• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman

1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa

...

18 2. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan

...

28

3. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina

...

33 4. Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa

berdasarkan waktu pengambilan contoh

...

38 5. Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa

Berdasarkan lokasi pengambilan contoh

...

40 6. Hasil pengukuran fisika kimia habitat ketam kelapa di Pulau Yoi ... 54 7. Keadaan umum setiap lokasi pengamatan

...

58

                             

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar morfologi ketam kelapa... 6 2. Distribusi ketam kelapa di dunia ... 7 3. Ketam kelapa mengeluarkan telur dari tubuh... 11 4. Siklus hidup ketam kelapa (Birgus latro)... 12 5. Juvenil ketam kelapa ... 13 6. Bagian yang diukur pada ketam kelapa... 17 7. Morfologi ketam kelapa

...

26 8. Morfologi ketam kelapa, (A) Jantan (B) Betina... 26 9. Ciri kelamin secara morfologis ... 27 10. Gonad ketam kelapa jantan ... 27 11. Organ reproduksi ketam kelapa... 29 12. Organ ketam kelapa jantan ... 29 13. Struktur histologist tubuli gonad/testis ketam kelapa jantan... 30 14. Potongan melintang vas deferens ketam kelapa jantan ... 32 15. Morfolofis gonad ketam kelapa betina... 34 16. Struktur histologis ovarium ketam kelapa betina ... 35 17. Rasio kelamin ketam kelapa... 37 18. Faktor kondisi ketam kelapa berdasarkan waktu ... 42 19. Faktor kondisi ketam kelapa berdasarkan lokasi... 43 20. Tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan berdasarkan

waktu ... 44 21. Tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina berdasarkan

waktu ... 45 22. Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan... 46 23. Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina ... 47 24. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan waktu... 48 25. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan lokasi ... 49 26. Hubungan panjang (CP+r) dan berat tubuh dengan fekunditas

TKG IV... 51 28. Sebaran diameter telur ketam kelapa TKG III ... 52 29. Sebaran diameter telur ketam kelapa TKG IV ... 53 30. Jumlah ketam kelapa berdasarkan waktu ... 63 31. Jumlah ketam kelapa berdasarkan lokasi ... 63

DAFTAR LAMPIRAN

       

            Halaman

1. Peta lokasi penelitian ketam kelapa (Birgus latro) di Pulau Yoi

Kec. P. Gebe, Maluku Utara

...

72 2. Lokasi pengambilan contoh ketam kelapa di Pulau Yoi Kec.

P. Gebe, Maluku Utara

...

73 3. Pembuatan preparat histologi gonad

...

76 4. Rasio kelamin ketam kelapa berdasarkan waktu dan lokasi

Pengamatan

...

78 5. Faktor kondisi ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan

waktu dan lokasi pengamatan

...

79 6. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan waktu

dan lokasi pengamatan

...

80 7. Pola penyebaran ketam kelapa berdasarkan lokasi pengamatan

...

81 8. Pola penyebaran ketam kelapa berdasarkan Waktu pengamatan... 84 9. Perhitungan Uji Khi-kuadrat

...

87

           

Latar Belakang

Birgus latro (LINNAEUS, 1767) lebih dikenal dengan nama ketam kelapa atau Ketam kenari adalah jenis krustasea yang paling sukses beradaptasi dengan lingkungan darat dan merupakan salah satu komoditi yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Nilai ekonomi yang begitu penting karena memiliki potensi sebagai komoditi ekspor. Ketam kelapa merupakan hewan ekosistem pantai yang saat ini mengalami ancaman penurunan populasi. Ketam ini dilindungi oleh pemerintah melalui surat keputusan Menteri Kehutanan dengan SK Menhut No.12/KPTS-II/Um/1987 dan Menurut IUCN, ketam ini sudah dikatagorikan sebagai ‘’rare’’ atau jarang dan spesies terancam punah ‘’endengared spesies’’ dalam’’Red Data Book’’ (I983 ; Anonim 2004)

