• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biologi Tikus Putih (Rattus sp.)

Tikus putih atau rat (Rattus sp.) sering digunakan sebagai hewan percobaan atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah dipelihara (Malole dan Pramono 1989). Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama produksi 1 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Penggunaan tikus dalam penelitian reproduksi karena panjang waktu siklus birahi yang pendek, yaitu 4-5 hari dan lama kebuntingannya hanya selama 21-23 hari (Malole dan Pramono 1989).

Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague-Dawley yang memiliki kepala kecil, berwarna albino putih dan ekornya lebih panjang dari badannya. Galur Wistar yang memiliki kepala besar dan ekor yang lebih pendek. Galur Long Evans yang lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989).

Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.)

Kriteria Nilai

Berat badan dewasa 450-520 g jantan, 250-300 g betina

Berat lahir 5-6 g

Lama siklus birahi 4-5 hari

Lama kebuntingan 21-23 hari

Oestrus postpartum Fertil

Jumlah anak 6-12 ekor

Umur sapih 21 hari

Waktu pemeliharaan komersial 7-10 litter/4-5/bulan

Komposisi air susu 13% lemak, 9,7% protein, 3,2% laktosa

Sumber: Malole dan Pramono (1989)

Ada dua sifat yang membedakan tikus dengan hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung dan tidak mempunyai kandung empedu.

Tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki, ekor tikus menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50-60 hari, vagina mulai terbuka pada umur 35-90 hari dan testes turun pada umur 20-50 hari. Anak-anak yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus baru dikawinkan pada umur 65-110 hari yaitu pada saat betina mencapai 250 g berat badan dan jantan 300 g. Umur perkawinan pertama tersebut tergantung dari galur tikus dan tingkat pertumbuhannya. Siklus estrus berlangsung 4-5 hari selama 12 jam setiap siklus dan seperti halnya mencit, estrus dimulai pada malam hari. Estrus pada tikus betina tidak dipengaruhi oleh bau pejantan (Malole dan Pramono 1989). Siklus estrus tikus terbagi menjadi empat periode, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus merupakan hewan poliestrus, yaitu dapat mengalami estrus lebih dari sekali dalam setahun. Terdapat estrus postpartum dalam waktu 48 jam sesudah partus. Akan tetapi tikus tidak dikawinkan dalam masa estrus postpartum supaya anak-anak yang sedang disusui tidak terlantar. Oleh karena itu tikus betina yang baru bunting harus dipisah dari jantan sampai anaknya disapih (Malole dan Pramono, 1989).

Tikus yang masih mudapun sudah dapat dibedakan antara tikus jantan dan betina. Tikus jantan memiliki papila genitalia dan jarak anogenital yang lebih besar dari betina yaitu 5 mm pada umur 7 hari, sedangkan betina hanya berjarak 2,5 mm. Puting susu pada betina sudah terlihat sejak umur 8-15 hari (Malole dan Pramono 1989).

Jantan Betina

Organ Reproduksi Betina

Organ reproduksi betina terdiri dari organ reproduksi primer dan sekunder. Organ reproduksi primer yaitu ovarium yang menghasilkan sel telur dan hormon- hormon kelamin betina. Organ reproduksi sekunder terdiri dari tuba fallopii, uterus, serviks, vagina, dan vulva. Fungsi organ reproduksi sekunder adalah menerima dan menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina, memberi makan, dan melahirkan individu baru (Toelihere 1985).

Ovarium

Ovarium adalah organ primer reproduksi pada betina. Ovarium mempunyai dua fungsi, sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum dan sebagai organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin betina, estrogen, dan progesteron (Toelihere 1985). Ovarium dapat dianggap bersifat endokrin atau sitogenik karena mampu menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan juga ovum (Frandson 1992). Pada mamalia, ovarium terdiri dari dua buah. Pada waktu pertumbuhan embrional, ovarium akan mengalami sedikit penurunan (descensus ovarica) ke arah kaudal menjelang dilahirkan. Ovarium mempunyai permukaan yang licin sebelum terjadinya ovulasi secara teratur dan mempunyai warna abu-abu sampai merah muda. Setelah mencapai masa remaja, permukaan ovarium menjadi tidak rata karena terbentuk banyak folikel yang baru maupun folikel yang telah dewasa. Disamping itu juga terdapat korpus luteum dan korpus albikans (Hardjopranjoto 1995).

