• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Sapi Simmental Roni di Desa Koto Tangah, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada bulan Januari sampai Februari 2011.

Materi

Ternak yang digunakan adalah ternak Sapi Simmental sebanyak 43 ekor. Ternak dikelompokkan berdasarkan umur yaitu ternak yang berumur <12 bulan (I0)14 ekor, 12-24 bulan (I1) 7 ekor, > 25 bulan (I2) 22 ekor.

Penelitian ini menggunakan beberapa alat. Alat-alat yang digunakan yaitu pita ukur dengan skala terkecil 0,1 cm, tongkat ukur, alat tulis dan borang Good

Farming Practices (GFP). Pita ukur dan tongkat ukur digunakan untuk mengukur

ukuran tubuh sapi.

Prosedur

Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Penentuan lokasi dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa peternakan Roni sebagai sentra pembibitan Sapi Simmental di Kabupaten Lima Puluh Kota Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.

Data primer diperoleh dari hasil pengukuran tubuh sapi dan wawancara langsung dengan peternak berdasarkan data kuisioner yang telah dipersiapkan. Pengukuran tubuh Sapi Simmental di Peternakan Roni dapat dilihat pada Gambar 2. Data kuisoner meliputi informasi mengenai peternak, data ternak sapi dan produktivitasnya. Data sekunder diperoleh dari rekording di peternakan dan pencatatan berbagai instansi terkait yaitu Sub Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota, Biro Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kantor Kecamatan Harau.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati adalah ukuran tubuh dan evaluasi pelaksanaan Good

dada, tinggi pundak, tinggi pinggul, lingkar dada dan lingkar pinggul. Metode pengukuran untuk masing-masing peubah (Gambar 2) berdasarkan metode Mc Nitt (1983) dan dilakukan sebagai berikut :

1. Panjang badan (cm) yaitu diukur dengan menggunakan tongkat ukur. Ternak diukur dalam posisi berdiri tegap dan kepala lurus ke depan. Panjang badan diukur dari tonjolan di bagian lengan kaki depan (tuber humerus) sampai pada tonjolan yang dekat dengan anus (tuber ischii);

2. Dalam dada (cm) yaitu diukur menggunakan tongkat ukur. Pengukuran dilakukan tepat di belakang bahu (scapula) lurus dari punggung hingga brisket; 3. Tinggi pundak/tinggi gumba (cm) yaitu diukur dengan menggunakan tongkat

ukur. Pengukuran dilakukan mulai dari titik tertinggi di antara bahu (withers) hingga lantai tempat berdiri;

4. Tinggi pinggul (cm) yaitu diukur menggunakan tongkat ukur. Pengukuran dilakukan tegak lurus dari permukaan teratas pinggul (tuber coxae), melalui pangkal persendian paha sampai ke permukaan tanah;

5. Lingkar dada (cm) yaitu diukur menggunakan pita ukur. Pengukuran dilakukan melingkar tepat di belakang tulang bahu (os scapula); dan

6. Lingkar pinggul (cm) yaitu diukur menggunakan pita ukur. Pengukuran dilakukan dengan melingkari bagian pinggul di depan kaki belakang (tuber

coxae).

Evaluasi Pelaksanaan Good Farming Practise (GFP) dilakukan dengan cara mengamati dan wawancara dengan peternak. Penerapan GFP meliputi beberapa aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan dan pengawasan.

Pengamatan aspek reproduksi dilakukan melalui wawancara langsung dengan peternak yaitu :

1. Calf crop(%) yaitu persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu

tahun dari seluruh induk yang diteliti. Dihitung melalui jumlah anak dibagi dengan populasi induk dikalikan 100%;

2. Service per conception (S/C) yaitu jumlah perkawinan yang dibutuhkan oleh

33 jumlah perkawinan inseminasi buatan yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan;

3. Bobot sapih (kg) yaitu bobot anak sapi pada saat disapih; dan 4. Bobot lahir (kg) yaitu bobot anak sapi pada saat dilahirkan.

Analisis Data

Data ukuran tubuh dan evaluasi penerapan GFP dianalisis secara deskripstif. Analisis deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran keadaan atau kondisi di Peternakan Roni dan karakterisasi ukuran tubuh Sapi Simmental. Analisis deskriptif ukuran tubuh sapi dilakukan dengan menghitung nilai rataan(X), simpangan baku(s) dan koefisien keragaman (KK) (Steel dan Torrie, 1995).

