• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka, Jakarta. Adiwilaga, A. 1973. Ilmu Usahatani. Penerbit Alumni Bandung, Bandung.

Adrial. 2010. Potensi Sapi Pesisir dan upaya pengembangannya di Sumatera Barat. J. Litbang Pertanian. 29(2): 66-72.

Agus, A. 2003. Efisiensi pengolahan pakan: jerami padi sebagai pakan andalan pada ternak ruminansia. Sosialisasi dan Pelatihan Pendayagunaan Hasil Litbang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir di Bidang Peternakan Program Iptekda-Batan bagi Penyuluh Lapangan di Kabupaten Blora. Pusat penelitian Pengembangan Teknologi Maju Badan Tenaga Nuklir Nasional, Yogyakarta.

Anggraeni, A., N. Kurniawan, & C. Sumantri. 2008. Pertumbuhan pedet betina dan dara Sapi Friesian Holstein di wilayah kerja bagian barat KPSBU Lembang. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2009. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota.

Badan Pusat Statistik. 2010. Badan Pusat Statistik Nasional dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Nasional.

Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota.

Badan Pusat Statistik. 2011. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota.

Berg, T. R. & R. M. Butterfield. 1976. New Concepts of Cattle Growth. Sidney University Press. Sidney. Australia.

Blakely, J. & D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. 4th ed. Terjemahan Bambang Srihandono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Chamdi, A. N. 2004. Karakteristik sumberdaya genetik ternak Sapi Bali (Bos bibos banteng) dan alternatif pola konservasinya. Biodiversitas. Vol 6 No.1: 70-75.

Deni, E. N. 2006. Keragaan ukuran-ukuran tubuh hasil silangan pertama (F1) sapi lokal dengan Simmental di Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Negeri Andalas, Padang. Darmono. 1999. Tatalaksana Usaha Sapi Kereman. Kanisius, Yogyakarta.

Departement of Agriculture, Food and Rural Development. 2001. Good Farming Practices. Departement of Agriculture, Food and Rural Dvelopment, Irlandia. Devendra, C. & M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis.

Terjemahan: IDK Harya Putra. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota. 2011. Topografi Kabupaten Lima Puluh Kota. http://limapuluhkota.go.id/. [1 Desember 2010]. Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota. 2004. Reproduksi Ternak Sapi

Potong. http://disnak.go.id/. [01 Januari 2011].

Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota. 2010. Kontes Sapi Potong.

http://disnak.go.id/. [01 Januari 2011].

Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat. 2010. Database Peternakan Sumatera Barat 2006 - 2009. Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat, Padang.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. http://www.ditjennak.go.id/regulasi%5 C blueprint.pdf. [12 Januari 2011]. Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. 2000. Pedoman Pembibitan Sapi Potong

yang Baik dan Benar (Good Farming Practices), Jakarta.

Djanuar, R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Djenen. 1982. Pola pemukiman penduduk pedesaan Sumatera Barat. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Dwiyanto, K., A. Priyanti, & D. Zainuddin. 1996. Pengembangan ternak berwawasan agribisnis di pedesaan dengan memanfaatkan limbah pertanian dan pemilihan bibit yang tepat. Balai Penelitian Ternak. Jurnal Litbang Pertanian. XV (I).

Ensminger, M. E. 1991. Animal Science. 9th ed. Interstate Publisher Inc., USA. Field, T. G. & R. E. Tylor. 2002. Beef Production and Managemen Decisions.

4th ed. Prentice Hall, New Jersey.

Hadi, P. U. & N. Ilham. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 21 (4).

Hafez, E. S. E. & Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th ed. Lippincott William and Wilkins, Maryland.

Hanafi, N. D., S. Umar, & I. Bachri. 2005. Pengaruh tingkat naungan pada berbagai pastura campuran terhadap produksi hijauan (The effect levels of the shade at various pasture mixtures towards the production of suitable). Jurnal Agribisnis Peternakan. 1(3): 100.

Hardjosubroto, W. 1984. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Grasindo, Jakarta.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Grasindo, Jakarta.

Iskandar, I. & Arfa’i. 2007. Analisis program pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Artikel Ilmiah Peneleitian Dosen Muda.

53 Kadarsih, S. 2003. Peranan ukuran tubuh terhadap bobot badan Sapi Bali di

Provinsi Bengkulu. J. Penelitian UNIB. 9(1): 45-48.

Mc Nitt. J. I. 1974. Livestock Husbandary Techniques. The Caucher Press, Suffolk. Neumann, A. L. 1977. Beef Cattle. 7th ed. John Wiley & Sons. New York.

