkan zona penggunaan lokal sebesar 54% dari

total wilayahnya. Harapan ini muncul pula dari UU No. 27 tahun 2007 tentang

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menggariskan hak

pengusahaan perairan pesisir (HP-3) dalam bentuk sertifikat. Namun demikian,

ketentuan tersebut membutuhkan kelengkapan indikator pemanfaatan seperti nilai-nilai

produksi dan biaya yang diperlukan bagi ketentuan pengalihan hak, beban tanggungan

dan besarnya jaminan modal yang dapat diperuntukkan bagi pengguna kawasan.

Kriteria pemanfaatan perairan pesisir GPK sangat ditentukan oleh besarnya

partisipasi masyarakat. Berdasarkan jumlah KK sebagaimana disebutkan

sebelumnya, maka pemanfaatan perairan pesisir GPK dapat didistribusikan

(24)

Distribusi kepala keluarga (KK) pada masing-masing kawasan dapat mencapai 2

911 dan 2 382 KK. Peruntukan lokasi pemanfaatan bagi masing-masing KK dapat

mencapai 1.54 dan 1.55 ha/KK. Dalam pandangan umum bahwa setiap KK akan

lebih memilih KSS dari pada KS, namun demikian, Fox (2005) menyatakan

bahwa masyarakat Kaledupa lebih memilih KS akibat faktor keamanan dari akses

transportasi dan kedekatan dengan lokasi pemukiman. Hal ini ditunjukkan dengan

tingginya tingkat pemanfaatan KS (> 41 KK/lokasi), sedangkan lainnya masih

berada dibawah 30 KK/lokasi.

Tingkat pemanfaatan kawasan yang tinggi dan terpusat pada satu lokasi dapat

menyebabkan berkurangnya produktivitas dan distribusi luasan pemanfaatan per KK.

Hal tersebut dapat mempengaruhi keuntungan yang diperoleh pengguna. Fox (2005)

menilai bahwa kondisi tersebut cenderung membuat pengguna meninggalkan usaha

budidaya rumput laut, terutama pada musim-musim tertentu. Menyadari hal tersebut,

maka dalam pengelolaan perairan pesisir GPK perlu mempertimbangkan skala

pengembalian usaha dan jumlah pengguna kawasan dalam perumusan strategi dan

skenario untuk meningkatkan kepusan pelaku budidaya.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalah yang diangkat adalah:

1. Bagaimanakah kondisi aktual pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha

budidaya rumput laut berdasarkan kesesuaian kawasan dan musim?,

2. Bagaimanakah akses modal bagi optimalisasi pemanfaatan perairan pesisir GPK

untuk usaha budidaya rumput laut? dan

3. Bagaimanakah strategi dan skenario pengelolaan perairan pesisir GPK untuk

meningkatkan kepuasan pelaku budidaya?.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji kondisi aktual pemanfaatan perairan

pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut berdasarkan pertimbangan kesesuaian

kawasan dan musim. (2) mengkaji parameter agunan kawasan budidaya rumput laut

agar dapat dimanfaatkan secara optimal. (3) mengkaji strategi dan skenario pengelolaan

perairan pesisir GPK untuk meningkatkan kepuasan pelaku budidaya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai: (1) basis data

pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut sehingga

(25)

landasan akses modal bagi pengembangan pemanfaatan kawasan dalam usaha

budidaya rumput laut; dan (3) landasan strategis pengelolaan perairan pesisir GPK

untuk usaha budidaya rumput laut di GPK agar tetap menguntungkan dan

menjamin kepuasan pelaku budidaya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian dibatasi pada perairan pesisir laut yang sesuai dan sangat sesuai untuk

budidaya rumput laut menurut Manafi (2003) di Gugus Pulau Kaledupa (GPK),

2. Budidaya rumput laut dibatasi pada metode long line,

3. Parameter pertumbuhan rumput laut dibatasi pada pertambahan biomasa dan

kadar karaginan rumput laut (E. cottonii) berdasarkan usia pemeliharaan pada

Musim Timur, Barat dan Pancaroba dan

4. Kajian pengelolaan didasarkan pada pendekatan ekologi (luas ketersediaan &

alokasi waktu pemanfaatan kawasan optimal), sosial (ketersediaan tenaga &

alokasi waktu kerja serta demand capacity ratio), ekonomi (input: penggunaan

bibit, fasilitas produksi, luas pemanfaatan kawasan, operasional, tenaga kerja &

alokasi waktu kerja; output: nilai manfaat biomasa & keraginan).

Kerangka Pemikiran

Pengelolaan perairan pesisir GPK diperhadapkan pada dua hal pokok, yaitu

kebijakan nasional dan daerah. Secara nasional, perairan pesisir GPK harus dilestarikan

berdasarkan keaslian ekosistem sumberdaya hayati yang dimilikinya. Di sisi lain,

Pemerintah Daerah Wakatobi dituntut mensejahterakan masyarakatnya melalui

pemanfaatan semua potensi daerah. Salah satu aplikasi pemanfaatan perairan pesisir

GPK yang dapat mengadopsi kedua hal tersebut adalah budidaya E. cottonii dengan

sistem zonasi. Hal ini disebabkan oleh berperanan E. cottonii sebagai produsen primer

dalam lingkungan ekologi, penjalin hubungan yang erat antara masyarakat dan

lingkungan perairan pesisir. Selain itu, diharapkan mampu menciptakan kondisi

perekonomian yang mensejahterakan masyarakat. Dalam sistem zonasi, dimana

wilayah perairan dibagi menjadi kawasan-kawasan tertentu seperti kawasan budidaya

rumput laut berdasarkan karakteristik fisik kimia yang ada dapat memudahkan

(26)

Pengelolaan perairan pesisir untuk usaha budidaya rumput laut perlu

mempertimbangkan dua hal yaitu kawasan budidaya dan populasi masyarakat

GPK. Kawasan, dipertimbangkan melalui keberadaan KSS dan KS dalam skala

luas (ha) berdasarkan parameter kualitas perairan laut dan pengaruh musim.