X

=

s = KK=

×

100%

Keterangan : X = nilai rataan

Xi = ukuran ke-i dari peubah X

n = jumlah contoh yang diambil dari populasi s = simpangan baku

Gambar 2. Pengukuran Ukuran Tubuh Sapi; a=Tinggi Pundak; b=Panjang Badan; c=Lingkar Dada; d= Dalam Dada; e=Tinggi Pinggul; f=Lingkar Pinggul

a e f c d b

35 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Keadaan Geografi

Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Sumatera Barat. Kabupaten ini terletak di bagian Timur wilayah Propinsi Sumatera Barat atau 124 km dari Kota Padang dan memiliki luas wilayah 3.354,30 km2. Kabupaten Lima Puluh Kota dikelilingi oleh empat kabupaten dan satu propinsi, yaitu : sebelah Utara-Timur berbatasan dengan Propinsi Riau, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Sijunjung dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman (Lampiran 1). Kecamatan Harau

Peternakan Sapi Simmental Roni terletak di Desa Kota Tengah, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Kecamatan Harau memiliki luas daratan mencapai 416,80 km2. Topografi Kecamatan Harau bervariasi antara datar, bergelombang dan berbukit-bukit. Ketinggian tempat dan keadaan iklim lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Ketinggian Tempat dan Keadaan Iklim Lokasi Penelitian

No Parameter Nilai

1 Suhu rata-rata oC 23

2 Kelembaban nisbi (%) 65

3 Ketinggian tempat (m dpl) 498

4 Curah Hujan (mm/th) 1.308-3.333

Sumber : BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2011)

Kecamatan Harau memiliki dua gunung yang tidak aktif lagi yaitu: Gunung Bungsu (1241 m dpl) dan Gunung Sanggul (1459 m dpl). Daerah tersebut memiliki ketinggian rata-rata 498 meter diatas permukaan laut. Suhu lingkungan pada siang hari berkisar 22-24 oC, sedangkan pada malam hari berkisar antara 16-20 oC dengan tingkat kelembaban 65%. Curah hujan relatif tinggi yaitu sekitar 1.308-3.333 mm/tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat Abidin (2006) yaitu sapi potong dapat

tumbuh optimal di daerah dengan suhu ideal yaitu 17-270 oC dan lokasi yang ideal untuk sapi potong adalah lokasi yang bercurah hujan 800-1.500 mm/tahun.

Jumlah penduduk Kabupaten Lima Puluh Kota adalah 336.067 jiwa. Sumber mata pencaharian di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 2. Sumber mata pencaharian masyarakat yang paling banyak adalah sebagai petani dan peternak yaitu sebesar 80%. Hal ini sangat mendukung perkembangan peternakan di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Tabel 2. Sumber Mata Pencaharian Masyarakat di Kabupaten 50 Kota

Sumber Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Nilai (%)

Petani dan peternak 137.716 80

Pedagang 25.821 15

Pegawai Negeri Sipil/TNI/Polri 5.164 3

Jasa dan buruh lainnya 3.444 2

Total 172.145 100

Sumber : BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2010)

Kabupaten Lima Puluh Kota mempunyai potensi yang dapat diandalkan dalam bidang pertanian untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Penggunaan lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penggunaan Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota

Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

Sawah 22.286 6,64 Pekarangan 8.325 2,48 Tegalan/Ladang 33.395 9,96 Penggembalaan/Padang Rumput 23.208 6,92 Hutan Rakyat 53.797 16,04 Hutan Negara 139.432 41,57 Perkebunan 47.971 14,30 Lain-lain 7.016 2,09 Total 313.430 100,00

37 Total luas sawah 22.286 ha dengan kisaran produksi 34.228 ton Gabah Kering Giling (GKG) setiap tahun berhubungan dengan produksi sisa-sisa pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak sapi seperti jerami padi (Dinas Pertanian Kabupaten Lima Puluh Kota, 2011).

Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota sebagian besar digunakan sebagai lahan pertanian produktif. Jenis penggunaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan sapi potong adalah hutan rakyat, perkebunan, sawah, penggembalaan/padang rumput dan tegalan/ladang. Ternak sapi yang dipelihara di lahan perkebunan sawit akan menguntungkan.

Lahan sawah mayoritas ditanami padi dengan periode tanam tiga kali per tahun. Lahan tegalan ditanami dengan tanaman palawija periode tanam dua kali per tahun. Hal ini akan berpotensi terhadap ketersediaan pakan.

Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian

Umur peternak yang menjadi responden yaitu 32 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur peternak masuk dalam kisaran umur produktif. Umur produktif menurut Djenen (1982) berkisar antara 20-40 tahun. Adiwilaga (1973) menyatakan bahwa peternak yang berada pada usia produktif akan lebih efektif dalam mengelola usahanya bila dibandingkan dengan peternak yang lebih tua.

Tingkat pendidikan berperan penting dalam pengembangan sumber daya masyarakat. Peternak responden memiliki latar belakang Sekolah Tinggi Keperawatan di Pekanbaru, Riau. Mosher (1983) menyatakan bahwa pendidikan merupakan faktor pelancar yang dapat mempercepat pembangunan pertanian. Pendidikan yang baik akan memudahkan seorang peternak dalam mengadopsi teknologi baru, mengembangkan ketrampilan dan memecahkan permasalahan yang dihadapi.

Beberapa alasan beternak Sapi Simmental adalah sebagai sumber penghasilan, turun temurun dan sebagai upaya untuk pengembangan bibit unggul di Kecamatan Harau. Pendapatan rata-rata peternak dari hasil penjualan sapi adalah di atas lima juta rupiah hingga mencapai dua puluh juta per bulan. Pendapatan ini dihitung berdasarkan hasil penjualan sapi umur 6-12 bulan dan jumlah anak yang dihasilkan dibagi per bulan. Pendapatan yang di atas rata-rata menjadi motivasi bagi

peternak lain untuk lebih mengembangkan usaha ternak sapi khususnya peternak yang ada di sekitar Peternakan Roni.

Populasi Sapi Potong

Budidaya ternak yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Harau antara lain sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, ayam ras petelur, ayam buras, ayam pedaging dan puyuh. Populasi ternak sapi potong dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya menduduki peringkat pertama pada tahun 2009 di Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu sebanyak 63.214 ekor. Perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota meningkat selama tiga tahun terakhir terutama sapi betina yaitu sebesar 12,19%.

Ternak yang dipelihara di Kabupaten Lima Puluh Kota berasal dari berbagai wilayah di Pulau Sumatera. Ternak ruminansia besar berasal dari daerah-daerah di Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Bengkulu, sedangkan ternak unggas sebagian didatangkan dari Sumatera Utara. Beberapa daerah tujuan hasil ternak yang ada di Kabupaten 50 Kota yaitu Propinsi Riau, Bukittinggi, Payakumbuh, Kepulauan Riau, Palembang, Bangkulu, Sumatera Utara, Agam, Jambi dan Pekanbaru.

Jumlah pemotongan ternak ruminansia besar yaitu sapi potong menurun dari tahun 2008 sebanyak 4.655 ekor menjadi 3.955 pada tahun 2009. Pemotongan yang dilakukan terutama pada sapi betina sebesar 1.048 ekor.

Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu sentra produksi daging ruminansia besar di Sumatera Barat. Total produksi daging di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2009 yaitu 909.428 kg. Sapi potong menyumbang produksi daging paling besar yaitu 828.128,07 kg.

Keadaan Ternak Sapi di Peternakan Roni

Peternakan Sapi Simmental Roni berdiri sejak tahun 2001. Jumlah ternak sapi ketika pertama kali dipelihara yaitu 2 ekor betina dara. Pertambahan ternak selama satu tahun terakhir yaitu 37 ekor. Jumlah ternak sapi yang dipelihara saat ini yaitu jantan pedet 1 ekor, betina dewasa 28 ekor, betina muda 4 ekor dan betina pedet 10 ekor. Perbandingan jumlah ternak sapi betina yang dipelihara lebih banyak daripada pejantan karena dapat memberi nilai tambah berupa anak. Sapi jantan umumnya dijual pada umur 6-12 bulan. Bibit ternak tahun pertama pemeliharaan berasal dari

39 pasar ternak yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Sapi dikawinkan dengan cara kawin IB. Semen pejantan yang digunakan yaitu bangsa Simmental dan berasal dari Balai Inseminasi Buatan Kabupaten Lima Puluh Kota.

Produktivitas Ternak Sapi

Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu tertentu. Produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Seiffert, 1978).

Reproduksi

Karakteristik reproduksi indukan Sapi Simmental dapat dilihat pada Tabel 4. Umur berahi pertama Sapi Simmental di Peternakan Roni sesuai dengan hasil survei Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu 12 bulan. Hal ini disebabkan pemberian pakan yang berkualitas selama pemeliharaan. Selain itu, suhu lingkungan juga memiliki peranan penting terhadap umur berahi. Suhu di Peternakan Roni rata-rata 23 oC sesuai dengan suhu nyaman ternak Sapi Simmental yaitu <25 oC, sehingga kapasitasi sperma pada saluran reproduksi betina dapat berjalan normal (Hafez dan Hafez, 2000).