Ngadiyono, N. 2007. Beternak Sapi. PT Citra Aji Pratama, Yogyakarta.

Nuryadi. 2007. Reproduksi Ternak. Lembaga Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.

Nuryelliza. 2008. Analisa pendapatan usaha pembibitan Sapi Simmental. Skripsi. Universitas Negeri Andalas, Padang.

Office International des Epizooties. 2006. Guide to good farming practices for animal production food safety. Animal Production Food Safety Working Group. World Organization for Animal Health (OIE), Paris.

Pane, I. 1985. Pemuliabiakan Ternak Sapi. PT.Gramedia. Jakarta.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Philips, C. J. C. 2001. Principle of Cattle Production. CABI Publishing, New York.

Prasojo, G., I. Arifiantini, & K. Mohamad. 2010. Korelasi antara lama kebuntingan, bobot lahir dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan pada Sapi Bali. J. Veteriner. 11(1): 41-45.

Rincker, C. B., N. A. Pyatt., L. L. Briger., D. B. Faulkner, & P. M. Walker. 2006. Predicting carcass composition in early-weaned Simmental steer using a combination of real-time ultrasound, live evaluation, carcass expected progency differences and genstar marbling maker. J. Anim. Sci. 22: 144-152.

Sanvorini, S. 2002. Pemeliharaan Ternak. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan.

Sariubang, M. & N. S. Tambing. 2008. Produktivitas sapi potong hasil inseminasi buatan (IB). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 76-77.

Seiffert, G. W. 1978. Simulated selection for reproductive rate in beef cattle. J. Anim. Sci. 61: 402-409.

Siregar, S. B. 2008. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sosroamidjoyo, M. S. & Soeradji. 1990. Peternakan Umum. CV. Yasaguna, Jakarta. Spitzer, J. C. 1987. Influence of nutrition on reproduction in beef cattle. WB

Saunders Company, Hongkong.

Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sumadi, N., Ngadiono, & Soeparno. 1991. Sapi Fries Holland, Sumba Ongloe dan Brahman Cross yang dipelihara secara feedlot (penggemukan). Prosiding

Seminar Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional. Fakultas Peternakan, Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto: 116-126.

Tanari, M. 2001. Usaha pengembangan sapi Bali sebagai ternak lokal dalam menunjang pemenuhan kebutuhan protein asal hewani di Indonesia. http://rudyct.250x.com/sem1_012/m_tanari.htm. [12 November 2010]

Tarmudji, Hermawan, W., Pratomo, & Istiana. 2001. Identifikasi gangguan reproduksi pada sapi potong di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor: 118-125.

Taylor, R. E. & T. G. Field. 2004. Scientific Farm Animal Production. 8th ed. Pearson Prentice Hall Inc, New Jersey.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, & S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Toelihere, M. R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

Umiyasih. U, Aryogi, Y. N. Anggraeny, M. Zulbardi, & Kuswandi. 2003. Analisis respon perlakuan pakan terhadap keragaan produksi sapi potong dara. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Williams, I. H. 1982. A Course Manual in Nutritions and Growth. Australian Vicechamcellons Com.

Wijono, D. B., D. E. Wahyono, P. W. Prihandini, A. R. Siregar, B. Setiadi, & L. Affandhy. 2003. Performans Sapi Peranakan Ongole muda pascaskrining. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Yanhendri. 2007. Penampilan reproduksi sapi persilangan F1 dan F2 Simmental serta hubungannya dengan kadar hormon estrogen dan progesteron pada dataran tinggi Sumatera Barat. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

55

57 Lampiran 2. Analisa Deskriptif Ukuran Tubuh Sapi

a. Analisa Deskriptif Ukuran-Ukuran Tubuh Sapi pada Umur 2-11 Bulan Variabel N Rataan Standar Deviasi Koefisien Keragaman

PB 7 103,47 8,41 8,13 DD 7 50,86 15,30 30,08 LP 7 115,26 22,56 19,57 LD 7 116 10,82 9,27 TPi 7 93,42 17,55 18,78 TPu 7 94,81 18,62 19,64

b. Analisa Deskriptif Ukuran-Ukuran Tubuh Sapi pada Umur 12-24 Bulan Variabel N Rataan Standar Deviasi Koefisien Keragaman