Masuknya peranan musim kedalam pengklasifikasian KSS dan KS dapat

memberikan gambaran tentang tingkat kestabilan kawasan dalam menunjang

produksi rumput laut di semua musim. Dengan demikian, kondisi aktualnya dapat

dibedakan berdasarkan produktivitas masing-masing kawasan di setiap musim.

Populasi masyarakat dipertimbangkan melalui ketersediaan tenaga kerja dan

modal. Tenaga kerja mengandung dua asumsi yaitu kepala keluarga (KK) sebagai

pemegang keputusan dan tenaga pendukung aktivitas KK dalam menjalankan usaha

budidaya E. cottonii. Tenaga pendukung dapat berasal dari anggota keluarga dan luar

keluarga yang didekati berdasarkan usia produktif secara ekonomi dan kebiasaan

masyarakat dalam melibatkan tenaga kerja. Modal dibangun berdasarkan dua asumsi.

(1) Alokasi waktu yang tersedia dalam satu keluarga untuk berpartisipasi dalam

kegiatan budidaya. Asumsi ini memberikan batasan kerja setiap orang yang

berpartisipasi pada suatu unit usaha sehingga sumbangsinya dapat berlangsung

beberapa unit usaha. (2) Kemampuan finansial keluarga untuk membangun usaha

tersebut. Asumsi ini memberikan batas terhadap kesediaan pelaku budidaya untuk

meraih kepuasan melalui usaha budidaya E. cottonii.

Hubungan antara kedua pertimbangan pengelolaan tersebut membentuk

karakteristik pemanfaatan yang tergabung kedalam skala pengembalian usaha.

komponen-komponen penyusun dalam gabungan ini adalah luas penggunaan

kawasan, bibit, fasilitas produksi, oprasional, tenaga dan alokasi waktu kerja

(input) serta jumlah produksi (output). Masing-masing komponen selanjutnya

diestimasi untuk merumuskan strategi pengelolaan perairan pesisir GPK untuk

usaha budidaya E. cottonii berdasarkan pendekatan ekologi, sosial dan ekonomi.

Terdapat dua aspek yang digunakan sebagai atribut dimensi dalam pendekatan

ekologi yaitu ketersediaan kawasan dan produksi E. cottonii. Ketersediaan

merupakan perbandingan antara luas masing-masing kawasan dengan luas blok

budidaya yang kemudian disesuaikan dengan koefisien budidaya efektif.

(27)

menunjang metoda budidaya (long line) yang digunakan. Aspek produksi (AP)

merupakan produktivitas E. cottonii dalam mencapai titik optimal (TO) biomasa dan

karaginan. Perhatian utama diantara keduanya adalah periode waktu pencapaian TO

manfaat karaginan karena kualitas dari E. cottonii ditentukan oleh kandungan ini.

Dengan demikian atribut AP memberikan batasan terhadap periode waktu optimal

pemanfaatan kawasan dalam sekali proses produksi sehingga diharapkan dapat

membantu proses perencanaan terutama penentuan fungsi kawasan.

Pendekatan sosial menggunakan dua atribut dari komponen skala

pengembalian usaha yang dilengkapi dengan atribut demand capacity ratio (DCR)

sebagai penghubung atau interaksi antara pendekatan sosial-ekologi. Dua atribut

pertama adalah beban kerja budidaya dan penggunaan tenaga kerja dalam satu

siklus produksi. Atribut ini menggambarkan tentang alokasi waktu yang perlu

dikorbankan untuk menekuni kegiatan budidaya dan tingkat penyerapan tenaga

kerja dalam satu unit usaha. Dalam hubungannya, kedua atribut memiliki

keterkaitan dengan asumsi modal pertama sebagaimana disebutkan di atas. DCR

menggambarkan tentang tingkat kepadatan pemanfaatan suatu kawasan. Dalam

hal ini, peluang distribusi atau penambahan unit usaha (KK) adalah terdapat pada

kawasan yang memiliki tingkat kepadatan rendah, sedangkan pada kepadatan

tinggi perlu mendapat pertimbangan menurut pendekatan ekologi-ekonomi.

Pendekatan ekonomi didasarkan atas komponen-komponen skala pengembalian

usaha yang dinyatakan dalam bentuk nilai tukar atau harga. Dalam hal ini, komponen

luas penggunaan kawasan (LPK) terlebih dahulu dipisahkan untuk sementara akibat

nilai tukarnya yang belum dapat dinyatakan. Selain LPK, komponen input merupakan

kekuatan modal yang dialokasikan pelaku bagi usaha budidaya E. cottonii. Besarnya

nilai-nilai atribut ini memberikan gambaran tentang skala biaya ditingkat pelaku yang

dapat dinyatakan dalam indeks relatif rendah, sedang dan tinggi untuk kepemilikan

masing-masing komponen input. Demikian pula dengan atribut output yang merupakan

tingkat produksi sebagai penerimaan setelah dikonfersi dengan harga penjualan.

