• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS INDUKAN SAPI SIMMENTAL PADA UMUR YANG BERBEDA DENGAN PEMELIHARAAN INTENSIF (STUDI KASUS DI PETERNAKAN RONI, HARAU, KABUPATEN 50 KOTA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKTIVITAS INDUKAN SAPI SIMMENTAL PADA UMUR YANG BERBEDA DENGAN PEMELIHARAAN INTENSIF (STUDI KASUS DI PETERNAKAN RONI, HARAU, KABUPATEN 50 KOTA)"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS INDUKAN SAPI SIMMENTAL PADA UMUR

YANG BERBEDA DENGAN PEMELIHARAAN INTENSIF

(STUDI KASUS DI PETERNAKAN RONI,

HARAU, KABUPATEN 50 KOTA)

SKRIPSI ROCEYANA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

RINGKASAN

RINGKASAN

Roceyana. D14070147. 2011. Produktivitas Indukan Sapi Simmental pada Umur yang Berbeda dengan Pemeliharaan Intensif (Studi Kasus di Peternakan Roni, Harau, Kabupaten 50 Kota). Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hj. Komariah, M. Si. Pembimbing Anggota : Ir. Sri Darwati, M. Si.

Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia dan perubahan pola konsumsi berdampak terhadap penyediaan daging yang belum mencukupi. Perlu diupayakan peningkatan produksi daging melalui perbaikan produktivitas ternak pedaging terutama sapi pedaging.

Simmental merupakan sapi pedaging turunan Bos taurus yang dikembangkan di Lembah Simme, Switzerland dan Swiss. Pertumbuhan ototnya bagus dan penimbunan lemak di bawah kulit rendah sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu komoditas yang berpotensi dalam penyediaan daging.

Penelitian yang dilaksanakan di Peternakan Roni, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 23 Januari sampau 23 Februari 2011 ini bertujuan untuk mengkaji produktivitas indukan Sapi Simmental di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Data produktivitas ditinjau dari aspek produksi dan reproduksi. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu ukuran tubuh dan hasil wawancara aspek produksi dan reproduksi.. Data sekunder meliputi rekording di peternakan dan pencatatan berbagai instansi terkait yaitu Sub Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota, Biro Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kantor Kecamatan Harau.

Ukuran panjang badan, dalam dada, lingkar pinggul, lingkar dada, tinggi pinggul dan tinggi pundak sapi umur <2 tahun masing-masing yaitu 148,62±13,73 cm; 96,36±5,29 cm; 166,05±11,67 cm; 167,60±9,43 cm; 146,78±12,71 cm dan 145,91±14,51 cm. Umur berahi pertama yaitu 12 bulan dan umur kawin pertama terjadi pada umur 18 bulan. Lama berahi dan panjang siklus berahi masing-masing adalah 20 jam dan 18 hari. Waktu yang diperlukan untuk memperoleh berahi kembali setelah melahirkan yaitu 60-90 hari dan selang beranak 330 hari. Bobot lahir Sapi Simmental adalah sebesar 35 kg dengan umur sapih 7 bulan.

Produktivitas indukan Sapi Simmental di Peternakan Roni adalah tinggi berdasarkan bobot sapih anak, nilai S/C, angka kebuntingan dan calf crop sapi masing-masing sebesar 125-175; 1,2; 82% dan 95%.Ketercapaian penerapan GFP di Peternakan Roni yaitu 20%.

(3)

xi ABSTRACT

Productivity of Simmental Cow at The Different Age With Intensive Maintenance (Case Study in Roni Farm, Harau,

Regency of 50 Kota)

Roceyana, Komariah and S. Darwati

Increasing of Indonesian population and changing of impacted consumption pattern to supplies meat that haven't sufficed. Required to increasing of meat product by way of improvement productivity beef cattle. The objective of this research was to observe the productivity of Simmental Cattle at the different age based on body measurements, reproduction and productivity. Simmental Cattle belongs to a

BosTaurus beef cattle category which has an accelerated growth. Research was conducted by the use of primary and secondary data. The result of primary observation shows that Simmental Cattle which were kept at A ranch at Harau subdistrict, Regency of 50 Kota have biggest body measurement. Footage body length, chest depth, hip girth, chest girth, hip height and wither height cattle at the age <2 years each which was 148,62±13,73 cm; 96,36±5,29 cm; 166,05±11,67 cm; 167,60±9,43 cm; 146,78±12,71 cm and 145,91±14,51 cm. Productivity of Simmental Cow is high, can see by weaning weight of Simmental, service per conception point and calf crop each which was 125- 175 kg; 1,2; 82% and 95%. Achieving implementation of Good Farming Practices (GFP) was 20%.

(4)

ix

PRODUKTIVITAS INDUKAN SAPI SIMMENTAL PADA UMUR

YANG BERBEDA DENGAN PEMELIHARAAN INTENSIF

(STUDI KASUS DI PETERNAKAN RONI,

HARAU, KABUPATEN 50 KOTA)

SKRIPSI ROCEYANA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(5)

PRODUKTIVITAS INDUKAN SAPI SIMMENTAL PADA UMUR

YANG BERBEDA DENGAN PEMELIHARAAN INTENSIF

(STUDI KASUS DI PETERNAKAN RONI,

HARAU, KABUPATEN 50 KOTA)

ROCEYANA D14070147

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(6)

xiii \

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 20 November 1989 di Gunung Melintang, Sumatera Barat. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Wagiman dan Ibu Ngatmini.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri 30 Pulutan, Sumatera Barat dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Harau, Sumatera Barat. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Harau Sumatera Barat pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2008. Penulis pernah memenangkan beberapa perlombaan seperti Lomba Baca Puisi IPB Art Contest 2008 (Juara 3) dan D’Farm Festival pada tahun 2009 dan 2010 (Juara 1).

(8)

xv KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke-Hadirat Allah SWT atas limpahan karunia dan kasih sayangnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Produktivitas Indukan Sapi Simmental pada Umur yang Berbeda dengan Pemeliharaan Intensif (Studi Kasus di Peternakan Roni, Harau, Kabupaten 50 Kota). Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Produktivitas ternak pedaging khususnya sapi dapat ditinjau dari segi produksi dan reproduksi. Populasi ternak sapi pedaging yang belum mencukupi salah satunya dipengaruhi oleh tingkat produktivitas yang rendah. Pengkajian mengenai produktivitas perlu dilakukan agar peningkatan populasi ternak sapi pedaging dapat terwujud.

Penelitian ini mengkaji penerapan Good Farming Practices (GFP) Sapi Simmental di Peternakan Roni, Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini merupakan informasi mengenai GFP Sapi Simmental di Peternakan Roni sehingga diharapkan meningkatkan produktivitas.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Tidak ada manusia yang sempurna, begitupun dengan skripsi ini yang masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan skripsi ini di masa yang akan datang. Penulis berharap agar skripsi ini tidak hanya sebagai pelengkap di perpustakaan, tetapi lebih dari itu dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan. Semoga Allah SWT melimpahkan karunia dan kasih sayangnya kepada kita semua.

Bogor, Agustus 2011

(9)

DAFTAR ISI RINGKASAN ... ii ABSTRACT ... iii LEMBAR PERNYATAAN ... iv LEMBAR PENGESAHAN ... v RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xvi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Sapi Pedaging ... 3 Sapi Simmental ... 4 Sistem Pemeliharaan ... 4 Pertumbuhan ... 5 Produktivitas Ternak ... 6 Reproduksi ... 7 Pubertas ... 7

Service per Conception (S/C) ... 8

Siklus Berahi dan Lama Berahi ... 8

Umur Kawin Pertama ... 8

Angka Kebuntingan dan Lama Bunting ... 8

Selang Beranak ... 9

Calf Crop ... 9

Berahi Setelah Melahirkan ... 9

Produksi ... 10

Ukuran Tubuh ... 10

Pakan ... 10

Good Farming Practices (GFP) ... 11

MATERI DAN METODE ... 12

Lokasi dan Waktu ... 12

Materi ... 12

Prosedur ... 12

Peubah yang Diamati ... 12 Halaman

(10)

xvii

Analisis Data ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Keadaan Umum ... 16

Keadaan Geografi ... 16

Kecamatan Harau ... 16

Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian ... 18

Populasi Ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota ... 18

Keadaan Ternak Sapi di Peternakan Roni ... 19

Produktivitas Ternak Sapi ... 20

Reproduksi ... 20

Produksi ... 22

Ukuran Tubuh ... 23

Evaluasi Penerapan Good Farming Practices (GFP) ... 24

Sarana ... 24

Proses Produksi ... 28

Pelestarian Lingkungan ... 29

Pengawasan ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

Kesimpulan ... 30

Saran ... 30

UCAPAN TERIMA KASIH ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Ketinggian Tempat dan Keadaan Iklim Lokasi Penelitian... 15 2. Sumber Mata Pencaharian Masyarakat di Kecamatan Harau ……… 16 3. Penggunaan Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota ……….. 16 4. Karakteristik Reproduksi Indukan Simmental di Peternakan Roni … 20 5. Rataan Ukuran Tubuh Sapi Simmental di Peternakan Roni ………... 23 6. Kandungan Zat Makanan pada Bahan Pakan pada Peternakan Roni