PB 7 148,62 13,27 9,24 DD 7 96,36 5,29 5,49 LP 7 166,05 11,67 7,03 LD 7 167,60 9,43 5,63 TPi 7 146,78 12,71 8,66 TPu 7 145,91 14,51 9,95

c. Analisa Deskriptif Ukuran-Ukuran Tubuh Sapi pada Umur >25 Bulan Variabel N Rataan Standar Deviasi Koefisien Keragaman

PB 29 159,39 3,92 2,46 DD 29 106,43 10,42 9,79 LP 29 185,37 12,21 6,58 LD 29 193,77 8,66 4,47 TPi 29 158,58 8,35 5,27 TPu 29 159,16 8,19 5,15

Lampiran 3. Sarana dan Prasarana di Peternakan Roni

1). Kondisi Perkandangan 2). Alat Transportasi

2). Tempat Pakan dan Minum

Sumber Air Minum Tempat Air Minum

59 Lampiran 4. Keadaan Ternak Sapi Simmental di Peternakan Roni

Lampiran 5. Hasil Evaluasi Aspek Sarana Penerapan GFP Sapi Simmental di Peternakan Roni

No Aspek Kondisi Seharusnya * Kondisi di Lapangan** 1 Lokasi Tidak bertentangan dengan

Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD)

Sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Tata Ruang Daerah (RDTRD)

Letak dan ketinggian lokasi terhadap wilayah sekitarnya harus memperhatikan lingkungan dan topografi sehingga kotoran dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan

Sesuai dengan persyaratan dan memiliki topografi yang landai

2 Lahan Status lahan peternakan sapi potong jelas

Status lahan peternakan sapi potong jelas (milik perorangan) Sesuai dengan peruntukkannya

menurut perundang-undangan yang berlaku

Sesuai dengan peruntukannya menurut perundang-undangan yang berlaku (izin dari Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota) 3 Penyediaan

Air dan Alat Penerangan

Air yang digunakan harus memenuhi baku mutu air yang sehat, yang dapat diminum oleh manusia dan ternak serta tersedia sepanjang tahun dalam jumlah yang mencukupi

Tidak dilakukan pengecekan baku mutu air sehat dan kualitas air secara berkala. Air tersedia sepanjang tahun. Sumber air berasal dari sumur yang terletak tidak jauh dari kandang (±3 m) Setiap usaha sapi potong

hendaknya menyediakan alat penerangan (misalnya listrik) cukup setiap saat sesuai kebutuhan dan peruntukannya

Alat penerangannya belum mencukupi. Pada setiap kandang tidak terdapat lampu.

4 Bangunan Jenis bangunan yang diperlukan untuk usaha produksi anak sapi potong adalah :

a. Kandang pemeliharaan

Bangunan yang tersedia Kandang pemeliharaan

a. Gudang pakan dan peralatan

b. Kandang isolasi sapi yang sakit

b. Tidak terdapat kandang isolasi sapi sakit

c. Gudang pakan dan peralatan

c. Terdapat gudang pakan dan peralatan

d. Barak pekerja d. Terdapat barak pekerja e. Unit penampungan dan

pengolahan limbah

e. Terdapat unit penampungan dan pengolahan limbah

61 padat

Konstruksi bangunan

a. Konstruksi bangunan terdiri dari bahan yang kuat yang

dapat menjamin

kenyamanan dan keamanan bagi pegawai/buruh ternak.

Konstruksi bangunan Peternakan Roni

a. Bahan baku yang digunakan untuk bangunan kandang terdiri atas bahan kayu dan bambu, atap kandang menggunakan bahan seng. Kerangka dan

tiang kandang

menggunakan kayu dan beton

b. Konstruksi kandang harus dapat memenuhi daya tampung dan pertukaran udara di dalam kandang

harus terjamin

kelancarannya.

b. Daya tampung cukup

c. Lantai kandang harus kuat dan tidak licin sebaiknya terbuat dari coran semen untuk menjamin kebersihan kandang dan memudahkan untuk didesinfeksi.

c. Lantai terbuat dari semen

d. Konstruksi bangunan gudang pakan harus dibuat sedemikian rupa agar pakan tetap sehat dan higienis.

d. Bangunan gudang pakan terbuat dari papan dan seng sehingga pakan jerami mudah basah pada saat hujan.

Tataletak bangunan

a. Ruangan kantor dan tempat tinggal karyawan/pengelola usaha peternakan harus terpisah dari daerah perkandangan.

