• Tidak ada hasil yang ditemukan

Achmadi P. 2011. Kajian androgenik ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) terhadap kinerja reproduksi tikus putih (Rattus norvegicus) betina dara [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Adelien TU. 1996. Hubungan antara peningkatan konsentrasi esstradiol dan progesteron dalam serum induk dengan perkembangan fetus dan kelejar susu selama kebuntingan pada tikus putih (Rattus sp.) [tesis]. Program Pascasarjana: Institut Pertanian Bogor.

Anwar R. 2005. Endokrinologi Kehamilan dan Persalinan. Bandung: Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran.

Arkaraviehien W, Kendle KE. 1990. Critical progesterone requirement of maintenance of pregnancy in ovariectomized rats. J Reprod Fert 90:63-70. Ashworth CJ. 1992. Synchrony embryo-uterus. Anim Reprod Sci 28:259-267. [Balittro] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Hasil uji

fitokimia dari akar purwoceng. Bogor: Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.

Caropeboka AM. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina Koord. terhadap sistem reproduksi tikus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Caropeboka et al. 1983. Aspek hormonal respons tubuh terhadap ekstrak akar

Pimpinella alpina Koord. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Darwati I, Roostika I. 2006. Status penelitian purwoceng (Pimpinella alpina

Molk.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah 12(1)9-15.

Dziuk PJ. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim Reprod Sci

28:299-308.

Favaro WJ, Cagnon VHA. 2007. Immunolocalization of androgen and oestrogen receptors in the ventral lobe of rat (Rattus norvegicus) prostate after long- term treatment with ethanol and nicotine. Int J Androl 31:609-618.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. B Srigandono, Koen Praseno, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animals.

Gadjahnata KHO. 1989. Biologi Kedokteran I. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.

Gandolfi F, Brevini TAL, Mudina S, Passonil. 1992. Early embryonic signals embryo-maternal interactions before implantation. Anim Reprod Sci

28:269-276.

Ganong WF. 2002. Fisiologi Kedokteran. Brahm UP et al., penerjemah. Ed ke- 20. Jakarta: EGC.

Garvita RV. 2005. Efektivitas ekstrak kedelai pada prakebuntingan (5, 10, 15 hari) tikus untuk meningkatkan profil reproduksi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Gunawan D. 2002. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Istri. Jakarta: Penebar Swadaya.

Guyton AC. 1994. Fisiologi Kedokteran Bagian III. Ed ke-7. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati Setiawan, editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya: Airlangga Univ Pr.

Harrison RM, Phillippi PP, Swan KF, Henson MC. 1999. Effect of genistein on steroid hormone production in the pregnant rhesus monkey. Proc Soc Exp Biol Med 222:78-84.

Hernani, Yuliani S. 1991. Obat-Obat Afrodisiaka yang Bersumber dari Bahan Alam. Di dalam: Zuhud, EAM, editor. Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat dari Hutan Tropis Indonesia. Bogor: Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan IWF. hlm 130-134.

Ibanez C, Baulieu EE. 2005. Mechanism of action of sex steroid hormones and their analog. Di dalam: Lauritzen C, Studd, editor. Current management of the menopause. London: Taylor & Francis.

Johnson M, Everitt B. 1984. Essential Reproduction. Ed ke-2. London: William Clowes Limited.

Kim H, Peterson TG, Barnes S. 1998. Mechanism of action of the soy isoflavone genestein: Emerging role of itsneffects through transforming growth factor beta signaling. Am J Clin Nutr 68:1418S-1425S.

Kusmana D et al. 2007. Efek estrogenik ekstrak etanol 70% kunyit (Curcuma domestica Val.) terhadap mencit (Mus musculus L.) betina yang diovariektomi. Makara Sains 11(2):90-97.

Lund JDD. 2005. The estrogen receptor [tesis]. Denmark: Department of Chemistry University of Aarhus.