Dengan demikian, pemetaan ekonomi berdasarkan indeks relatif diharapkan mampu

memudahkan penentuan prioritas perencanaan dalam mendorong tingkat kepuasan

(28)

Hubungan pendekatan ekologi-ekonomi diharapkan dapat menyatakan nilai

agunan suatu kawasan pemanfaatan. Dalam hubungan ini, terdapat selisih antara

biaya dan tingkat penerimaan yang merupakan nilai keuntungan dari bentuk usaha

budidaya E. cottonii. Di sisi lain, usaha tersebut dilakukan pada sebidang kawasan

dalam bentuk hektar (ha) yang menyatakan bahwa keuntungan tersebut diperoleh

akibat komplementaritas antara input dalam pendekatan ekonomi dengannya.

Dengan demikian, perbandingan antara nilai keuntungan dengan luas kawasan

pemanfaatan diharapkan dapat menjadi nilai tukar yang diposisikan sebagai

tawaran nilai agunan kawasan.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hubungan antara dua pertimbangan

pengelolaan adalah tergabung dalam skala pengembalian usaha, maka interaksi

antara pendekatan ekologi-sosial-ekonomi juga terkait dengannya. Skala tersebut

yang merupakan skala kerja beberapa faktor input untuk membentuk skala hasil,

dimana perbandingannya dapat membentuk nilai pengembalian yang disebut

dengan nilai manfaat dari suatu penggunaan input. Dalam penggunaan yang

efisien terdapat komplementaritas penggunaan input yang membentuk skala

pengembalian manfaat yang berjumlah satu. Kelebihan dan kekurangan dari total

ini dapat memberikan arti bahwa skala tersebut telah berada dalam kondisi over

limited dan belum efesien. Dengan demikian perencanaan pengelolaan suatu

kawasan untuk usaha budidaya rumput laut didasarkan pada indikator ini.

Selanjutnya, interaksi antara ketiga dimensi pendekatan

(ekologi-sosial-ekonomi), dapat memberikan keunggulan relatif pemanfaatan masing-masing

kawasan budidaya rumput laut. Dalam hal ini, keunggulan relatif masing-masing

atribut dimensi dapat mempengaruhi total nilai indeks dimensi yang

mengambarkan aspek manfaat kawasan. Selisih antara indeks manfaat total

dengan indeks kompetisi biaya pemanfaatan melahirkan indeks kepuasan

pengguna kawasan. Dengan demikian, strategi pengelolaan dapat difokuskan pada

kawasan yang dipersepsikan belum memberikan kepuasan kepada pelaku

budidaya rumput laut.

Konsep pemikiran tersebut tersebut dapat disusun dalam bentuk bagan alir

(29)

Keterangan:

(dokumen), (keputusan), (input keputusan),

(penekanan keputusan), (proses keputusan),

(multi dokumen), (interaksi)

Gambar 1 Bagan kerangka pikir penelitian.

Taman Nasional Laut Wakatobi Kebijakan Pemda Wakatobi

Pemanfaatan yang konservatif

Luas kawasan KSS & KS Populasi masyarakat GPK

Perubahan musim (Timur, Pancaroba, Barat)

Produksi

Produktifitas

Modal (waktu kerja, finansial)

Tenaga kerja

Kriteria pemanfaatan kawasan

Pendekatan ekonomi (Input & output)

Pendekatan sosial (beban & tenaga kerja, DCR) Pendekatan ekologi

(luas & produksi kawasan)

Interaksi (return to scale)

(30)
(31)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Wilayah Pesisir

Pengelolaan wilayah pesisir membutuhkan definisi dan penentuan

batas-batas wilayah. Sampai saat ini, belum ada definisi wilayah pesisir yang baku.

Beatley et al. (1994) menyatakan bahwa kesepakatan internasional tentang

wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Cakupan

ke arah darat meliputi daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau

pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua.

Bengen (2005) memberikan batasan terhadap wilayah pesisir sebagai

berikut: (1) Ke arah darat, meliputi bagian daratan kering maupun basah yang

mendapat pengaruh sifat-sifat air seperti pasang surut, angin laut dan perembesan

air asin. (2) Ke arah laut, mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh

proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar.

Isard (1975) menganggap pengertian suatu wilayah pada dasarnya bukan

sekedar areal dengan batas-batas tertentu, namun suatu areal yang memiliki arti

karena adanya masalah-masalah di dalamnya. Masalah tersebut terjadi sedemikian

rupa dan pada akhirnya membutuhkan penanganan, khususnya permasalahan

sosial-ekonomi. Sejalan dengan itu, Bengen (2005) menyatakan bahwa penetapan

batas-batas fisik suatu wilayah pesisir secara kaku kurang begitu penting untuk kepentingan

pengelolaan. Lebih berarti jika penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan

atas faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan dan pengelolaan ekosistem

pesisir dan laut beserta segenap sumber daya yang ada di dalamnya.