Tataletak Bangunan Peternakan Roni:

a. Tempat tinggal karyawan tidak terpisah dari

dari daerah perkandangan b. Jarak terdekat antara

perkandangan dengan bangunan lain minimal 25 m.

b. Jarak terdekat antara kandang dengan banguan bukan kandang kurang dari 25 m

c. Letak kandang dan bangunan lain harus ditata sedemikian rupa agar

memudahkan bagi

c. Letak kandang dengan unit penampungan limbah terlalu dekat ± 4 m, dikhawatirkan dapat

karyawan dalam memudahkan kegiatan sehari-hari, memudahkan pengaturan drainase dan penampungan limbah sehingga tidak terjadi polusi dan pencemaran penyakit.

menyebabkan polusi dan pencemaran penyakit

d. Letak kandang isolasi ternak sakit atau diduga sakit di belakang penampungan limbah sehingga tidak terjadi polusi dan pencemaran penyakit.

d. Peternakan Roni tidak memiliki kandang isolasi

e. Usaha peternakan hanya mempunyai satu pintu masuk yang dilengkapi dengan kolam desinfektan dan tamu atau kendaraan harus melewati.

e. Usaha peternakan hanya memiliki satu pintu masuk yang tidak dilengkapi dengan kolam desinfektan dan setiap tamu atau kendaraan harus melewati

5 Alat dan Mesin

Peternakan

Usaha produksi anak sapi potong memiliki peralatan sesuai dengan kapasitas/jumlah sapi yang dipelihara yang mudah digunakan, mudah dibersihkan dan tidak mudah berkarat

Usaha peternakan sapi potong memiliki kandang dengan kapasitas tamping 6 m2/ekor, bangunan terbuat dari kayu yang mudah dibersihkan dan tidak mudah berkarat

Alat dan mesin yang perlu disediakan :

a. Tempat pakan dan tempat minum bisa terbuat dari semen, seng anti karat atau papan tebal

Alat dan mesin yang ada di Peternakan Roni:

a. Tempat pakan terbuat dari semen

b. Kendaraan pembawa rumput ke kandang.

b. Rumput(jerami)/ampas tahu diangkut menggunakan mobil bak terbuka

c. Timbangan pakan dan sapi c. Timbangan yang tersedia adalah timbangan pakan d. Alat timbangan untuk sapi

(statis/mobil)

d. Tidak terdapat alat timbangan untuk sapi e. Mesin giling butiran

(apabila membuat pakan konsentrat sendiri)

e. Tidak terdapat mesin giling

f. Chopper (pemotong rumput)

f. Tidak terdapat chopper untuk rumput dan jerami

63 padi

g. Tempat bongkar/muat ternak

h. Tempat bongkar dan muat kurang memadai

i. Mixer j. Tidak terdapat mixer

6 Bibit/bakalan Bakalan bisa berasal dari sapi lokal atau impor, tergantung bangsa sapi.

Bakalan berasal dari ternak impor yaitu sapi Simmental

Sapi bakalan yang digunakan harus bebas dari penyakit menular seperti mulut dan kuku (Foot and Mouth Disease), penyakit ngorok, Rinderpest, Brucellosis (keluron). Antrax (radang limpa), Blue tangue (lidah biru).

Sapi bakalan berasal dari pasar ternak yang ada di Kabupaten 50 Kota yang telah bebas dari penyakit menular. Pemeriksaan kesehatan hanya dilakukan sebelum sampai ke peternakan (dilakukan oleh peternak sendiri) Usaha peternakan sapi potong yang

mengadakan kegiatan pembibitan telah mengikuti petunjuk, pengarahan, serta pengawasan dari instansi yang berwenang

Usaha peternakan sapi potong yang mengadakan pembibitan belum sepenuhnya mengikuti petunjuk, pengarahan, serta pengawasan dari instansi yang berwenang seperti pengecekan kesehatan secara rutin. 7 Pakan Ketersediaan pakan cukup bagi

ternak, baik yang berasal dari hijauan/rumput, maupun pakan konsentrat yang dibuat sendiri atau berasal dari pabrik

Ketersediaan pakan cukup, sebagian pakan hijauan/rumput berasal dari kebun HMT peternakan yaitu rumput gajah. Jerami dan ampas tahu diperoleh dari daerah sekitar.

Bahan campuran pakan harus memperoleh izin, ransum pakan yang digunakan tidak terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulant pertumbuhan, hormon, bahan kimia, obat-obatan, mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh pejabat yang berwenang dan Negara-negara pengimpor

Bahan pakan diperoleh dari dalam negeri namun tidak dilakukan pengujian proksimat untuk setiap bahan pakan yang digunakan.

