• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Politik Kebijakan SDA

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. Laporan Baseline Survey: Optimalisasi Lahan Pasir Pantai Bugel Kulon Progo untuk Pengembagan Tanaman Hortikultura dengan Teknologi Inovatif Berwawasan Agribisnis. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta

_______, 1940. Surat Perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta Tertanggal 18 Maret 1940

_______.2008. Application for Contract of Works from The Government of the Republic of Indonesia by PT JM and IM Limited.

________, 2008.. Industri Baja Terpadu Kulon Progo Jogyakarta: Aktivitas Pertambangan Berwawasan Lingkungan, dari Pasir Besi ke Pig Iron. Materi presentasi

Buroway, M. 1998. The extended case method. Sosiological Theory 16 (1), 4-33. Blaikie, P. 1985. The Polical Economy of Soil Erosion. Longman.New York Bryant, R. L. 1998. Power, knowledge, and political ecology in the third world: a

review. Progress in Physical Geography , 22 (1), 79-94.

Bryant, R.L. and Bailey, S.2000. Third World Political Ecology. Routledge. London

Berger, G., A.Flynn, F. Hines, and R.Johns. 2001. Ecological Modernization as a Basis for Environmental Policy: Current Environmental Discourse and Policy and The Implication on Environmental Suply Chain Management. Innovation, Vol 14 (1). 55-72

Beck, U.. 2005. Risk Society Towards a New Modenity (Mark Ritter, Translator). SAGE Publications. London

Dharmawan, A.H. 2007. Dinamika sosio-ekologi pedesaan: perspektif dan pertautan keilmuan ekologi manusia, sosiologi lingkungan dan ekologi politik. Sodality Vol 1, No 1, April 2007. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB, 1-40 .

 

   

Darmosugito. 1956. Sedjarah Kota Yogyakarta Dalam Kota Yogyakarta 200 Tahun, 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956. Jogjakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun.

Ellsworth, L.. 2002. A Place in The World: Tenure Security and Community Livelihoods, a Literature Review. Forest Trends and Ford Foundation. Escobar, A. 1998. Whose knowledge, whose nature? biodiversity, conservation,

and the political ecology of social movements. Journal of Political Ecology 5, p 53-82. jpe.library.arizona.edu

FAO. 2002. Land Tenure and Rural Development. Roma

Fisher, D. and William R. Freudenburg. 2001. Insights and Applications, Ecological Modernization and Its Critics: Assesing The Past and Lookng Toward The Future. Society and Natural Resources, 14: 701-709

Forsyth, T. 2003. Critical Political Ecology The Politics of Environmental Science. Routledge. London.

________2008. Political ecology and the epistemology of social justice. Geoforum 39, pp 756-764

Foucault, M., 1977. Discipline and Punishment, Tavistock, London Garner, R. 1999. Environmental Politics. MacMillan. London

Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta

Hardiman, Fx.B. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu Masyarakat, Politik, dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Kanisius. Yogyakarta

IMF. 1997. Letter of Intent October 17, 1997. _____, 1998. Letter of Intent January 15, 1998

Iman Rejo, 1996. Laporan Perintis Lingkungan Hidup Gisik Wana Tara Dusun Bugel Kecamatan Panjatan Kabupaten Kulon Progo Propinsi DI Yogyakarta. Tanpa Penerbit.

_________, 1999.Teknologi Pertanian dan Agroindustri: Sumur Renteng. tanpa penerbit, Yogyakarta.

Imawan, R.. Desentralisasi, Demokratisasi, dan Pembentukan Good Governance Dalam Desentralisasi dan OTDA (Syamsudin Haris, Ed). LIPI, AIPI, Partnership for Governance Reform in Indonesia, p 40-51

Kartodiharjo, H. Politik Lingkungan dan Kekuasaan. Equinox. Jakarta

Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 Tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY

Kontan Weekly (2008). No 10 XIII. Amri, Asnil Bambani. “Pembayun: Itu Bukan Tanah Warga”. Minggu 14 Desember 2008.