Bengen (2005) melanjutkan pernyataannya bahwa batas-batas suatu wilayah

pesisir bagi kepentingan pengelolaan lebih utama ditentukan berdasarkan tujuan dari

pengelolaan itu sendiri. Dalam kepentingan tersebut, wilayah pesisir dapat ditetapkan

berdasarkan dua pendekatan, yaitu wilayah perencanaan dan pengaturan. Wilayah

perencanaan merupakan seluruh daerah yang di dalamnya terdapat kegiatan manusia

(pembangunan) dan dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan

dan sumberdaya pesisir. Wilayah pengaturan adalah wilayah yang diberikan izin

(32)

Bengen (2005) menyatakan pula bahwa dalam pengelolaan wilayah

pengaturan, pemerintah (pihak pengelola) memiliki kewenangan penuh untuk

mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan. Kewenangan semacam

ini diluar batas wilayah pengaturan, sehingga menjadi tanggung jawab bersama

antara instansi pengelolaan wilayah pesisir dalam zona pengaturan dengan instansi

yang mengelola daerah hulu atau laut lepas. Rustiadi et al. (2007) menyatakan

bahwa wilayah kesatuan unit-unit koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada

tujuan dan penyelesaian masalah tertentu disebut sebagai wilayah perencanaan.

Rustiadi et al. (2007) menyatakan bahwa dalam sistem perencanaan wilayah

pesisir dilandasi oleh entitas wilayah. Entitas tersebut terdiri dari

komponen-komponen yang merupakan satu kesatuan, memiliki keterkaitan, ketergantungan dan

interaksi satu dengan lainnya. Komponen-komponen ekosistem wilayah pesisir

dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah baik sifat alamiah

maupun non alamiah.

Budiharsono (2005) menyatakatan bahwa sifat-sifat yang ada di wilayah pesisir

didasarkan atas pendekatan homogen, nodal, administratif dan perencanaan. Dalam

konteks homogen, Pesisir merupakan penghasil ikan dan memiliki kepadatan

penduduk yang tergolong dibawah garis kemisikinan. Dalam konteks nodal, pesisir

merupakan wilayah belakang (plasma) dari perkotaan (inti). Kenyataannya adalah

pesisir sebagai penyedia input bagi inti dan merupakan pasar barang-barang jadi

(output) dari inti. Sebagai wilayah administratif, pesisir merupakan wilayah yang

relatif kecil, dapat berupa kecamatan atau desa dan kabupaten atau kota yang berupa

pulau kecil. Dalam konteks perencanaan, pesisir merupakan wilayah yang memiliki

hubungan keterkaitan berdasarkan kriteria ekologis.

Menurut Bengen (2005) bahwa wilayah pengelolaan sehari-hari harus

dimasukkan ke dalam wilayah perencanaan. Penerapan wilayah homogen menjadi

wilayah perencanaan sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan

permasalahan spesifik yang seragam. Rustiadi et al. (2007) mengemukakan bahwa

penerapan lebih jauh konsep wilayah homogen menjadi wilayah perencanaan sangat

bermanfaat dalam aktifitas:

1. Penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi atau daya

(33)

2. Pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan

masing-masing wilayah.

Konsep Ruang dan Kawasan Budidaya Rumput Laut

Penggunaan istilah ruang di Indonesia termuat dalam UU No. 26/2007

tentang penataan ruang. Istilah tersebut dinyatakan sebagai wadah yang meliputi

daratan, perairan (laut dan air tawar) dan udara. Kesatuan wadah ini disebut

sebagai wilayah tempat manusia dan mahluk lainnya untuk hidup dan melakukan

kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Berpedoman pada UU

tersebut, maka ruang merupakan suatu informasi penting tentang keberadaan

suatu wadah secara komprehensif dalam kaitannya dengan keterlibatan manusia

yang melakukan aktifitas didalamnya.

Rustiadi et al. (2007) menyatakan bahwa penekanan suatu ruang kedalam

fungsi tertentu untuk menunjang aktifitas manusia disebut dengan kawasan. Istilah

kawasan muncul dari adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan

komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah atau ruang. Dengan demikian,

setiap kawasan atau sub kawasan memiliki fungsi-fungsi khusus yang tentunya

memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan.

Johnston (1976) menyatakan bahwa pengklasifikasian ruang kedalam kawasan

tertentu memiliki dua manfaat dasar yakni : (1) sebagai alat penyederhanaan

fenomena dunia nyata, dan (2) sebagai alat pendeskripsian. Rustiadi et al. (2007)

menambahkan bahwa hal ini juga memberikan manfaat terhadap penjelasan yang

sederhana terhadap keragaman dan perbedaan karakteristik sumberdaya-sumberdaya

serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya.