Kebutuhan pakan hijauan yang cukup bagi usaha peternakan sapi potong secara berkesinambungan, dapat bekerja sama dengan petani setempat untuk hijauan makanan ternak

Kebutuhan hijauan cukup bagi usaha peternakan sapi potong secara berkesinambungan dan penanaman HMT dilakukan oleh peternak.

8 Obat Hewan Obat-obatan, bahan kimia dan bahan biologi untuk ternak yang digunakan sudah terdaftar

Setiap obat memiliki nomor pendaftaran tersendiri

Penggunaan obat hewan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

Penggunaan obat di bawah pengawasan Dinas Peternakan

Keterangan :*Direktorat Jendral Produksi Peternakan (2000), **Kondisi di Peternakan Roni, Harau, Kabupaten 50 Kota (2011)

Kabupaten Lima Puluh Kota 9 Tenaga Kerja Semua karyawan yang bekerja pada

usaha peternakan sapi potong berbadan sehat

Semua karyawan yang bekerja pada usaha peternakan sapi potong berbadan sehat jasmani dan rohani. Pekerja disediakan pakaian kerja,

sepatu bot, jas hujan dan peralatan lainnya yang diperlukan

Pekerja disediakan sepatu bot dan peralatan lainnya yang diperlukan. Setiap usaha sapi potong

hendaknya menjalankan ketentuan/peraturan

perundang-undangan di bidang

ketenagakerjaan

Karyawan digaji berdasarkan kesepakatan antara pemilik dan karyawan

65 Lampiran 6. Hasil Evaluasi Aspek Produksi Penerapan GFP Sapi Simmental di Peternakan Roni

No Aspek Kondisi Seharusnya Kondisi di Lapangan 1 Pemilihan

bibit

Pemilihan bibit sapi bakalan pada usaha peternakan sapi potong harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Bangsa sapi murni atau persilangan

a. Sapi bakalan di Peternakan Roni awalnya berasal dari bangsa sapi ras Simmental

b. Umur 1 sampai 2 tahun

b. Kisaran umur 1-2 tahun

c. Berat; untuk sapi lokal 100-150 kg,

untuk sapi

persilangan 250-350 kg.

c. Hanya berdasarkan umur karena tidak timbangan sapi tidak tersedia

2 Kandang Setiap usaha peternakan sapi potong yang akan

didirikan harus

merencanakan jumlah kandang yang akan dibangun sesuai dengan jumlah dan jenis sapi yang akan dipelihara

Usaha peternakan sapi potong Roni awalnya merencanakan jumlah kandang sesuai dengan jumlah dan jenis sapi yang akan dipelihara

Kandang yang akan dibangun harus kuat,

memenuhi syarat

kesehatan, mudah

dibersihkan, mempunyai drainase yang baik, sirkulasi udara yang bebas dan dilengkapi tempat makan dan minum sapi serta bak desinfektan

Kandang terbuat dari kayu, semen sehingga pada beberapa bagian ada yang telah rusak(rapuh), belum memenuhi syarat kesehatan, dan cukup sulit untuk dibersihkan, drainase kurang memadai, sirkulasi udara bebas dan dilengkapi tempat makan dan minum sapi, tidak memiliki bak desinfektan

Sistem kandang dapat

dibuat individu,

berkoloni/berkelompok dan setiap kelompok berisi 5-10 ekor sapi dengan luas ruang (space) 10-20 m2

Kandang dibuat individu dan memiliki luas 6 m2

kandang lainnya minimal 10 m dan jarak kandang

dengan tempat

penampungan

limbah/kotoran sapi minimal 25 m. Sebaiknya bangunan kandang dibuat sedemikian rupa agar selalu mendapat cahaya pagi yang penuh sinar ultra violet.

penampungan limbah atau kotoran sapi sekitar ±4 m. Bangunan kandang mendapatkan cahaya pagi yang penuh ultra violet.

3 Pakan Pemberian pakan hijauan segar minimal 10% dari berat badan dan pakan konsentrat sekitar 0,4% dari berat badan. Pemberian pakan dilakukan 2 (dua) kali sehari

Pemberian hijauan/jerami 10% dan ampas tahu 1-2% dari bobot badan. Pemberian pakan dilakukan 3 kali sehari. Pemberian pakan tidak terlalu disesuaikan dengan bobot badan, PBBH dan konsumsi pakan ternak.