Kompas (2008a). Arif, A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Yang Muda, Yang Bertani” Jumat, 11 April 2008

__________ (2008b). Arif, A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Berguru Hidup pada Gumuk Pasir”. Jumat, 11 April 2008

___________ (2008c). Arif,A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Petani Berhadapan dengan Kekuasaan” Jumat, 11 April 2008

___________ (2008d). Arif,A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Ancaman Kehancuran Pesisir Selatan Kulon Progo” Jumat, 11 April 2008

____________ (2009a). Kristanto, T.A. “Sejarah Panjang Pengaturan Otonomi” . Jumat, 22 Mei 2009 hal 43 (kolom 1-7)

___________(2009b). Isworo, B. “Kacamata Kuda dan Hancurnya SDA” . Jumat, 22 Mei 2009 hal 42 (kolom 1-7)

____________ (2009c). Sumantri,B.S. “Hubungan Pusat-Daerah: Kewenangan Tumpang Tindih Menjadi Tidak Produktif”. Jumat, 22 Mei 2009 hal 41:(kolom 1-5)

Li, T. M. 2002. Engaging Simplification: Community-Based Resource Management (CBNRM) , Market Processes and State Agendas in Upland Southeast Asia. World Development Vol 30 (2) pp265-283.

_______. 2007. Governmentality. Anthropologica 49 (2) 275-281

________. 2003. Situating resource struggles concepts for empirical analysis. Economic and Political Weekly, November 29, 2003. Pp 5120-5128 Luthfi, A.N., M. Nazir S., A. Tohari, Dian A.W., dan Diar Candra T. 2009.

Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan. STPN. Yogyakarta

 

   

Mol, A.P.J. and Gert Spaargaren. 2000. Ecological Modernization Theory in Debate: A Review. Environmental Politics 9 (1) 17-49

Moran, E. F. 2006. People and Nature. Blackwell. Oxford

Mulyono, 2006. Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa Depan Aset Bangsa”, di UMY Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta

Menteri Dalam Negeri, 2010. Hasil Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY 2009-2029, tertanggal 16 Februari 2010.

Odum, E. 1971. Fundamentals of Ecology. Saunders. Philadelphia

Poerwokoesoemo, S. 1985. Kadipaten Paku Alaman, Gadjah Mada Univerity Press, Yogyakarta

Patria, N. dan A. Arief. 1999. Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Peluso, N. L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan

Perlawanan di Jawa. Konpahlindo. Jakarta

________, and J.C. Ribot. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2) , pp 153-181

Praktikno. 2005. Good Governance dan Goernability. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 8 (3) Maret 2005. p 231-248

Peraturan Daerah Propinsi DIY No 4 Tahun 1954 Tentang Hak atas Tanah di DIY Peraturan Daerah Propinsi DIY No 34 Tahun 1984 Pelaksanaan Berlaku

Sepenuhnya UUU No 5 Tahun 1960 Di Propinsi DIY

Peraturan Daerah Propinsi DIY No 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY 2009-2010

Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY 2009-2029

Ritzer, G. dan D. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.(Terjemahan). MacGrawHill

Robbins, P. (2004). Political Ecology A Critical Introduction. Blacwell. Malden Roger, S.. 1999. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Insist dan Pustaka Pelajar.

Schlager, E. and E. Ostrom. 1992. Property Rights Regimes and Natural Resources: A Conseptual Analysis, Land Economics 68(3), p 249-262 Setiawan, U. 2004. Menemukan pintu masuk untuk keluar (Relevansi Tap MPR

No 9/MPR/2001, UUPA No 5/1960, dan Keppres 34/2003 bagi pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia). Jurnal Analisis Sosial Vol 9, 1 April 2004. pp 65-83

Soemarjan, S. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Shiddieq, D., Tohari, B. Djadmo, D. Kastono, Saparso, Sulakhudin, dan Y.G. Bulu. 2008. Pertanian Berkelanjutan di Lahan Pasir Pantai Selatan DIY. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta

Sitorus, F.M.T. (1998). Penelitian Kualitatif Suatu Pengantar. IPB: Bogor

______ dan Wiradi (1999) “Kata Pengantar” dalam SMP Tjondronegoro. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. AKATIGA. Bandung Sugiono, M. 1999. Krtitik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia

Ketiga. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Sumarti, T. 2007. Sosiologi Lingkungan Dalam Ekologi Manusia (Suryo Adiwibowo Ed.) Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor

Suryo, D. 2004. Penduduk dan PErkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990. The 1st International Conference on Urban History Surabaya, August 23-25 2004.

