• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 13-21 hari terhadap rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium tikus putih dapat dilihat pada Tabel 3. Pemberian purwoceng pada usia kebuntingan 13-21 hari dimaksudkan untuk mengetahui efeknya terutama terhadap bobot uterus dan plasenta karena masa plasentasi pada tikus terjadi pada usia kebuntingan 12-13 hari.

Tabel 3 Rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium

No Bobot ovarium (g) Bobot Uterus (g) Bobot Plasenta (g)

K P K P K P 1. 0.075 0.065 3.260 4.830 8.160 6.190 2. 0.065 0.055 3.350 3.550 7.370 4.290 3. 0.045 0.115 3.050 4.080 4.980 4.880 4. 0.045 0.050 3.320 4.830 6.220 8.410 5. 0.060 0.085 2.480 7.070 3.700 6.560 Rata- rata 0.058±0.013 0.074±0.027 3.092±0.362 4.864±1.349 6.086±1.795 6.066±1.606 Keterangan: K = Kontrol P = Perlakuan

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Ovarium

Data di atas menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol purwoceng menyebabkan bobot ovarium tikus putih cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol, meskipun dari uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Menurut penelitian Achmadi (2011) bahwa bobot ovarium tikus yang dicekok purwoceng pada periode estrus menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan kontrol. Bobot ovarium meningkat karena kadar estrogen juga meningkat. Pada penelitian ini peningkatan bobot ovarium diduga karena purwoceng mengandung bahan aktif yang bersifat estrogenik, sehingga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan pertumbuhan dan perkembangan ovarium. Efek estrogenik dari purwoceng ini pada ovarium melibatkan kerja hormon estrogen pada reseptor estrogen β (Lund 2005). Hormon estrogen disintesis dalam ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah (Guyton 1994). Estrogen terutama dihasilkan oleh sel teka interna dari folikel dan sedikit oleh

korpus luteum. Zat yang sebetulnya dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol (Gadjahnata 1989).

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Uterus

Gambar 3 Uterus tikus pada kebuntingan 21 hari.

Gambar 3 adalah uterus tikus bunting hasil dari penelitian ini. Pemberian ekstrak etanol purwoceng juga cenderung meningkatkan bobot uterus tikus putih, meskipun dari uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Bobot uterus kelompok tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng secara umum menunjukkan hasil yang lebih besar dibandingkan kelompok tikus kontrol. Tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng diduga akan mengalami peningkatan kadar estrogen yang berdampak pada peningkatan bobot uterus. Berdasarkan dugaan yang sama yaitu, adanya sifat estrogenik dari akar purwoceng tersebut. Estrogen merupakan hormon yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium serta mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt 1984). Estrogen mempengaruhi pertumbuhan dan proliferasi duktus kelenjar mammae. Estrogen juga menyebabkan penebalan dinding endometrium dan lapisan epitel pipih berlapis vagina.

Estrogen mempunyai dua macam reseptor, yaitu reseptor REα dan REβ (Ibanez dan Baulieu 2005). REα dan REβ banyak terdapat di dalam jaringan reproduksi betina diantaranya pada ovarium, endometrium, dan kelenjar mammae. Selain pada organ tersebut, terdapat pula di kulit, pembuluh darah, tulang, dan otak (Ganong 2002). Uterus diketahui lebih banyak mengandung reseptor alfa (REα) daripada beta (REβ). Pemberian estrogen juga akan meningkatkan konsentrasi reseptor estrogen REα pada organ reproduksi (Kusmana et al 2007). Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Plasenta

Gambar 4 Plasenta tikus pada kebuntingan 21 hari. Keterangan: Tanda panah adalah plasenta

Gambar 4 adalah plasenta tikus bunting hasil dari penelitian ini. Plasenta dari tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng ini diambil dan dipisahkan dari uterus, kemudian dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobotnya. Ekstrak etanol purwoceng tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan bobot plasenta. Hal ini menunjukkan bahwa efek estrogenik yang terkandung dalam akar purwoceng tidak memberikan pengaruh terhadap bobot plasenta. Selain itu, tidak terjadinya peningkatan bobot plasenta diduga karena reseptor estrogen plasenta lebih sedikit.