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Manan DA. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Ed ke-1. Banda Aceh: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala.

McDonald LE. 1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Ed ke-3. Philadelphia: Lea and Febiger.

Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Jakarta: Universitas Indonesia.

Nuryadi. 2007. Reproduksi Ternak. Malang: Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

Pawiroharsono, S. 1998. Benarkah tempe sebagai anti kanker. Jurnal Kedokteran dan Farmasi 12:815-817.

Ribeiro E, Van Engelen MAJ, Nielsen MK. 1996. Embryonal survival to 6 days in mice selected on different criteria for litter size. J Anim Sci 74:610-615. Ruhlen RL. 2007. Low phytoestrogen levels infeed increase fetal serum estradiol

resulting in the “Fetal estrogenization syndrome” and obesity in cd-1 mice.

Environ Health Perspect. 116(3):322-328.

Sheehan DM. 2005. The case for expanded phytoestrogen research. Proc Soc Exp Biol Med 208:5-3.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia.

Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari:

Principles and Procedures of Statistics.

Sukra J, Rahardja L, Juwita I. 1989. Pengantar Kuliah Embriologi. Bogor: Departemen Zoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Taufiqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina Molk. (purwoceng) dan akar Eurycoma longifolia Jack. (pasak bumi) terhadap peningkatan kadar testosteron, LH dan FSH serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan Sprague-Dawley [tesis]. Semarang: Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Diponegoro.

Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Angkasa. Tsourounis C. 2004. Clinical effects of phytoestrogens. Clin Obst Gynecol

44:836-842.

Ulya et al. 2008. Analisis kadar stigmasterol dari tanaman purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) yang tumbuh pada tingkat ketinggian berbeda.

Semarang: FMIPA Undip.

Women’s Health Symmetry. 2009. Red Clover: Sumber yang kaya akan isoflavon. [terhubung berkala]. http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?p=1184. [23 Juni 2011].                                      

                       

LAMPIRAN

                       

Lampiran 1 Analisis bobot ovarium pada kebuntingan 21 hari

Perlakuan Mean N Std. Deviation

Control .05800 5 .013038

Purwoceng .07400 5 .026552

Total .06600 10 .021448

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model .045a 6 .008 13.562 .012 Perlakuan .001 1 .001 1.145 .345 tikus_ke .001 4 .000 .566 .703 Error .002 4 .001 Total .048 10

Lampiran 2 Analisis bobot uterus pada kebuntingan 21 hari

Perlakuan Mean N Std. Deviation

Kontrol 3.0920 5 .36162

Purwoceng 4.8640 5 1.34855

Total 3.9780 10 1.31856

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 168.326a 6 28.054 20.159 .006

Perlakuan 7.850 1 7.850 5.641 .076

tikus_ke 2.231 4 .558 .401 .801

Error 5.567 4 1.392

Total 173.892 10

Lampiran 3 Analisis bobot plasenta kebuntingan 21 hari

Perlakuan Mean N Std. Deviation

Kontrol 6.0860 5 1.79474

Purwoceng 6.0660 5 1.60581

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 379.202a 6 63.200 19.187 .006

Perlakuan .001 1 .001 .000 .987

tikus_ke 10.023 4 2.506 .761 .601

Error 13.176 4 3.294

Total 392.378 10

Lampiran 4 Analisis bobot anak pada kebuntingan 21 hari

Perlakuan Mean N Std. Deviation

Kontrol 3.53900 5 .836221

Purwoceng 3.95580 5 1.210073

Total 3.74740 10 1.004903

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 146.179a 6 24.363 29.179 .003 Perlakuan .434 1 .434 .520 .511 tikus_ke 5.314 4 1.329 1.591 .332 Error 3.340 4 .835 Total 149.519 10  

Extract during 13-21 Days of Pregnant Rat (Rattus sp.) on Reproductive Organs and Pups Weight. Under direction of ARYANI S. SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI.