Surjomihardjo, A. 1989. Penelitian Kota Yogyakarta 1880-1930 Suatu Tinjauan Historis Perkembangan Sosial. Berita Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tahun ke-3 No 1.p 17-27.

UU No 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.

UU No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta UU No 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria

UU No 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

 

   

UU No 4 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Batubara

UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup Vago, S. 1989. Social Change, Prentice Hall

Wasistiono, S. 2005. Desentralisasi, Demokratisasi, dan Pembentukan Good Governance Dalam Desentralisasi dan OTDA (Syamsudin Haris, Ed). LIPI, AIPI, Partnership for Governance Reform in Indonesia, p 51-63 Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. AKATIGA,

SAINS, KPA.

www. wikipedia.org/governmentality diakses 21 Januari 2010. _________./social_constructionism. diakses 21 Januari 2010

Ya’kub, A. 2004. Agenda Neoliberal menyusup melalui kebijakan agraria di Indonesia. Jurnal Analisis Sosial Vol 9, 1 April 2004, pp 47-64

KUS SRI ANTORO. Natural Resource Conflicts on Iron Sand Mining Area: An Implication Study of Regional Autonomy (A Case Study in Kulon Progo District Yogyakarta Province). Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN and ARIF SATRIA.

The social transformation of coastal community in Kulon Progo District, Yogyakarta Province, as a result of ecosystem transformation, has occurred since 1980. These processes take place gradually as the progress of indigenous knowledge and supported by the subsistent local livelihood activities. The local government publishes the mining policy on the coastal area to earn native local income. The impacts of the policy not only triggers the natural resource conflicts between local community; local government; and private sector, but also threaten the sustainability of community’s knowledge evolution; ecosystem; and the local community existence. A qualitative research was conducted to analyzed the natural resource conflicts, power relation, and develop conflicts resolution, used Theory of Decentralization, Theory of Property Rights, Theory of Conflict, and Theory of Human Ecology on the political ecology perspective as conceptual analysis. The concept of Governmentality was used to analyzed the empirical dimensions i.e. : 1) the agrarian structure, 2) the political processes of natural resource policy, 3) the structure of conflict, and 4) the relation of power on natural resource control. The results are that 1) natural resource conflicts are caused by both of material grounds (agrarian structure, decentralization) and immaterial grounds (political economy, partiality), its existence are manifest and latent, 2) the political processes of natural resource policy indicate the involvement of political economy of global economic actor in the context of agrarian changes, 3) the complexity of structure of conflicts are on the level of power, policy, and community, and 4) the power relations of conflicting actors are mutual, conflictual, and neutral. The conclusions are 1) the structure of natural resource conflicts in Kulon Progo District could characterize as multi actors, multi dimensions, multi arenas, and multi matters, manifest and latent, perennial and temporal conflicts, 2) the web of power relations of natural resource in Kulon Progo district are an articulation of agrarian structure, political process of natural resource policy, and the structure of conflicts that occur on decentralized political system, 3) the ecological crisis in Kulon Progo District is connected to social political crisis, and 4) the alternative of natural resource policy in Kulon Progo district is difficult to develop due to the absence of equality, transparency, and trust on the conflicting actors.

Keywords: agrarianstructure, policy processes, conflicts, power relation, governmentality

 

   

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses perubahan sosial telah terjadi pada masyarakat pesisir Kulon Progo sebagai akibat dari perubahan ekosistem sejak tahun 1980. Proses perubahan sosial tersebut terjadi secara bertahap mengikuti perkembangan pengetahuan komunitas lokal yang didukung oleh semangat bertahan hidup secara subsisten. Pertama, mereka memunculkan gagasan untuk mengubah lahan pasir pantai menjadi lahan hortikultura yang produktif dengan memanfaatkan potensi air tawar yang tersimpan pada kedalaman 3-6 m. Kedua, mereka memasuki era agribisnis dengan didukung oleh penguatan kelembagaan setempat.