(12)

19

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ………... 37

2. Data Analisa Deskriptif Ukuran Tubuh Sapi ……… 38 5. Sarana dan Prasarana di Peternakan Roni ………. 39 6. Keadaan Ternak Sapi Simmental di Peternakan Roni ……….. 40 7. Hasil Evaluasi Aspek Sarana Penerapan GFP Sapi Simmental

di Peternakan Roni ………

41 8. Hasil Evaluasi Aspek Sarana Penerapan GFP Sapi Simmental

di Peternakan Roni ………

47 9. Hasil Evaluasi Aspek Sarana Penerapan GFP Sapi Simmental

di Peternakan Roni ………

53 10. Hasil Evaluasi Aspek Sarana Penerapan GFP Sapi Simmental

di Peternakan Roni ………

55 10. Evaluasi Penerapan Standart Operating Procedure (SOP) ….. 57

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah serta adanya perubahan pola konsumsi dan selera masyarakat menyebabkan konsumsi daging secara nasional pada tahun 2008 sebesar 6,43 kg/kapita/tahun meningkat menjadi 6,60 kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik, 2010). Produksi daging khususnya daging sapi belum dapat memenuhi kebutuhan nasional. Jumlah populasi sapi pedaging nasional tahun 2010 mencapai 13.632.685 ekor dengan produksi daging yaitu sebesar 435.298 ton (Badan Pusat Statistik, 2010) belum mencukupi dengan kondisi ternak yang kurang bagus terutama dalam hal produktivitas. Masalah tersebut dapat diatasi salah satunya dengan melakukan pengembangan populasi sapi pedaging melalui peningkatan produktivitas.

Produktivitas ternak adalah hasil yang diperoleh seekor ternak pada ukuran waktu tertentu. Menurut Hardjosubroto (1994) produktivitas ditentukan oleh dua aspek yaitu produksi dan reproduksi. Produksi yang tinggi bisa dilihat dari ukuran tubuh sapi karena memiliki angka ripitabilitas yang cukup tinggi yaitu 70-90% (Pane, 1985).

Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai salah satu sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat memiliki potensi pengembangan di masa mendatang. Wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota cukup strategis karena berbatasan dengan Riau yang merupakan konsumen terbesar produk sapi potong. Jumlah ternak sapi yang dibawa keluar propinsi terutama Riau dan Sumetera Utara yaitu sebesar 15.000 ekor/tahun (Dinas Peternakan Sumatera Barat, 2010). Rata-rata pertumbuhan ternak sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota dalam tiga tahun terakhir adalah sebesar 10,37% per tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang dipotong dalam periode yang sama menurun menjadi 6,57% (Badan Pusat Statistik, 2009).

Sapi potong yang paling banyak diminati saat ini di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah Sapi Simmental. Populasi Sapi Simmental di Indonesia pada tahun 2009 berjumlah 1.217.000 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Ukuran dan pertumbuhannya yang cepat serta performa yang baik menyebabkan Sapi Simmental banyak dipelihara. Sapi Simmental berasal dari Switzerland, mempunyai sifat jinak, tenang dan mudah dikendalikan. Sapi ini memiliki pertambahan bobot badan

(14)

21 berkisar antara 0,6 sampai 1,5 kg/hari. Bobot betina dewasa mampu mencapai 726 kg (Ensminger, 1991).

Melihat potensi yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota maka perlu adanya upaya pengembangan ternak sapi potong yang disesuaikan dengan kondisi daerah, karakteristik peternak dan manajemen produksi sapi potong di daerah tersebut. Berdasarkan hal tersebut diperlukan data-data mengenai produktivitas ternak sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Tujuan

Magang penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memberikan informasi mengenai produktivitas indukan Sapi Simmental yang dipelihara secara intensif di Peternakan Roni, Harau, Kabupaten 50 Kota berdasarkan penerapan Good

Farming Practices (GFP), penampilan produksi dan reproduksi. Diharapkan

informasi ini dapat dijadikan data bagi pengembangan potensi indukan Sapi Simmental selanjutnya.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Pedaging

Bangsa sapi pedaging di dunia dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bangsa Sapi Kontinental Eropa, Sapi Inggris dan Sapi Persilangan Brahman (India). Bangsa sapi keturunan kontinental Eropa disebut juga dengan bangsa sapi eksotik. Sapi-sapi yang termasuk ke dalam golongan bangsa sapi ini adalah Sapi Charolais, Chianina, Gelbvieh, Limousin, Maine Anjou, Salers dan Simmental (Blakely dan Bade, 1991).

Bangsa sapi eksotik sebagian besar sapi pendatang baru di Amerika Serikat. Sapi Charolais berasal dari Charolles, Perancis. Sapi ini adalah jenis sapi dwiguna yaitu untuk keperluan tenaga/tarik dan produksi daging. Sapi Charolais tergolong sapi yang berukuran besar. Sapi Chianina dikembangkan di Chianina Valley, Italia. Sapi ini dipelihara untuk tujuan ganda yaitu sebagai penghasil daging, susu dan hewan pekerja. Ukurannya yang sangat besar dan pertumbuhannya yang cepat membuat sapi ini disukai peternak. Sapi Gelbiev memiliki ukuran badan yang besar dan perdagingan yang baik. Sapi Limousin berasal dari sebuah propinsi di Perancis yang banyak berbukit batu. Warnanya mulai dari kuning sampai merah keemasan. Fertilitas sapi ini cukup tinggi, mudah melahirkan, mampu menyusui dan mengasuh anak dengan baik serta pertumbuhannya cepat. Sapi Maine Anjou menghasilkan karkas yang mengandung sedikit lemak. Sapi Simmental (Swiss) bertanduk kecil, bulu berwarna coklat muda atau kekuning-kuningan (Blakely dan Bade, 1991).

Bangsa Sapi Inggris yang terkenal adalah Angus, Hereford dan Shorthon. Angus berasal dari Skotlandia Timur Laut. Sapi ini berwarna hitam, tidak bertanduk, mempunyai bulu yang halus dan ukuran badannya relatif kecil. Sapi Hereford memiliki ukuran badan medium sampai berat dan perdagingannya tebal. Sapi Shorthon memiliki tanduk yang pendek, warna bulu yang khas dan ukuran badannya besar dibandingkan dengan kebanyakan bangsa sapi lainnya. Sapi Brahman merupakan bangsa sapi yang dikembangkan di Amerika Serikat dengan mencampurkan darah tiga bangsa Sapi India yaitu bangsa-bangsa Gir, Guzerat dan Nellore. Sapi ini ukuran medium, ketahanannya terhadap kondisi tatalaksana yang sangat minimal, toleransinya terhadap panas, kemampuan mengasuh anak serta daya tahan terhadap kondisi yang jelek (Blakely dan Bade, 1991).

(16)

23 Sapi Simmental

Simmental merupakan sapi potong turunan Bos taurus yang dikembangkan di Lembah Simme, Switzerland dan Swiss. Pertumbuhan ototnya bagus dan penimbunan lemak di bawah kulit rendah. Jenis sapi ini dikembangkan di Australia dan Selandia Baru sejak tahun 1972 lewat introduksi semen beku dari Inggris dan Kanada (Blakely dan Bade, 1991).

Simmental berwarna merah, bervariasi mulai dari yang gelap sampai hampir kuning dengan totol-totol serta mukanya yang berwarna putih. Sapi ini terkenal karena kemampuannya menyusui anak yang baik serta pertumbuhannya juga cepat, badannya panjang dan padat. Sapi ini termasuk yang berukuran berat baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa (Blakely dan Bade, 1991).

Anak sapi yang berumur 2 tahun pertumbuhannya pesat sekali. Semua jenis hijauan dapat diberikan pada sapi ini termasuk jerami kering. Sapi yang berumur 23 bulan bobotnya mencapai 800 kg dan pada umur 2,5 tahun bobot sapi mencapai 1,1 ton (Gambar 1).

Gambar 1. Sapi Simmental

Sumber : Disnak Sumatera Barat (2010)

Sistem Pemeliharaan

Menurut Adrial (2010) sistem pemeliharaan ternak sapi yang baik akan memberikan hasil produksi yang baik pula. Sistem pemeliharaan pada ternak sapi yang sering digunakan terdiri atas tiga bagian yaitu ekstensif, intensif dan semi intensif (Sanvorini, 2002)

Sistem ekstensif, pemeliharaannya di padang penggembalaan dengan pemberian peneduh untuk sapi. Sistem pemeliharaan secara ekstensif yaitu sapi

(17)

dilepaskan sepanjang hari tanpa ada perhatian khusus dari pemiliknya. Sapi mendapatkan hijauan dari merumput.