The study aims to observe the effect day of purwoceng (Pimpinella alpina) ethanole extract which given at 13-21 days age of pregnancy on ovarium, uterus, placenta, and pups weight. The rats were divided in to two groups. One of groups was rats that treated by purwoceng 25 mg/300 g body weight and the other groups control (no treatment). Purwoceng ethanole extract was given on the 13th until the 21st day of pregnancy. The rats was dissected on day 21 to take an ovarium, uterus, placenta, and pups, and to observe their weight. The result indicated that purwoceng ethanole extract tended to increase weight of ovarium, uterus, and pups but had no effect towards placenta.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penggunaan tanaman herbal sebagai tanaman obat dalam bidang reproduksi sudah banyak diteliti dan diminati oleh masyarakat karena mengandung bahan alami. Tanaman herbal yang menjadi bahan metode penelitian reproduksi adalah tanaman yang mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik. Pada dasarnya tanaman yang mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau androgen dipercaya dapat memperbaiki kinerja reproduksi, seperti pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.). Pasak bumi merupakan tumbuhan asli Myanmar, Thailand, Indo Cina, dan Indonesia. Bagian yang digunakan dari tanaman ini adalah akar. Kandungan aktif yang terdapat dalam akar pasak bumi ini adalah β- Sitosterol. β-Sitosterol berguna sebagai bahan baku pembuatan hormon steroid dan merangsang pengeluaran hormon estrogen (Gunawan 2002).

Herbal lain yang juga mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik adalah purwoceng. Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman menahun dengan tinggi antara 50-100 cm. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah pegunungan, seperti daerah asalnya, yaitu pegunungan Alpen sehingga dikenal dengan nama Pimpinella alpina. Di Jawa, purwoceng ditemukan tumbuh liar di Pegunungan Dieng dan lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah. Bagian tanaman yang digunakan adalah akar karena diketahui dapat menggugah hasrat seksual (Gunawan 2002).

Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman yang digunakan sebagai obat herbal terutama sebagai ‘viagra’. Seluruh bagian dari purwoceng dapat digunakan sebagai obat terutama akarnya karena bahan aktif purwoceng terbanyak terletak pada bagian akar. Secara empiris masyarakat umum lebih mengenal akar purwoceng berkhasiat sebagai afrodisiak. Akar purwoceng mengandung turunan dari senyawa sterol, saponin, dan alkaloida. Selain itu, akar purwoceng juga mengandung turunan senyawa kumarin yang digunakan dalam industri obat modern, tetapi bukan untuk afrodisiak melainkan untuk anti bakteri, anti fungi dan anti kanker. Di Indonesia tumbuhan atau tanaman obat yang

digunakan sebagai afrosidiak lebih banyak hanya berdasarkan kepercayaan dan pengalaman (Hernani dan Yuliani 1991).

Berdasarkan penelitian terdahulu, Taufiqqurrahman (1999) telah menggunakan purwoceng sebagai herbal alternatif untuk memperbaiki kinerja reproduksi. Penelitian tersebut memanfaatkan akar purwoceng untuk meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) dan testosteron. Penelitian ini juga memanfaatkan akar purwoceng sebagai tanaman yang diduga dapat memperbaiki kinerja reproduksi tikus betina bunting, yang akan dilihat pada parameter dari induk (bobot ovarium, bobot uterus, dan bobot plasenta) dan dari anak (bobot badan anak). Parameter ini diambil karena ovarium adalah sumber estrogen, sedangkan uterus, plasenta, dan anak adalah target organ dari estrogen.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk menguji efek ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) yang diberikan pada hari kebuntingan 13-21 terhadap bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak tikus.

Hipotesa

Ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) yang diberikan secara peroral dapat mempengaruhi bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak tikus yang diberikan pada hari kebuntingan 13-21.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap kinerja reproduksi tikus betina bunting sehingga dapat dipakai sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

Dokumen terkait