Sistem politik desentralisasi memungkinkan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola sumberdaya daerah secara otonom. Kawasan pesisir Kulon Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemda Kabupaten Kulon Progo menggulirkan kebijakan pertambangan pasir besi di kawasan pesisir. Kebijakan tersebut tak hanya menimbulkan konflik sumberdaya alam (SDA) antara komunitas lokal; Pemda; dan swasta, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem dan eksistensi komunitas lokal. Butir-butir yang menjadi isu dalam konflik tersebut antara lain:

a. Kerusakan ekosistem gumuk pasir

Kawasan pesisir di Kabupaten Kulonprogo merupakan bagian dari rantai gumuk pasir yang memanjang dari pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, dan merupakan satu dari 14 gumuk pasir pantai di dunia yang mempunyai fungsi ekologis sebagai benteng terhadap ancaman bencana tsunami. Rencana pertambangan pasir besi secara ekologis dikhawatirkan akan menyebabkan jasa lingkungan kawasan itu hilang, dengan mekanisme 1) intrusi air laut ke darat, 2) erosi benteng tsunami, dan 3) kepunahan potensi gumuk pasir yang langka (Kompas, April 2008d).

b. Penggusuran lahan hortikultura dan pemukiman

Sebagian kawasan gumuk pasir telah diubah penduduk setempat menjadi lahan hortikultura tanpa mengurangi fungsi utamanya sebagai daerah penyangga (Shiddieq et al., 2008). Lahan produktif ini telah memberikan keuntungan baik materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan, evolusi pengetahuan, dan jaringan). Rencana pertambangan pasir besi tersebut akan mengalihfungsikan lahan secara total di kawasan seluas 22 x 1,8 km, di mana terdapat lahan dan pemukiman (Mulyono, 2008).

c. Penghapusan lapangan kerja

Lahan produktif tersebut telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik). Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan meningkatkan angka pengangguran usia produktif, baik di kawasan pesisir maupun sekitarnya (Kompas, April 2008c).

d. Gangguan bagi penyediaan kebutuhan bahan pokok

Lahan tersebut mampu menghasilkan cabai 702 ton/transaksi atau setara 17.548 ton/ bulan, sehingga menjadi penyedia kebutuhan cabai terutama di Jakarta dan Sumatera (Shiddieq et al., 2008). Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan berdampak bagi perekonomian riil di sektor kebutuhan pokok harian, yaitu cabai.

e. Remarjinalisasi secara sistematis

Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan berisiko sosial berupa remarginalisasi kawasan baik secara sosial maupun lingkungan, karena komunitas telah berpartisipasi dalam menggerakkan pertumbuhan tanpa merusak SDA.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena:

1. Pesisir Kulon Progo merupakan ekosistem unik karena mempunyai fungsi ekologi (benteng tsunami dan cadangan air tawar) dan fungsi sosial ekonomi (faktor bagi perubahan sosial).

2. Konflik pemanfaatan ruang dan SDA di pesisir Kulon Progo terjadi dalam struktur sosial, politik, dan budaya yang khas dan lebih rumit daripada daerah lain di Indonesia, sehingga hasil penelitian diharapkan memberi manfaat bagi upaya penyelesaian konflik serupa di daerah lain.

 

   

3. OTDA dan pembangunan berkelanjutan layak diuji untuk menemukan bentuk yang adaptif terhadap kepentingan multipihak, terutama dalam hal akses SDA sehingga keadilan lingkungan dan keadilan sosial terdekati. 4. Produksi pengetahuan tentang hubungan manusia dengan alam yang

mampu menerangkan akar dan situasi masalah—dalam hal ini adalah konflik pemanfaatan ruang dan SDA dan relasi kekuasaan antarpihak atas SDA, belum banyak dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Konflik pemanfaatan ruang dan SDA di pesisir Kabupaten Kulon Progo merupakan manifestasi empirik dari jejaring kekuasaan atas SDA yang dapat diamati. Penelitian ini diawali dari dugaan bahwa kebijakan pertambangan pasir besi hanya sebagai pemicu konflik, sedangkan akar konflik dan arena konflik secara potensial telah ada secara laten. Akar konflik dan arena konflik berjalinan membentuk jejaring kekuasaan yang selalu diperbaharui oleh setiap pihak yang terlibat. Dengan demikian, penjelasan ekonomi politik atas relasi-relasi kekuasaan atas SDA yang terbentuk di aras lokal, regional, dan nasional perlu ditemukan. Beberapa pertanyaan pemandu untuk menemukan masalah di lokasi penelitian adalah:

1. Apa makna ekologis, sosial, dan ekonomi politik kebijakan pertambangan pasir besi bagi negara, rakyat, dan pasar?

2. Bagaimana situasi penguasaan SDA dari masa ke masa?

3. Bagaimana kekuasaan dioperasikan oleh kelompok dominan terhadap kelompok subordinat untuk menciptakan hegemoni?

4. Apakah ketiga hal tersebut di atas dapat mendorong rekayasa menuju bentuk pengelolaan SDA yang relatif adil untuk negara, rakyat, dan pasar?           