Terkait dengan pernyataan di atas, maka fenomena pengklasifikasian dunia

nyata dapat disederhanakan menjadi faktor-faktor ekologi yang meliputi substrat

perairan, kualitas air, iklim, dan geografis dasar perairan. Faktor lain yang tidak kalah

pentingnya adalah faktor kemudahan (aksesibilitas), resiko (masalah keamanan) dan

konflik kepentingan (pariwisata, perhubungan, dan taman laut nasional)

(Anggadiredja et al. 2006). Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa faktor-faktor tersebut

dapat mendeskipsikan suatu perairan menjadi kawasan budidaya Eucheuma sp ketika

(34)

a. Faktor fisika perairan: terlindung dari ombak besar, pergerakan air (arus)

0.2-0.4 m/detik, suhu perairan antara 20-30 0C dengan fluktuasi harian maksimum

4 0C, tingkat transparansi 2-5 meter, dasar perairan yang stabil terdiri dari

patahan karang mati dan pasir kasar serta bebas dari lumpur, kedalaman air

minimal 0.4 m hingga batas daya tembus sinar matahari dan pelaku budidaya

mampu memanfaatkannya.

b. Faktor kimia perairan: salinitas 28-33 o/oo, DO 3-8 mg/l, pH 6.5-8, kandungan

fosfat antara 0.10-0.20 mg/l, kandungan nitrat antara 0.01-0.7 mg/l (Joshimura

dalam Wardoyo 1978; Ditjenkan 1982; Anggadiredja et al. 2006).

Terkait dengan peranan suhu dan salinitas, Apriyana (2006) menyatakan

bahwa salinitas yang tinggi (lebih dekat dengan batas baku mutu tertinggi yaitu

35 o

/oo) dapat menunjang laju pertumbuhan yang lebih baik. Demikian pula GESAMP

(1984) diacu dalam Romimohtarto (1985) bahwa kisaran suhu di daerah tropis

sedemikian rupa sehingga banyak organisme hidup lebih baik dekat dengan batas

suhu tertinggi (30 oC).

Sejalan dengan pernyataan di atas, Manafi (2003) mendeskripsikan kawasan

budidaya rumput laut GPK ke dalam bentuk matriks kesesuaian dengan skor

tertinggi pada kisaran yang mendekati batas optimal (Tabel 1). Dalam hasil

analisisnya diperoleh bahwa potensi kawasan budidaya rumput laut di perairan

tersebut terdapat seluas 8 200 ha dengan rincian 3 700 haberada dalam kategori

sangat sesuai (KSS) dan 4 500 ha dalam kategori sesuai (KS).

Tabel 1 Matriks kesesuaian fisik kimia perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk budidaya rumput laut

Parameter Kelas Skor Kelas Skor Bobot

pH 7.5 - 8 8 7 - <7,5 6 10

Salinitas (o/oo) 32 - 35 8 30 - <32 6 10 Suhu permukaan laut (oC) 24 - 30 8 20 - <24 6 10 Kecepatan arus 13m (m/s) 0.3 – 0.4 8 >0.2 – 0.3 6 20 Kekeruhan (JTU) ≤ 28 8 >28 – 30 6 10 Material dasar perairan Pasir Karang 8 Pasir, batuan Karang 6 20 Sumber: Manafi 2003

Sebagaimana tabel di atas dapat dilihat bahwa kecepatan arus dan material

dasar perairan merupakan dua parameter yang diberi bobot tertinggi. Hal ini

dikarenakan arus sebagai faktor ekologis utama yang mengontrol kondisi komunitas

(35)

untuk menghindari fluktuasi suhu. Dinyatakan pula bahwa arus dapat menghindarkan

thallus dari akumulasi benda-benda asing yang melekat padanya serta mempercepat

metabolisme dan perpanjangan thallus sehingga menambah kemampuannya dalam

menyerap nutrien (Sulistidjo 1985, Sinaga 1999, Apriyana 2006, Anggdiredja et al.

2006). Dengan demikian, parameter ini mendapat bobot yang setingkat lebih tinggi

dalam kelipatan angka 10 jika banding parameter lainnya.

Mubarak dan Wahyuni (1981) menyatakan bahwa jenis-jenis substrat yang

dapat ditumbuhi oleh alga laut adalah pasir, lumpur, dan pecahan karang. Tipe

substrat yang paling baik bagi pertumbuhan alga laut adalah campuran pasir, karang

dan pecahan karang. Pada substrat perairan yang lunak seperti pasir dan lumpur, akan

banyak dijumpai jenis-jenis alga Halimeda sp., Caulerpa sp., Gracillaria sp., dan

hypnea. Pada dasar perairan yang bersubstrat keras seperti karang hidup, batu karang

dan pecahan karang akan banyak dijumpai jenis-jenis alga Sargasum sp., Turbinaria

sp., Ulva sp., dan Enteromorpha sp. Nontji (2005) menyatakan bahwa alga laut

Eucheuma sp. Paling baik pertumbuhannya pada pasir berkarang. Jenis ini,

membutuhkan benda-benda keras yang cukup kokoh untuk tempat melekatnya.

Dengan demikian material dasar perairan dalam pengklasifikasian kawasan bagi

kegiatan budidaya Eucheuma sp. diberikan bobot yang sama dengan arus.

Scharwz et al. (1976) diacu dalam Notohadinegoro (1999) menyatakan

bahwa kondisi suatu kawasan memiliki ambang batas kesanggupan bertahan

terhadap dampak penggunaan atau pemanfaatannya. Dahuri et al. (1996), Dahuri

(2000) menambahkan bahwa ambang batas ini tidaklah mutlak (obsolute)

melainkan luwes (flexible) bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi

atas pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima

dampak kegiatan manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan ruang yang

hendaknya diarahkan bagi terjaminnya keberlangsungan ekosistem yang ada

sebagai penyangga kehidupan di wilayah tersebut.