Menurut Philips (2001) sistem pemeliharaan intensif merupakan sistem pemeliharaan, sapi dipelihara dalam kandang dengan pemberian pakan konsentrat berprotein tinggi dan juga terkadang ditambahkan dengan hijauan. Sistem pemeliharaan secara intensif akan meningkatkan berat badan ternak. Selain pola pemeliharaan intensif, dikenal juga sistem pemeliharaan secara semi intensif yaitu ternak dilepaskan pada siang hari kemudian pada sore hari dimasukkan kembali ke kandang (Sanvorini, 2002). Sistem pemeliharaan semi intensif merupakan sistem yang memelihara sapi selain dikandangkan, juga digembalakan di padang rumput (Phillip, 2001). Pada malam hari sapi-sapi tersebut diberi pakan tambahan berupa hijauan rumput atau daun-daunan dan pakan penguat berupa dedak halus yang dicampur dengan sedikit garam (Parakkasi, 1999).

Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah pertambahan berat badan atau ukuran tubuh sesuai dengan umur, sedangkan perkembangan berhubungan dengan adanya perubahan ukuran serta fungsi dari berbagai bagian tubuh semenjak embrio sampai menjadi dewasa. Menurut Anggorodi (1994) pertumbuhan biasanya dimulai perlahan-lahan kemudian mulai berlangsung lebih cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi atau sama sekali berhenti sehingga membentuk kurva pertumbuhan yang berbentuk sigmoid.

Pertumbuhan yang cepat terjadi pada periode lahir hingga usia penyapihan dan pubertas, namun setelah usia pubertas hingga usia dewasa, laju pertumbuhan mulai menurun dan akan terus menurun hingga usia dewasa. Pada usia dewasa, pertumbuhan sapi berhenti. Sejak sapi dilahirkan sampai dengan usia pubertas (sekitar umur 8-10 bulan) merupakan fase hidup sapi yang laju pertumbuhannya sangat cepat. Field dan Taylor (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan tulang tercapai sebelum ternak dewasa kelamin. Setelah sapi mencapai dewasa kelamin pertumbuhan tulang akan terhenti karena osifikasi tulang rawan sudah sempurna.

Pertambahan bobot badan sapi ditentukan oleh berbagai faktor, terutama jenis sapi, jenis kelamin, umur, ransum dan teknik pengelolaannya. Lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ternak. Menurut Prasojo et al. (2010)

(18)

25 bahwa ternak yang dipelihara pada lingkungan bertemperatur tinggi akan memiliki bobot yang lebih rendah dibandingkan ternak yang dipelihara pada lingkungan yang bertemperatur rendah.

Sapi mencapai kedewasaan pada umur dua tahun dan pada fase tersebut pertumbuhan otot mencapai klimaks dengan laju pertumbuhan yang mulai menurun (Philips, 2001). Pertumbuhan mempunyai dua aspek yaitu menyangkut peningkatan massa per satuan waktu dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan komposisi tubuh sebagai akibat dari pertumbuhan diferensial komponen-komponen tubuh (Berg dan Butterfild, 1976).

Produktivitas Ternak

Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu tertentu. Produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Seiffert, 1978). Menurut Djanuar (1985) aspek produktivitas sapi potong dapat ditingkatkan baik melalui modifikasi lingkungan atau mengubah mutu genetiknya.

Menurut Tanari (2001) bahwa yang termasuk dalam komponen performa produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan. Tingkat produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor kemampuan genetik, faktor lingkungan serta interaksi antar kedua faktor tersebut. Selanjutnya Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa faktor genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh seekor ternak sedangkan faktor lingkungan memberi kesempatan kepada ternak untuk menampilkan kemampuannya.

Produktivitas berkaitan dengan karakter yang dimiliki ternak. Bobot lahir merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas ternak (Devendra dan Burn, 1994). Bobot lahir yang tinggi di atas rataan, umumnya akan memiliki kemampuan hidup lebih tinggi dalam melewati masa kritis. Pertumbuhannya cepat dan akan memiliki bobot sapih yang lebih tinggi. Menurut Hardjosubroto (1994), bobot sapih diartikan sebagai bobot anak saat mulai dipisahkan dari induknya.

Pendugaan produktivitas digunakan sebagai pedoman untuk menentukan kemajuan usaha atau dasar penetapan strategi usaha yang akan dijalankan dalam

(19)

produksi ternak yang bersifat komersial. Perbaikan mutu sapi potong haruslah ditekankan pada peningkatan sifat produksi dan reproduksi yang ditunjang oleh pengelolaan yang baik (Chamdi, 2004).

Reproduksi

Teknik reproduksi sapi potong terdiri atas Inseminasi Buatan (IB) dan perkawinan alami. Di daerah-daerah pertanian intensif, IB semakin banyak digunakan karena keterbatasan sapi pejantan dan adanya pelayanan IB dari Dinas Peternakan setempat. Sifat reproduksi merupakan salah satu karakter produktivitas dan gambaran tingkat kemampuan ternak dalam pembentukan hasil atau produk (Hadi dan Ilham, 2002).

Daya reproduksi ternak sangat dipengaruhi oleh jarak beranak. Jarak beranak yang ideal adalah 365 hari. Pada umumnya reproduksi baru dapat berlangsung setelah hewan mencapai masa pubertas dan diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon-hormon yang dihasilkan. Kekurangan pakan atau kesehatan ternak yang terganggu dapat mempengaruhi datangnya musim reproduksi (Toelihere, 1993). Ternak ruminansia yang defisien mineral akan mengalami pertumbuhan reproduksi yang lamban (Parakkasi, 1999).

Lingkungan seperti suhu udara dan kelembaban berpengaruh pada aktivitas reproduksi. Suhu lingkungan yang tinggi terutama pada musim kemarau mengurangi lama periode berahi. Aktivitas berahi tidak memberikan sumbangan yang nyata terhadap fertilitas siklus berahi atau periode berahi terganggu apabila sapi tidak mendapatkan energi yang cukup, sehingga kondisinya menjadi buruk (Hadi dan Ilham, 2002).

Pubertas

Pubertas pada ternak betina merupakan suatu keadaan saat pertama kali menunjukkan berahi disertai ovulasi. Pencapaian umur pubertas ternak dipengaruhi oleh bangsa sapi dan keadaan pakan. Selain itu, pubertas juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu suhu dan iklim (Nuryadi, 2007).

Pertumbuhan ternak yang lambat maka umur pubertasnya juga akan terlambat dan mencegah pencapaian genetik maksimalnya. Rata-rata umur pubertas semua

(20)

27 bangsa sapi dalam kondisi makanan normal adalah 9 bulan, namun dapat berkisar 5 sampai 15 bulan (Djanuar, 1985).

Service per Conception

Service per conception merupakan jumlah perkawinan yang dibutuhkan oleh

seekor betina sampai terjadinya kebuntingan. Nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0 (Toelihere, 1981). Nuryadi (2007) menyatakan bahwa keberhasilan perkawinan pada induk sapi ditunjukkan dengan adanya kebuntingan dan dipengaruhi oleh faktor kesuburan betina induk, kesuburan pejantan dan tatalaksana perkawinan sehingga

service per conception (S/C) dapat digunakan sebagai salah satu ukuran efisiensi

reproduksi induk sapi potong. Siklus Berahi dan Lama Berahi

Siklus berahi adalah kurun waktu yang terletak diantara dua saat berahi yang berurutan pada ternak betina. Rata-rata siklus berahi pada sapi yaitu 17-24 hari (Nuryadi, 2007). Lama berahi pada sapi berkisar 6 sampai 30 jam, dengan rata-rata sekitar 17 jam (Djanuar, 1985).

Siklus berahi dapat dibagi menjadi empat periode berdasarkan perubahan-perubahan yang terlihat maupun yang tidak terlihat yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Sepanjang siklus berahi beberapa bagian dari saluran reproduksi betina menjalani perubahan-perubahan yang dikendalikan oleh hormon hipofisa dan hormon ovarial. Hormon ini berfungsi mempersiapkan alat reproduksi untuk menerima spermatozoa, menghasilkan ova dan membantu terjadinya kebuntingan, implantasi dan pemberian makanan embrio dan fetus (Djanuar, 1985).

Umur Kawin Pertama

Umur dan bobot badan merupakan faktor penting pada saat kawin pertama. Seekor ternak betina muda akan mengalami kesulitan beranak jika dikawinkan pada saat pubertas (Nuryadi, 2007). Umur kawin pertama sapi Eropa menurut Blakely dan Bade (1991) yaitu umur 12 bulan.