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis struktur konflik pemanfaatan ruang dan SDA 2. Menjelaskan pembentukan jejaring kekuasaan atas SDA.

3. Menganalisis hubungan konflik SDA dan krisis-krisis SDA dan sosial politik.

4. Merumuskan sintesis sebagai alternatif pengelolaan SDA.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Perubahan ekosistem, dalam konteks ekologi manusia, lebih disebabkan oleh keputusan-keputusan politik daripada proses-proses alami. Kekuasaan baik itu dalam struktur maupun jejaring kekuasaan atas SDA menjadi faktor yang menentukan arah perubahan ekosistem. Struktur kekuasaan atas SDA tampak sebagai struktur penguasaan SDA dan sistem politik (dalam penelitian ini, penggunaan istilah SDA dan Agraria mengacu pada maksud yang sama, yaitu sumberdaya berbasis tanah, istilah SDA dipilih semata-mata untuk menjaga konsistensi penulisan). Jejaring kekuasaan atas SDA tampak sebagai proses politik kebijakan dan relasi kekuasaan dalam mengatur pemanfaatan SDA. Konflik-konflik SDA di kawasan pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo akan dibatasi dengan mengkaji:

1. Struktur penguasaan SDA. 2. Proses politik kebijakan SDA. 3. Struktur konflik pemanfaatan SDA. 4. Relasi kekuasaan atas SDA.

 

   

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Ekonomi Politik SDA

Struktur penguasaan SDA tidak terlepas dari struktur ekonomi politik di setiap level. Secara konseptual, negara, swasta, dan masyarakat merupakan aktor- aktor yang terlibat dalam pembentukan struktur penguasaan SDA (Sitorus dan Wiradi, 1999).

Dihubungkan dengan teori tindakan komunikasi Habermas (Hardiman, 1993), ketiga aktor tersebut berelasi secara produksi (dengan SDA) dan interaksi (dengan aktor yang lain). Hubungan produksi dapat dilihat sebagai pola penguasaan SDA, dan hubungan interaksi dapat dilihat sebagai sifat hubungan karena kepentingan (mutualistik atau konflik).

Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari masa ke masa. Pada masa-masa awal kerajaan di Jawa, tanah berfungsi sebagai alat kontrol kekuasaan pusat (Raja) terhadap rakyat melalui pejabat-pejabat yang ditunjuknya untuk mengelola SDA (Peluso, 2006 dan Wiradi, 2000). Pada masa kolonial, pasca kebangkrutan VOC, struktur penguasaan SDA dibentuk melalui penertiban administrasi oleh pemerintah kolonial untuk menjamin kelangsungan perekonomiannya, relasi kekuasaan dengan elit politik feodal diselenggarakan dalam kontrak politik1, terjadi juga pencampuran sistem feodal dan kolonial dalam pembentukkan struktur penguasaan SDA2 (Luthfi et al., 2009, Wiradi, 2000). Pada masa kemerdekaan, struktur penguasaan SDA dibentuk dengan semangat       

1 Pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda muncul istilah-istilah legal yang mengacu pada bentuk penguasaan sumber agraria seperti Domein Verklaring (Bl) yaitu klausul peraturan agraria yang menyatakan bahwa tanah-tanah tanpa bukti hak eigendom mutlak menjadi milik negara, Eigendom (Bl) yaituhak milik pribadi yang diberikan oleh pemerintah kolonial, Erfpacht (Bl) yaitu hak pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada perusahaan perkebunan tertentu selama 75 tahun, Apanage(Bl) yaitu nama untuk suatu persil tanah yang diberikan kepada para pejabat pemegang jabatan bekel di Jawa, dan Culturstelsel (Bl) yaitu kebijakan pemerintah pada masa Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang memaksa petani untuk menanami seperlima tanahnya dengan tanaman ekonomis yang ditentukan oleh pemerintah, yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial.