Bentuk ovarium tersebut bervariasi tergantung kepada spesies hewan. Besar ovarium bertambah sesuai dengan bertambahnya umur maupun banyak anak yang dilahirkan. Pada golongan mamalia, ovarium terletak di dalam rongga pelvis sehingga organ ini sangat terlindungi dari kemungkinan kerusakan yang disebabkan oleh faktor luar. Ovarium ini bisa berubah-ubah letaknya karena ada kebuntingan, pertambahan umur, dan terdesak oleh organ tubuh disekitar. Ovarium terdiri dari bagian medulla (bagian dalam) yang mengandung banyak pembuluh darah, saraf, pembuluh limfe, dan tenunan pengikat fibroblast. Sedangkan bagian korteks (bagian pinggir) terdiri dari sel-sel germinal, sel telur

yang masih muda, folikel yang sedang tumbuh, folikel masak, folikel yang degenerasi dan pembuluh darah (Hardjopranjoto 1995).

Uterus

Bagian saluran alat kelamin yang berbentuk buluh dan berurat daging licin. Uterus berfungsi menerima sel telur yang telah dibuahi atau embrio dari tuba falopii, memberi makanan, dan perlindungan bagi fetus, serta mendorong fetus ke arah luar saat kelahiran. Bentuk uterus tikus adalah dupleks dimana korpus uteri tidak ada dan kedua kornuanya terpisah sama sekali (Hardjopranjoto 1995).

Dinding uterus terbagi menjadi tiga lapis yaitu lapisan serosa (perimetrium) di sebelah luar, lapisan muskularis (miometrium) di sebelah tengah, dan lapisan mukosa (endometrium) di sebelah dalam (Hardjopranjoto 1995). Lapisan serosa (perimetrium) berhubungan dengan peritoneum yang dikenal dengan ligamen lebar dan mendukung genitalia internal. Ligamen ini terdiri dari mesovarium

sebagai penggantung ovari, mesosalpink sebagai penggantung oviduk dan

mesometrium sebagai penggantung uterus (Frandson 1992).

Lapisan muskularis (miometrium) adalah suatu bagian muskular dari dinding uterus. Lapisan ini terdiri dari lapis melingkar bagian dalam yang tebal dari otot polos dan longitudinal yang lebih tipis di bagian luar. Keduanya dipisahkan oleh lapis vaskular (pembuluh darah di dalam jaringan pengikat). Selama kebuntingan, jumlah otot di dalam dinding uterus meningkat (Frandson 1992). Lapisan mukosa (endometrium) merupakan membran mukosa yang menyelimuti uterus dan memiliki struktur kelenjar (Frandson 1992). Endometrium terdiri dari epitel banyak lapis yang mengandung serabut-serabut getar. Sel di bawahnya (tunika propria) mengandung banyak kelenjar uterus dan pembuluh darah (Hardjopranjoto 1995).

Hormon Reproduksi Betina

Hormon yang dihasilkan ovari adalah estrogen dari folikel dan progesteron dari corpora lutea. Aktivitas sekretoris dari ovari berada di bawah kontrol hormon gonadotrofik dari adenohipofisis kelenjar pituitari (Frandson 1992). Estrogen terutama meningkatkan proliferasi dan pertumbuhan sel-sel khusus di dalam

tubuh, sedangkan progesteron berkaitan hampir seluruhnya dengan persiapan akhir dari uterus pada awal kebuntingan (Guyton dan Hall 1997).