Angka Kebuntingan dan Lama Bunting

Angka kebuntingan atau conception rate (CR) adalah persentase kebuntingan yang terjadi pada sapi betina pada inseminasi buatan atau kawin alam. Angka

(21)

kebuntingan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu fertilisasi pejantan dan betina, teknik inseminasi dan iklim (Djanuar, 1985). Angka kebuntingan menurut Toelihere (1981) ditentukan dari hasil diagnosa palpasi rektal pada 40-60 hari setelah dilakukan inseminasi.

Lama kebuntingan dihitung semenjak fertilasi sampai dengan kelahiran. Lama kebuntingan pada sapi beragam. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bangsa, jenis kelamin anak yang dikandung, jumlah anak dalam kandungan, umur induk, iklim dan lingkungan (Djanuar, 1985). Menurut Nuryadi (2007) lama kebuntingan pada sapi yaitu sembilan bulan (270 hari).

Selang beranak

Frekuensi beranak selama sapi hidup berpengaruh terhadap produksi sapi selama hidupnya. Frekuensi beranak yang optimal dapat terjadi jika peternak mengetahui pengaruh selang beranak terhadap produksi sapi sehingga dapat mengatur interval perkawinan sapi setelah melahirkan dan panjang periode kering. Sapi yang beranaknya lebih sering dengan periode kering lebih banyak akan menghasilkan anak yang lebih banyak selama hidupnya. Selang beranak sapi yang dianjurkan yaitu 12 bulan (365 hari) (Blakely dan Bade, 1991).

Calf crop

Calf crop adalah persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu

tahun dari seluruh induk yang diteliti. Nilai calf crop dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu waktu dan lama berahi, ketepatan kawin dan pakan. Rata-rata calf crop sapi Eropa yaitu 84,9% (Neumman, 1977).

Berahi Setelah Melahirkan

Berahi kembali setelah melahirkan pada sapi berbeda-beda. Menurut Blakely dan Bade (1991) rata-rata sapi berahi kembali sekitar 60 hari setelah melahirkan. Salah satu faktor yang mempengaruhi jarak berahi kembali setelah melahirkan adalah frekuensi rangsangan pada kelenjar susu. Hal ini mempengaruhi interval antara kelahiran dan terjadinya estrus pertama postpartum (Djanuar, 1985).

(22)

29 Produksi

Produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performanya, seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh dan kondisi ternak. Menurut Williams (1982) sapi tipe kerangka besar memiliki perdagingan yang lebih besar dibandingkan sapi tipe kerangka kecil. Berat induk sapi saat melahirkan akan berpengaruh terhadap berat sapih anak. Berat badan induk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan induk.

Menurut Toelihere (1993) berat badan induk mempunyai korelasi positif dengan berat lahir. Induk yang lebih besar akan menghasilkan berat lahir yang lebih besar dibanding dengan induk yang kecil, demikian juga dengan berat sapih bagi anak-anak yang dilahirkan.

Ukuran Tubuh

Beberapa ukuran tubuh seperti tinggi gumba, lingkar dada dan panjang badan merupakan indikator bagi bobot hidup sapi (Hardjosubroto, 1984). Ukuran tubuh ternak sangat berperan dalam pendugaan bobot badan (Kadarsih, 2003). Bobot badan ternak sapi dapat diperoleh dengan cara mengukur lingkar dada dan panjang badan ternak sapi tersebut dan mempunyai hubungan yang linear. Antara besar lingkar dada dengan bobot badan ternak sapi terdapat korelasi yang positif. Selain itu, penentuan bobot fisik tubuh ternak sapi juga dapat digunakan untuk mengkalkulasi berat karkas pada ternak sapi (Sosroamidjoyo dan Soeradji, 1978).

Ukuran lingkar dada akan meningkat seiring dengan meningkatnya bobot potong (Sariubang dan Tambing, 2008). Pengamatan bentuk tubuh yang terlihat dari luar, dapat diduga kemampuan untuk menghasilkan sesuatu dari ternak yang diteliti, misalnya produksi daging dan produksi susunya (Mc Nitt, 1974). Penampilan ukuran-ukuran tubuh ternak sapi dipengaruhi oleh lingkungan. Persediaan pakan ternak pada musim hujan cukup tersedia dibandingkan dengan musim kemarau sehingga mengakibatkan ukuran tubuh berbeda (Kadarsih, 2003).

Pakan

Pakan merupakan salah satu faktor terpenting dalam usaha pemeliharaan ternak. Menurut Dwiyanto et al. (1996) Indonesia mempunyai sumber daya pakan

(23)

lokal yang cukup tinggi sehingga seharusnya tidak mengalami kendala dalam upaya penyediaan bahan-bahan pakan ternak. Ketersediaan pakan yang cukup kuantitas maupun kualitasnya dan berkesinambungan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan peternakan (Umiyasih et al., 2003). Menurut Hanafi et al. (2005) kebutuhan ternak akan zat gizi terdiri atas kebutuhan untuk hidup pokok dan produksi. Kandungan nutrisi yang mencukupi dapat meningkatkan pertumbuhan bagi ternak, sehingga pertumbuhan ternak tersebut akan normal (Anggraeni et al., 2008).

Bangsa ternak yang berbeda akan mempengaruhi konsumsi pakan karena kecepatan metabolisme pakan pada setiap bangsa ternak berbeda apabila mendapat pakan dengan kualitas yang sama (Sumadi et al., 1991). Konsentrat merupakan bahan pakan ternak yang mudah dicerna sehingga laju aliran pakan dalam saluran pencernaan lebih cepat dan memungkinkan meningkatnya konsumsi pakan (Tillman

et al., 1998).

Good Farming Practices

Good Farming Practices (GFP) merupakan cara beternak yang baik dan

benar dengan memperhatikan lingkungan dan memenuhi standar minimal sanitasi kesejahteraan ternak (Departemen of Agriculture, Food and Rural Development, 2001). Menurut Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2000) ruang lingkup Pedoman Budidaya Ternak Sapi Potong yang Baik meliputi beberapa aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan dan pengawasan.

(24)

31

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Sapi Simmental Roni di Desa Koto Tangah, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada bulan Januari sampai Februari 2011.

Materi

Ternak yang digunakan adalah ternak Sapi Simmental sebanyak 43 ekor. Ternak dikelompokkan berdasarkan umur yaitu ternak yang berumur <12 bulan (I0)14 ekor, 12-24 bulan (I1) 7 ekor, > 25 bulan (I2) 22 ekor.

Penelitian ini menggunakan beberapa alat. Alat-alat yang digunakan yaitu pita ukur dengan skala terkecil 0,1 cm, tongkat ukur, alat tulis dan borang Good

Farming Practices (GFP). Pita ukur dan tongkat ukur digunakan untuk mengukur

ukuran tubuh sapi.

Prosedur

Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Penentuan lokasi dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa peternakan Roni sebagai sentra pembibitan Sapi Simmental di Kabupaten Lima Puluh Kota Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.

Data primer diperoleh dari hasil pengukuran tubuh sapi dan wawancara langsung dengan peternak berdasarkan data kuisioner yang telah dipersiapkan. Pengukuran tubuh Sapi Simmental di Peternakan Roni dapat dilihat pada Gambar 2. Data kuisoner meliputi informasi mengenai peternak, data ternak sapi dan produktivitasnya. Data sekunder diperoleh dari rekording di peternakan dan pencatatan berbagai instansi terkait yaitu Sub Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota, Biro Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kantor Kecamatan Harau.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati adalah ukuran tubuh dan evaluasi pelaksanaan Good

(25)

dada, tinggi pundak, tinggi pinggul, lingkar dada dan lingkar pinggul. Metode pengukuran untuk masing-masing peubah (Gambar 2) berdasarkan metode Mc Nitt (1983) dan dilakukan sebagai berikut :

1. Panjang badan (cm) yaitu diukur dengan menggunakan tongkat ukur. Ternak diukur dalam posisi berdiri tegap dan kepala lurus ke depan. Panjang badan diukur dari tonjolan di bagian lengan kaki depan (tuber humerus) sampai pada tonjolan yang dekat dengan anus (tuber ischii);

2. Dalam dada (cm) yaitu diukur menggunakan tongkat ukur. Pengukuran dilakukan tepat di belakang bahu (scapula) lurus dari punggung hingga brisket; 3. Tinggi pundak/tinggi gumba (cm) yaitu diukur dengan menggunakan tongkat

ukur. Pengukuran dilakukan mulai dari titik tertinggi di antara bahu (withers) hingga lantai tempat berdiri;

4. Tinggi pinggul (cm) yaitu diukur menggunakan tongkat ukur. Pengukuran dilakukan tegak lurus dari permukaan teratas pinggul (tuber coxae), melalui pangkal persendian paha sampai ke permukaan tanah;

5. Lingkar dada (cm) yaitu diukur menggunakan pita ukur. Pengukuran dilakukan melingkar tepat di belakang tulang bahu (os scapula); dan

6. Lingkar pinggul (cm) yaitu diukur menggunakan pita ukur. Pengukuran dilakukan dengan melingkari bagian pinggul di depan kaki belakang (tuber

coxae).