Penyusunan ransum memperhatikan

keseimbangan zat-zat makanan yang dapat dicerna dalam ransum. Zat-zat makanan dasar adalah energi dan lemak, protein, mineral dan vitamin serta serat kasar.

Tidak dilakukan penyusunan ransum

Kebutuhan energi atau Total Digestible Nutrient (TDN), protein dan mineral sesuai untuk produksi anak sapi potong.

Tidak sesuai persyaratan. Ampas tahu sebagai sumber energi dan protein kurang mencukupi bagi ternak

Pakan tambahan yang digunakan memiliki ketentuan yang berlaku

Pakan tambahan yang digunakan memiliki ketentuan yang berlaku. Pakan tambahan yang diberikan adalah urea.

4 Kesehatan Hewan dan

A. Kesehatan Hewan 1. Situasi Penyakit

67 Kesehatan

Masyarakat Veteriner

Usaha peternakan sapi potong harus terletak di daerah dimana tidak ditemukan gejala klinis atau bukti lain tentang penyakit mulut dan kuku (Foot and Mouth Disease), ingus jahat (Malignat Catarhal Fever), Bovine Ephemeral Fever, lidah biru (Blue Tangue), antrax (radang limpa), Brucellosis (kluron menular).

2. Vaksinasi/pencegahan a. Usaha budidaya sapi

potong harus

melakukan vaksinasi dan pengujian/tes laboratorium terhadap penyakit tertentu yang ditetapkan oleh instansi berwenang

1. Sesuai persyaratan. Usaha peternakan sapi potong terletak di daerah bebas endemik penyakit zoonosis

2. Vaksinasi/pencegahan a. Usaha peternakan sapi

potong melakukan vaksinasi terhadap penyakit tertentu yang ditetapkan oleh instansi berwenang yaitu Dinas Peternakan Kabupaten 50 Kota

b. Mencatat setiap pelaksanaan vaksinasi dan jenis vaksin yang dipakai dalam kartu kesehatan ternak

b. Ternak tidak memiliki kartu kesehatan c. Melaporkan kepada dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat (instansi yang berwenang) setiap timbulnya kasus penyakit terutama yang diduga /dianggap penyakit menular

c. Melaporkan kepada dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat setiap timbulnya penyakit terutama penyakit menular. Selama ini belum pernah terjadi kasus penyakit menular

d. Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) 1. Lokasi usaha tidak

mudah dimasuki

binatang liar serta bebas

1. Lokasi mudah dimasuki binatang liar sebab berdekatan dengan masyarakat.

dari hewan piaraan lainnya yang dapat menularkan penyakit. 2. Melakukan desinfeksi

kandang dan peralatan dengan menyemprotkan insektisida pembasmi serangga, lalat dan hama lainnya

2. Tidak diterapkan pemakaian insektisida baik tabur dan cair

3. Untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari satu kelompok ternak ke kelompok ternak lainnya, pekerja yang melayani ternak yang

sakit tidak

diperkenankan melayani ternak yang sehat

3. Tidak terdapat pembagian kerja

4. Menjaga agar tidak setiap orang dapat bebas keluar masuk kandang

ternak yang

memungkian terjadinya penularan penyakit

4. Tidak terdapat unit

keamanan yang

memantau keluar masuk peternakan

5. Membakar atau mengubur bangkai kerbau yang mati karena penyakit menular

5. Tidak pernah ada ternak yang mati karena penyakit

6. Menyediakan fasilitas desinfeksi untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu di pintu masuk perusahaan

6. Tidak tersedia fasilitas desinfeksi untuk karyawan dan kendaraan tamu masuk perusahaan

7. Melakukan desinfektan peralatan,

penyemprotan,

insektisida terhadap serangga, lalat dan pembasmian terhadap hama-hama lainnya

7. Tidak melakukan desinfektan peralatan, penyemprotan, insektisida terhadap serangga, lalat dan pembasmian terhadap hama-hama lainnya

69 8. Melakukan pembersihan

dan pencucian kandang serta menyediakan pencucian hama

8. Melakukan pembersihan dan pencucian kandang namun tidak menyediakan pencucian hama

9. Memiliki program vaksinasi terhadap penyakit

9. Tidak memiliki program vaksinasi terhadap penyakit

10. Melakukan pelaporan kepada yang berwenang apabila ditemukan penyakit menular yang diatur dalam undang-undang

10. Tidak melakukan pelaporan kepada yang berwenang apabila ditemukan penyakit menular.

11. Mengeluarkan ternak yang mati dari kandang

untuk segera

Dokumen terkait