Legalitas Pemanfaatan Kawasan Bagi Usaha Budidaya Rumput Laut Tata ruang

Dalam UU No. 26/2007 tentang penataan ruang dinyatakan bahwa tata ruang

adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang direncanakan. Darwanto

(36)

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, termasuk dunia

usaha. Sugandhy (1999), Prayitno (1999) menambahkannya dengan ukuran kualitas

tata ruang ditentukan oleh terwujudnya harmonisasi antara kegiatan mengeksploitasi

dengan kegiatan memelihara yang mengindahkan kekhasan ekologis.

Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan

ekosistemnya dinyatakan bahwa pengelolaan tanam nasional bagi usaha budidaya

dilakukan dengan sistem zonasi. Dahuri et al. (1996) menyatakan bahwa setiap

kegiatan pembangunan yang diantaranya adalah budidaya perikanan termasuk E.

cottonii dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara

biofisik sesuai dan mendukung secara sosekbud sehingga membentuk suatu

mosaik yang harmonis. Dengan demikian, pemanfaatan suatu kawasan bagi usaha

budidaya E. cottonii dapat dilakukan dengan sistem zonasi yang ditempatkan pada

lokasi yang secara biofisik sesuai dan mendukung secara sosekbud serta tidak

mengesampingkan kekhasan ekologis.

Sebagai daerah kepulauan, maka Pemda Wakatobi menjabarkan sistem zonasi

yang konsisten dengan penataan ruang secara terpadu dan prinsip pembangunan

berkelanjutan kedalam satuan wilayah pulau (SWP). Dalam hal ini, GPK ditetapkan

sebagai SWP-II dengan salah satu sektor basis perikanan tangkap dan budidaya.

Komoditas unggulan dalam pemanfaatan kawasan bagi sektor ini adalah E. cottonii

yang dihasilkan dari kegiatan memelihara (PDKW 2006).

Kebijakan pembangunan perikanan

Salah satu ketentuan yang memuat kebijakan pembangunan perikanan adalah

UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa

perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya ikan (termasuk rumput laut) dan lingkungannya mulai dari

praproduksi, produksi, pengelolaan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan

dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Penjelasan berikutnya adalah pembudidayaan ikan (rumput laut) yang dinyatakan

sebagai kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan serta

memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. Kegiatan tersebut dinyatakan

pula secara implisit di dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:

(37)

Pemerintah No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha perikanan. Selanjutnya disebutkan

bahwa setiap warga negara Republik Indonesia atau badan hukum termasuk koperasi

yang melakukan usaha pembudidayaan yang dilakukan secara terpisah maupun terpadu

dan wajib memiliki izin usaha perikanan (IUP).

IUP di bidang usaha budidaya rumput laut dapat dikeluarkan oleh: (1)

Dirjen Perikanan Budidaya, apabila usaha dilakukan di laut lepas dengan batas di

atas 12 mil laut; (2) Gubernur, apabila usaha dilakukan di laut dengan batas antara

4 mil s/d 12 mil laut; (3) Bupati/walikota, apabila usaha dilakukan dengan batas

kurang dari 4 mil laut.

Usaha budidaya yang dibebaskan tanpa IUP adalah: (1) Budidaya rumput laut

yang menggunakan metode lepas dasar dengan jumlah unit tidak lebih dari 8 unit,

masing-masing unit berukuran 100x5 m2. (2) Budidaya rumput laut yang

menggunakan metode rakit apung dengan jumlah unit tidak lebih dari 20 unit,

masing-masing unit terdiri dari 20 rakit dan masing-masing rakit berikuran 5x2.5 m2.

(3) Budidaya rumput laut yang menggunakan metode long line dengan jumlah unit

tidak lebih dari dua unit, masing-masing unit berukuran 1 ha.

Setiap usaha budidaya rumput laut yang telah memiliki IUP wajib: (1)

melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam IUP; (2) memohon persetujuan

tertulis apabila akan memindahtangankan IUP-nya; (3) menyampaikan laporan

kegiatan usaha setiap enam bulan sekali; (4) menyesuaikan rencana usaha apabila

melakukan perluasan usaha.

Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pembudidayaan rumput laut

dilakukan oleh Dirjen Perikanan Budidaya, gubernur, bupati atau walikota secara

teratur dan berkesinambungan. Kepada perusahaan budidaya rumput laut yang

melakukan pelanggaran ketentuan diberikan peringatan atau teguran tertulis,

pembekuan sementara IUP sampai dengan pencabutan IUP.

UU RI No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil, dinyatakan bahwa hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) diberikan

dalam bentuk sertifikat HP-3 kepada pengusahaan atas permukaan laut dan kolom

air sampai dengan permukaan dasar laut. HP-3 dapat dijadikan jaminan utang

dengan dibebankan hak tanggungan. Hal ini memberikan harapan bagi pelaku

(38)

dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Ditjenkan Budidaya (2005)

menambahkan bahwa hal itu juga memberikan harapan bagi arahan alokasi

investasi pembangunan yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat

maupun dunia usaha.