Evaluasi Pelaksanaan Good Farming Practise (GFP) dilakukan dengan cara mengamati dan wawancara dengan peternak. Penerapan GFP meliputi beberapa aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan dan pengawasan.

Pengamatan aspek reproduksi dilakukan melalui wawancara langsung dengan peternak yaitu :

1. Calf crop(%) yaitu persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu

tahun dari seluruh induk yang diteliti. Dihitung melalui jumlah anak dibagi dengan populasi induk dikalikan 100%;

2. Service per conception (S/C) yaitu jumlah perkawinan yang dibutuhkan oleh

(26)

33 jumlah perkawinan inseminasi buatan yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan;

3. Bobot sapih (kg) yaitu bobot anak sapi pada saat disapih; dan 4. Bobot lahir (kg) yaitu bobot anak sapi pada saat dilahirkan.

Analisis Data

Data ukuran tubuh dan evaluasi penerapan GFP dianalisis secara deskripstif. Analisis deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran keadaan atau kondisi di Peternakan Roni dan karakterisasi ukuran tubuh Sapi Simmental. Analisis deskriptif ukuran tubuh sapi dilakukan dengan menghitung nilai rataan(X), simpangan baku(s) dan koefisien keragaman (KK) (Steel dan Torrie, 1995).

X

=

s = KK=

×

100%

Keterangan : X = nilai rataan

Xi = ukuran ke-i dari peubah X

n = jumlah contoh yang diambil dari populasi s = simpangan baku

(27)

Gambar 2. Pengukuran Ukuran Tubuh Sapi; a=Tinggi Pundak; b=Panjang Badan; c=Lingkar Dada; d= Dalam Dada; e=Tinggi Pinggul; f=Lingkar Pinggul

a e f c d b

(28)

35 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Keadaan Geografi

Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Sumatera Barat. Kabupaten ini terletak di bagian Timur wilayah Propinsi Sumatera Barat atau 124 km dari Kota Padang dan memiliki luas wilayah 3.354,30 km2. Kabupaten Lima Puluh Kota dikelilingi oleh empat kabupaten dan satu propinsi, yaitu : sebelah Utara-Timur berbatasan dengan Propinsi Riau, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Sijunjung dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman (Lampiran 1). Kecamatan Harau

Peternakan Sapi Simmental Roni terletak di Desa Kota Tengah, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Kecamatan Harau memiliki luas daratan mencapai 416,80 km2. Topografi Kecamatan Harau bervariasi antara datar, bergelombang dan berbukit-bukit. Ketinggian tempat dan keadaan iklim lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Ketinggian Tempat dan Keadaan Iklim Lokasi Penelitian

No Parameter Nilai

1 Suhu rata-rata oC 23

2 Kelembaban nisbi (%) 65

3 Ketinggian tempat (m dpl) 498

4 Curah Hujan (mm/th) 1.308-3.333

Sumber : BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2011)

Kecamatan Harau memiliki dua gunung yang tidak aktif lagi yaitu: Gunung Bungsu (1241 m dpl) dan Gunung Sanggul (1459 m dpl). Daerah tersebut memiliki ketinggian rata-rata 498 meter diatas permukaan laut. Suhu lingkungan pada siang hari berkisar 22-24 oC, sedangkan pada malam hari berkisar antara 16-20 oC dengan tingkat kelembaban 65%. Curah hujan relatif tinggi yaitu sekitar 1.308-3.333 mm/tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat Abidin (2006) yaitu sapi potong dapat

(29)

tumbuh optimal di daerah dengan suhu ideal yaitu 17-270 oC dan lokasi yang ideal untuk sapi potong adalah lokasi yang bercurah hujan 800-1.500 mm/tahun.

Jumlah penduduk Kabupaten Lima Puluh Kota adalah 336.067 jiwa. Sumber mata pencaharian di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 2. Sumber mata pencaharian masyarakat yang paling banyak adalah sebagai petani dan peternak yaitu sebesar 80%. Hal ini sangat mendukung perkembangan peternakan di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Tabel 2. Sumber Mata Pencaharian Masyarakat di Kabupaten 50 Kota

Sumber Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Nilai (%)

Petani dan peternak 137.716 80

Pedagang 25.821 15

Pegawai Negeri Sipil/TNI/Polri 5.164 3

Jasa dan buruh lainnya 3.444 2

Total 172.145 100

Sumber : BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2010)

Kabupaten Lima Puluh Kota mempunyai potensi yang dapat diandalkan dalam bidang pertanian untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Penggunaan lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penggunaan Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota

Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

Sawah 22.286 6,64 Pekarangan 8.325 2,48 Tegalan/Ladang 33.395 9,96 Penggembalaan/Padang Rumput 23.208 6,92 Hutan Rakyat 53.797 16,04 Hutan Negara 139.432 41,57 Perkebunan 47.971 14,30 Lain-lain 7.016 2,09 Total 313.430 100,00

(30)

37 Total luas sawah 22.286 ha dengan kisaran produksi 34.228 ton Gabah Kering Giling (GKG) setiap tahun berhubungan dengan produksi sisa-sisa pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak sapi seperti jerami padi (Dinas Pertanian Kabupaten Lima Puluh Kota, 2011).

Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota sebagian besar digunakan sebagai lahan pertanian produktif. Jenis penggunaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan sapi potong adalah hutan rakyat, perkebunan, sawah, penggembalaan/padang rumput dan tegalan/ladang. Ternak sapi yang dipelihara di lahan perkebunan sawit akan menguntungkan.

Lahan sawah mayoritas ditanami padi dengan periode tanam tiga kali per tahun. Lahan tegalan ditanami dengan tanaman palawija periode tanam dua kali per tahun. Hal ini akan berpotensi terhadap ketersediaan pakan.

Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian

Umur peternak yang menjadi responden yaitu 32 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur peternak masuk dalam kisaran umur produktif. Umur produktif menurut Djenen (1982) berkisar antara 20-40 tahun. Adiwilaga (1973) menyatakan bahwa peternak yang berada pada usia produktif akan lebih efektif dalam mengelola usahanya bila dibandingkan dengan peternak yang lebih tua.

Tingkat pendidikan berperan penting dalam pengembangan sumber daya masyarakat. Peternak responden memiliki latar belakang Sekolah Tinggi Keperawatan di Pekanbaru, Riau. Mosher (1983) menyatakan bahwa pendidikan merupakan faktor pelancar yang dapat mempercepat pembangunan pertanian. Pendidikan yang baik akan memudahkan seorang peternak dalam mengadopsi teknologi baru, mengembangkan ketrampilan dan memecahkan permasalahan yang dihadapi.

Beberapa alasan beternak Sapi Simmental adalah sebagai sumber penghasilan, turun temurun dan sebagai upaya untuk pengembangan bibit unggul di Kecamatan Harau. Pendapatan rata-rata peternak dari hasil penjualan sapi adalah di atas lima juta rupiah hingga mencapai dua puluh juta per bulan. Pendapatan ini dihitung berdasarkan hasil penjualan sapi umur 6-12 bulan dan jumlah anak yang dihasilkan dibagi per bulan. Pendapatan yang di atas rata-rata menjadi motivasi bagi

(31)

peternak lain untuk lebih mengembangkan usaha ternak sapi khususnya peternak yang ada di sekitar Peternakan Roni.

Populasi Sapi Potong

Budidaya ternak yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Harau antara lain sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, ayam ras petelur, ayam buras, ayam pedaging dan puyuh. Populasi ternak sapi potong dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya menduduki peringkat pertama pada tahun 2009 di Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu sebanyak 63.214 ekor. Perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota meningkat selama tiga tahun terakhir terutama sapi betina yaitu sebesar 12,19%.

Ternak yang dipelihara di Kabupaten Lima Puluh Kota berasal dari berbagai wilayah di Pulau Sumatera. Ternak ruminansia besar berasal dari daerah-daerah di Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Bengkulu, sedangkan ternak unggas sebagian didatangkan dari Sumatera Utara. Beberapa daerah tujuan hasil ternak yang ada di Kabupaten 50 Kota yaitu Propinsi Riau, Bukittinggi, Payakumbuh, Kepulauan Riau, Palembang, Bangkulu, Sumatera Utara, Agam, Jambi dan Pekanbaru.

Jumlah pemotongan ternak ruminansia besar yaitu sapi potong menurun dari tahun 2008 sebanyak 4.655 ekor menjadi 3.955 pada tahun 2009. Pemotongan yang dilakukan terutama pada sapi betina sebesar 1.048 ekor.

Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu sentra produksi daging ruminansia besar di Sumatera Barat. Total produksi daging di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2009 yaitu 909.428 kg. Sapi potong menyumbang produksi daging paling besar yaitu 828.128,07 kg.

Keadaan Ternak Sapi di Peternakan Roni

Peternakan Sapi Simmental Roni berdiri sejak tahun 2001. Jumlah ternak sapi ketika pertama kali dipelihara yaitu 2 ekor betina dara. Pertambahan ternak selama satu tahun terakhir yaitu 37 ekor. Jumlah ternak sapi yang dipelihara saat ini yaitu jantan pedet 1 ekor, betina dewasa 28 ekor, betina muda 4 ekor dan betina pedet 10 ekor. Perbandingan jumlah ternak sapi betina yang dipelihara lebih banyak daripada pejantan karena dapat memberi nilai tambah berupa anak. Sapi jantan umumnya dijual pada umur 6-12 bulan. Bibit ternak tahun pertama pemeliharaan berasal dari

(32)

39 pasar ternak yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Sapi dikawinkan dengan cara kawin IB. Semen pejantan yang digunakan yaitu bangsa Simmental dan berasal dari Balai Inseminasi Buatan Kabupaten Lima Puluh Kota.

Produktivitas Ternak Sapi

Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu tertentu. Produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Seiffert, 1978).

Reproduksi

Karakteristik reproduksi indukan Sapi Simmental dapat dilihat pada Tabel 4. Umur berahi pertama Sapi Simmental di Peternakan Roni sesuai dengan hasil survei Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu 12 bulan. Hal ini disebabkan pemberian pakan yang berkualitas selama pemeliharaan. Selain itu, suhu lingkungan juga memiliki peranan penting terhadap umur berahi. Suhu di Peternakan Roni rata-rata 23 oC sesuai dengan suhu nyaman ternak Sapi Simmental yaitu <25 oC, sehingga kapasitasi sperma pada saluran reproduksi betina dapat berjalan normal (Hafez dan Hafez, 2000).

Tabel 4. Karakteristik Reproduksi Indukan Sapi Simmental di Peternakan Roni

Sifat Reproduksi Peternakan Roni Literatur

Umur berahi pertama (bulan) 12 12 a)

Umur kawin pertama (bulan) 18 24a)

Lama berahi (jam) 20 17-20a)

Panjang siklus berahi (hari) 18 18-21a)

Service per conception 1,2 1,5-1,76b)

Angka kebuntingan (%) 82 72,22b)

Lama kebuntingan (bulan) 9 285a)

Persentase kelahiran (%) 90 94,44b)

Calf crop (%) 95 65-85a)

Umur kematian anak (%) - -

Berahi kembali setelah melahirkan (bulan)

2-3 3c)

Selang beranak (hari) 365 450c)

Beranak pertama (bulan) 28 31-32c)

Sumber : a)Dinas Peternakan Kabupaten 50 Kota (2004), b) Nuryelliza et al. (2008), c)Iskandar dan Arfa’i (2007)

(33)

Umur kawin pertama terjadi pada umur 18 bulan. Umur kawin pertama sapi di Peternakan Roni lebih cepat dibandingkan laporan Dinas Peternakan Kabupaten 50 Kota (2004) yaitu 24 bulan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pemberian pakan bernutrisi, manajemen pemeliharaan yang baik dan penataan lingkungan yang nyaman bagi ternak sehingga dewasa tubuh yang dicapai lebih cepat.

Sapi betina muda yang diberi nutrisi yang baik mencapai pubertas pada umur 9 bulan dan dikawinkan pada umur 18 bulan (Djanuar, 1985). Faktor utama yang mempengaruhi umur berahi pertama di Peternakan Roni yaitu bangsa sapi dan keadaan pakan yang berkualitas. Seekor ternak betina akan mengalami kesulitan beranak jika dikawinkan pada saat pubertas (Nuryadi, 2007).

Lama berahi dan panjang siklus berahi berdasarkan hasil wawancara masing-masing adalah 20 jam dan 18 hari. Menurut Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota (2004) adalah 18-21 hari dengan lama berahi yaitu 17-20 jam. Lama berahi setiap jenis ternak berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, musim, ketersediaan pejantan dan bobot badan.

Nuryadi (2007) menyatakan bahwa keberhasilan perkawinan pada induk sapi ditunjukkan dengan adanya kebuntingan dan dipengaruhi oleh faktor kesuburan induk betina, kesuburan pejantan dan tatalaksana perkawinan. Nilai S/C yang diperoleh dari hasil penelitian adalah 1,2. Nilai ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Nuryelliza (2008) yaitu 1,5-1,76. Nilai yang rendah mengindikasikan bahwa pelayanan IB yang dibutuhkan sapi sampai terjadi kebuntingan hanya sedikit.

Angka kebuntingan Sapi Simmental di Peternakan Roni menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Nuryelliza (2008) yaitu 82%. Penelitian Nuryelliza (2008) menunjukkan angka kebuntingan sebesar 72,22%. Angka kebuntingan yang tinggi di Peternakan Roni dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kesuburan ternak, kondisi pada saat inseminasi dan deteksi estrus yang tepat. Menurut Tarmudji et al. (2001) secara normal suatu kelompok ternak sapi yang dikelola dengan baik menunjukkan angka konsepsi 65-70%.

Calf crop adalah persentase jumlah anak saat lepas sapih yang hidup dalam

satu tahun dari seluruh induk yang diteliti. Calf crop ternak Sapi Simmental di peternakan Sapi Simmental Roni adalah 95%. Faktor yang mempengaruhi tingginya

(34)

41

calf crop di Peternakan Roni adalah ketepatan waktu kawin, kasus penyakit jarang

ditemukan dan pakan yang diberikan berkualitas baik.

Waktu yang diperlukan oleh induk untuk berahi kembali setelah melahirkan di Peternakan Roni relatif lebih cepat dibandingkan dengan hasil penelitian Iskandar dan Arfa’i (2007) yaitu 2-3 bulan. Hal ini disebabkan oleh hijauan pakan yang tersedia baik jumlah maupun mutu sesuai dengan kondisi setempat (musim hujan). Gejala estrus kembali setelah melahirkan diduga disebabkan oleh kondisi tubuh, lingkungan, pemeliharaan dan ketersediaan pakan (Yanhendri, 2007). Pakan berpengaruh yang sangat besar terhadap penundaan aktifitas estrus setelah melahirkan. Perbaikan pakan harus dilakukan pada triwulan terakhir dari kebuntingan, sapi yang kehilangan berat badan yang ekstrim sering gagal memperlihatkan gejala estrus (Spitzer, 1987).

Selang beranak Sapi Simmental di Peternakan Roni lebih cepat dibandingkan laporan Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota (2004) yaitu 365 hari. Selang beranak pada sapi sangat ditentukan oleh kemunculan estrus setelah melahirkan, perkawinan yang terjadi setelah melahirkan dan jumlah perkawinan setelah melahirkan. Pada sebagian ternak, aktifitas menyusui akan menunda terjadinya estrus kembali setelah melahirkan. Selain itu selang beranak di peternakan ini juga dipengaruhi oleh lingkungan dan penerapan manajemen pemeliharaan yang cukup baik.

Produksi

Sapi Simmental termasuk sapi yang memiliki bobot lahir yang tinggi dibandingkan dengan bangsa sapi potong Hereford dan Angus. Bobot lahir Sapi Simmental di Peternakan Roni adalah sebesar 35 kg. Menurut Rincker et al. (2006) bobot lahir Sapi Simmental bisa mencapai 44,1 kg. Rendahnya bobot lahir disebabkan oleh manajemen pemeliharaan induk bunting yang kurang baik.

Bobot sapih adalah bobot anak sapi pada saat dipisahkan dari induknya (Hardjosubroto, 1994). Bobot sapih anak sapi di Peternakan Roni yaitu 125-175 kg dengan umur sapih 7 bulan. Bobot sapih yang tinggi dipengaruhi oleh bobot lahir dan manajemen pemeliharaan anak, terutama pemberian pakan selama penyapihan.

Performa produksi ternak sapi dapat dilihat dan diukur dengan mengetahui ukuran tubuh dan kondisi ternak. Ukuran tubuh dianggap sebagai indikator penting

(35)

dalam menentukan kematangan ternak. Bangsa Sapi Simmental merupakan bangsa tipe kerangka besar. Sapi dengan tipe kerangka besar memiliki perdagingan yang lebih banyak dibandingkan sapi tipe kerangka kecil (Williams, 1982).

Ukuran Tubuh

Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengetahui produktivitas ternak adalah ukuran tubuh (Sariubang dan Tambing, 2008). Rataan ukuran tubuh Sapi Simmental di Kecamatan Harau disajikan pada Tabel 5. Peningkatan ukuran tubuh terutama pada tinggi pinggul dan tinggi pundak yang relatif lebih tinggi pada kelompok umur dua tahun yaitu 146,78±12,71 cm dan 145,91±14,51 cm, sedangkan pada umur >2 tahun sapi tersebut menunjukkan laju pertumbuhan yang menurun.