Keberadaan ketam kelapa atau ketam kenari sudah dianggap hewan langkah dan tergolong rawan, serta statusnya populasinya belum jelas, namun masih diburu terus karena bernilai ekonomis tinggi (Pratiwi, 1989). Boneka (1990) dan shokita (1991) dalam Sahami (1994), menyatakan bahwa populasinya di alam kemungkinan akan merosot terus karena penangkapan yang sangat intensif dan perombakan habitatnya. Selain dagingnya sebagai bahan makanan, cangkangnya dapat digunakan sebagai hiasan. Di samping itu ketam kelapa terancam punah karena pertumbuhan yang lambat, juga banyak diburu karena dagingnya yang lezat, bernilai untuk perdagangan maupun konsumsi masyarakat lokal.

Ketam kelapa Coconut Crab, Kepiting kelapa atau disebut juga kepiting kenari Robber Crab dan memiliki nama yang berbeda-beda di tiap - tiap daerah. Menurut Holthuis 1963; Motoh 1980 dalam Pratiwi 1989) di Papua Nugini menyebutnya Tinggau (Demta); di Jamna menyebutnya Tingkau Tankidi (Sobei) sedangkan di Sarmi menyebut ‘’Adsoma’’ (Sobei). Di Filipina dikenal dengan nama ‘’Alimangong lupa’’ (Tagalog), ‘’Tatus’’ ((Cebuano), dan ‘’umang’’ (Cebuano dan Ilongo). Di Inggris penduduk setempat menyebutnya dengan nama “Coconut Crab” dan atau “Robber Crab”.

Menurut Pratiwi, 1989 ; Reyne, 1993 ; Rafiani, 2005, menyatakan bahwa di Indonesia ketam kelapa atau ketam kenari tersebar di bagian timur yakni di pulau-pulau Sulawesi Utara, Kepulauan Togian sampai Kepulauan Talaud, Maluku, Irian Jaya dan di bagian timur Nusa tenggara Timur, wilayah Indonesia bagian Utara, Tengah dan Timur : Sulawesi, Halmahera, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Namun hingga saat ini upaya perlindungan terhadap hewan ini hanya sebatas penetapan hewan ini sebagai hewan yang dilindungi. Belum ada upaya penetapan suatu daerah atau kawasan konservasi bagi keberlangsungan hidup ketam yang jarang ini. Pulau Yoi terletak di Maluku Utara merupakan pulau yang memiliki karakteristik ideal untuk dijadikan kawasan konservasi bagi kelangsungan hidup ketam kelapa.

Konflik antara kepentingan pelestariaan ketam kelapa pada alam asli dan desakan permintaan konsumen akan semakin nyata dimasa akan datang. Kesetimbangan antara permintaan dan suplai akan meningkatkan tekanan terhadap populasi di alam. Pembukaan hutan pesisir yang merupakan habitat ketam kelapa untuk berbagai kepentingan, diduga telah ikut mengurangi sumber makanan alami dilingkungannya. Dengan berbagai kepentingan diatas, maka perlu dilakukan suatu penelitian biologi reproduksi sebagai dasar pengelolaan ketam kelapa (birgus latro) di lingkungan asli dan untuk melakukan domestikasi

Perumusan Masalah

Tingginya usaha penangkapan yang dilakukan, dan penurunan kondisi habitat merupakan salahsatu penyebab penurunan jumlah populasi. Sebagai upaya pengelolaan sumberdaya ketam kelapa (B. latro) perlu dilakukan berbagai upaya agar sumberdaya ketam kelapa (B. latro) tetap lestari.

Pola pemikiran yang digunakan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan untuk mengatasi penurunan populasi ketam tersebut antara lain dengan (1) mencari ukuran minimal yang matang gonad sehingga dapat dilakukan pembatasan ukuran ketam yang boleh ditangkap, (2) mengetahui pola reproduksi dan musim pemijahan sehingga dapat diatur waktu penangkapan yang tidak mengancam proses reproduksi ketam, (3) identifikasi karakteristik habitat yang sesuai bagi ketam untuk melakukan reproduksi, dan (4) untuk keperluan domestikasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Biologi reproduksi ketam kelapa (Birgus latro) , (2) identifikasi karakteristik habitat yang sesuai bagi ketam kelapa (Birgus latro). Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi tentang biologi dan habitat ketam kelapa (Birgus latro) bagi upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ketam kelapa terutama dalam upaya konservasi dan domestikasi dengan tujuan restocking serta sebagai data awal bagi usaha budidaya sehingga keberadaan di alam dapat dilestarikan (tidak sampai punah) di masa mendatang.