2 Rijksblad Kasultanan No 16/1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18/1918 menyatakan, Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun’ (semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan melalui hak eigendom, maka tanah itu adalah milik kerajaanku) (Luthfi et. al, 2009: 157).

sosialisme melalui nasionalisasi aset dengan penghapusan segala bentuk penghisapan baik warisan kolonial maupun feodal, tonggak ini ditandai dengan kelahiran Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Pasca Gerakan 30 September 1965, UUPA dibekukan oleh Rezim Orde Baru (ORBA) melalui stigmatisasi ideologis yang beroposisi terhadap negara (Tjondronegoro, 1999). Pada masa ORBA struktur penguasaan SDA dibentuk untuk kepentingan ekonomi politik global melalui industrialisasi-modernisasi dengan negara sebagai pusat kekuasaan (Wiradi, 2000 dan Tjondronegoro, 1999). Pada masa reformasi, seiring pemberlakuan desentralisasi dan penguatan isu demokratisasi, UUPA sebagai produk hukum yang mengatur struktur penguasaan SDA berada di persimpangan kepentingan populisme dan neoliberalisme, keduanya berebut wacana dan praktik dalam menentukan arah ekonomi politik (Ya’kub, 2004 dan Setiawan, 2004).

Otonomi Daerah (OTDA) mengubah sistem tata pengaturan dan pemerintahan di Indonesia secara mendasar. UU No 32 Tahun 2004 merupakan produk hukum yang membuka kesempatan pada penegakan kedaulatan lokal, keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat dan demokrasi dalam pengelolaan administrasi dan pembangunan, sekaligus penetrasi kapital dari aktor ekonomi global ke aktor lokal secara langsung melalui sistem politik yang mengondisikan ekslpoitasi SDA.

Di satu sisi, pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma, narasi, dan strategi baru untuk menciptakan pertumbuhan yang lestari. Kelestarian pertumbuhan memerlukan prasyarat berupa kelestarian daya dukung lingkungan dan sosial. Prasyarat tersebut terpenuhi dengan cara pengelolaan SDA yang berefisiensi tinggi. Efisiensi ini diharapkan dapat terwujud melalui OTDA karena OTDA mendekatkan akses para aktor pembangunan daerah terhadap potensi daerahnya. Dengan demikian, OTDA secara teoritis merupakan sistem politik yang sejalan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan yang merupakan paradigma baru dalam menciptakan pertumbuhan berada dalam setting ekonomi politik pasar (developmentalism). Pertentangan antara pusat dan daerah; kewenangan yang tumpang tindih; kerendahan kapasitas pemangku birokrasi; dan penurunan

 

   

kualitas daya dukung lingkungan menjadi corak pelaksanaan OTDA di Indonesia (Kompas, 2009abc). Menurut Kartodiharjo (2006), masalah-masalah mendasar ekonomi politik SDA di Indonesia sejak pemberlakuan OTDA adalah:

1) Keterbukaan pasar dan permintaan SDA yang tinggi tanpa kepastian hak atas tanah dan SDA lain.

2) Substansi peraturan perundang-undangan cenderung bersifat eksploitatif terhadap SDA.

3) Tindakan eksploitasi SDA secara illegal menjadi instrumen pembenaran bagi pemerataan pemanfaatan SDA oleh masyarakat di kawasan SDA yang dimaksud.

4) Proses-proses politik, terutama di lembaga legislatif baik pusat maupun daerah, cenderung mengarah pada eksploitasi SDA.

Kawasan pesisir Kulon Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi di propinsi DIY. Pemerintah melaporkan, cadangan total pasir besi di kawasan pesisir Kulon Progo sebesar 605 juta ton dengan kandungan Fe sekitar 10.8% dan proporsi tertinggi cadangan pasir besi sampai pada kedalaman 6-14 meter dari permukaan dengan total cadangan sekitar 273 juta ton dengan kandungan Fe (mineral biji besi) sekitar 14.2% (Mulyono, 2008)3. Impor pig iron untuk bahan baku pembuatan baja Indonesia diperkirakan 4 juta ton/tahun4. Potensi pasir besi di pesisir Kulon Progo diharapkan oleh pelaku industri dapat mengurangi ketergantungan bahan baku baja nasional (Anonim, 2008). Pertambangan ini akan dijalankan pada lahan dengan luas konsesi 3000 ha, 929 titik lokasi, dan dengan

Dokumen terkait