Tabel 5. Rataan Ukuran Tubuh Sapi Simmental di Peternakan Roni, Kecamatan Harau

Peubah Kelompok Umur

I0 (<12 bulan) I1 (12-24 bulan) I2 (>25 bulan) --- x ± sb (KK) --- Panjang Badan (cm) 103,47±8,41 8,13 148,62±13,73 9,24 159,39±3,92 2,46 Dalam Dada (cm) 50,86±15,30 30,08 96,36±5,29 5,49 106,43±10,42 9,79 Lingkar Pinggul (cm) 115,26±22,56 19,57 166,05±11,67 7,03 185,37±12,21 6,58 Lingkar Dada (cm) 116±10,82 9,27 167,60±9,43 5,63 193,77±8,66 4,47 Tinggi Pinggul (cm) 93,42±17,55 18,78 146,78±12,71 8,66 158,58±8,35 5,27 Tinggi Pundak (cm) 94,81±18,62 19,64 145,91±14,51 9,95 159,16±8,19 5,15 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%), sb = simpangan baku

Deni (2006) menyatakan bahwa tinggi pundak dan tinggi pinggul Sapi Simmental × Bali (SimBa) umur dua tahun yaitu 111,4±2,0 cm dan 106,1±1,9 cm. Pertumbuhan dan perkembangan tulang tercapai sebelum ternak dewasa kelamin. Setelah sapi mencapai dewasa kelamin pertumbuhan tulang akan terhenti karena osifikasi tulang rawan sudah sempurna (Field and Taylor, 2002).

(36)

43 Menurut Williams (1982) sapi tipe kerangka besar memiliki tingkat perdagingan yang lebih besar daripada sapi tipe kerangka kecil. Ukuran lingkar dada Sapi Simmental×Bali betina pada umur 1, 2 dan >3 tahun masing-masing adalah 131,5±7,1; 143±5,4 dan 157,5±3,6 cm (Deni, 2006). Bobot potong yang semakin tinggi menyebabkan perlemakan dan perdagingan di daerah dada semakin meningkat (Sariubang dan Tambing, 2008).

Koefisien keragaman berdasarkan Tabel 5 digunakan untuk melihat tingkat keragaman ukuran tubuh sapi pada setiap kelompok, semakin tinggi nilai koefisien keragaman berarti ukuran tubuh sapi pada kelompok tersebut beragam. Tabel 5 menunjukkan bahwa koefisien keragaman paling tinggi adalah kelompok ternak I0

yaitu 8,13–30,08%. Tingkat keragaman yang tinggi pada kelompok umur I0

disebabkan sapi masih dalam fase pertumbuhan. Sapi mencapai dewasa tubuh pada umur dua tahun dan pada fase tersebut pertumbuhan otot mencapai klimaks dengan laju pertumbuhan yang mulai menurun (Philips, 2001).

Evaluasi Penerapan Good Farming Practices (GFP)

Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2000) Good Farming Practices (GFP) meliputi empat aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan dan pengawasan. Hasil penerapan aspek Good Farming Practices di Peternakan Roni, Harau-Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Lampiran 5 sampai 8.

Sarana

Penerapan GFP secara keseluruhan belum memenuhi persyaratan seperti pemeriksaan baku mutu air dan kualitas air secara berkala. Selain itu, alat penerangan (lampu) pada setiap kandang tidak ada. Berdasarkan GFP Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2000) aspek sarana yang baik meliputi lokasi, lahan, penyediaan air dan alat penerangan, bangunan, alat dan mesin peternakan, bibit/bakalan, pakan, obat hewan dan tenaga kerja sesuai dengan persyaratan peternakan nasional.

Lokasi Peternakan Roni sudah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD). Letak dan ketinggian lokasi terhadap wilayah sekitarnya sudah memperhatikan lingkungan dan topografi sehingga kotoran dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan.

(37)

Peternakan Roni terletak sekitar 2 km dari jalan raya dan memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 489 m di atas permukaan laut.

Bangunan yang diperlukan untuk usaha peternakan sapi potong yaitu kandang pemeliharaan, kandang isolasi sapi yang sakit, gudang pakan dan peralatan, barak pekerja, unit penampungan dan pengolahan limbah. Kandang isolasi ternak yang sakit tidak terdapat di Peternakan Roni. Hal ini dapat membahayakan ternak sapi yang sehat. Menurut Office International des Epizooties (OIE) (2006) bangunan dan fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di dalamnya dapat menjadi sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan ternak secara langsung dan tidak langsung.

Konstruksi bangunan di Peternakan Roni belum memenuhi standar GFP. Bangunan kandang di Peternakan Roni terbuat dari bahan yang mudah patah sehingga anak sapi khususnya dapat dengan mudah keluar dari kandang.

Letak kandang dan bangunan lain menurut GFP harus ditata sedemikian rupa agar memudahkan karyawan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan oleh limbah yang dihasilkan. Kandang ternak cukup sirkulasi udara, sehingga di dalam kandang akan selalu terdapat udara yang segar, bersih dan sehat.

Ventilasi kandang yang sempurna menguntungkan ternak di dalam kandang, karena ventilasi bermanfaat untuk mengeluarkan udara kotor dari dalam kandang dan menggantinya dengan udara segar dari luar kandang. Letak kandang sebagian besar menghadap ke arah sinar matahari. Sinar matahari pagi banyak mengandung sinar ultraviolet. Sinar matahari pagi sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan ternak karena dapat membantu proses pembentukan vitamin D, membunuh bibit penyakit dan dapat mempercepat pengeringan kandang yang basah akibat air kencing dan lainnya. Kandang yang basah menyebabkan kelembaban. Kelembaban kandang berpengaruh terhadap kesehatan ternak, pertumbuhan dan perkembangan bibit penyakit. Kelembaban kandang disebabkan oleh beberapa hal yaitu berasal dari tubuh ternak itu sendiri, kotoran dan air kencing serta percikan air minum.

Usaha Peternakan Roni hanya memiliki satu pintu masuk yang tidak dilengkapi dengan kolam desinfektan, sehingga setiap tamu dan kendaraan yang

(38)

45 masuk peternakan tidak didesinfektan. Hal ini memungkinkan terjadinya penyebaran penyakit dari luar. Unit penampungan limbah berlokasi terlalu dekat dengan perkandangan, sehingga dapat menyebabkan pencemaran penyakit terhadap ternak.

Bakalan sapi yang dipelihara berasal dari pasar ternak Kabupaten Lima Puluh Kota yang terbebas dari penyakit menular. Pemerikasaan kesehatan hanya dilakukan sebelum ternak sampai di peternakan.

Peralatan di Peternakan Roni sesuai dengan kapasitas/jumlah sapi yang dipelihara. Alat dan mesin yang perlu disediakan yaitu timbangan sapi, chopper (pemotong rumput), tempat bongkar muat yang memadai.

Gambar 3. Alat Transportasi yang Digunakan di Peternakan Roni Pakan merupakan semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak. Pakan yang berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk kehidupannya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral dan vitamin (Parakkasi, 1999). Darmono (1993) menjelaskan bahwa bahan pakan yang baik adalah bahan pakan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta tidak mengandung racun yang dapat membahayakan ternak.

Air minum pada ternak sapi diberikan secara ad libitum. Kebutuhan air tergantung pada kondisi iklim, bangsa sapi, umur dan jenis pakan yang diberikan.

Pakan yang diberikan adalah hijauan (rumput/jerami) dan konsentrat (ampas tahu/dedak). Jumlah jerami yang diberikan untuk induk yaitu ± 30kg/ekor/hari dan ampas tahu sebanyak ± 6kg/ekor/hari. Menurut GFP pemberian pakan hijuan segar minimal 10% dan konsentrat 0,4% dari bobot badan.

(39)

Pakan diberikan sebanyak 3 kali/hari. Ampas tahu diberikan pada pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00. Pemberian jerami fermentasi dilakukan pada siang dan sore hari yaitu sekitar pukul 10.30-11.00 dan pukul 16.00-17.00. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (2008) yaitu pemberian konsentrat yang dilakukan 2 jam sebelum pemberian hijauan akan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik, karena konsentrat relatif banyak mengandung pati sebagian besar dicerna mikroorganisme rumen pada saat hijauan mulai masuk ke dalam rumen. Konsumsi pakan ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu lingkungan, palatabilitas, selera, satatus fisiologi, kandungan nutrisi, bentuk pakan dan bobot tubuh.