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi

Crustacea termasuk ke dalam filum Arthoropoda berasal dari bahasa (Yunani = sendi ; pous = kaki). Namanya berasal kakinya yang bersendi. Tubuhnya terbagi dalam kepala (cephalin), dada (thorax) dan abdomen. Kepala dan dada bergabung membentuk kepala- dada (cephalothorax). Menurut PPSDAHP (1987/1988) dalam Pratiwi (1989) , B.latro adalah salah satu kelompok Decapoda yang banyak menghabiskan waktunya didaratan. Ketam kelapa ini adalah krustase yang paling besar dibandingkan dengan jenis-jenis krustase lainnya, sehingga dikenal dengan arthropoda daratan yang terbesar di dunia. Hewan ini berperan dalam perputaran bahan organik dalam tanah. Lemak perutnya dapat berkhasiat sebagai aphrodisiac (perangsang gairah seksual). Berdasarkan cara makan dan jenis pakan yang dimakannya, ketam ini termasuk ketam hama bagi pertanian dan perkebunan karena sering memakan buah dan merusak pohon kelapa, kenari, dan pepaya. Menurut Abele dan Bowman (1982) dalam Rafiani (2005) Ketam kelapa (B.latro) memiliki susunan klasifikasi sebagai berikut :

Phylum : Arthopoda Superkelas : Crustacea Kelas : Malacostraca Subkelas : Eumalacostraca Superordo : Eucarida Ordo : Decapoda Subordo : Pleocyemata Infraordo : Anomura Superfamili : Coenabitidea Famili : Coenabitidae Genus : Birgus

Spesies : Birgus latro (L.)

Ketam kelapa atau ketam kenari (Birgus latro L.), mempunyai karakteristik yang khas yakni secara morfologis mereka berada diantara seksi Branchyura (dikenal dengan ketam sejati) dan Macrura (dikenal sebagai udang- udangan) (Nontji, 1987). Tubuh terdiri dari bagian kepala (cephalon), dada

(eksoskeleton) yang merupakan sifat morfologi krustasea (Barnes, 1974 dalam Sahami, 1994). Disamping itu terdapat pula anggota tubuh yang lainnya yakni pereopod, pleopod, antena dan mata.

Ketam kelapa mempunyai abdomen yang pendek dan terlindung kulit yang keras serta memiliki bagian yang eksternal yang simetris dan ujung abdomennya dapat berfungsi sebagai pemberat bila berada dalam liangnya, yang berada dibawah akar pohon maupun pada pohon yang roboh. Karapas merupakan bagian tubuh yang sangat keras karena mengandung zat kapur yang lebih tinggi jika dibandingkan jenis kepiting lainnya, sedangkan bagian branchial bergembung dengan pembuluh-pembuluh kapiler yang tebal(Wikipedia, 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/ketam).

Tubuh ketam kelapa terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian depan (kelapa = cephalon), bagian tengah (dada = toraks) dan bagian belakang (perut = abdomen). Pembagian daerah kepala dan dada sangat jelas. Rostrum kecil dan pendek. Dibalik karapas pada bagian toraks kiri dan kanan terdapat insang. Tubuh beruas-ruas yang jumlahnya 14 ruas. Bagian kepala dan dada berjumlah delapan ruas, bagian perut dimulai dari ruas kesembilan sampai ruas teakhir (Limbong, 1983) dalam Sahami (1994).

Ukuran tubuh ketam betina lebih kecil dari jantan dengan panjang maksimum toraks kira-kira 55 mm (Whitten, et al., 1987 dalam Sahami 1994). Betina mempunyai pleopod pada sebelah kiri yang digunakan membawa telur sedangkan jantan tidak memilikinya.