Sekresi estrogen oleh plasenta berbeda dari sekresi estrogen oleh ovarium. Sebagian besar estrogen yang diekskresikan adalah estriol, yang merupakan estrogen yang sangat lemah dan dibentuk hanya dalam jumlah kecil pada hewan yang tidak bunting. Karena kekuatan estrogenik dari estriol yang sangat kecil, estrogen lainlah yang berperan pada sebagian besar aktivitas total estrogen. Estrogen yang diekskresikan oleh plasenta tidak disintesis sendiri dari zat-zat dasar dalam plasenta. Sebaliknya, estrogen hampir seluruhnya dibentuk dari senyawa steroid androgen. Androgen yang lemah ini kemudian ditranspor oleh darah ke plasenta (Guyton dan Hall 1997). Biosintesis estrogen melibatkan hidroksilasi dari prekursor androgen yang dimediasi oleh kompleks enzim yang dikenal sebagai aromatase (Favaro dan Cagnon 2007). Menurut Nalbandov (1990), organ bertambah berat akibat meningkatnya vaskularisasi dan aktivitas mitosis yang lebih besar.

Menurut Anwar (2005), produksi estrogen oleh plasenta juga bergantung pada prekursor-prekursor dalam sirkulasi, namun pada keadaan ini baik steroid fetus ataupun induk merupakan sumber-sumber yang penting untuk sintesis estrogen tersebut. Kebanyakan estrogen berasal dari androgen fetus, terutama dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA sulfat). DHEA sulfat fetus terutama dihasilkan oleh adrenal fetus, kemudian diubah oleh sulfatase plasenta menjadi dehidroepiandrosteron bebas (DHEA bebas), dan selanjutnya melalui jalur-jalur enzimatik yang lazim untuk jaringan-jaringan penghasil steroid, menjadi androstenedion dan testosteron. Androgen-androgen ini akhirnya mengalami aromatisasi dalam plasenta menjadi berturut-turut estron dan estradiol.

Setelah umur kebuntingan 12 hari yaitu pada periode plasentasi, konsentrasi estradiol melonjak secara drastis dan mencapai konsentrasi tertinggi pada umur kebuntingan 16 hari. Selanjutnya menurun pada kebuntingan 20 hari yaitu menjelang kelahiran. Peningkatan konsentrasi estradiol pada umur kebuntingan tersebut disebabkan sel-sel penghasil estradiol pada korpus luteum dan plasenta telah berfungsi secara maksimal (Adelien 1996). Pemberian purwoceng yang diharapkan dapat mendukung terjadinya peningkatan ini tidak terjadi. Hal ini mungkin disebabkan efek estrogenik purwoceng hanya cukup untuk meningkatkan bobot ovarium dan uterus saja, walaupun juga tidak signifikan.

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Badan Anak

Bobot anak yang dihasilkan dari uterus tikus yang mendapatkan ekstrak etanol purwoceng ditimbang setelah anak dikeluarkan dari uterus pada umur 21 hari kebuntingan atau saat melahirkan.

Kontrol Perlakuan

Gambar 5 Anak tikus kontrol dan perlakuan pada kebuntingan 21 hari.

Gambar 5 adalah anak-anak tikus bunting hasil dari penelitian ini. Rata-rata bobot badan anak tikus putih yang diberi ekstrak etanol purwoceng pada usia kebuntingan 13-21 hari dapat dilihat pada Tabel 4. Rata-rata jumlah anak tikus tiap induk berkisar 5-10 ekor.

Tabel 4 Rata-rata bobot anak tikus

Induk ke Jumlah anak Rata-rata bobot anak (g)

K P K P 1 10 11 4.162 ± 0.198 3.698 ± 0.258 2 11 9 4.277 ± 0.249 3.444 ± 0.136 3 8 5 2.621 ± 0.120 4.628 ± 0.320 4 7 9 3.997 ± 0.261 5.597 ± 0.314 5 4 11 2.638 ± 0.062 2.412 ± 0.144 Rata-rata 8 ± 2.739 9 ± 2.449 3.539 ± 0.836 3.956 ± 1.210 Keterangan: K = Kontrol P = Perlakuan

Bobot badan anak yang diberi ekstrak etanol purwoceng cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol, meskipun dari uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Hal ini disebabkan karena lingkungan mikro

dan makro uterus juga lebih baik pada tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng. Penebalan endometrium dan vaskularisasi yang baik dari pembuluh darah menyebabkan lingkungan uterus menjadi lebih baik. Perbaikan lingkungan uterus sebagai wadah dari embrio atau fetus, diharapkan membuat pertumbuhan dan perkembangan fetus yang dikandung menjadi lebih baik. Garvita (2005) menyatakan bahwa pemberian bahan yang bersifat estrogenik pada induk tikus dapat meningkatkan bobot lahir anak. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ruhlen (2007) bahwa pemberian bahan yang bersifat estrogenik akan meningkatkan bobot badan dan kadar estradiol serum mencit.