Estrogen

Estrogen merupakan suatu kelompok senyawa yang berperan sebagai hormon kelamin betina dan merangsang kelenjar-kelenjar kelamin asesoris kelamin betina. Estron, estradiol, dan estriol adalah hormon-hormon alamiah yang diproduksi oleh ovari atau plasenta hewan mamalia (Frandson 1992). Estrogen utama yang disekresikan oleh ovarium adalah estradiol. Estron juga disekresikan tetapi dalam jumlah yang kecil. Estriol adalah estrogen yang lemah dan produk oksidasi dari estradiol maupun estron, perubahan ini terjadi di dalam hati (Guyton dan Hall 1997).

Estrogen akan disekresikan 20 kali lipat atau lebih setelah pubertas di bawah pengaruh hormon-hormon gonadotropin hipofisis. Pada masa ini, organ-organ kelamin betina akan berkembang dari usia anak menjadi yang usia betina dewasa, ovarium, tuba fallopii, uterus, dan vagina akan bertambah besar. Setelah pubertas, ukuran uterus meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat. Perubahan yang paling penting terjadi pada endometrium, karena estrogen menyebabkan terjadinya proliferasi yang nyata pada stroma endometrium yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membantu dalam memberi nutrisi pada ovum yang berimplantasi (Guyton dan Hall 1997).

Progesteron

Progesteron terutama dihasilkan oleh korpus luteum, tetapi juga terdapat pada kelenjar adrenal, korteks, plasenta, dan testes. Secara umum, progesteron bekerja pada jaringan yang telah dipersiapkan oleh estrogen, meskipun dapat juga dapat bekerja secara sinergistik. Progesteron dikenal sebagai hormon kebuntingan karena menyebabkan penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin mendahului terjadinya implantasi dari ovum yang dibuahi (Frandson 1992). Efek progesteron terhadap uterus adalah untuk meningkatkan perubahan sekretorik pada endometrium uterus dan mempersiapkan uterus untuk menerima ovum yang sudah dibuahi. Progesteron juga mengurangi frekuensi dan intensitas kontraksi

uterus, sehingga mencegah terlepasnya ovum yang sudah berimplantasi (Guyton dan Hall 1997).

Siklus Reproduksi

Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium reproduksi. Organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan dapat terjadi perkembangbiakan adalah pada saat pubertas. Pada hewan jantan pubertas ditandai oleh kesanggupannya berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain. Pada hewan betina pubertas terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai, sehingga tikus betina yang masih muda harus menyediakan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya maupun untuk anaknya (Toelihere 1985).

Ketika hewan betina mencapai usia pubertas akan terjadi perubahan anatomi dan fisiologi pada organ reproduksinya, seperti vagina, ovarium, maupun uterus. Perkembangan ovarium berkaitan dengan pematangan kelamin, mencakup oogenesis (perkembangan ovum dari sel-sel kelamin primer), ovulasi, pembentukan corpora lutea. Peristiwa-peristiwa ini kemudian mempengaruhi bagian-bagian lain dari sistem reproduksi secara siklik, yang menimbulkan siklus estrus atau birahi (Frandson 1992).

Periode siklus birahi tikus terdiri proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Proestrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel epitel berinti dari ulasan vagina yang dilakukan (Nuryadi 2007). Estrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel yang mengalami kornifikasi (sel epitel mengalami penandukan dan seringkali intinya piknotik atau tanpa inti) dari ulas vagina (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Metestrus berlangsung selama 21 jam, secara mikroskopis terlihat banyak leukosit dan sedikit sel yang mengalami kornifikasi. Diestrus berlangsung selama 57 jam, secara mikroskopis ulasan vagina dipenuhi oleh leukosit (Nuryadi 2007).

Proses Reproduksi Tikus

Proses reproduksi meliputi periode pematangan, dewasa kelamin, perkawinan, kebuntingan, kelahiran, dan laktasi. Penelitian ini menggunakan

tikus bunting. Kebuntingan meliputi periode perkawinan, fertilisasi, implantasi, dan plasentasi.

Perkawinan

Sistem perkawinan atau pengembangbiakan yang dapat diterapkan pada tikus yaitu sistem monogami, poligami, dan sistem koloni. Pada sistem monogami, satu jantan dan satu betina dicampur secara permanen. Pada sistem poligami, satu jantan dicampur dengan dua sampai enam ekor betina. Pada sistem koloni, jantan dan betina dicampur seperti sistem poligami, namun jantan bisa lebih dari satu (Malole dan Pramono 1989). Penelitian ini menggunakan sistem poligami.