Ketam dewasa memiliki panjang karapas kurang lebih 25-47 cm, lebar 51- 76 cm dan berat badan berkisar antara 2-4 kg. Capit sebelah kiri biasanya mempunyai ukuran lebih besar dari capit yang sebelah kanan. Ketam ini dilengkapi dengan lima pasang kaki jalan, yang terdiri atas empat pasang kaki jalan yang jelas terlihat berbentuk keras dan kuat dan satu pasang kaki jalan terakhir berukuran kecil dan bersembunyi di bawah karapas. Semua kaki jalan ditutupi oleh duri serta rambut-rambut halus. Ketam ini memiliki bagian bawah (abdomen) yang lunak yang pada waktu kecil terlindung dari rumah siput, tetapi rumah siput ini akan ditinggalkan ketika menginjak dewasa. Ketam ini tumbuh

dengan cara berganti kulit, dimana ia harus keluar dari rumah siputnya lalu mencari tempat yang terlindung dari pemangsanya dan berganti kulit disana (Motoh, 1980 dalam Pratiwi, 1989)

Gambar 1 Morfologi ketam kelapa

Kemampuan hewan ini untuk hidup dibantu oleh organ insang (alat pernapasan yang telah dimodifikasi), modifikasi ini dikelilingi oleh jaringan seperti spon yang selalu dalam keadaan basah (lembab). Ia akan mencelupkan ke air dan mengambil air dari atas insang. Ketam kelapa memerlukan minum air laut dari waktu ke waktu untuk menjaga keseimbangan garam (salinitas) dalam tubuhnya. Menurut Cameron dan Meckklenburg (1973), hewan ini mengambil O2

dengan cara membenamkan kepalanya kedalam air dalam selang waktu yang cukup lama. Hal ini dapat berlangsung karena insang marga B. latro telah teradaptasi dengan ruangan insang yang sudah terbagi oleh membran, sehingga membantu proses pertukaran gas. Dengan adanya fungsi dari insang tersebut, menyebabkan ketam ini mampu bertahan cukup lama di daratan.

Harris dan Kormanik (1981) dalam Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa abdomen yang besar merupakan tempat penyimpanan air bagi ketam Birgus yang dipergunakan ketika kondisi tubuhnya kekurangan air dan lingkungan sangat kering. Morris et al. 2000) dalam Brown dan Fielder (1991), melaporkan bahwa ketam di Pulau Christmas memiliki akses rutin terhadap air tawar dan dengan demikian dapat mengurangi kehilangan ion dalam tubuhnya.

Ketam kelapa (Birgus latro) tersebar di Indo – Pasifik (Brown dan Fielder (1991)). Whitten et al., (1987) dalam Sahami (1994), melaporkan bahwa hewan ini dulu tersebar luas diseluruh pasifik barat hingga Samudera Hindia bagian timur, tetapi sekarang terbatas pada pulau-pulau kecil. Di Aldabra dilaporkan masih terdapat ketam ini di Kepulauan Seychelles diperkirakan sudah punah. B. latro juga tersebar di pulau-pulau kecil di wilayah pantai Tanzania dan Sentinal selatan (Andaman dan Nikobar), kepulauan Keeling dan Mauritius. Di Filipina sekarang dilaporkan hanya terdapat di pulau Ilongo dan sebagian di pulau Cebu. Di kawasan Pasifik ketam ini dapat dijumpai di Timor, kemudian menyebar ke belahan bumi utara sampai Ryukus, Fiji dan kepulauan Marshall kecuali kepulauan Hawaii, Wake dan Midway. Di Papua Nugini dapat ditemukan di Propinsi Manus, yakni di Rantan, Sae dan Los Negros (PPSDAHP, 1987/1988) dalam Pratiwi (1989).

Gambar 2 Distribusi ketam kelapa dunia (Brown et al. 1991).