Tabel 4. Karakteristik Reproduksi Indukan Sapi Simmental di Peternakan Roni

Sifat Reproduksi Peternakan Roni Literatur

Umur berahi pertama (bulan) 12 12 a)

Umur kawin pertama (bulan) 18 24a)

Lama berahi (jam) 20 17-20a)

Panjang siklus berahi (hari) 18 18-21a)

Service per conception 1,2 1,5-1,76b)

Angka kebuntingan (%) 82 72,22b)

Lama kebuntingan (bulan) 9 285a)

Persentase kelahiran (%) 90 94,44b)

Calf crop (%) 95 65-85a)

Umur kematian anak (%) - -

Berahi kembali setelah melahirkan (bulan)

2-3 3c)

Selang beranak (hari) 365 450c)

Beranak pertama (bulan) 28 31-32c)

Sumber : a)Dinas Peternakan Kabupaten 50 Kota (2004), b) Nuryelliza et al. (2008), c)Iskandar dan Arfa’i (2007)

Umur kawin pertama terjadi pada umur 18 bulan. Umur kawin pertama sapi di Peternakan Roni lebih cepat dibandingkan laporan Dinas Peternakan Kabupaten 50 Kota (2004) yaitu 24 bulan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pemberian pakan bernutrisi, manajemen pemeliharaan yang baik dan penataan lingkungan yang nyaman bagi ternak sehingga dewasa tubuh yang dicapai lebih cepat.

Sapi betina muda yang diberi nutrisi yang baik mencapai pubertas pada umur 9 bulan dan dikawinkan pada umur 18 bulan (Djanuar, 1985). Faktor utama yang mempengaruhi umur berahi pertama di Peternakan Roni yaitu bangsa sapi dan keadaan pakan yang berkualitas. Seekor ternak betina akan mengalami kesulitan beranak jika dikawinkan pada saat pubertas (Nuryadi, 2007).

Lama berahi dan panjang siklus berahi berdasarkan hasil wawancara masing-masing adalah 20 jam dan 18 hari. Menurut Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota (2004) adalah 18-21 hari dengan lama berahi yaitu 17-20 jam. Lama berahi setiap jenis ternak berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, musim, ketersediaan pejantan dan bobot badan.

Nuryadi (2007) menyatakan bahwa keberhasilan perkawinan pada induk sapi ditunjukkan dengan adanya kebuntingan dan dipengaruhi oleh faktor kesuburan induk betina, kesuburan pejantan dan tatalaksana perkawinan. Nilai S/C yang diperoleh dari hasil penelitian adalah 1,2. Nilai ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Nuryelliza (2008) yaitu 1,5-1,76. Nilai yang rendah mengindikasikan bahwa pelayanan IB yang dibutuhkan sapi sampai terjadi kebuntingan hanya sedikit.

Angka kebuntingan Sapi Simmental di Peternakan Roni menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Nuryelliza (2008) yaitu 82%. Penelitian Nuryelliza (2008) menunjukkan angka kebuntingan sebesar 72,22%. Angka kebuntingan yang tinggi di Peternakan Roni dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kesuburan ternak, kondisi pada saat inseminasi dan deteksi estrus yang tepat. Menurut Tarmudji et al. (2001) secara normal suatu kelompok ternak sapi yang dikelola dengan baik menunjukkan angka konsepsi 65-70%.

Calf crop adalah persentase jumlah anak saat lepas sapih yang hidup dalam

satu tahun dari seluruh induk yang diteliti. Calf crop ternak Sapi Simmental di peternakan Sapi Simmental Roni adalah 95%. Faktor yang mempengaruhi tingginya

41

calf crop di Peternakan Roni adalah ketepatan waktu kawin, kasus penyakit jarang

ditemukan dan pakan yang diberikan berkualitas baik.