Sektor perikanan merupakan matapencaharian utama masyarakat Wakatobi,

terutama pada ekosistem terumbu karang dan lamun. PDKW (2006) menyatakan

bahwa untuk menunjang hal tersebut, kebijakan pengembangan perikanan

kelautan Wakatobi diarahkan pada:

a.Peningkatan kemampuan nelayan dalam menghasilkan komoditas yang berdaya

saing tinggi,

b.Peningkatan skala produksi produk perikanan,

c.Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk perikanan,

d.Penyediaan akses masyarakat terhadap sumber-sumber produktif seperti

permodalan, pasar dan informasi,

e.Peningkatan keberdayaan serta peran lembaga perikanan kelautan dan

pariwisata,

f. Pengembangan jaringan distribusi pemasaran dari dan keluar Kabupaten

Wakatobi yang efisien & efektif dan

g.Peningkatan nilai tambah produk perikanan kelautan dan komoditas unggulan

lainnya guna peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya dinyakatan pula bahwa arah kebijakan dalam rangka

meningkatkan pengembangan perikanan kelautan Wakatobi dijabarkan dalam

program pembangunan peningkatan kesejahteraan nelayan dalam bentuk kegiatan:

a) Pengembangan budidaya laut khususnya bagi komoditas unggulan Wakatobi,

b) Peningkatan pengolahan hasil dan pasca panen,

c) Peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-sumber produksi seperti

permodalan, pasar dan informasi,

d) Pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia perikanan dan pariwisata,

e) Pengembangan sistem penyuluhan perikanan,

f) Pengembangan jaringan distribusi pemasaran dari dan keluar kabupaten yang

(39)

g) Pengembangan sarana dan prasarana penangkapan laut dalam untuk

meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pelestarian terumbu karang Wakatobi.

Peraturan desa

Desa Darawa, Lentea, Sama Bahari dan Sombano merupakan desa-desa

percontohan dalam pengelolaan dan pemanfaatan PERAIRAN PESISIR GPK.

Duncan (2005) dalam laporannya menyatakan bahwa kendala yang dihadapi oleh

masyarakat desa tersebut adalah menurunnya hasil produksi sektor perikanan baik

dari segi jumlah, ukuran maupun spesies. Hal ini disebabkan oleh pola pemanfaatan

kawasan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti

bom dan sianida. Dinyatakan bahwa 70 dan 61% penggunaan kedua alat tangkangkap

ini berasal dari nelayan luar dan 38 & 34% berasal dari nelayan lokal. Pembahasan

kedua hal ini di tingkat kecataman diperoleh simpulan bahwa setiap kepala desa

sepakat untuk membentuk aturan penomoran atau registrasi perahu bermotor demi

menjamin daya kontrol terhadap pemanfaatan kawasan.

Setelah memperoleh persetujuan akan diadakannya registrasi ini, maka dua

nelayan dari setiap desa tersebut dipekerjakan untuk penulisan nomor dibawah

pengawasan kepala desa. Keduanya memberikan nomor khusus kepada setiap

sampan bermotor, mencatat pemiliknya serta rincian dari perahu bermotor tersebut.

Kode ini tersusun atas tiga komponen yaitu kode untuk mengidentifikasi nama pulau

(K=Kaledupa), kemudian tiga digit angka sebagai kode khusus pada setiap perahu

bermotor di desa tersebut dan terakhir adalah kode desa dengan mengacu pada kode

administratif pemerintah kecamatan dimana M = Darawa, J = Lentea, O = Sombano

dan P = Sama Bahari.

Kebijakan lokal

Budidaya rumput laut merupakan istilah baru bagi masyarakat Kaledupa.

Namun demikian, kegiatan memelihara rumput laut telah lama dikenal oleh

masyarakat ini. Dalam era tahun 1970-an rumput laut dijadikan sebagai salah satu

indikator pemanfaatan kawasan bagi penempatan sero untuk mendapatkan ikan target

baronang. Ketika itu, rumput laut yang ada di sekitarnya dikumpulkan kemudian

ditebar di dalam sero sebagai umpan untuk memancing ikan masuk ke dalamnya.

(40)

dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Garangga kanse. Sebagian hasil panennya

dijadikan sebagai bahan konsumsi makanan terutama dari jenis Latu (C. Lentillifera).

Sebagaimana diketahui bahwa E. cottonii bukan merupakan plasma nutfah

lokal, namun dapat memberikan sumbangsi kesejahteraan yang lebih besar (56%)

dibanding unit-unit ekonomi lainnya seperti penangkapan (36.50%) dan pertanian

(7.50%) (Duncan 2005). Dalam era usaha budidaya E. cottonii (1993 hingga

sekarang), masyarakat pelaku budidaya mengenal pola pemanfaatan kawasan

dengan menggilir penggunaan bibit dari kawasan kurang subur ke kawasan lebih

subur. Demikian pula sebaliknya, komoditas basah kawasan lebih subur sebagian

dijadikan bibit pada kawasan kurang subur. Menurut pelaku budidaya, dikatakan

bahwa pola pemanfaatan seperti ini memberikan manfaat terutama bagi

pertumbuhan rumput laut yang lebih baik di kedua kawasan dan tingkat kegagalan

panen yang berkurang.