Di Indonesia B. latro hanya tersebar di kawasan Indonesia timur yaitu di pulau-pulau Sulawesi, Nusa tenggara, Maluku, Papua. Di Sulawesi, ketam kelapa terdapat di wilayah Kepulauan Kawio, Talaud, Sangihe, Sulawesi Utara, Pulau Siompu, Tongali, Kaimbulawa dan Liwutongkidi , Sulawesi Tenggara (Ramli, 1997) sedangkan di Nusa Tenggara terdapat di pantai berbatu Pulau Yamdena (Monk, et al. 2000), dan Kalimantan terdapat di Pulau Derawan.

Ketam kelapa (Birgus latro L.), mendiami lubang-lubang pesisir yang masih ditumbuhi vegetasi (Rondo dan Limbong, 1990 dalam Sahami 1994). Mereka aktif pada malam hari (nokturnal) (Boneka, (1990) dalam Sahami (1994). Tetapi jika keadaan lingkungan aman mereka juga dapat terlihat pada siang hari dan cenderung bersifat kanibal, namun seringkali mereka membentuk grup terdiri dari beberapa individu dalam suatu lubang.

Ketam kelapa tergolong ketam semi daratan (semiterestrial), namun mereka mengawali hidupnya dilaut. Mereka bermigrasi dari laut (selama fase postlarva glaocothoe) dengan menampilkan tingkah laku kehidupan seperti hermit crab yakni menempati cangkang gastropoda yang kosong (Reese, 1968 dalam Pratiwi, 1989). Cangkang tersebut akan dilepaskan kembali setelah ia tumbuh menjadi lebih besar dan kemudian mereka tidak membutuhkan cangkang lagi. Habitat yang disukai ketam kelapa dicirikan dengan kondisi vegetasi semak, kelapa, pisang dan berbagai tanaman pantai yang cukup lebat (Rafiani, 2005). Pada wilayah yang dekat pemukiman jumlah populasi berkurang dibandingkan dengan yang jauh dari pemukiman.

Ketam kelapa hidup dibawah tanah atau celah-celah bebatuan, tergantung daerah setempat. Mereka menggali tempat bersembunyi di pasir atau tanah gembur. Di siang hari, ketam kelapa bersembunyi, untuk berlindung dan mengurangi hilangnya air karena panas. Di tempat persembunyiannya terdapat serat sabut kelapa yang dipakainya sebagai alas. Menurut Streets (1877), saat beristirahat di liangnya, ketam kelapa menutup jalan masuk dengan salah satu capitnya untuk menjaga kelembaban untuk pernafasannya. Di area dengan banyak ketam kelapa, beberapa ketam juga keluar waktu siang hari, untuk mencari makan. Ketam kelapa juga kadang-kadang keluar waktu siang jika keadaan lembab atau hujan, karena keadaan ini memudahkan mereka untuk bernafas. Mereka hanya ditemukan di darat dan beberapa dapat ditemui sejauh 6 km dari lautan.

McLaughlin (1983) dalam Rafiani (2005), menyatakan bahwa Sistem reproduksi Ordo Malacostraca secara anatomi terpusat pada cephalothorax. Untuk suku Caenobitidae dan Paguraidae khususnya, memiliki sepasang testis dan sepasang ovarium berada pada abdomennya. Menurut Whitten et al., (1987) menyatakan bahwa kematangan gonad ketam kelapa (Birgus latro) pada umumnya mencapai panjang karapas kurang lebih 5 cm. Perkawinan hewan ini berlangsung di darat. Telur yang telah dibuahi terletak pada bagian bawah perut atau menempel pada pleopod. Limbong (1983) mencatat bahwa telur yang dimiliki oleh seekor induk berjumlah ribuan. Hampir semua ketam kelapa harus mencari air untuk perkembangan larvanya. Ketam betina melepaskan telurnya ke laut pada saat pasang tertinggi dan selanjutnya telur menetas.

Ketam kelapa melakukan aktivitas reproduksinya yang ditandai oleh adanya ovigerous pada tubuh. Secara geografis seluruh area tampaknya terjadi musiman, berlangsung pada musim panas baik di belahan bumi utara maupun selatan.