Menurut Dziuk (1992) bobot lahir ditentukan oleh pertumbuhan prenatal yang merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio dan fetus sampai dilahirkan. Pertumbuhan prenatal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan uterus dan plasenta selama embrio dan fetus dalam kandungan (McDonald 1980, Ashworth 1992). Gandolfi et al (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan pada fase embrio dipengaruhi oleh kesiapan endometrium uterus untuk menyediakan makanan dan senyawa kimia lain (faktor pertumbuhan dan hormon) untuk perkembangan embrio. Bobot lahir yang ditentukan oleh pertumbuhan dalam kandungan sangat menentukan bobot sapih. Selama dalam kandungan zat-zat makan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan anak diperoleh dari sekresi kelenjar uterus dan sirkulasi induk tersebut.

Pertumbuhan merupakan suatu fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh somatotropin, somatomedin, dan hormon-hormon lainnya seperti hormon tiroid, androgen, glukokortikoid, estrogen, dan insulin. Pertumbuhan secara normal disertai oleh rangkaian perubahan yang melibatkan peningkatan protein dan penambahan panjang serta ukuran, tidak sekedar peningkatan berat, yang dapat disebabkan oleh pembentukan atau retensi garam dan air (Ganong 2002).

Purwoceng merupakan tanaman yang bersifat androgenik. Selain bersifat androgenik, purwoceng juga bisa menunjukkan aktivitas estrogenik. Sesuai dengan penelitian Caropeboka (1980) bahwa adanya aktivitas androgenik dan mempunyai kecenderungan aktivitas estrogenik pada tikus jantan yang dikebiri dan tikus betina tanpa indung telur setelah pemberian ekstrak akar purwoceng.

Aktivitas estrogenik disebabkan karena adanya kandungan isoflavon dalam akar purwoceng. Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011), menunjukkan bahwa zat yang terkandung paling banyak di dalam akar purwoceng adalah flavonoid. Isoflavon termasuk dalam kelompok flavonoid (1,2-diarilpropan) dan merupakan kelompok yang terbesar dalam kelompok tersebut.   Aktivitas estrogenik isoflavon terkait dengan struktur kimianya yang mirip dengan stilbestrol, yang biasa digunakan sebagai obat estrogenik. Bahkan, isoflavon mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dari stilbestrol.   Aktivitas estrogenik tersebut terkait dengan struktur isoflavon yang dapat ditransformasikan menjadi equol, dimana equol mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen (Pawiroharsono 2007).  

Isoflavon tersebut merupakan fitoestrogen. Menurut Tsourounis (2004), fitoestrogen merupakan sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah dengan berikatan dengan reseptor estrogen. Suatu substrat baru berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen. Reseptor fitoestrogen sangat spesifik. Hormon diproduksi dalam berbagai macam kelenjar, jaringan dan organ, dan disekresikan ke dalam aliran darah dan akan melakukan perjalanan menuju jaringan target. Jaringan target mempunyai reseptor terhadap hormon spesifik. Pada saat hormon berikatan dengan reseptor, pada saat itu pulalah respon fisiologi dimulai (Women’s Health Symmetry 2009).

Fitoestrogen walaupun bukan hormon, karena strukturnya yang mirip dengan estradiol dapat menduduki reseptor estrogen dan mampu menimbulkan efek layaknya estrogen endogenous sendiri (Harrison et al. 1999). Organ yang dipengaruhi fitoestrogen antara lain ovarium, uterus, testis, prostat, dan beberapa organ lainnya (Tsourounis 2004). Walaupun afinitas terhadap reseptor estrogen tidak setinggi estradiol namun fitoestrogen mampu menimbulkan efek estrogenik (Sheehan 2005). Aktivitas dan implikasi klinis fitoestrogen sangat tergantung

pada jumlah reseptor estrogen dan konsentrasi estrogen endogen yang mampu bersaing (Kim et al. 1998).

Kandungan fitoestrogen yang terkandung dalam tiap dosis ekstrak etanol purwoceng yang diberikan masih belum cukup untuk meningkatkan efek estrogenik pada ovarium dan uterus. Namun, ternyata afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibanding estrogen. Dapat dikatakan bahwa diperlukan jumlah yang sangat besar bagi fitoestrogen untuk memperoleh efek yang cukup seperti estrogen.

Dokumen terkait