Integrasi Masyarakat dalam Kawasan Budidaya Rumput Laut

White et al. (2006) menyatakan bahwa pemanfaatan ruang wilayah pesisir

bagi pengembangan budidaya rumput laut merupakan salah satu alternatif

pemberdayaan masyarakat. Keunggulan dari pengembangan ini adalah: (1) produk

yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang beragam, (2) lokasi budidaya tersedia

cukup luas serta (3) teknologi budidaya tersedia.

Cahyono (1993) menyatakan bahwa sasaran dibangunnya suatu usaha

adalah: (1) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan

merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam dan sumber daya manusia

yang memperhatikan keseimbangan dan kelestarian bagi lingkungan, (2)

meningkatkan keikutsertaan masyarakat golongan ekonomi lemah agar berperan

secara aktif dalam pembangunan, (3) memperluas dan meratakan kesempatan

kerja dan berusaha serta meningkatkan peran koperasi.

Effendi (2004) menyatakan bahwa campur tangan masyarakat untuk

memproduksi biota (rumput laut) melalui pemeliharaan akan meningkatkan

produktivitas perairan dan mendatangkan keuntungan secara ekonomi. Smart (2005)

menyatakan bahwa kegiatan seperti ini dikenal sebagai phycoculture.

Bardach et al. (1972) menyatakan bahwa pemanfaatan lokasi untuk budidaya

(41)

yang sangat cukup, suhu, salinitas dan kesuburan yang sesuai. Kenyataannya

faktor-faktor tersebut sulit untuk diatasi oleh manusia sehingga menyebabkan senjang

produktivitas dalam budidaya rumput laut (Sedana et al. 1985).

Soekartawi (2002) mengenal dua jenis perbedaan produktivitas yaitu yield

gap I dan yield gap II. Yield gap I merupakan perbedaan dari hasil eksperimen

dengan hasil dari potensi suatu usaha tani. Yield gap ini disebabkan oleh adanya

teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan adanya perbedaan lingkungan. Sebagai

contoh, Ditjenkan Budidaya (2005) menyatakan bahwa teknologi budidaya

dengan metode kantong jaring merupakan solusi budidaya rumput laut dalam

mengatasi serangan hama ikan (baronang) dan penyu. Kenyataannya, teknologi ini

tidak dapat diterapkan pada suatu perairan yang lebih subur seperti perairan GPK.

Hal ini dikatakan oleh pelaku budidaya lokal bahwa tidak berhasilnya penerapan

teknologi kantong jaring disebabkan oleh adanya biota penempel yang cepat penutupi

mata jaring sehingga menghalangi pergerakan air yang dibutuhkan rumput laut.

Dalam kondisi tersebut, rumput laut cepat terserang penyakit yang ditandai dengan

perubahan warna menjadi cokelat kehitam-hitaman dan akhirnya mati.

Yield gap II merupakan perbedaan produktivitas dari suatu potensi usaha tani

dengan yang dihasilkan oleh pelaku. Dalam usaha budidaya rumput laut, terdapat

dua faktor utama penyebab yield gap II yaitu: (1) karena kendala biologi seperti

perbedaan spesies, serangan hama dan penyakit, perbedaan parameter fisik kimia

perairan dan sebagainya); (2) karena kendala sosial-ekonomi seperti perbedaan

besarnya biaya yang muncul dari faktor jarak sehingga meningkatkan biaya

operasional, faktor kedalaman perairan yang dapat meningkatkan penggunaan tali

jangkar, harga produksi akibat kebiasaan dan sikap pelaku budidaya yang tidak

memperhatikan kualitas rumput laut, adanya faktor ketidakpastian, dan sebagainya.

Integrasi masyarakat dalam kawasan budidaya rumput laut idealnya

memperhatikan daya dukung dalam tata

Gambar

Tabel 2 Analisis budidaya E. cottonii sistem long line: satu KK (tiga hingga empat
Gambar 3 Lokasi penelitian di Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara
Gambar 5 Peta stasiun penelitian (sumber: Smart 2005, Manafi 2003).
Gambar 6 Titik pengambilan sampel rumput laut dalam satu stasiun.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apusan bakteri ditetesi dengan safranin (Gram D) secukupnya, kemudian ditunggu selama 1 menit, setelah itu dicuci kelebihan pewarna dengan air mengalir. Apusan

R: Karena perubahan suhunya lebih tinggi, banyak P: Trus, kalor yang sama diberikan kepada dua buah benda dengan massa yang sama, suhu awal yang sama, tetapi kedua benda

&#34;Saya bersumpah,he4anji, bahwa saya akan melakukan pekeq'aan Ilmu Kedokteran, Ilmu Bedah dan Ilmu Kebidanan dengan pengetahuan dan tenaga saya yang

Berkas- berkas cahaya yang tiba di layar akan mengalami interferensi konstruktif dan destruktif juga sehingga akan dihasilkan pola gelap terang tetapi dalam bentuk

Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat

redundancy protocol (VRRP) dapat digunakan untuk mengatasi kegagalan perangkat yang terjadi pada sebuah jaringan dan dari hasil pengujian yang dilakukan memiliki

Dalam berbakti kepada orang tua, kita mengenal istilah “Birrul Walidaini” yang artinya yaitu berbuat baik dan bakti kepada orang tua melalui pemenuhan hak-hak kedua

Diharapkan Saudara untuk hadir seperti jadwal tersebut diatas dengan membawa dokumen penawaran asli beserta 2 (dua) rangkap salinannya berikut data pendukung lainnya..