Menurut Brown dan Fielder ,1991 menyatakan bahwa pada musim panas biasanya ketam kelapa betina hanya satu kali dalam setahun meletakkan telurnya di negara belahan bumi utara dan selatan. Reese (1965 dan 1967) dalam Brown dan Fielder (1991) mengamati betina ovigerous di kepulauan Eniwetok terjadi pada bulan april (pertengahan musim semi) sampai dengan Agustus (akhir musim panas).

Di daerah sub trofik di belahan bumi selatan ketam kelapa betina paling sedikit aktif bereproduksi selama lebih kurang 9 bulan, setiap tahun adalah dari akhir September atau awal Oktober sampai dengan awal Juni pada tahun berikutnya. Sebaliknya di daerah tropik belahan bumi utara dan selatan aktifitasnya tidak bergantung musim, tetapi terjadi sepanjang tahun berdasarkan data yang didapat dari kepulauan Christmas dan Vanuatu (Brown dan Fielder ,1991).

Ketam betina apabila menetaskan telurnya akan bermigrasi dari daratan ke tepi laut, untuk melepaskan telur-telurnya tanpa ketam jantan. Hal ini berbeda dengan ketam darat lainnya, seperti Gecarcoidea natalis yang bila migrasi selalu diikuti oleh ketam jantan (Gray, 1981 dalam Brown dan Fielder,1991). Hanya

betina Birgus yang berpartisipasi dalam reproduksi migrasi (Borradaile, 1900; Chapman 1948; Gibson-Hill, 1949 dalam Brown dan Fielder, 1991).

Di Vanuatu ketam akan berada di daerah pantai selama 5-6 minggu (1 bulan) dan biasanya akan kembali ke daratan 4 -10 hari setelah melepaskan telur-telurnya. Ketam ini biasanya berkumpul dalam kelompok di sepanjang pantai dan kembali ke darat juga dalam kelompoknya yang kemudian akan berpisah (menyebar) setelah sampai di darat. Migrasi ketam menuju ke laut dan kembali ke daratan terjadi berdasarkan ritmik dari gelombang dan periodisitas yang sama dari proses penetasan dan pelepasan telur (Brown dan Fielder ,1991).

Menurut Helfman (1977) telah melakukan pengamatan terhadap dua ketam kelapa melakukan kopulasi di darat. Tidak seperti coenabitidae yang lain, kopulasi pada ketam kelapa berlangsung singkat (sekitar 3 menit) dengan sedikit aktifitas tingkah laku pre dan pasca kopulasi. Ketam jantan akan memegang cheliped betina dengan capitnya dan berjalan ke depan sampai punggung ketam betina berada dibawah, kaki-kaki mereka bersilang dan abdomen memanjang ke balik badan mereka dengan abdomen betina memutar diatas abdomen jantan. Ketam jantan menggunakan coxea yang dimodifikasi dari pasangan kaki kelima pereiopoda untuk mentransfer masa spermatofora ke dan sekitar oviduct betina yang terbuka pada bagian dasar pasangan kaki ketiga pereopoda.

Menurut Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa untuk inkubasi telur, pada bagian luar di bawah abdomen betina memiliki membran seperti spon yang memberikan perlindungan dari lingkungan yang rentan terhadap penggenangan air baik tawar atau asin. Telur yang sedang berkembang ini terlindung dari perubahan jangka pendek akibat pengaruh eksternal ion-ion inorganik dan air akibat dari paparnya telur dengan air tawar atau laut. Ketika telur semakin matang, membran yang melindungi telur mulai memecah, membuat telur rentan terhadap tekanan osmotik dan ionik jika terpapar dengan air tawar. Pada telur yang telah matang sebagian besar membran telur telah pecah telur bertindak sebagai osmometer akan segera menetas kontak dengan air tawar ataupun air laut.

Gambar 3 Ketam kelapa mengeluarkan telur dari tubuh (Taku Sato dan Kenzo Yoseda, http://www.mba.ac.uk/jmba/pdf/6370.pdf, 2009).