Waktu yang diperlukan oleh induk untuk berahi kembali setelah melahirkan di Peternakan Roni relatif lebih cepat dibandingkan dengan hasil penelitian Iskandar dan Arfa’i (2007) yaitu 2-3 bulan. Hal ini disebabkan oleh hijauan pakan yang tersedia baik jumlah maupun mutu sesuai dengan kondisi setempat (musim hujan). Gejala estrus kembali setelah melahirkan diduga disebabkan oleh kondisi tubuh, lingkungan, pemeliharaan dan ketersediaan pakan (Yanhendri, 2007). Pakan berpengaruh yang sangat besar terhadap penundaan aktifitas estrus setelah melahirkan. Perbaikan pakan harus dilakukan pada triwulan terakhir dari kebuntingan, sapi yang kehilangan berat badan yang ekstrim sering gagal memperlihatkan gejala estrus (Spitzer, 1987).

Selang beranak Sapi Simmental di Peternakan Roni lebih cepat dibandingkan laporan Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota (2004) yaitu 365 hari. Selang beranak pada sapi sangat ditentukan oleh kemunculan estrus setelah melahirkan, perkawinan yang terjadi setelah melahirkan dan jumlah perkawinan setelah melahirkan. Pada sebagian ternak, aktifitas menyusui akan menunda terjadinya estrus kembali setelah melahirkan. Selain itu selang beranak di peternakan ini juga dipengaruhi oleh lingkungan dan penerapan manajemen pemeliharaan yang cukup baik.

Produksi

Sapi Simmental termasuk sapi yang memiliki bobot lahir yang tinggi dibandingkan dengan bangsa sapi potong Hereford dan Angus. Bobot lahir Sapi Simmental di Peternakan Roni adalah sebesar 35 kg. Menurut Rincker et al. (2006) bobot lahir Sapi Simmental bisa mencapai 44,1 kg. Rendahnya bobot lahir disebabkan oleh manajemen pemeliharaan induk bunting yang kurang baik.

Bobot sapih adalah bobot anak sapi pada saat dipisahkan dari induknya (Hardjosubroto, 1994). Bobot sapih anak sapi di Peternakan Roni yaitu 125-175 kg dengan umur sapih 7 bulan. Bobot sapih yang tinggi dipengaruhi oleh bobot lahir dan manajemen pemeliharaan anak, terutama pemberian pakan selama penyapihan.

Performa produksi ternak sapi dapat dilihat dan diukur dengan mengetahui ukuran tubuh dan kondisi ternak. Ukuran tubuh dianggap sebagai indikator penting

dalam menentukan kematangan ternak. Bangsa Sapi Simmental merupakan bangsa tipe kerangka besar. Sapi dengan tipe kerangka besar memiliki perdagingan yang lebih banyak dibandingkan sapi tipe kerangka kecil (Williams, 1982).

Ukuran Tubuh

Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengetahui produktivitas ternak adalah ukuran tubuh (Sariubang dan Tambing, 2008). Rataan ukuran tubuh Sapi Simmental di Kecamatan Harau disajikan pada Tabel 5. Peningkatan ukuran tubuh terutama pada tinggi pinggul dan tinggi pundak yang relatif lebih tinggi pada kelompok umur dua tahun yaitu 146,78±12,71 cm dan 145,91±14,51 cm, sedangkan pada umur >2 tahun sapi tersebut menunjukkan laju pertumbuhan yang menurun.

Tabel 5. Rataan Ukuran Tubuh Sapi Simmental di Peternakan Roni, Kecamatan Harau

Peubah Kelompok Umur

I0 (<12 bulan) I1 (12-24 bulan) I2 (>25 bulan) --- x ± sb (KK) --- Panjang Badan (cm) 103,47±8,41 8,13 148,62±13,73 9,24 159,39±3,92 2,46 Dalam Dada (cm) 50,86±15,30 30,08 96,36±5,29 5,49 106,43±10,42 9,79 Lingkar Pinggul (cm) 115,26±22,56 19,57 166,05±11,67 7,03 185,37±12,21 6,58 Lingkar Dada (cm) 116±10,82 9,27 167,60±9,43 5,63 193,77±8,66 4,47 Tinggi Pinggul (cm) 93,42±17,55 18,78 146,78±12,71 8,66 158,58±8,35 5,27 Tinggi Pundak (cm) 94,81±18,62 19,64 145,91±14,51 9,95 159,16±8,19 5,15 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%), sb = simpangan baku

Deni (2006) menyatakan bahwa tinggi pundak dan tinggi pinggul Sapi Simmental × Bali (SimBa) umur dua tahun yaitu 111,4±2,0 cm dan 106,1±1,9 cm. Pertumbuhan dan perkembangan tulang tercapai sebelum ternak dewasa kelamin. Setelah sapi mencapai dewasa kelamin pertumbuhan tulang akan terhenti karena osifikasi tulang rawan sudah sempurna (Field and Taylor, 2002).