Jerami padi terlebih dahulu dipotong-potong dan dicampur dengan urea. Penggunaan urea pada jerami basah yaitu sebanyak 7,5 kg campuran urea untuk setiap 300 kg jerami basah. Urea adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO

(Parakkasi, 1999). Pencampuran ini bertujuan agar ikatan silika dan liginin pada selulosa dapat dilonggarkan, sehingga jerami mudah dicerna dan memperkaya jumlah nitrogen (N) dalam jerami (Agus, 2003).

Mineral dan vitamin diberikan kepada ternak sapi dalam jumlah terbatas. Pemberian mineral dan vitamin dilakukan terhadap ternak terutama ternak yang sedang bunting dan menyusui. Penggunaan mineral dan vitamin yaitu dicampur dengan ampas tahu sebanyak 0,01%. %. Tillman et al. (1981) menyatakan bahwa mineral memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai bahan pembentukan tulang dan gigi yang menyebabkan adanya jaringan keras dan kuat, mempertahankan keadaan koloidal dari beberapa senyawa dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam basa tubuh, aktivator sistem enzim tertentu, komponen dari suatu enzim dan mempunyai sifat yang spesifik terhadap kepekaan otot dan saraf.

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kebutuhan zat makanan induk sapi pedaging yaitu bahan kering (5,5-11,6%), konsentrat (0-15% dalam ransum), protein kasar (5,9-9,2%). Menurut Agus (2003) kandungan nutrisi jerami padi fermentasi yaitu bahan kering (67,08%), protein kasar (9,66%), serat kasar (32,04%), lemak kasar (1,73%), BETN (39,57%) dan total nutrient tercerna (54,42%). Kandungan zat makanan pada jerami padi dan ampas tahu yang digunakan di Peternakan Roni dapat dilihat pada Tabel 6.

(40)

47 Tabel 6. Kandungan Zat Makanan pada Bahan Pakan pada Peternakan Roni di

Kecamatan Harau

Bahan Pakan Nutrien

BK Abu PK SK LK Beta-N

Jerami Padi 95,2 18,60 8,84 41,67 1,77 29,09 Ampas Tahu 32,51 4,5 21,28 24,63 6,52 43,40 Keterangan : Hasil Analisa di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Peternakan, FAPET, IPB

(2011).

Karyawan yang bekerja pada usaha peternakan sapi potong menurut GFP harus berbadan sehat. Tenaga kerja di Peternakan Roni berjumlah dua orang dengan pendidikan terakhir Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sistem pemberian gaji berdasarkan kesepakatan bersama antara pemilik dan karyawan.

Proses Produksi

Pemilihan sapi bakalan yang akan dipelihara di Peternakan Roni berasal dari bangsa Sapi Simmental dengan kisaran umur 1-2 tahun. Penggunaan sapi ini diharapkan mampu memberikan keuntungan maksimal bagi peternak.

Usaha Peternakan Roni didirikan dengan merencanakan jumlah kandang. Hal ini sesuai dengan GFP bahwa setiap usaha peternakan sapi potong yang akan didirikan harus merencanakan jumlah kandang yang akan dibangun sesuai dengan jumlah dan bangsa sapi yang akan dipelihara. Sistem kandang yang digunakan adalah individu/tunggal dengan luas 6 m2.

Tempat penampungan limbah (kotoran) dibuat terpisah dengan kandang ternak. Jarak kandang dengan tempat penampungan limbah terlalu dekat. Jarak seharusnya 25 m. Hal ini dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan ternak. Pemanfaatan limbah (kotoran) di Peternakan Roni digunakan sebagai pupuk. Pupuk digunakan untuk rumput dan beberapa tanaman lainnya seperti cabai, kopi coklat dan pepaya yang ada di sekitar peternakan.

Usaha peternakan sapi potong berdasarkan GFP berlokasi di daerah yang bebas endemik penyakit zoonis. Semenjak peternakan ini berdiri, ternak yang dipelihara tidak pernah menderita penyakit zoonis. Pemberian vaksin dilakukan di Peternakan Roni namun tidak ada pencatatan tehadap pelaksanaan dan jenis vaksin yang digunakan.

Menurut GFP lokasi usaha peternakan tidak mudah dimasuki binatang liar dan bebas dari hewan piaraan lainnya yang dapat menularkan penyakit. Kondisi di

(41)

Peternakan Roni yaitu mudah dimasuki binatang liar seperti anjing yang dipelihara masyarakat sekitar. Perlu peningkatan pengawasan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan.

Peternakan Roni tidak melakukan desinfeksi kandang dan peralatan dengan pemakaian insektisida tabur dan cair. Ternak yang sakit tidak dikandangkan secara khusus. Hal ini memungkinkan adanya penularan penyakit terhadap ternak sehat. Pembagian kerja di Peternakan Roni tidak dilakukan sehingga setiap orang bebas keluar masuk kandang ternak dan dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit. Usaha Peternakan Roni tidak memiliki unit keamanan dan fasilitas desinfeksi untuk karyawan dan kendaraan tamu.

Penanganan sapi potong di Peternakan Roni telah memenuhi standar GFP. Sapi yang dijual yaitu berumur 6-12 bulan. Ternak sapi yang akan dijual bebas dari antibiotik dan hormon serta tidak cedera atau cacat.

Pelestarian Lingkungan

Bangunan kandang di Peternakan Roni ditanami dengan pepohonan. Pepohonan digunakan dalam upaya pencegahan erosi di wilayah sekitar peternakan. Selain itu, pepohonan menyebabkan udara menjadi sejuk dan segar pada saat cuaca panas.

Pengawasan

Aspek pengawasan meliputi sistem pengawasan, sertifikasi, monitoring dan evaluasi, pencatatan dan pelaporan. Secara keseluruhan penerapan GFP pada aspek pengawasan belum memenuhi standar. Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota tidak melakukan pengawasan mutu terpadu, monitoring dan evaluasi data. Peternakan Roni hanya memproduksi Sapi Simmental untuk tujuan Pulau Sumatera dan sekitarnya. Selain itu di Peternakan Roni juga tidak dilakukan pencatatan secara lengkap, pembuatan laporan tertulis dan teknis berkala, sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dinas setempat tidak bisa dengan cepat mengadakan perbaikan/ perubahan.

(42)

49 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Produktivitas indukan Sapi Simmental di Peternakan Roni adalah tinggi berdasarkan besarnya ukuran tubuh ternak yaitu panjang badan, dalam dada, lingkar pinggul, lingkar dada, tinggi pinggul, tinggi pundak sapi umur <2 tahun masing-masing yaitu 148,62±13,73; 96,36±5,29; 166,05±11,67; 167,60±9,43; 146,78±12,71; 145,91±14,51 dan bobot sapih anak, nilai S/C, angka kebuntingan dan calf crop sapi masing-masing sebesar 125-175; 1,2; 82% dan 95%.Ketercapaian penerapan GFP di Peternakan Roni yaitu 20%.

Saran

Perlu adanya perhatian terhadap penerapan Good Farming Practise yang sesuai dengan perundang-undangan untuk perkembangan peternakan dalam jangka panjang. Peternak perlu melakukan pencatatan produksi dan reproduksi. Pemerintah diharapkan lebih memperhatikan sarana dan prasarana peternakan seperti timbangan ternak dan data-data (ukuran tubuh, bobot badan).

Gambar

Gambar 1. Sapi Simmental
Gambar  2.  Pengukuran  Ukuran  Tubuh  Sapi;  a=Tinggi  Pundak;  b=Panjang  Badan;
Tabel 3. Penggunaan Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota
Tabel 4. Karakteristik Reproduksi Indukan Sapi Simmental di Peternakan Roni
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Jurnal atau yang lebih sering dikenal jurnal umum adalah catatan akuntansi yang pertama kali dibuat yang gunanya untuk melakukan pencatatan seluruh

Mengacu pada penelitian sebelumnya, [1] berdasarkan hasil perancangan, analisis, desain, dan pengujian system, dengan menggunakan algoritma canny ada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tumpangsari antara selada dengan terung dengan perlakuan kombinasi dosis pupuk kandang kambing, konsentrasi EM4 sebesar 20 ml/l

Dikelolanya Pasar Bandar Buat oleh Pemerintah Kota Padang yaitu di bawah Dinas Pasar Kota Padang, menjadikan Pasar Bandar Buat sebagai pasar wilayah yang bertujuan membantu

Pada penelitian ini larutan edible coating yang diaplikasikan pada dodol rumput laut merupakan campuran dari 2 larutan coating yaitu coating karagenan dan

Requirements Annex 4 of STANDARD 100 by OEKO ‑ TEX® STANDARD 100 by OEKO ‑ TEX® EK 4 gereklilikleri Requirements Annex 6 of STANDARD 100 by OEKO ‑ TEX® STANDARD 100 by OEKO ‑

Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu yaitu pada penelitian terdahulu menggunakan kepemilikan institusional sebagai variabel independen, sedangkan