Fertilisasi

Fertilisasi merupakan penyatuan atau fusi dua sel antara gamet jantan dan betina untuk membentuk satu sel yang disebut zigot. Dalam aspek embriologik, fertilisasi meliputi pengaktifan ovum oleh spermatozoa. Dalam aspek genetik, fertilisasi meliputi pemasukan faktor-faktor herediter pejantan ke dalam ovum (Toelihere 1985).

Spermatozoa harus menembus massa kumulus (bila masih ada), zona pellusida, dan membrana vitellinum untuk masuk ke dalam ovum. Proses-proses yang terjadi selama pembuahan pada tikus yaitu sperma akan berkontak dengan zona pellusida, badan kutub pertama menghilang, dan inti sel telur mengalami pembelahan meiosis yang kedua. Sperma yang telah menembus zona pellusida akan bertaut dengan membran vitelin. Hal ini merangsang reaksi zona yang ditandai oleh pembayangan disekeliling zona pellusida. Kepala sperma masuk ke dalam vitelin dan berada tepat dibawah permukaannya. Hampir seluruh bagian sperma berada didalam vitelin. Kepala sperma membesar, volume vitelin berkurang, dan badan kutub kedua juga menghilang. Pronukleus jantan dan betina mulai berkembang. Mitokondria berkumpul disekitar pronukleus, pronukleus tersebut berkembang sempurna dan mengandung banyak nukleoli. Pronukleus jantan lebih besar daripada betina. Jika fertilisasi telah sempurna, pronukleus

telah menghilang dan diganti oleh kelompok kromosom yang telah bersatu di dalam profase pada pembagian cleavage pertama (Toelihere 1985).

Apabila sel telah membelah dan berjumlah 16 sampai 32 sel, maka sel-sel tersebut akan berkumpul menjadi satu kelompok di dalam zona pellusida. Embrio tersebut dikenal sebagai morula. Cairan mulai menumpuk di dalam ruang-ruang interseluler dan muncullah suatu rongga bagian dalam (blastocoele). Setelah

blastocoele mulai meluas, embrio tersebut dikenal sebagai blastocyst. Sel-sel kecil yang membagi diri secara aktif berkumpul pada satu kutub dan sel-sel besar yang tidak begitu aktif membagi diri pada kutub lain sejak fase morula. Sel-sel kecil yang mungkin berasal dari belahan ventral ovum membentuk lapisan luar embrio yang kemudian membentuk trophoblast. Sel-sel besar dari belahan dorsal ovum yang terletak ditengah membentuk massa sel bagian dalam atau disebut juga

inner cell mass (ICM). Fetus akan berkembang sesudah implantasi dari massa sel bagian dalam ini (Toelihere 1985).

Pembentukan blastocyst diikuti oleh gastrulasi yang mendahului pembentukan organ tubuh. Gastrulasi terdiri dari gerakan-gerakan sel atau kelompok sel sedemikian rupa untuk merubah embrio dari struktur dua lapis menjadi tiga lapis dan membawa daerah-daerah bakal pembentuk organ ke posisi yang defenitif di dalam embrio. Kemudian akan terbentuk tiga macam jaringan, yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm (Toelihere 1985).

Implantasi

Proses implantasi adalah proses yang berlangsung secara bertahap, yaitu tahap persentuhan embrio dengan endometrium, tahap pelepasan zona pellusida, pergeseran atau pembagian tempat, dan tahap pertautan antara trophoblast dengan epitel endometrium (Manan 2002). Masa implantasi pada tikus putih berlangsung pada hari keenam (Ribeiro et al. 1996). Implantasi pada tikus terjadi apabila estradiol dan progesteron telah tercukupi. Ketidakcukupan hormon ini dapat meningkatkan kontraksi uterus secara terus menerus sehingga terjadi kegagalan implantasi dan aborsi (Arkaraviehien dan Kendle 1990).