43 Menurut Williams (1982) sapi tipe kerangka besar memiliki tingkat perdagingan yang lebih besar daripada sapi tipe kerangka kecil. Ukuran lingkar dada Sapi Simmental×Bali betina pada umur 1, 2 dan >3 tahun masing-masing adalah 131,5±7,1; 143±5,4 dan 157,5±3,6 cm (Deni, 2006). Bobot potong yang semakin tinggi menyebabkan perlemakan dan perdagingan di daerah dada semakin meningkat (Sariubang dan Tambing, 2008).

Koefisien keragaman berdasarkan Tabel 5 digunakan untuk melihat tingkat keragaman ukuran tubuh sapi pada setiap kelompok, semakin tinggi nilai koefisien keragaman berarti ukuran tubuh sapi pada kelompok tersebut beragam. Tabel 5 menunjukkan bahwa koefisien keragaman paling tinggi adalah kelompok ternak I0 yaitu 8,13–30,08%. Tingkat keragaman yang tinggi pada kelompok umur I0 disebabkan sapi masih dalam fase pertumbuhan. Sapi mencapai dewasa tubuh pada umur dua tahun dan pada fase tersebut pertumbuhan otot mencapai klimaks dengan laju pertumbuhan yang mulai menurun (Philips, 2001).

Evaluasi Penerapan Good Farming Practices (GFP)

Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2000) Good Farming Practices (GFP) meliputi empat aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan dan pengawasan. Hasil penerapan aspek Good Farming Practices di Peternakan Roni, Harau-Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Lampiran 5 sampai 8.

Sarana

Penerapan GFP secara keseluruhan belum memenuhi persyaratan seperti pemeriksaan baku mutu air dan kualitas air secara berkala. Selain itu, alat penerangan (lampu) pada setiap kandang tidak ada. Berdasarkan GFP Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2000) aspek sarana yang baik meliputi lokasi, lahan, penyediaan air dan alat penerangan, bangunan, alat dan mesin peternakan, bibit/bakalan, pakan, obat hewan dan tenaga kerja sesuai dengan persyaratan peternakan nasional.

Lokasi Peternakan Roni sudah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD). Letak dan ketinggian lokasi terhadap wilayah sekitarnya sudah memperhatikan lingkungan dan topografi sehingga kotoran dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan.

Peternakan Roni terletak sekitar 2 km dari jalan raya dan memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 489 m di atas permukaan laut.

Bangunan yang diperlukan untuk usaha peternakan sapi potong yaitu kandang pemeliharaan, kandang isolasi sapi yang sakit, gudang pakan dan peralatan, barak pekerja, unit penampungan dan pengolahan limbah. Kandang isolasi ternak yang sakit tidak terdapat di Peternakan Roni. Hal ini dapat membahayakan ternak sapi yang sehat. Menurut Office International des Epizooties (OIE) (2006) bangunan dan fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di dalamnya dapat menjadi sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan ternak secara langsung dan tidak langsung.

Konstruksi bangunan di Peternakan Roni belum memenuhi standar GFP. Bangunan kandang di Peternakan Roni terbuat dari bahan yang mudah patah sehingga anak sapi khususnya dapat dengan mudah keluar dari kandang.

Letak kandang dan bangunan lain menurut GFP harus ditata sedemikian rupa agar memudahkan karyawan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan oleh limbah yang dihasilkan. Kandang ternak cukup sirkulasi udara, sehingga di dalam kandang akan selalu terdapat udara yang segar, bersih dan sehat.

Ventilasi kandang yang sempurna menguntungkan ternak di dalam kandang, karena ventilasi bermanfaat untuk mengeluarkan udara kotor dari dalam kandang dan menggantinya dengan udara segar dari luar kandang. Letak kandang sebagian besar menghadap ke arah sinar matahari. Sinar matahari pagi banyak mengandung sinar ultraviolet. Sinar matahari pagi sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan ternak karena dapat membantu proses pembentukan vitamin D, membunuh bibit penyakit dan dapat mempercepat pengeringan kandang yang basah akibat air kencing dan lainnya. Kandang yang basah menyebabkan kelembaban. Kelembaban kandang berpengaruh terhadap kesehatan ternak, pertumbuhan dan perkembangan bibit penyakit. Kelembaban kandang disebabkan oleh beberapa hal yaitu berasal dari tubuh ternak itu sendiri, kotoran dan air kencing serta percikan air minum.

Dokumen terkait