Proses vitelogenesis, inkubasi dan pengeluaran telur membutuhkan jalan masuknya air dan ion inorganik. krustase teresterial, seperti B. latro dan Gecarcoidea natalis, tidak mudah mendatangi air asin dari habitat normal mereka, harus bermigrasi ke daerah pantai untuk mendapatkan air asin sebelum melepaskan telurnya. Jejak ketam didaerah pantai dapat ditemukan selama masa inkubasi sampai menemukan daerah yang cocok untuk tempat tinggalnya. Untuk memperkecil dehidrasi dari massa telur, betina ovigerous memerlukan perlindungan terhadap kelembaban tinggi, minimal terbuka untuk dikeringkan dengan angin dan batasi cahaya matahari. Ini kontras dengan kepiting darat lainnya Cardisoma guanhumi, dengan bermigrai ke pantai hanya melepaskan telurnya, setelah itu segera kembali ke darat. Air dibutuhkan selama vitelogenesis dan inkubasi telur, tersedia dari habitat “normal” ketam, dan kalau perlu membangun tempat berlindung sementara waktu dilingkungan pantai.

Siklus Hidup Ketam Kelapa

Ketam kelapa selama hidupnya memiliki dua habitat yaitu laut dan daratan. Proses inkubasi dan matang telur berada di daratan, masa penetasan telur berada di daerah pantai kemudian burayak sebagai larva planktonik yang hidup bebas di laut, dan tahap dewasa kembali kedaratan.

Ketam kelapa yang sudah dewasa melakukan perkawinan di darat, kemudian ketam betina akan mengerami telur. Ketika telur telah siap menetas, ketam betina berjalan menuju laut untuk melepaskan telur dengan berjalan diatas

batu-batuan pada perbatasan daerah pasang surut, sehingga ombak yang datang memecah akan membasahi bagian atas tubuhnya secara teratur. Pada saat telur- telur tersebut kontak dengan air laut, setelah menetas zoea dilepaskan ke dalam laut (Brown dan Fielder, 1991).

Gambar 4 Siklus hidup Ketam Kelapa (B. Latro) (Fletcher dan Amost,1993) Telur-telur yang menetas pada tahap zoea pertama lamanya 4-9 hari, biasanya 5-6 hari, pergantian ke tahap zoea kedua dimulai pada hari ke empat dari kehidupan larva dan mencapai puncaknya pada hari kelima dan hari keenam. Tahap zoea berlangsung 3 – 15 hari dari kehidupan larva dan sebagian selesai dalam waktu 10 hari. Lamanya tahap zoea ke tiga 3 -18 hari, tetapi biasanya 8-9 hari. Pergantian pada tahap zoea ke empat dimulai tepat pada hari ke 15 dari kehidupan larva dan dilanjutkan kira-kira hari ke 24. Burayak yang mengalami pergantian kulit pada hari ke 18 -20, biasanya pada hari ke 18 lah pergantian kulit berlangsung sangat aktif. Sedangkan lamanya tahap zoea keempat dan penyempurnaan atau tahap metazoa adalah 6 -12 hari dan akhirnya ketika usia larva 20 -30 hari ketam berada dalam tahap terakhir pergantian zoea untuk berubah ke tahap post larva “ glaucothoe”. Sedangkan Shokita et al.,1991) dalam Sahami (1994) membagi tahap perkembangan zoea mulai dari tahap zoea I hingga

Sesudah tahap zoea V tubuh berubah bentuk menjadi glaucothoe (megalopa). Glaucothoe akan mencari cangkang gastropoda yang kosong sebagai tempat berlindung dan kemudian hidup di perairan dangkal. Ketam kelapa berada dalam cangkang selama kurang lebih 6 bulan (Morton (1991) dalam Sahami (1994). Ketam kelapa bermigrasi dan memulai hidupnya di darat setelah menjadi juvenil (Shokita et al., (1991) dalam Sahami (1994).

Gambar 5 Juvenil ketam kelapa (a) dan Juvenil dengan cangkang gastropoda (b) http://www.iucnredlist.org/details/2811. (2009).

Kadang-kadang tahap zoea ke lima ini terjadi, tetapi sedikit sekali pengetahuan tentang lamanya zoea ke lima. Biasanya tahap zoea ke lima ini sama

Dokumen terkait