Plasentasi

Penempelan erat atau fusi antara organ fetal dengan jaringan maternal untuk pertukaran secara fisiologis disebut juga dengan pembentukan plasenta (plasentasi). Plasenta dapat didefinisikan sebagai kesatuan struktur antara selaput ekstraembrionik dan endometrium induk untuk keperluan pertukaran timbal balik faali antara induk dan fetus. Pada tikus plasentasi dimulai pada usia kebuntingan 9-10 hari (Sukra et al. 1989). Tikus mempunyai jenis plasenta diskoidal (Nalbandov 1990). Tiga fungsi utama plasenta, yaitu sebagai pengangkutan, penyimpanan, dan biosintesa (Toelihere 1985).

Kelahiran dan Laktasi

Masa kebuntingan tikus berlangsung selama 21-23 hari dan sejak 14 hari kebuntingan sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar ambing. Pada akhir kebuntingan, tikus tersebut melahirkan anak 6-12 per kelahiran (Malole dan Pramono 1989). Selama masa kebuntingan terjadi proliferasi saluran-saluran ambing dan alveoli dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari ovarium dan plasenta. Pertumbuhan kelenjar ambing dan laktasi terutama berada dibawah pengaruh hormon, saraf-saraf vasomotorik di dalam puting susu. Dengan jalan menstimulir kelenjar hipofise maka akan dilepaskan hormon prolaktin. Hormon prolaktin ini penting untuk memulai dan mempertahankan laktasi dan melepaskan oksitosin yang perlu untuk “Let Down” atau penurunan air susu. Saraf vasomotor berperan secara tidak langsung pada sekresi susu dengan mengatur suplai darah kelenjar ambing (Manan 2002).

Purwoceng (Pimpinella alpina)

Purwoceng adalah tanaman obat komersial yang dapat digunakan sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tanaman tersebut adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh secara endemik di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah, Gunung Pangrango Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur. Hingga saat ini tidak banyak laporan penelitian tentang purwoceng. Beberapa aspek yang sudah dilaporkan adalah aspek agronomi, kultur in vitro, fitokimia, dan farmakologi (Darwati dan Roostika 2006).

Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman obat yang tumbuh pada ketinggian 1800-3000 m dpl, berkhasiat sebagai afrodisiak karena mengandung stigmasterol. Saat ini purwoceng termasuk tanaman langka yang keberadaannya semakin susah didapatkan. Pada tahun 2004-2005, dalam upaya pembudidayaan, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) telah berhasil mengembangkan dan menurunkan lingkungan tumbuh purwoceng menjadi sekitar 1200 - 1300 m dpl. Penelitian lebih lanjut mengenai senyawa aktif yang terkandung di dalam purwoceng khususnya stigmasterol perlu dilakukan. Identifikasi awal dilakukan melalui skrining fitokimia. Stigmasterol diekstraksi dari purwoceng melalui metode sokhletasi menggunakan pelarut etanol. Metode sokhletasi yaitu suatu metode atau proses pemisahan suatu komponen yang terdapat dalam zat padat dengan cara penyaringan berulang-ulang dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga komponen yang diinginkan akan terisolasi. Kemudian dilakukan analisis stigmasterol. Analisis menunjukkan keberadaan stigmasterol pada kedua tanaman purwoceng tersebut, kadar stigmasterol dari daun purwoceng kering sebesar 0.1595% untuk purwoceng yang tumbuh pada ketinggian 1900 m dpl dan 0.0378% untuk purwoceng yang tumbuh pada ketinggian 1200 m dpl. Hasil uji fitokimia menunjukkan kedua tanaman purwoceng mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, dan steroid (Ulya et al. 2008).

Profil hormon estradiol-17β dari plasma tikus betina selama daur birahi, setelah diberi ekstrak akar purwoceng selama 15 hari memperlihatkan peningkatan kadar estradiol dibandingkan dengan normal (Caropeboka et al. 1983). Penggunaan akar purwoceng juga pernah dilakukan terhadap tikus jantan.

Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar Luteinizing Hormone

(LH) dan testosteron tikus jantan (Taufiqqurrachman 1999).

Hasil uji fitokimia akar purwoceng secara kualitatif yang dipakai pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng

Jenis Contoh Uji Fitokimia Hasil Pengujian

Akar purwoceng Alkaloid +++

Saponin - Tanin + Fenolik - Flavonoid +++ Triterfenoid + Steroid + Glikosida +

Sumber: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011)

Keterangan: - : Negatif

+ : Positif lemah

++ : Positif

+++ : Positif kuat

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di kandang hewan coba dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, mulai bulan September 2010 sampai Maret 2011.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus berupa kotak plastik, kawat kasa, jaring-jaring kawat sebagai penutup, botol minum tikus, tempat pakan tikus, spoit, scalpel, pinset, gunting, objek gelas, sonde lambung, mikroskop, timbangan analitik digital, pipet, cotton swab, tisu, kapas, kertas nama, Erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, oven, wadah porselen, termometer.

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley (SD) yang terdiri dari 10 ekor tikus betina bunting. Bahan-bahan yang digunakan adalah pakan tikus, sekam, ekstrak purwoceng, eter, NaCl fisiologis 0.9%, etanol 70%, akuades, dan kain saring.

Metode Penelitian

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng

Purwoceng dikeringkan dengan menjemur dibawah panas sinar matahari (suhu tidak boleh lebih dari 50 ºC). Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga dihasilkan serbuk (simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak 350 gram direndam dalam 3.5 liter etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam dan setiap dua jam sekali diaduk agar homogen. Kemudian disaring dengan menggunakan kain saring.

Hasil ekstrak disimpan di dalam Erlenmeyer, sedangkan ampas direndam kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan setiap dua jam diaduk agar homogen. Setelah itu, larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam Erlenmeyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan

proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan rotari evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48 ºC dan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm. Selanjutnya ekstrak dimasukkan ke dalam oven pengering dengan suhu lebih kurang 45 °C selama 48 jam sehingga kadar air yang masih ada dapat menguap semuanya. Ekstrak kering disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram serbuk (simplisia) adalah sejumlah 95 gram. Ekstrak kering ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5%, yaitu 5 gram dalam 100 cc akuades.

Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng

Penentuan dosis ekstrak etanol purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian terdahulu (Taufiqurrachman 1999), yaitu sebesar 25 mg untuk berat badan tikus sebesar 300 gram atau 83.25 mg/kg BB. Dalam penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml, sehingga jumlah yang dicekok adalah sebesar 0.5 ml untuk 300 gram berat badan.

Tahap Persiapan Hewan Model

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus sp.) bunting dari galur Sprague-Dawley. Tikus-tikus ini dipelihara dalam kandang yang berbentuk kotak dan terbuat dari plastik, berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm. Kandang dilengkapi dengan kawat kasa sebagai penutup bagian atas dan lantai diberi sekam sebagai alas, serta air minum ad libitum. Pakan yang diberikan berupa pelet dan air minum diberikan dengan memasukkan ke dalam botol-botol kecil dan dijepitkan pada jaring-jaring kawat. Botol-botol yang berisi air tersebut ditutup dan dibuat lubang pada tutupnya agar air tersebut bisa diminum tikus. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan setiap tiga hari.

Tikus bunting diperoleh dari hasil perkawinan alamiah dengan mengawinkan dua tikus betina dan satu tikus jantan dalam satu kandang. Tikus betina tersebut diberi tanda dengan spidol pada bagian ekor agar tidak keliru, tanpa tanda untuk tikus A dan diberi tanda untuk tikus B. Uji kebuntingan

dilakukan pada pagi hari dengan cara ulas vagina tikus betina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada gelas objek. Apabila ada spermatozoa pada ulas vagina setelah dilihat dibawah mikroskop maka dapat dipastikan terjadi perkawinan dan tercatat sebagai hari pertama kebuntingan. Tikus yang bunting harus dipisahkan dari jantan dan diletakkan pada satu kandang. Tikus yang tidak

Dokumen terkait